{1} Al-Fatihah / الفاتحة | الْقُرْآنُ الْكَرِيْمُ | آل عمران / Ali ‘Imran {3} |
Tafsir Al-Qur’an Surat Al-Baqarah البقرة (Sapi Betina) lengkap dengan tulisan arab latin, arti dan terjemah Bahasa Indonesia. Surah ke 2 Tafsir ayat Ke 222.
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ ﴿٢٢٢﴾
wa yas`alụnaka ‘anil-maḥīḍ, qul huwa ażan fa’tazilun-nisā`a fil-maḥīḍi wa lā taqrabụhunna ḥattā yaṭ-hurn, fa iżā taṭahharna fa`tụhunna min ḥaiṡu amarakumullāh, innallāha yuḥibbut-tawwābīna wa yuḥibbul-mutaṭahhirīn
QS. Al-Baqarah [2] : 222
Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah, “Itu adalah sesuatu yang kotor.” Karena itu jauhilah istri pada waktu haid; dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang menyucikan diri.
Mereka bertanya kepadamu tentang haid, yaitu darah yang keluar dari rahim kaum wanita sesuai dengan tuntutan tabiat mereka di waktu-waktu tertentu. Katakanlah kepada mereka wahai Nabi, “Ia adalah kotor dan najis, membahayakan siapa yang mendekatinya, maka jauhilah hubungan suami istri selama haid terjadi sampai darahnya berhenti.” Bila darah para istri telah berhenti dan mereka telah mandi, maka lakukanlah hubungan suami istri di tempat yang dihalalkan oleh Allah bagi kalian, yaitu jalan depan bukan jalan belakang. Sesungguhnya Allah mencintai hamba-hamba-Nya yang bayak beristighfar dan bertaubat, Dia juga menyukai orang-orang yang menyucikan diri dengan menjauhi perbuatan-perbuatan buruk dan hal-hal kotor.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Sabit, dari Anas, bahwa orang-orang Yahudi itu apabila ada seorang wanita dari mereka mengalami haid, maka mereka tidak mau makan bersamanya, tidak mau pula serumah dengan mereka. Ketika sahabat Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menanyakan masalah ini kepadanya, maka Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menurunkan firman-Nya: Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, “Haid itu adalah suatu kotoran.” Oleh sebab itu, hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kalian mendekati mereka, sebelum mereka suci. (Al Baqarah:222), hingga akhir ayat. Kemudian Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda: Lakukanlah segala sesuatu (dengan istri yang sedang haid) kecuali nikah (bersetubuh). Ketika berita tersebut sampai kepada orang-orang Yahudi, maka mereka mengatakan, “Apakah yang dikehendaki oleh lelaki ini (maksudnya Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ), tidak sekali-kali ia membiarkan suatu hal dari urusan kami, melainkan ia pasti berbeda dengan kami mengenainya.” Kemudian datanglah Usaid ibnu Hudair dan Abbad ibnu Bisyr, lalu keduanya berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya orang-orang Yahudi mengatakan anu dan anu. Maka bolehkah kami bersetubuh dengan mereka (wanita-wanita yang sedang haid)?” Mendengar itu roman muka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berubah hingga kami menduga bahwa beliau sangat marah terhadap Usaid dan Abbad. Setelah itu keduanya pulang, dan mereka berpapasan dengan hadiah yang akan diberikan kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berupa air susu. Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memanggil keduanya untuk datang menghadap. Ketika keduanya sampai di hadapan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, maka beliau memberinya minum dari air susu itu. Maka keduanya mengerti bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak marah terhadapnya.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui hadis Hammad ibnu Zaid ibnu Salamah.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Oleh sebab itu, hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di waktu haid.
Yang dimaksud ialah menjauhi farjinya, karena berdasarkan sabda Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang mengatakan: Lakukanlah segala sesuatu (dengan mereka) kecuali nikah (bersetubuh).
Karena itulah maka banyak kalangan ulama yang berpendapat bahwa boleh menggauli istri dalam masa haidnya selain persetubuhan,
Abu Daud mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Hammad, dari Ayyub, dari Ikrimah, dari salah seorang istri Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: Bahwa Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ apabila menginginkan sesuatu dari istrinya yang sedang haid, maka terlebih dahulu beliau menutupi farjinya dengan kain.
Imam Abu Daud mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Asy-Sya’bi, telah menceritakan kepada kami Abdullah (yakni Ibnu Umar ibnu Ganim), dari Abdur Rahman (yakni ibnu Jiyad), dari Imarah ibnu Garrab, bahwa salah seorang bibinya pernah menceritakan kepadanya hadis berikut: Bahwa ia pernah bertanya kepada Siti Aisyah r.a., “Salah seorang dari kami mengalami haid, sedangkan dia dan suaminya tidak mempunyai ranjang kecuali hanya satu buah ranjang.” Siti Aisyah mengatakan, “Aku akan menceritakan kepadamu tentang apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Pada suatu hari Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ masuk ke dalam rumahku (menggilimya), lalu beliau keluar ke musalanya (masjid yang ada di dalam rumah Siti Aisyah). Aku tidak ke mana-mana hingga mataku terasa mengantuk, dan ternyata Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ merasa kedinginan, lalu ia berkata, ‘Mendekatlah kepadaku!’ Aku menjawab, ‘Aku sedang haid.’ Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda, ‘Bukalah kedua pahamu.’ Maka aku membuka kedua pahaku, lalu beliau meletakkan pipi dan dadanya di atas kedua pahaku, dan aku mendekapnya hingga ia merasa hangat dan tidur’.”
Abu Ja’far ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami Ayyub dari catatan Abu Qilabah yang menceritakan hadis berikut: Bahwa Masruq memacu untanya menuju rumah Siti Aisyah, lalu ia berkata, “Semoga keselamatan terlimpah kepada Nabi dan keluarganya.” Maka Siti Aisyah berkata, “Selamat datang, selamat datang.” Mereka memberi izin kepadanya untuk menemui Siti Aisyah. Lalu Masruq masuk dan bertanya, “Sesungguhnya aku hendak menanyakan kepadamu tentang suatu masalah, tetapi aku malu mengutarakannya.” Siti Aisyah menjawab, “Sesungguhnya aku adalah ibumu dan kamu adalah anakku.” Masruq berkata, “Apakah yang boleh dilakukan oleh seorang lelaki terhadap istrinya yang sedang haid?” Siti Aisyah menjawabnya, “Segala sesuatu kecuali persetubuhan.”
Ibnu Jarir meriwayatkan pula dari Humaid ibnu Mus’adah, dari Yazid ibnu Zurai’, dari Uyaynah ibnu Abdurrahman ibnu Jusyan, dari Marwan Al-Asfar, dari Masruq yang mengatakan, “Aku bertanya kepada Siti Aisyah, apakah yang dihalalkan bagi seorang lelaki terhadap istrinya apabila ia sedang haid?” Siti Aisyah menjawab, “Segala sesuatu kecuali persetubuhan.”
Pendapat yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Abbas, Mujahid, Al-Hasan, dan Ikrimah.
Ibnu Jarir meriwayatkan pula dari Abu Kuraib, dari Ibnu Abuz Zaidah, dari Hajyaj, dari Maimun ibnu Mihran, dari Sid Aisyah r.a. yang pernah mengatakan kepadanya, “(Kamu boleh melakukan segala sesuatu kepada istrimu) pada bagian di atas kain sarungnya.”
Menurut kami, seorang suami boleh tidur bersama istrinya yang sedang haid, boleh pula makan bersamanya tanpa ada yang memperselisihkannya.
Siti Aisyah r.a. pernah menceritakan hadis berikut:
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah memerintahku agar aku mencuci kepalanya, sedangkan aku dalam keadaan berhaid. Dan beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersandar di atas pangkuanku, sedangkan aku dalam keadaan haid, lalu Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ membaca Al-Qur’an.
Di dalam kitab sahih disebutkan sebuah hadis dari Siti Aisyah r.a. yang menceritakan:
Aku pernah makan daging yang ada tulangnya ketika sedang haid, lalu aku memberikannya kepada Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ meletakkan mulutnya di tempat bekas gigitanku, lalu aku minum dan memberikan bekas minumanku kepadanya, maka beliau meletakkan mulutnya di tempat bekas aku meletakkan mulutku.
Imam Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Jabir ibnu Subhi yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Khalas Al-Hajri menceritakan hadis berikut dari Siti Aisyah r.a.: Aku dan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sering berada dalam satu selimut, sedangkan aku dalam keadaan berhaid yang deras. Maka jika tubuhnya terkena sesuatu (darah) dariku, beliau mencucinya tanpa melampaui bagian lainnya. Dan jika bajunya terkena sesuatu dariku, maka beliau mencuci bagian yang terkena tanpa melampaui bagian lainnya dan memakainya untuk salat.
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud:
yaitu telah menceritakan kepada kami Sa’id ibnu Jabbar, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz (yakni Ibnu Muhammad), dari Abul Yaman, dari Ummu Zurrah, dari Siti Aisyah r.a. yang mengatakan: Adalah aku bila sedang haid, maka aku turun dari kasur ke tikar.
Dengan kata lain, ia tidak mendekat kepada Rasulullah- begitu pula Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, tidak mendekatinya hingga ia suci dari haidnya. Maka hadis ini diinterpretasikan dengan pengertian sebagai tindakan preventif dan hati-hati.
Ulama lainnya mengatakan bahwa sesungguhnya seorang istri dihalalkan bagi suaminya dalam masa haidnya hanya pada bagian selain dari anggota di bawah kain sarungnya, seperti yang telah disebutkan di dalam kitab Sahihain dari Maimunah bintil Haris Al-Hilaliyah yang telah menceritakan:
Adalah Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ apabila ingin menggauli salah seorang istrinya yang sedang haid, maka terlebih dahulu beliau memerintahkan kepadanya untuk memakai kain sarung.
Demikianlah lafaz yang diketengahkan oleh Imam Bukhari. Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan pula hadis yang semisal dari Siti Aisyah r.a.
Imam Ahmad, Imam Abu Daud, dan Imam Turmuzi serta Imam Ibnu Majah meriwayatkan melalui hadis Al-Ala, dari Hizam ibnu Hakim, dari pamannya (yaitu Abdullah ibnu Sa’d Al-Ansari):
bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, “Apakah yang dihalalkan olehku terhadap istriku jika ia sedang haid?” Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjawab, “Bagian di atas kain sarung.”
Imam Abu Daud meriwayatkan pula dari Mu’az ibnu Jabal yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tentang apa yang dihalalkan baginya terhadap istrinya yang sedang haid. Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda:
Bagian di atas kain sarung, tetapi menahan diri dari hal tersebut adalah lebih utama.
Hal ini semakna dengan riwayat dari Siti Aisyah seperti yang telah disebutkan di atas, juga riwayat Ibnu Abbas, Sa’id ibnul Musayyab serta Syuraih.
Hadis-hadis di atas dan lain-lainnya yang serupa merupakan hujah bagi orang-orang yang berpendapat bahwa dihalalkan bersenang-senang dengan istri yang sedang haid pada bagian di atas kain sarungnya. Pendapat ini merupakan salah satu dari dua pendapat di kalangan mazhab Syafii yang dinilai rajih oleh kebanyakan ulama Irak dan lain-lainnya.
Kesimpulan pendapat mereka menyatakan bahwa daerah yang ada di sekitar farji hukumnya haram, untuk menghindari hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan telah disepakati oleh seluruh ulama, yaitu bersetubuh pada farjinya.
Kemudian orang yang melanggar hal tersebut, berarti dia telah berdosa dan harus meminta ampun kepada Allah serta bertobat kepada-Nya.
Akan tetapi, apakah orang yang bersangkutan harus membayar kifarat atau tidak. Maka jawabannya ada dua hal, salah satunya mengatakan harus. Pendapat ini berdasarkan kepada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan kitab-kitab sunnah dari Ibnu Abbas, dari Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengenai seseorang yang mendatangi istrinya yang sedang haid.
Maka dia harus menyedekahkan satu dinar atau setengah dinar.
Menurut lafaz Imam Turmuzi disebutkan seperti berikut:
Apabila darah haid berupa merah, maka kifaratnya satu dinar, dan jika darah haid berupa kuning, maka kifaratnya setengah dinar.
Imam Ahmad meriwayatkan pula dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menetapkan denda satu dinar apabila menyetubuhi wanita yang sedang haid, dan jika disetubuhi darah telah berhenti darinya, sedangkan ia belum mandi, maka kifaratnya adalah setengah dinar.
Pendapat kedua —yang merupakan pendapat yang sahih— adalah qaul jadid dari mazhab Imam Syafii dan pendapat jumhur- ulama menyebutkan bahwa tidak ada kifarat dalam masalah ini, melainkan orang yang bersangkutan diharuskan beristigfar, meminta ampun kepada Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى, mengingat tidak ada hadis marfu’ yang sahih menurut pendapat mereka.
Dalam pembahasan yang lalu telah diriwayatkan hadis mengenai ini secara marfu’. Ada juga yang diriwayatkan secara mauquf, bahkan yang mauquf inilah yang sahih menurut kebanyakan pendapat ulama hadis.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Dan janganlah kalian mendekati mereka sebelum mereka suci.
Ayat ini merupakan tafsir dari firman-Nya:
Oleh sebab itu, hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di waktu haid.
Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى melarang mendekati mereka untuk bersetubuh selagi mereka masih dalam masa haidnya. Makna yang terkandung dari kalimat ini memberikan pengertian bahwa apabila darah haid telah berhenti, berarti boleh digauli lagi.
Imam Abu Abdullah Ahmad ibnu Muhammad ibnu Hambal mengatakan di dalam kitab At-Ta’ah-nya sehubungan dengan makna firman-Nya: Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, “Haid itu adalah suatu kotoran.” Oleh sebab itu, hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kalian mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu. (Al Baqarah:222), hingga akhir ayat. Bersuci menunjukkan boleh mendekatinya.
Ketika Maimunah dan Aisyah r.a. mengatakan bahwa salah seorang di antara mereka bila mengalami haid, maka ia memakai kain sarung dan masuk bersama Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ di dalam selimutnya. Hal ini menunjukkan bahwa tidak sekali-kali beliau menghendaki demikian melainkan ingin melakukan persetubuhan.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepada kalian.
Makna ayat ini menganjurkan dan memberikan petunjuk tentang cara menggauli mereka sesudah bersuci. Bahkan Ibnu Hazm berpendapat, wajib melakukan jimak setelah tiap habis haid, karena berdasarkan firman-Nya: Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepada kalian.
Pendapat ini tidak mempunyai sandaran, mengingat masalahnya terjadi dengan adanya perintah sesudah larangan. Sehubungan dengan masalah ini banyak pendapat di kalangan ulama Usul yang mengomentarinya. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa makna yang terkandung di dalam ayat ini menunjukkan pengertian wajib, sama halnya dengan ayat yang mutlak. Mereka berpendapat sama dengan yang dikatakan oleh Ibnu Hazm dan memerlukan jawaban yang sama pula dengannya.
Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa makna ayat ini menunjukkan ibahah (pembolehan), dan mereka menjadikan larangan yang mendahuluinya merupakan qarinah yang memalingkan makna ayat dari pengertian wajib. Akan tetapi, pendapat ini masih perlu dipertimbangkan.
Pendapat yang kuat sesuai dengan makna yang terkandung di dalam dalil ini mengatakan bahwa permasalahannya dikembalikan kepada hukum sebelumnya, yakni kepada perintah sebelum ada larangan. Jika perintahnya menunjukkan pengertian wajib, maka hukumnya wajib. Perihalnya sama dengan pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
Apabila sudah habis bulan-bulan Haram, maka bunuhlah orang-orang musyrik itu. (At Taubah:5)
Atau menunjukkan makna mubah, maka hukumnya mubah pula. Seperti makna yang terkandung di dalam firman-Nya:
Dan apabila kalian telah menyelesaikan ibadah haji, maka boleh berburu. (Al Maidah:2)
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kalian di muka bumi. (Al Jumuah:10)
Dalil-dalil di atas memperkuat pendapat ini. Imam Gazali dan ulama lainnya meriwayatkan pendapat ini, lalu dipilih oleh sebagian para Imam Mutakhkhirin, pendapat inilah yang sahih.
Para ulama sepakat bahwa seorang wanita apabila masa haidnya telah habis, tidak halal digauli suaminya sebelum mandi dengan air atau tayamum jika bersuci dengan air tidak dapat dilakukannya karena uzur berikut dengan segala persyaratannya. Kecuali Imam Abu Hanifah, ia mengatakan bahwa jika darah haidnya baru terhenti lebih dari sepuluh hari yang merupakan batas maksimal masa haid menurutnya, maka si wanita halal bagi suaminya begitu darahnya terhenti, tidak perlu mandi terlebih dahulu.
Ibnu Abbas mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: sebelum mereka bersuci. Yakni suci dari darah haidnya. Apabila mereka telah suci. Yaitu bersuci dengan air.
Demikian pula apa yang dikatakan oleh Mujahid, Ikrimah, Al-Hasan, Muqatil ibnu Hayyan, dan Al-LaiS ibnu Sa’d serta lain-lainnya.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepada kalian.
Menurut Ibnu Abbas dan Mujahid serta ulama lainnya yang bukan hanya seorang, yang dimaksud ialah farjinya.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepada kalian. (Al Baqarah:222) Yang dimaksud ialah farjinya dan tidak boleh melampauinya ke anggota lainnya. Maka barang siapa yang melakukan penyimpangan dalam hubungannya, berarti ia telah berbuat melampaui batas.
Ibnu Abbas, Mujahid, dan Ikrimah telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: ,,,di tempat yang diperintahkan Allah kepada kalian. Yakni janganlah kalian menjauhi mereka.
Di dalam ayat ini terkandung pengertian yang menunjukkan haram melakukan persetubuhan pada dubur (liang anus), seperti yang akan diterangkan kemudian.
Abu Razin, Ikrimah, Ad-Dahhak, dan bukan hanya seorang ulama saja telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepada kalian. Maksudnya, dalam keadaan suci dan tidak berhaid. Karena itulah maka pada akhir ayat disebutkan oleh firman-Nya: Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat. Yaitu bertobat dari perbuatan dosa, sekalipun ia melakukan persetubuhannya berkali-kali.… dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri. Yakni orang-orang yang membersihkan dirinya dari kotoran dan penyakit, larangan mendatangi istri yang sedang haid atau mendatangi istri bukan pada tempat (anggota tubuh)nya yang diperkenankan untuk itu.
Tafsir Ayat:
Allah جَلَّ جَلالُهُ mengabarkan tentang pertanyaan mereka mengenai haid, apakah wanita setelah haid kondisinya sama seperti sebelum ia haid? Ataukah haruskah dijauhi secara mutlak sebagai-mana yang dilakukan oleh kaum Yahudi? Maka Allah جَلَّ جَلالُهُ mengabarkan bahwa haid itu adalah kotoran, maka apabila itu adalah kotoran, pastilah merupakan suatu hikmah bahwa Allah melarang dari kotoran itu sendiri. Karena itu Allah berfirman, فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ “Hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid,” artinya, tempat keluarnya haid. Maksudnya, berjimak di kemaluan khususnya, karena hal itu haram hukumnya menurut ijma.’ Pembatasan dengan kata menjauh pada tempat haid menunjukkan bahwa bercumbu dengan istri yang haid, menyentuhnya tanpa berjimak pada kemaluannya adalah boleh, akan tetapi FirmanNya, وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ “Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci,” menunjukkan harusnya meninggalkan mencumbu bagian yang dekat dengan kemaluan, yaitu bagian di antara pusar dan lutut, sebagaimana Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melakukannya, bila beliau akan mencumbu istrinya pada saat istrinya itu sedang haid, beliau me-merintahkan kepadanya untuk memakai kain lalu beliau mencum-bunya.
Batasan waktu menjauhi dan tidak mendekati istri yang haid adalah, حَتَّى يَطْهُرْنَ “sampai mereka suci,” yaitu, darah mereka telah berhenti, maka apabila darah mereka telah berhenti, hilanglah penghalang yang berlaku saat darah masih mengalir.
Syarat kehalalannya ada dua, terputusnya darah, dan mandi suci darinya. Ketika darahnya berhenti, lenyaplah syarat pertama hingga tersisa syarat kedua. Maka oleh karena itu Allah berfirman, فَإِذَا تَطَهَّرْنَ “Apabila mereka telah suci,” maksudnya mereka telah mandi, فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ “maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu,” yaitu pada kemaluan depan dan bukan lubang bagian belakang, karena bagian itulah tempatnya bersenggama.
Ayat ini merupakan dalil atas wajibnya mandi bagi seorang wanita yang haid, dan bahwasanya terputusnya darah adalah syarat sahnya mandi. Dan tatkala larangan tersebut merupakan kasih sayang dari Allah جَلَّ جَلالُهُ kepada hamba-hambaNya dan pemeliharaan dari kotoran, maka Allah berfirman, إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat”, yaitu dari dosa-dosa mereka secara terus menerus, وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ “dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri,” yaitu, yang bersuci dari dosa-dosa, dan ini mencakup segala macam bersuci dari yang bersifat matrial seperti dari najis maupun hadats.
Ayat ini juga menunjukkan disyariatkannya bersuci secara mutlak, karena Allah جَلَّ جَلالُهُ menyukai orang-orang yang bersifat dengannya (yakni yang suka bersuci). Itulah sebabnya, bersuci secara mutlak adalah syarat sahnya Shalat, thawaf dan bolehnya menyentuh mushaf. Juga bersuci secara maknawi seperti (menyucikan diri) dari akhlak-akhlak yang hina, sifat-sifat yang rendah, dan perbuatan-perbuatan yang kotor.
Pada ayat ini Allah memberi tuntunan perihal aturan-aturan dalam menjalin hubungan suami-istri. Dan mereka, para sahabat, menanyakan kepadamu, wahai nabi Muhammad, tentang haid. Pertanyaan ini diajukan para sahabat ketika melihat pria-pria yahudi menghindari istri mereka dan tidak mau makan bersama mereka ketika sedang haid, bahkan mereka pun menempatkan para istri di rumah yang berbeda. Ayat ini kemudian turun untuk menginformasikan apa yang harus dilakukan oleh suami ketika istrinya sedang haid. Katakanlah, wahai rasulullah, bahwa haid itu adalah sesuatu, yakni darah yang keluar dari rahim wanita, yang kotor karena aromanya tidak sedap, tidak menyenangkan untuk dilihat, dan menimbulkan rasa sakit pada diri wanita. Karena itu jauhilah dan jangan bercampur dengan istri pada waktu haid. Dan jangan kamu dekati mereka untuk bercampur bersamanya sebelum mereka suci dari darah haidnya, kecuali bersenang-senang selain di tempat keluarnya darah. Apabila mereka telah suci dari haid dan mandi maka campurilah mereka sesuai dengan ketentuan yang diperintahkan Allah kepadamu jika kamu ingin bercampur dengan mereka. Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dari segala kesalahan yang diperbuatnya dan menyukai orang yang menyucikan diri dari kotoran lahiriah dengan mandi atau wudu. Istri-istrimu adalah ibarat ladang bagimu tempat kamu menanam benih. Karena itu, maka datangilah ladangmu itu untuk menyemai benih kapan saja kamu suka kecuali bila istrimu sedang haid, dan dengan cara yang kamu sukai, asalkan arah yang dituju adalah satu, yaitu farji. Dan utamakanlah hubungan suami istri itu untuk tujuan yang baik untuk dirimu demi kemaslahatan dunia dan akhirat, bukan sekadar melampiaskan nafsu. Bertakwalah kepada Allah dalam menjalin hubungan suami-istri, dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya untuk menerima imbalan atas amal perbuatanmu selama di dunia. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang yang beriman yang imannya dapat mengantar mereka mematuhi tuntunan-tuntunan ilahi.
Al-Baqarah Ayat 222 Arab-Latin, Terjemah Arti Al-Baqarah Ayat 222, Makna Al-Baqarah Ayat 222, Terjemahan Tafsir Al-Baqarah Ayat 222, Al-Baqarah Ayat 222 Bahasa Indonesia, Isi Kandungan Al-Baqarah Ayat 222
Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat: 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | 21 | 22 | 23 | 24 | 25 | 26 | 27 | 28 | 29 | 30 | 31 | 32 | 33 | 34 | 35 | 36 | 37 | 38 | 39 | 40 | 41 | 42 | 43 | 44 | 45 | 46 | 47 | 48 | 49 | 50 | 51 | 52 | 53 | 54 | 55 | 56 | 57 | 58 | 59 | 60 | 61 | 62 | 63 | 64 | 65 | 66 | 67 | 68 | 69 | 70 | 71 | 72 | 73 | 74 | 75 | 76 | 77 | 78 | 79 | 80 | 81 | 82 | 83 | 84 | 85 | 86 | 87 | 88 | 89 | 90 | 91 | 92 | 93 | 94 | 95 | 96 | 97 | 98 | 99 | 100 | 101 | 102 | 103 | 104 | 105 | 106 | 107 | 108 | 109 | 110 | 111 | 112 | 113 | 114 | 115 | 116 | 117 | 118 | 119 | 120 | 121 | 122 | 123 | 124 | 125 | 126 | 127 | 128 | 129 | 130 | 131 | 132 | 133 | 134 | 135 | 136 | 137 | 138 | 139 | 140 | 141 | 142 | 143 | 144 | 145 | 146 | 147 | 148 | 149 | 150 | 151 | 152 | 153 | 154 | 155 | 156 | 157 | 158 | 159 | 160 | 161 | 162 | 163 | 164 | 165 | 166 | 167 | 168 | 169 | 170 | 171 | 172 | 173 | 174 | 175 | 176 | 177 | 178 | 179 | 180 | 181 | 182 | 183 | 184 | 185 | 186 | 187 | 188 | 189 | 190 | 191 | 192 | 193 | 194 | 195 | 196 | 197 | 198 | 199 | 200 | 201 | 202 | 203 | 204 | 205 | 206 | 207 | 208 | 209 | 210 | 211 | 212 | 213 | 214 | 215 | 216 | 217 | 218 | 219 | 220 | 221 | 222 | 223 | 224 | 225 | 226 | 227 | 228 | 229 | 230 | 231 | 232 | 233 | 234 | 235 | 236 | 237 | 238 | 239 | 240 | 241 | 242 | 243 | 244 | 245 | 246 | 247 | 248 | 249 | 250 | 251 | 252 | 253 | 254 | 255 | 256 | 257 | 258 | 259 | 260 | 261 | 262 | 263 | 264 | 265 | 266 | 267 | 268 | 269 | 270 | 271 | 272 | 273 | 274 | 275 | 276 | 277 | 278 | 279 | 280 | 281 | 282 | 283 | 284 | 285 | 286
Raih pahala amal jariyah dengan cara membagikan (share) konten ini kepada yang lainnya. Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه
"Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)