{1} Al-Fatihah / الفاتحة | الْقُرْآنُ الْكَرِيْمُ | آل عمران / Ali ‘Imran {3} |
Tafsir Al-Qur’an Surat Al-Baqarah البقرة (Sapi Betina) lengkap dengan tulisan arab latin, arti dan terjemah Bahasa Indonesia. Surah ke 2 Tafsir ayat Ke 142.
۞ سَيَقُولُ السُّفَهَاءُ مِنَ النَّاسِ مَا وَلَّاهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا ۚ قُلْ لِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ ۚ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ ﴿١٤٢﴾
sayaqụlus-sufahā`u minan-nāsi mā wallāhum ‘ang qiblatihimullatī kānụ ‘alaihā, qul lillāhil-masyriqu wal-magrib, yahdī may yasyā`u ilā ṣirāṭim mustaqīm
QS. Al-Baqarah [2] : 142
Orang-orang yang kurang akal di antara manusia akan berkata, “Apakah yang memalingkan mereka (Muslim) dari kiblat yang dahulu mereka (berkiblat) kepadanya?” Katakanlah (Muhammad), “Milik Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus.”
Orang-orang yang bodoh dan orang-orang yang lemah akal dari kalangan orang-orang Yahudi dan lainnya berkata menghina dan menentang, “Apa yang memalingkan orang-orang Islam itu dari kiblat di mana selama ini mereka shalat menghadap ke sana di awal Islam?” Maksudnya adalah Baitul Maqdis. Katakanlah kepada mereka wahai Rasul, “Barat dan timur serta apa yang ada di antara keduanya adalah milik Allah. Tidak ada satu arahpun yang keluar dari kekuasaan Allah, Dia membimbing siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya ke jalan yang lurus. Ini mengandung petunjuk bahwa segala urusan adalah milik Allah dalam melaksanakan perintah-perintah-Nya, ke mana pun Dia memalingkan kami, ke sanalah kami berpaling.”
Menurut Az-Zujaj, yang dimaksud dengan Sufaha dalam ayat ini ialah orang-orang musyrik Arab. Menurut Mujahid adalah para rahib Yahudi. Sedangkan menurut As-Saddi, mereka adalah orang-orang munafik. Akan tetapi, makna ayat bersifat umum mencakup mereka semua.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Na’im, ia pernah mendengar Zubair menceritakan hadis berikut dari Abu Ishaq, dari Al-Barra r.a.,bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ salat menghadap ke Baitul Maqdis selama enam belas atau tujuh belas bulan, padahal dalam hatinya beliau lebih suka bila kiblatnya menghadap ke arah Baitullah Ka’bah. Mula-mula salat yang beliau lakukan (menghadap ke arah kiblat) adalah salat Asar, dan ikut salat bersamanya suatu kaum. Maka keluarlah seorang lelaki dari kalangan orang-orang yang salat bersamanya, lalu lelaki itu berjumpa dengan jamaah suatu masjid yang sedang mengerjakan salat (menghadap ke arah Baitul Maqdis), maka ia berkata, “Aku bersaksi kepada Allah, sesungguhnya aku telah salat bersama Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menghadap ke arah Mekah (Ka’bah).” Maka jamaah tersebut memutarkan tubuh mereka yang sedang salat itu ke arah Baitullah. Tersebutlah bahwa banyak lelaki yang meninggal dunia selama salat menghadap ke arah kiblat pertama sebelum dipindahkan ke arah Baitullah. Kami tidak mengetahui apa yang harus kami katakan mengenai mereka. Maka Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menurunkan firman-Nya: Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. (Al Baqarah:143)
Imam Bukhari menyendiri dalam mengetengahkan hadis ini melalui sanad tersebut. Imam Muslim meriwayatkannya pula, tetapi melalui jalur sanad yang lain.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ismail ibnu Abu Khalid, dari Abu Ishaq, dari Al-Barra yang menceritakan hadis berikut, bahwa pada mulanya Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ salat menghadap ke arah Baitul Maqdis dan sering menengadahkan pandangannya ke arah langit, menunggu-nunggu perintah Allah. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. (Al Baqarah:144) Lalu kaum laki-laki dari kalangan kaum muslim mengatakan, “Kami ingin sekali mengetahui nasib yang dialami oleh orang-orang yang telah mati dari kalangan kami sebelum kami dipalingkan ke arah kiblat (Ka’bah), dan bagaimana dengan salat kami yang menghadap ke arah Baitul Maqdis.” Maka Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menurunkan firman-Nya: Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian. (Al-Baqarah:143) Kemudian berkatalah orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia, mereka adalah Ahli Kitab, yang disitir oleh firman-Nya: Apakah yang memalingkan mereka (kaum muslim) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka berkiblat kepadanya? (Al Baqarah:142) Maka Allah menurunkan firman-Nya: Orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia akan berkata. (Al Baqarah:142), hingga akhir ayat.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar’ah, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Atiyyah, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Abu Ishaq, dari Al-Barra yang menceritakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah salat menghadap ke arah Baitul Maqdis selama enam belas atau tujuh belas bulan, sedangkan hati beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ lebih suka bila diarahkan menghadap ke Ka’bah, maka Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menurunkan firman-Nya: Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. (Al Baqarah:144), Al-Barra melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menghadapkan wajahnya ke arah kiblat. Maka berkatalah orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia, yaitu orang-orang Yahudi, yang disitir oleh firman-Nya:
Apakah yang memalingkan mereka (kaum muslim) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka berkiblat kepadanya?
Maka Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menurunkan firman-Nya:
Katakanlah, “Kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus.”
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari lbnu Abbas, bahwa ketika Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ hijrah ke Madinah. Allah memerintahkannya agar menghadap ke arah Baitul Maqdis (dalam salatnya). Maka orang-orang Yahudi gembira melihatnya. dan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menghadap kepadanya selama belasan bulan. padahal di dalam hati beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sendiri lebih suka bila menghadap ke arah kiblat Nabi Ibrahim. Untuk itu. beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ selalu berdoa kepada Allah serta sering menengadahkan pandangannya ke langit. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Palingkanlah mukamu ke arahnya. (Al Baqarah:144) Orang-orang Yahudi merasa curiga akan hal tersebut, lalu mereka mengatakan:
Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?
Lalu Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menurunkan firman-Nya:
Katakanlah, “Kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus.”
Banyak hadis yang menerangkan masalah ini, yang pada garis besarnya menyatakan bahwa pada mulanya Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menghadap ke arah Sakhrah di Baitul Maqdis. Beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ketika di Mekah selalu salat di antara dua rukun yang menghadap ke arah Baitul Maqdis. Dengan demikian, di hadapannya ada Ka’bah, sedangkan ia menghadap ke arah Sakhrah di Baitul Maqdis (Ycaissalem). Ketika beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ hijrah ke Madinah, beliau tidak dapat menghimpun kedua kiblat itu, maka Allah memerintahkannya agar langsung menghadap ke arah Baitul Maqdis. Demikianlah menurut Ibnu Abbas dan jumhur ulama.
Akan tetapi, para ulama berbeda pendapat mengenai perintah Allah kepadanya untuk menghadap ke arah Baitul Maqdis, apakah melalui Al-Qur’an atau lainnya? Ada dua pendapat mengenainya.
Imam Qurtubi di dalam kitab tafsirnya meriwayatkan dari Ikrimah Abul Aliyah dan Al-Hasan Al-Basri, bahwa menghadap ke Baitul Maqdis adalah berdasarkan ijtihad Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sendiri. Yang dimaksudkan dengan menghadap ke Baitul Maqdis ialah setelah beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tiba di Madinah. Hal tersebut dilakukan oleh Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ selama belasan bulan, dan selama itu beliau memperbanyak doa dan ibtihal kepada Allah serta memohon kepada-Nya agar dihadapkan ke arah Ka’bah yang merupakan kiblat Nabi Ibrahim a.s. Hal tersebut diperkenankan oleh Allah, lalu Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى memerintahkannya agar menghadap ke arah Baitul Atiq. Lalu Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berkhotbah kepada orang-orang dan memberitahukan pemindahan tersebut kepada mereka. Salat pertama yang beliau lakukan menghadap ke arah Ka’bah adalah salat Asar, seperti yang telah disebutkan di atas di dalam kitab Sahihain melalui hadis Al-Barra r.a.
Akan tetapi, di dalam kitab Imam Nasai melalui riwayat Abu Sa’id ibnul Ma’la disebutkan bahwa salat tersebut (yang pertama kali dilakukannya menghadap ke arah Ka’bah) adalah salat Lohor. Abu Sa’id ibnul Ma’la mengatakan, dia dan kedua temannya termasuk orang-orang yang mula-mula salat menghadap ke arah Ka’bah.
Bukan hanya seorang dari kalangan Mufassirin dan lain-lainnya menyebutkan bahwa pemindahan kiblat diturunkan kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ketika beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ salat dua rakaat dari salat Lohor, turunnya wahyu ini terjadi ketika beliau sedang salat di masjid Bani Salimah, kemudian masjid itu dinamakan Masjid Qiblatain.
Di dalam hadis Nuwailah binti Muslim disebutkan, telah datang kepada mereka berita pemindahan kiblat itu ketika mereka dalam salat Lohor. Nuwailah binti Muslim melanjutkan kisahnya, “Setelah ada berita itu, maka kaum laki-laki beralih menduduki tempat kaum wanita dan kaum wanita menduduki tempat kaum laki-laki.” Demikianlah menurut apa yang dituturkan oleh Syekh Abu Umar ibnu Abdul Bar An-Namiri.
Mengenai ahli Quba, berita pemindahan itu baru sampai kepada mereka pada salat Subuh di hari keduanya, seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahihain (Sahih Bukhari dan Sahih Muslim) dari Ibnu Umar r.a. yang menceritakan:
Ketika orang-orang sedang melakukan salat Subuh di Masjid Quba, tiba-tiba datanglah kepada mereka seseorang yang mengatakan bahwa sesungguhnya Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah menerima wahyu tadi malam yang memerintahkan agar menghadap ke arah Ka’bah. Karena itu, menghadaplah kalian ke Ka’bah. Saat itu wajah mereka menghadap ke arah negeri Syam, lalu mereka berputar ke arah Ka’bah.
Di dalam hadis ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa hukum yang ditetapkan oleh nasikh masih belum wajib diikuti kecuali setelah mengetahuinya, sekalipun turun dan penyampaiannya telah berlalu. Karena ternyata mereka tidak diperintahkan untuk mengulangi salat Asar, Magrib, dan Isya.
Setelah hal ini terjadi, maka sebagian orang dari kalangan kaum munafik, orang-orang yang ragu dan Ahli Kitab merasa curiga, dan keraguan menguasai diri mereka terhadap hidayah. Lalu mereka mengatakan seperti yang disitir oleh firman-Nya:
Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?”
Dengan kata lain, mereka bermaksud ‘mengapa kaum muslim itu sesekali menghadap ke anu dan sesekali yang lain menghadap ke anu’. Maka Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menurunkan firman-Nya sebagai jawaban terhadap mereka:
Katakanlah, “Kepunyaan Allah-lah timur dan barat.”
Yakni Dialah yang mengatur dan yang menentukan semuanya, dan semua perintah itu hanya di tangan kekuasaan Allah belaka. Maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah.
(Al Baqarah:115)
Adapun firman-Nya:
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah kebaktian orang yang beriman kepada Allah. (Al Baqarah:177)
Dengan kata lain, semua perkara itu dinilai sebagai kebaktian bilamana didasari demi mengerjakan perintah-perintah Allah. Untuk itu ke mana pun kita dihadapkan, maka kita harus menghadap. Taat yang sesungguhnya hanyalah dalam mengerjakan perintah-Nya, sekalipun setiap hari kita diperintahkan untuk menghadap ke berbagai arah. Kita adalah hamba-hamba-Nya dan berada dalam pengaturan-Nya, kita adalah pelayan-pelayan-Nya, ke mana pun Dia mengarahkan kita, maka kita harus menghadap ke arah yang diperintahkan-Nya.
Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى mempunyai perhatian yang besar kepada hamba dan Rasul-Nya, yaitu Nabi Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan umatnya. Hal ini ditunjukkan melalui petunjuk yang diberikan-Nya kepada dia untuk menghadap ke arah kiblat Nabi Ibrahim kekasih Tuhan Yang Maha Pemurah, yaitu menghadap ke arah Ka’bah yang dibangun atas nama Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى semata, tiada sekutu bagi-Nya. Ka’bah merupakan rumah Allah yang paling terhormat di muka bumi ini, mengingat ia dibangun oleh kekasih Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى, Nabi Ibrahim a.s. Karena itu, di dalam firman-Nya disebutkan:
Katakanlah, “Kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus.”
Imam Ahmad meriwayatkan dari Ali ibnu Asim, dari Husain ibnu Abdur Rahman, dari Amr ibnu Qais, dari Muhammad ibnul Asy’As, dari Siti Aisyah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda sehubungan dengan kaum Ahli Kitab: Sesungguhnya mereka belum pernah merasa dengki terhadap sesuatu sebagaimana kedengkian mereka kepada kita atas hari Jumat yang ditunjukkan oleh Allah kepada kita, sedangkan mereka sesat darinya, dan atas kiblat yang telah ditunjukkan oleh Allah kepada kita, sedangkan mereka sesat darinya, serta atas ucapan kita amin di belakang imam.
Tafsir Ayat :
Ayat pertama meliputi mukjizat dan hiburan serta menenangkan hati kaum Mukminin, juga sebuah bantahan beserta jawabannya dari tiga faktor, dan sifat orang-orang yang membantah serta sifat orang-orang yang menerima hukum Allah sebagai agamanya. Allah جَلَّ جَلالُهُ memberikan kabar bahwasanya orang-orang bodoh di antara manusia akan membantah, yaitu mereka yang tidak mengenal kemaslahatan bagi diri mereka sendiri, bahkan mereka menyia-nyiakannya dan menukarnya dengan harga yang paling rendah, mereka itu adalah Yahudi dan Nasrani dan orang-orang yang semisal dengan mereka dari orang-orang yang suka membantah hukum-hukum Allah dan syariat-syariatNya. Yang demikian itu karena kaum Muslimin diperintahkan untuk menghadap ke Baitul Maqdis selama mereka menetap di Makkah, kemudian setelah hijrah ke Madinah kira-kira satu tahun setengah lama-nya; karena Allah memiliki hikmah-hikmah di balik itu semua yang akan disebutkan sebagiannya, dan hikmahNya menuntut adanya perintah kepada mereka untuk menghadap ke Ka’bah.
Lalu Allah mengabarkan kepada mereka bahwa orang-orang bodoh di antara manusia itu pasti akan berkata,
مَا وَلَّاهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا
“Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya,” yakni, menghadap Baitul Maqdis, maksudnya apa yang menyebabkan mereka berpaling darinya? Hal ini adalah sebuah bantahan terha-dap hukum Allah, syariat, karunia, dan kebaikanNya. Maka Allah menghibur mereka dan Dia mengabarkan tentang kejadiannya serta hal seperti itu hanya terjadi dari orang-orang bodoh yang sedikit akal, sedikit keramahan, dan miskin agama. Maka janganlah kalian mempedulikan mereka karena telah diketahui sumber perkataan itu. Orang yang berakal tidaklah akan mempedulikan ocehan orang bodoh dan tidak mengambil pusing tentangnya.
Ayat ini menunjukkan bahwa tidaklah akan membantah terhadap hukum-hukum Allah kecuali orang bodoh, dungu, dan pembangkang. Sedangkan orang yang berakal, lagi beriman dan pandai, pastilah akan menerima hukum-hukum Allah dengan kepasrahan, ketundukan, serta kepatuhan, sebagaimana firman Allah جَلَّ جَلالُهُ,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang Mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang Mukmin, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (Al-Ahzab: 36),
dan juga Firman Allah,
فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan.” (An-Nisa`: 65),
dan FirmanNya,
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا
“Sesungguhnya jawaban orang-orang Mukmin, bila mereka di-panggil kepada Allah dan RasulNya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan, ‘Kami mendengar, dan kami patuh’.” (An-Nur: 51).
FirmanNya, السُّفَهَاءُ “Orang-orang bodoh,” sudah cukup untuk menolak perkataan mereka dan tidak perlunya mempedulikan mereka. Akan tetapi Allah جَلَّ جَلالُهُ dengan adanya hal itu tidak akan membiarkan suatu syubhat hingga Dia menghilangkan dan me-nyingkap apa yang akan dibeberkan kepada sebagian hati dari bantahan tersebut. Maka Allah berfirman, قُلْ “Katakanlah” kepada mereka sebagai jawaban, لِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ “Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendakiNya ke jalan yang lurus,” maksudnya, apabila arah barat dan timur adalah milik Allah dan tidak ada satu arah pun yang keluar dari kekuasaan Allah, dan dengan ini Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendakiNya kepada jalan yang lurus, yang di antaranya adalah petunjukNya kepada kalian untuk menghadap ke kiblat tersebut yang merupakan ajaran bapak kalian Ibrahim, lalu untuk apa orang yang membantah itu melakukan bantahan tentang perpindahan kiblat kalian kepada arah yang ter-masuk bagian dari kekuasaan Allah? Dan kalian tidak menghadap sebuah arah yang bukan kekuasaan Allah. Dengan hujjah tersebut saja wajiblah ketundukan kepada perintahNya, lalu bagaimana pula bila hal itu adalah karunia Allah dan petunjukNya, serta kebaikan-Nya kepada kalian yang memberikan petunjuk kepada kalian me-nuju hal tersebut? Orang yang membantah kalian berarti dia telah membantah karunia Allah, karena dengki dan zhalim terhadap kalian.
Dan ketika Firman Allah, يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ “Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendakiNya ke jalan yang lurus” bersifat mutlak (tidak terbatas), sedangkan sesuatu yang tidak terbatas itu harus dimaknai dengan hal yang telah membatasinya, maka hidayah dan kesesatan itu memiliki sebab-sebab yang telah menjadi suatu keharusan dari hikmah Allah جَلَّ جَلالُهُ dan keadilanNya, dan sesungguhnya Allah telah mengabarkan dalam ayat lain tentang sebab-sebab hidayah, yang mana apabila seorang hamba melakukan sebab-sebab itu, niscaya dia akan memperoleh hidayah, seba-gaimana Allah berfirman,
يَهْدِي بِهِ اللَّهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلامِ
“Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaanNya ke jalan keselamatan.” (QS. Al-Ma`idah: 16).
Dalam ayat ini Allah menyebutkan suatu sebab yang meng-akibatkan umat ini memperoleh hidayah secara mutlak dengan se-gala bentuk hidayah, dan Allah menganugerahkannya bagi mereka, Allah berfirman,
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang pertengahan,”
Setelah pada ayat yang lalu diceritakan perilaku kaum yahudi secara umum, pada ayat ini Allah menjelaskan sikap mereka dan juga orang musyrik terkait persoalan khusus, yaitu pengalihan kiblat salat dari baitulmakdis di palestina ke kakbah di mekah. Pada saat nabi berhijrah ke madinah, beliau dan para sahabatnya selama 16 sampai 17 bulan melaksanakan salat menghadap ke baitulmakdis. Pada rajab tahun ke-2 hijriah, Allah memerintahkan nabi untuk menghadap ke masjidilharam di mekah. Tentang hal ini Allah berfirman sebagai berikut. Orang-orang yang kurang akal di antara manusia, yakni sebagian orang yahudi dan kelompok lain, akan mengolok-olok nabi dan kaum mukmin dengan berkata, apakah yang memalingkan mereka, yakni kaum muslim, dari kiblat yang dahulu mereka berkiblat kepadanya’ pemberitahuan awal ini dilakukan agar nabi dan orang-orang islam tidak kaget jika hal itu tejadi. Lalu Allah memerintahkan kepada nabi untuk menjawab mereka. Katakanlah, wahai rasul, milik Allah-lah timur dan barat. Allah berhak untuk menyuruh hamba-Nya menghadap ke arah mana saja, apakah ke arah timur atau barat, karena semua arah adalah milik Allah. Mereka yang beriman dengan benar akan mengikuti seluruh perintah Allah. Mereka itulah yang mendapat petunjuk dari Allah. Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dia kehendaki ke jalan yang lurus. Allah yang paling mengetahui siapa yang pantas untuk mendapat petunjuk itu. Jika Allah menjadikan kakbah sebagai kiblat yang paling utama karena dibangun oleh bapak para nabi, yaitu nabi ibrahim, maka demikian pula kami telah menjadikan kamu, umat islam, umat pertengahan, yaitu umat terbaik yang pernah ada di bumi ini. Umat yang terbaik sangatlah pantas menjadi saksi. Tujuannya adalah agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia, yaitu ketika nanti pada hari kiamat jika ada dari mereka yang mengingkari bahwa rasul-rasul mereka telah menyampaikan pesan-pesan Allah atau adanya penyimpangan pada ajaran mereka. Di samping itu, juga agar rasul, Muhammad, menjadi saksi atas perbuatan kamu yaitu dengan memberikan petunjuk dan arahan-arahannya ketika masih hidup serta jalan kehidupannya juga petunjuknya ketika sudah meninggal. Allah kemudian menjelaskan tujuan pengalihan kiblat, yaitu menguji keimanan seseorang. Kami tidak menjadikan kiblat yang dahulu kamu berkiblat kepadanya melainkan agar kami mengetahui siapa yang mengikuti rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Bagi mereka yang tetap istikamah dengan keimanannya, mereka akan mengikuti apa pun yang diperintahkan oleh Allah dan rasul-Nya, baik dalam pengalihan kiblat atau lainnya. Sebaliknya, bagi yang lain, mereka akan menolak dan enggan mengikuti perintah Allah dan rasul-Nya. Ihwal pemindahan kiblat memang mengundang persoalan bagi sebagian kelompok. Oleh karena itu, pemindahan kiblat itu sangat berat kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Sebagian kelompok menganggap persoalan kiblat adalah termasuk ajaran yang sudah baku, tidak bisa diubah lagi, seperti halnya tauhid. Namun, sebagian lagi, yaitu orang-orang yang istikamah dalam beriman, menganggap bahwa persoalan ini termasuk kebijakan Allah yang bisa saja berubah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Allah maha pengasih, maha penyayang kepada manusia.
Al-Baqarah Ayat 142 Arab-Latin, Terjemah Arti Al-Baqarah Ayat 142, Makna Al-Baqarah Ayat 142, Terjemahan Tafsir Al-Baqarah Ayat 142, Al-Baqarah Ayat 142 Bahasa Indonesia, Isi Kandungan Al-Baqarah Ayat 142
Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat: 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | 21 | 22 | 23 | 24 | 25 | 26 | 27 | 28 | 29 | 30 | 31 | 32 | 33 | 34 | 35 | 36 | 37 | 38 | 39 | 40 | 41 | 42 | 43 | 44 | 45 | 46 | 47 | 48 | 49 | 50 | 51 | 52 | 53 | 54 | 55 | 56 | 57 | 58 | 59 | 60 | 61 | 62 | 63 | 64 | 65 | 66 | 67 | 68 | 69 | 70 | 71 | 72 | 73 | 74 | 75 | 76 | 77 | 78 | 79 | 80 | 81 | 82 | 83 | 84 | 85 | 86 | 87 | 88 | 89 | 90 | 91 | 92 | 93 | 94 | 95 | 96 | 97 | 98 | 99 | 100 | 101 | 102 | 103 | 104 | 105 | 106 | 107 | 108 | 109 | 110 | 111 | 112 | 113 | 114 | 115 | 116 | 117 | 118 | 119 | 120 | 121 | 122 | 123 | 124 | 125 | 126 | 127 | 128 | 129 | 130 | 131 | 132 | 133 | 134 | 135 | 136 | 137 | 138 | 139 | 140 | 141 | 142 | 143 | 144 | 145 | 146 | 147 | 148 | 149 | 150 | 151 | 152 | 153 | 154 | 155 | 156 | 157 | 158 | 159 | 160 | 161 | 162 | 163 | 164 | 165 | 166 | 167 | 168 | 169 | 170 | 171 | 172 | 173 | 174 | 175 | 176 | 177 | 178 | 179 | 180 | 181 | 182 | 183 | 184 | 185 | 186 | 187 | 188 | 189 | 190 | 191 | 192 | 193 | 194 | 195 | 196 | 197 | 198 | 199 | 200 | 201 | 202 | 203 | 204 | 205 | 206 | 207 | 208 | 209 | 210 | 211 | 212 | 213 | 214 | 215 | 216 | 217 | 218 | 219 | 220 | 221 | 222 | 223 | 224 | 225 | 226 | 227 | 228 | 229 | 230 | 231 | 232 | 233 | 234 | 235 | 236 | 237 | 238 | 239 | 240 | 241 | 242 | 243 | 244 | 245 | 246 | 247 | 248 | 249 | 250 | 251 | 252 | 253 | 254 | 255 | 256 | 257 | 258 | 259 | 260 | 261 | 262 | 263 | 264 | 265 | 266 | 267 | 268 | 269 | 270 | 271 | 272 | 273 | 274 | 275 | 276 | 277 | 278 | 279 | 280 | 281 | 282 | 283 | 284 | 285 | 286
Raih pahala amal jariyah dengan cara membagikan (share) konten ini kepada yang lainnya. Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه
"Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)