{1} Al-Fatihah / الفاتحة | الْقُرْآنُ الْكَرِيْمُ | آل عمران / Ali ‘Imran {3} |
Tafsir Al-Qur’an Surat Al-Baqarah البقرة (Sapi Betina) lengkap dengan tulisan arab latin, arti dan terjemah Bahasa Indonesia. Surah ke 2 Tafsir ayat Ke 228.
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ ۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا ۚ وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ ﴿٢٢٨﴾
wal-muṭallaqātu yatarabbaṣna bi`anfusihinna ṡalāṡata qurū`, wa lā yaḥillu lahunna ay yaktumna mā khalaqallāhu fī ar-ḥāmihinna ing kunna yu`minna billāhi wal-yaumil-ākhir, wa bu’ụlatuhunna aḥaqqu biraddihinna fī żālika in arādū iṣlāḥā, wa lahunna miṡlullażī ‘alaihinna bil-ma’rụfi wa lir-rijāli ‘alaihinna darajah, wallāhu ‘azīzun ḥakīm
QS. Al-Baqarah [2] : 228
Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh bagi mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahim mereka, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan para suami mereka lebih berhak kembali kepada mereka dalam (masa) itu, jika mereka menghendaki perbaikan. Dan mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut. Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.
Wanita-wanita yang ditalak mereka masih aktif haid wajib menunggu tanpa menikah setelah talak jatuh selama tiga kali suci atau tiga kali haid sebagai kewajiban iddah atas mereka, agar mereka bisa memastikan bebasnya rahim dari janin. Tidak boleh bagi mereka selama masa tersebut menikah dengan laki-laki lain. Tidak halal bagi mereka menyembunyikan haid atau kehamilan yang Allah ciptakan dalam rahim mereka, bila wanita-wanita tersebut adalah wanita-wanita yang beriman dengan sebenar-benar iman kepada Allah dan hari akhir. Para suami yang telah mentalak mereka lebih berhak untuk merujuk mereka selama masa iddah, dan hal itu patut dilakukan dengan maksud melakukan perbaikan dan kebaikan, bukan dengan niat merugikan atau menyiksa mereka dengan memperpanjang masa iddah mereka. Para istri mempunyai hak-hak atas suami seperti kewajiban mereka dengan cara yang ma’ruf, namun kaum laki-laki tetap mempunyai kedudukan lebih atas kaum wanita dari kebaikan bermuamalah, pergaulan dengan cara yang baik dan qiwamah (pemimpin) terhadap rumah tangga serta kepemilikan hak talak. Allah Mahaperkasa, pemilik kemuliaan yang jelas, Mahabijaksana dengan meletakkan segala sesuatu di tempatnya yang patut.
Allah memerintahkan kepada wanita-wanita yang diceraikan dan telah dicampuri, sedangkan mereka mempunyai masa quru’, hendaklah mereka menunggu selama tiga kali quru’. Yakni salah seorang dari mereka yang dicerai oleh suaminya melakukan idahnya selama tiga kali quru’, kemudian kawin jika menghendaki.
Para imam yang empat orang mengecualikan keumuman makna ayat ini, yaitu berkenaan dengan budak wanita apabila diceraikan. Maka sesungguhnya dia melakukan idahnya hanya selama dua kali quru’, mengingat segala sesuatunya adalah separo dari wanita yang merdeka, sedangkan quru’ tidak dapat dipecahkan, maka digenapkanlah baginya dua kali quru’. Seperti apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Muzahir ibnu Aslam Al-Makhzumi Al-Madani, dari Al-Qasim, dari Siti Aisyah, bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda:
Bilangan talak budak perempuan adalah dua kali talak, dan idahnya adalah dua kali haid.
Hadis diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Imam Ibnu Majah, tetapi Muzahir ini berpredikat daif sama sekali. Al-Hafiz Ad-Daruqutni mengatakan, begitu pula yang lainnya, bahwa yang benar ialah hadis ini merupakan ucapan Al-Qasim ibnu Muhammad sendiri. Tetapi Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melalui jalur Atiyyah Al-Aufi, dari Ibnu Umar secara marfu. Imam Daruqutni mengatakan bahwa yang benar apa yang diriwayatkan oleh Salim dan Nafi’, dari Ibnu Umar adalah perkataan Ibnu Umar sendiri (yakni mauquf, bukan marfu’). Hal yang sama diriwayatkan pula dari Umar ibnul Khattab.
Para ulama mengatakan, belum pernah diketahui adanya perbedaan pendapat di kalangan para sahabat mengenai masalah ini. Sebagian ulama Salaf mengatakan, bahkan idah budak perempuan itu sama dengan wanita merdeka, mengingat keumuman makna ayat di atas (Al Baqarah:228). Mengingat masalah ini merupakan hal yang bersifat pembawaan, maka tidak ada perbedaan antara wanita yang merdeka dan budak wanita. Pendapat ini diriwayatkan oleh Syekh Abu Umar ibnu Abdul Barr dari Muhammad ibnu Sirin dan sebagian penganut mazhab Zahiri, tetapi Abu Umar menilainya daif.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abul Yaman, telah menceritakan kepada kami Ismail (yakni Ibnu Ayyasy), dari Amr ibnu Muhajir, dari ayahnya, bahwa Asma (anak perempuan Yazid ibnus Sakan Al-Ansariyah) telah menceritakan hadis berikut: Ia pernah diceraikan di masa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, sedangkan saat itu masih belum ada idah bagi wanita yang diceraikan. Maka Allah menurunkan firman-Nya-ketika Asma ditalak, yakni firman yang menerangkan tentang idah wanita yang diceraikan. Dengan demikian, Asma merupakan wanita pertama yang diturunkan berkenaan dengannya masalah idah wanita yang diceraikan. Yang dimaksud adalah firman-Nya: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.
Hadis ini garib bila ditinjau dari segi (jalur) ini.
Ulama Salaf dan Khalaf serta para imam berbeda pendapat tentang makna yang dimaksud dari istilah quru’. Apakah makna yang sebenarnya? Ada dua pendapat mengenainya, yaitu:
Pendapat pertama. Yang dimaksud dengan istilah quru’ ialah masa suci.
Imam Malik mengatakan di dalam kitab Muwatta’-nya, dari Ibnu Syihab, dari Urwah, dari Siti Aisyah, bahwa Hafsah binti Abdur Rahman ibnu Abu Bakar pindah ketika memasuki darah haid-nya yang ketiga kali (yakni pindah ke rumah suaminya). Ketika hal tersebut diceritakan kepada Umrah binti Abdur Rahman, ia mengatakan bahwa Urwah benar dalam kisahnya. Akan tetapi, ada sejumlah ulama yang membantah, mereka mengatakan bahwa sesungguhnya Allah telah berfirman di dalam Kitab-Nya: tiga kali quru’. (Al Baqarah:228) Maka Aisyah berkata, “Kalian memang benar, tetapi tahukah kalian apa yang dimaksud dengan quru” Sesungguhnya yang dimaksud dengan istilah quru’ ialah masa suci.”
Imam Malik meriwayatkan pula dari Ibnu Syihab, bahwa ia pernah mendengar Abu Bakar ibnu Abdur Rahman mengatakan, “Aku belum pernah menjumpai seorang pun dari kalangan ahli fiqih kami melainkan ia mengatakan hal yang sama (yakni quru’ adalah masa suci).” Yang dimaksud ialah sama dengan apa yang dikatakan oleh Aisyah.
Imam Malik meriwayatkan pula dari Nafi’, dari Abdullah ibnu Umar, bahwa ia pernah mengatakan, “Apabila seorang lelaki menceraikan istrinya, lalu si istri memasuki masa haidnya yang ketiga, berarti dia telah terlepas dari suaminya dan suaminya terlepas darinya.” Selanjutnya Imam Malik mengatakan, “Memang demikianlah yang berlaku di kalangan kami.”
Hal yang semisal telah diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas, Zaid ibnu Sabit, Salim, Al-Qasim, Urwah, Sulaiman ibnu Yasar, Abu Bakar ibnu Abdur Rahman, Aban ibnu Usman, Ata ibnu Abu Rabah, Qatadah, dan Az-Zuhri serta tujuh orang ahli fiqih lainnya. Pendapat inilah yang dipegang oleh mazhab Maliki, mazhab Syafii, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang, serta Daud dan Abu Saur. Pendapat ini sama dengan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.
Mereka mengatakan demikian berdalilkan firman-Nya:
Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar). (At-Talaq: 1)
Yakni di masa sucinya. Juga karena mengingat masa suci waktu si suami menjatuhkan talak padanya terhitung, maka hal ini menunjukkan bahwa masa suci merupakan salah satu quru’ yang tiga yang d-perintahkan bagi si istri untuk menjalaninya. Karena itulah mereka mengatakan bahwa sesungguhnya wanita yang ada dalam idahnya, masa idahnya habis dan terpisah dari suaminya bila ia memasuki masa haidnya yang ketiga.
Batas minimal masa yang di jalani oleh seorang istri hingga masa idahnya habis ialah tiga puluh dua hari dan dua lahzah.
Pendapat kedua. Yang dimaksud dengan quru’ ialah masa haid.
Karena itu, menurut pendapat ini seorang istri masih belum habis masa idahnya sebelum bersuci dari haid yang ketiga kalinya. Ulama lainnya menambahkan harus mandi terlebih dahulu dari haidnya.
Batas minimal waktu yang di jalani oleh seorang wanita hingga sampai habis masa idahnya adalah tiga puluh tiga hari dan satu lahzah.
As-Sauri meriwayatkan dari Mansur, dari Ibrahim, dari Alqamah yang menceritakan, “Kami pernah berada di hadapan Khalifah Umar ibnu Khattab r.a. Lalu datang kepadanya seorang wanita dan berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya suamiku telah menceraikan aku selama sekali atau dua kali haid. Lalu ia datang kepadaku, sedangkan aku telah melepaskan bajuku dan pintuku telah kututup.’ Maka Umar berkata kepada Abdullah ibnu Mas’ud, ‘Menurut pendapatku, dia telah menjadi istrinya, hanya salat masih belum dihalalkan baginya.’ Ibnu Mas’ud berkata, ‘Aku pun berpendapat demikian’.”
Demikian pula hal yang diriwayatkan dari Abu Bakar As-Siddiq, Umar, Usman, Ali, Abu Darda, Ubadah ibnus Samit, Anas ibnu Malik, Ibnu Mas’ud, Mu’az, Ubay ibnu Ka’b, Abu Musa Al-Asy’ari, Ibnu Abbas, Sa’id ibnul Musayyab, Alqamah, Al-Aswad, Ibrahim, Mujahid, Ata, Tawus, Sa’id ibnu Jubair, Ikrimah, Muhammad ibnu Sirin, Al-Hasan, Qatadah, Asy-Sya’bi, Ar-Rabi’, Muqatil ibnu Hayyan, As-Saddi, Makhul, Ad-Dahhak, dan Ata Al-Khurrasani. Mereka semua mengatakan bahwa quru’ artinya haid.
Pendapat ini merupakan mazhab Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya, dan sebuah riwayat dari Imam Ahmad ibnu Hambal yang paling sahih di antara kedua riwayatnya. Al-Asram meriwayatkan darinya, bahwa ia (Imam Ahmad) pernah mengatakan, “Para pembesar sahabat Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengatakan bahwa quru’ artinya haid.”
Pendapat inilah yang dipegang oleh mazhab As-Sauri, Al-Auza’i, ibnu Abu Laila, Ibnu Syabramah, Al-Hasan ibnu Saleh ibnu Hay, Abu Ubaid, dan Ishaq Ibnu Rahawaih.
Pendapat ini diperkuat oleh sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Nasai melalui jalur Al-Munzir ibnul Mugirah, dari Urwah ibnuz Zubair, dari Fatimah binti Abu Hubaisy, bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah bersabda kepadanya:
Tinggalkanlah salat dalam hari-hari quru’-mu (haidmu).
Seandainya disebutkan dengan jelas bahwa quru’ artinya haid, maka hal ini lebih sahih, tetapi Al-Munzir (salah seorang perawinya) disebutkan oleh Ibnu Abu Hatim sebagai perawi yang majhul (tak dikenal) lagi tidak masyhur. Ibnu Hibban menyebutkannya di dalam kitab As-Siqat.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa asal quru’ di dalam percakapan orang-orang Arab menunjukkan pengertian waktu bagi kedatangan suatu hal yang telah menjadi kebiasaan kedatangannya, lagi dalam waktu yang telah dimaklumi, juga kepada kepergian sesuatu hal yang biasa kepergiannya dalam waktu yang telah dimaklumi. Ungkapan ini menunjukkan pengertian yang bersekutu antara haid dan suci. Pendapat inilah yang dipegang oleh sebagian ulama Usul.
Menurut Al-Asmu’i, quru’ artinya waktu. Abu Amr ibnul Ala mengatakan bahwa orang-orang Arab menamakan haid dengan sebutan quru’, begitu pula masa suci. Dengan kata lain, haid dan suci dinamakan quru’.
Syekh Abu Umar ibnu Abdul Barr mengatakan, tidak ada perselisihan pendapat di kalangan ulama bahasa dan ahli fiqih, bahwa yang dimaksud dengan quru’ ialah haid dan suci, dan sesungguhnya mereka hanya berselisih pendapat tentang makna yang dimaksud dari ayat ini, yaitu terdiri atas dua pendapat.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya.
Yakni kandungan atau masa haidnya. Demikianlah menurut apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Mujahid, Asy-Sya’bi, Al-Hakam ibnu Uyaynah, Ar-Rabi’ ibnu Anas, dan Ad-Dahhak serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
…jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat.
Ayat ini mengandung makna ancaman yang ditujukan kepada mereka jika mereka menentang perkara yang hak. Hal ini menunjukkan bahwa segala sesuatunya dalam masalah ini dikembalikan kepada pihak wanita, karena hal ini tidak dapat diketahui kecuali dari pihak mereka sendiri, dan sulit untuk menegakkan bayyinah (bukti) pada kebanyakannya untuk membuktikan hal tersebut. Karena itu, segala sesuatu di-kembalikan kepada mereka. Lalu mereka diancam oleh ayat ini agar jangan sekali-kali mereka memberitahukan kecuali hanya kebenaran belaka, mengingat adakalanya pihak wanita mau mempercepat masa idahnya atau berkeinginan memperpanjang masa idahnya karena ada maksud-maksud tertentu. Karena itulah seorang istri diperintahkan agar menceritakan hal yang sebenarnya dalam hal ini tanpa menambah-nambahi atau mengurangi.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Dan suaminya lebih berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki islah.
Maksudnya, suami yang menceraikannya lebih berhak untuk merujukinya selagi ia masih berada dalam idahnya, jika tujuan rujuk itu adalah untuk perdamaian dan kebaikan. Hal ini berlaku bagi wanita-wanita yang ditalak raj’i. Adapun bagi wanita-wanita yang diceraikan secara bain, maka di saat turunnya ayat ini belum ada yang namanya talak bain. Talak bain baru ada setelah dibatasi sampai tiga kali.
Adapun di saat ayat ini diturunkan, maka seorang lelaki lebih berhak merujuk istrinya, sekalipun ia telah menceraikannya sebanyak seratus kali. Ketika mereka dibatasi oleh ayat sesudahnya hanya tiga kali talak, maka baru muncul di kalangan orang-orang ada wanita yang ditalak bain dan yang bukan talak bain (talak raj’i).
Apabila Anda renungkan masalah ini, maka tampak jelas bagi Anda kelemahan metode yang ditempuh oleh sebagian ulama Usul, yaitu mereka yang menyimpulkan dalil dari ayat ini tentang masalah kembalinya damir yang ada padanya. Dengan kata lain, apakah damir tersebut men-takhsis pengertian lafaz umum yang sebelumnya ataukah tidak? Karena sesungguhnya tamsil yang ada pada ayat ini bersifat tidak mutlak seperti apa yang mereka sebutkan.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf.
Yakni para wanita mempunyai hak atas suami mereka seimbang dengan hak yang ada pada para lelaki atas diri mereka. Karena itu, hendaklah masing-masing pihak dari keduanya menunaikan apa yang wajib ia tunaikan kepada pihak lain dengan cara yang makruf.
Seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahih Muslim, dari Jabir, bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda dalam haji wada’nya:
Maka bertakwalah kalian kepada Allah dalam masalah wanita, karena sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan amanat dari Allah, dan kalian halalkan farji mereka dengan kalimat Allah. Maka bagi kalian atas mereka hendaknya mereka tidak mengizinkan seorang lelaki yang kalian benci menginjak permadani (rumah) kalian. Dan jika mereka mengizinkan hal tersebut, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai, dan bagi mereka pangan dan sandangnya secara makruf.
Di dalam hadis Bahz ibnu Hakim, dari Mu’awiyah ibnu Haidah Al-Qusyairi, dari ayahnya, dari kakeknya, disebutkan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, “Wahai Rasulullah, apakah hak istri seseorang di antara kami?” Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjawab:
Hendaknya kamu memberi makan dia jika kamu makan, memberi pakaian kepadanya jika kamu berpakaian, dan janganlah kamu memukul wajah, jangan pula berkata-kata buruk serta jangan pula mengisolasinya kecuali di dalam lingkungan rumah.
Waki’ meriwayatkan dari Basyir ibnu Sulaiman, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, “Sesungguhnya aku benar-benar suka berhias diri untuk istri, sebagaimana si istri suka berhias untukku.” Ibnu Abbas mengatakan demikian karena Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى telah berfirman: Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. (Al Baqarah:228)
Asar ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya.
Yakni keutamaan dalam hal pembawaan, akhlak, kedudukan, taat pada perintah, berinfak, mengerjakan semua kepentingan, dan keutamaan di dunia serta akhirat. Seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (An Nisaa:34)
Adapun firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.
Yakni Mahaperkasa dalam pembalasan-Nya terhadap orang yang durhaka kepada-Nya dan menentang perintah-Nya, lagi Mahabijaksana dalam perintah, syariat, dan takdir-Nya.
Tafsir Ayat:
Maksudnya, wanita-wanita yang ditalak oleh suami-suami mereka, يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ “hendaklah menahan diri (menunggu),” artinya, hendaklah mereka menunggu dan menjalani iddah selama ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ “tiga kali quru`,” yaitu haid atau suci menurut perbedaan pendapat para ulama tentang maksud dari quru` tersebut, dan yang benar bahwa quru` itu adalah haid.
Iddah ini memiliki beberapa hikmah, di antaranya adalah mengetahui kosongnya rahim, yaitu apabila telah berulang-ulang tiga kali haid padanya, maka diketahui bahwa dalam rahimnya tidak terjadi kehamilan hingga tidak akan membawa kepada tercampurnya nasab. Karena itu, Allah mewajibkan atas mereka untuk memberitahu tentang مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ “apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya,” dan Allah mengharamkan bagi mereka menyembunyikan hal itu, baik kehamilan maupun haid, karena menyembunyikan hal itu akan menyebabkan kemudaratan yang sangat banyak.
Menyembunyikan kehamilan berkonsekuensi dinasabkannya janin kepada orang yang bukan haknya, yang boleh jadi tidak menginginkannya, atau demi mempercepat habisnya masa iddah. Apabila diikutkan (dinasabkan) kepada selain bapaknya, niscaya tali rahimnya terputus dari keluarga, juga warisan, dan mahram-mahram dan karib kerabatnya terhalang darinya, dan bisa saja suatu saat ia menikahi salah seorang dari mahramnya dan dinasabkan kepada selain ayahnya dan tetapnya hal-hal yang mengikutinya seperti warisan darinya atau untuknya. Dan orang yang menjadikan seorang yang dinisbatkan kepadanya itu sebagai karib kerabatnya, di mana dalam hal itu terjadi keburukan dan kerusakan yang tidak diketahui kecuali oleh Rabb manusia. Semua mudarat itu akan terjadi kalau ia tinggal bersama laki-laki yang menikahinya secara batil, di mana dalam hal itu juga ada perbuatan dosa besar secara terus menerus yaitu zina, maka itu saja cukup sebagai suatu keburukan.
Adapun menyembunyikan haid, apabila ia mempercepat (waktu sucinya) lalu ia mengabarkannya, padahal ia dusta, maka itu tindakan menghilangkan hak suami darinya dan halalnya dirinya untuk selain suaminya dan segala hal yang disebabkan olehnya dari keburukan sebagaimana yang telah kami sebutkan. Dan jika ia berdusta dan mengabarkan bahwa ia tidak haid untuk menambah panjang masa iddahnya untuk dapat mengambil nafkah dari suaminya yang tidak wajib atasnya, akan tetapi dia hanya ingin terus mendapatkannya, maka nafkah itu haram dari dua sisi: Bahwa nafkah yang diambilnya itu bukanlah haknya, dan menisbatkan hal itu menjadi bagian hukum syariat padahal ia berdusta, dan kemungkinan saja suaminya rujuk kepadanya setelah habis masa iddahnya hingga hal itu menjadi sebuah tindakan perzinaan, karena kondisinya telah menjadi wanita asing (ajnabiyah) baginya. Karena itu Allah جَلَّ جَلالُهُ berfirman, وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ “Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan Hari Akhir.”
Terjadinya tindakan menyembunyikan (haid dan kehamilan) dari mereka adalah sebuah dalil atas tidak adanya iman mereka kepada Allah dan Hari Akhir, dan bila tidak atau sekiranya mereka beriman kepada Allah dan Hari Akhir dan mereka mengetahui bahwa mereka pasti diberikan balasan dari amalan-amalan mereka, niscaya tidak akan terjadi pada mereka sesuatu pun dari hal itu. Ayat ini juga dalil atas diterimanya informasi dari seorang wanita tentang kabar yang mereka informasikan tentang diri mereka dari perkara yang tidak diketahui oleh selain mereka seperti kehamilan, haid, dan lain sebagainya.
Kemudian Allah berfirman, وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ “Dan suami-suaminya lebih berhak merujukinya dalam masa menanti itu,” artinya, untuk suami-suami mereka selama mereka masih menunggu masa iddah agar suami mereka mengembalikan mereka kepada perni-kahan (awal), إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا “jika mereka (para suami) menghendaki ishlah,” yaitu keinginan, kelembutan, dan cinta kasih.
Makna ayat ini adalah bahwasanya bila mereka tidak meng-inginkan perbaikan, maka mereka tidaklah berhak kembali kepada pernikahan dengan istri mereka, sehingga tidaklah halal bagi me-reka kembali kepada istri-istri mereka dengan maksud menimbul-kan mudarat bagi mereka dan memperpanjang lagi masa iddahnya. Apakah suami memiliki hak dengan maksud yang seperti itu? Dalam masalah ini ada dua pendapat:
Kebanyakan para ulama berpendapat bahwa ia memiliki hak tetapi hukumnya haram. Yang shahih adalah apabila ia tidak menghendaki perbaikan, maka ia tidak memiliki hak sebagaimana zahir redaksi ayat tersebut. Ini adalah hikmah lain dari masa me-nunggu tersebut, yaitu bahwa mungkin saja suaminya menyesal berpisah dengannya hingga masa iddah ini dijadikan waktu untuk berpikir matang dan memutuskan ketetapannya. Ini menunjukkan kepada kecintaan Allah c kepada adanya kasih sayang di antara kedua suami istri dan kebencianNya terhadap perpisahan sebagai-mana Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda,
أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللّٰهِ الطَّلَاقُ.
“Perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak.” (H.R. Abu Dawud no. 2178, Ibnu Majah no. 2018 al-Hakim 2/196)
Ini adalah khusus pada talak satu dan dua (thalaq raj’i), ada-pun talak ketiga, maka seorang suami tidak berhak untuk kembali kepada istrinya yang telah ditalak, namun bila mereka berdua sepakat untuk kembali bersama, maka harus melakukan akad yang baru yang terpenuhi syarat-syaratnya.
Kemudian Allah berfirman, وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” Maksudnya, para wanita memiliki hak yang wajib atas suami-suami mereka sebagaimana para suami memiliki hak yang wajib maupun yang sunnah atas mereka, dan patokan bagi hak-hak di antara suami istri adalah pada yang ma’ruf yaitu menurut adat yang berlaku pada negeri tersebut dan pada masa itu dari wanita yang setara untuk laki-laki yang setara, dan hal itu berbeda sesuai dengan perbedaan waktu, tempat, kondisi, orang dan kebiasaan. Di sini terdapat dalil bahwa nafkah, pakaian, pergaulan, dan tempat tinggal, demikian juga berjimak, semua itu kembali kepada yang ma’ruf, dan ini juga merupakan konsekuensi dari akad yang mutlak, adapun bila dengan syarat, maka menurut syarat tersebut kecuali syarat yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ “Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan lebih daripada istrinya,” artinya, ketinggian, kepemimpinan, dan hak yang lebih atas dirinya, sebagaimana Allah berfirman,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisa`: 34).
Kedudukan kenabian, kehakiman, imam masjid (shalat), maupun kekhalifahan, serta segala kekuasaan adalah khusus bagi laki-laki, dan juga mempunyai hak dua kali lipat dari hak kaum wanita dalam banyak perkara seperti warisan dan semacamnya.
وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ “Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” Mak-sudnya, Allah memiliki keperkasaan yang kuat dan kekuasaan yang agung, di mana segala sesuatu tunduk kepadaNya. Akan tetapi bersama keperkasaanNya Allah juga bijaksana dalam segala tindakanNya.
Dan tidak termasuk dalam keumuman ayat ini adalah wanita-wanita hamil, karena iddah mereka adalah melahirkan bayinya, dan wanita-wanita yang belum dicampuri suaminya, mereka tidak memiliki iddah, juga hamba sahaya, karena iddah mereka adalah dua haid sebagaimana perkataan sahabat radhiallahu ‘anhu, sedangkan konteks ayat menunjukkan bahwa yang dimaksud di sana adalah wanita yang merdeka.
Setelah menjelaskan masalah perempuan yang ditalak suaminya, berikut ini Allah menjelaskan idah mereka. Dan para istri yang diceraikan bila sudah pernah dicampuri, belum menopause, dan tidak sedang hamil, wajib menahan diri mereka menunggu selama tiga kali quru, yaitu tiga kali suci atau tiga kali haid. Tenggang waktu ini bertujuan selain untuk membuktikan kosong-tidaknya rahim dari janin, juga untuk memberi kesempatan kepada suami menimbang kembali keputusannya. Tidak boleh bagi mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahim mereka, baik berupa janin, haid, maupun suci yang dialaminya selama masa idah. Ketentuan di atas akan mereka laksanakan dengan baik jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan para suami mereka berhak menjatuhkan pilihannya untuk kembali kepada istri mereka dalam masa idah itu, jika mereka menghendaki perbaikan hubungan suami-istri yang sedang mengalami keretakan tersebut. Dan mereka, para perempuan, mempunyai hak seimbang yang mereka peroleh dari suaminya dengan kewajibannya yang harus mereka tunaikan menurut cara yang patut sesuai tugas dan tanggung jawab masing-masing. Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka. 3 yaitu derajat kepemimpinan karena tanggung jawab terhadap keluarganya. Allah mahaperkasa atas orang-orang yang mendurhakai aturan-aturan yang telah ditetapkan, mahabijaksana dalam menetapkan aturan dan syariat-Nyatalak yang memungkinkan suami untuk merujuk istrinya itu dua kali. Setelah talak itu jatuh, suami dapat menahan untuk merujuk istrinya dengan baik atau melepaskan dengan menjatuhkan talak yang ketiga kalinya dengan baik tanpa boleh kembali lagi sesudahnya. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka seperti maskawin, hadiah, atau pemberian lainnya, kecuali keduanya khawatir tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah karena tidak ada kecocokan. Jika kamu, para wali, khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah dalam berumah tangga, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang harus diberikan oleh istri berupa maskawin yang pernah ia terima dari suaminya sebagai pengganti untuk menebus dirinya. 4 itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggar ketetapan Allah berupa perintah dan larangannya. Barang siapa melanggar hukum-hukum Allah yang telah ditetapkan maka mereka itulah orang-orang zalim yang menganiaya diri sendiri. Talak yang masih memungkinkan suami untuk merujuk istrinya hanya dua kali, dan disebut talak raj’i. Suami tidak boleh meminta kembali pemberian yang sudah diberikan kepada istrinya bila telah bercerai. Suami bahkan dianjurkan menambah lagi pemberiannya sebagai mutah untuk menjamin hidup istrinya itu di masa depan. 3
Al-Baqarah Ayat 228 Arab-Latin, Terjemah Arti Al-Baqarah Ayat 228, Makna Al-Baqarah Ayat 228, Terjemahan Tafsir Al-Baqarah Ayat 228, Al-Baqarah Ayat 228 Bahasa Indonesia, Isi Kandungan Al-Baqarah Ayat 228
Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat: 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | 21 | 22 | 23 | 24 | 25 | 26 | 27 | 28 | 29 | 30 | 31 | 32 | 33 | 34 | 35 | 36 | 37 | 38 | 39 | 40 | 41 | 42 | 43 | 44 | 45 | 46 | 47 | 48 | 49 | 50 | 51 | 52 | 53 | 54 | 55 | 56 | 57 | 58 | 59 | 60 | 61 | 62 | 63 | 64 | 65 | 66 | 67 | 68 | 69 | 70 | 71 | 72 | 73 | 74 | 75 | 76 | 77 | 78 | 79 | 80 | 81 | 82 | 83 | 84 | 85 | 86 | 87 | 88 | 89 | 90 | 91 | 92 | 93 | 94 | 95 | 96 | 97 | 98 | 99 | 100 | 101 | 102 | 103 | 104 | 105 | 106 | 107 | 108 | 109 | 110 | 111 | 112 | 113 | 114 | 115 | 116 | 117 | 118 | 119 | 120 | 121 | 122 | 123 | 124 | 125 | 126 | 127 | 128 | 129 | 130 | 131 | 132 | 133 | 134 | 135 | 136 | 137 | 138 | 139 | 140 | 141 | 142 | 143 | 144 | 145 | 146 | 147 | 148 | 149 | 150 | 151 | 152 | 153 | 154 | 155 | 156 | 157 | 158 | 159 | 160 | 161 | 162 | 163 | 164 | 165 | 166 | 167 | 168 | 169 | 170 | 171 | 172 | 173 | 174 | 175 | 176 | 177 | 178 | 179 | 180 | 181 | 182 | 183 | 184 | 185 | 186 | 187 | 188 | 189 | 190 | 191 | 192 | 193 | 194 | 195 | 196 | 197 | 198 | 199 | 200 | 201 | 202 | 203 | 204 | 205 | 206 | 207 | 208 | 209 | 210 | 211 | 212 | 213 | 214 | 215 | 216 | 217 | 218 | 219 | 220 | 221 | 222 | 223 | 224 | 225 | 226 | 227 | 228 | 229 | 230 | 231 | 232 | 233 | 234 | 235 | 236 | 237 | 238 | 239 | 240 | 241 | 242 | 243 | 244 | 245 | 246 | 247 | 248 | 249 | 250 | 251 | 252 | 253 | 254 | 255 | 256 | 257 | 258 | 259 | 260 | 261 | 262 | 263 | 264 | 265 | 266 | 267 | 268 | 269 | 270 | 271 | 272 | 273 | 274 | 275 | 276 | 277 | 278 | 279 | 280 | 281 | 282 | 283 | 284 | 285 | 286
Raih pahala amal jariyah dengan cara membagikan (share) konten ini kepada yang lainnya. Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه
"Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)