{1} Al-Fatihah / الفاتحة | الْقُرْآنُ الْكَرِيْمُ | آل عمران / Ali ‘Imran {3} |
Tafsir Al-Qur’an Surat Al-Baqarah البقرة (Sapi Betina) lengkap dengan tulisan arab latin, arti dan terjemah Bahasa Indonesia. Surah ke 2 Tafsir ayat Ke 282.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ ۚ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا ۚ فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ ۚ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ ۖ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَىٰ ۚ وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا ۚ وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَىٰ أَجَلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَىٰ أَلَّا تَرْتَابُوا ۖ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا ۗ وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ ۚ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ ۚ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ ﴿٢٨٢﴾
yā ayyuhallażīna āmanū iżā tadāyantum bidainin ilā ajalim musamman faktubụh, walyaktub bainakum kātibum bil-‘adli wa lā ya`ba kātibun ay yaktuba kamā ‘allamahullāhu falyaktub, walyumlilillażī ‘alaihil-ḥaqqu walyattaqillāha rabbahụ wa lā yabkhas min-hu syai`ā, fa ing kānallażī ‘alaihil-ḥaqqu safīhan au ḍa’īfan au lā yastaṭī’u ay yumilla huwa falyumlil waliyyuhụ bil-‘adl, wastasy-hidụ syahīdaini mir rijālikum, fa il lam yakụnā rajulaini fa rajuluw wamra`atāni mim man tarḍauna minasy-syuhadā`i an taḍilla iḥdāhumā fa tużakkira iḥdāhumal-ukhrā, wa lā ya`basy-syuhadā`u iżā mā du’ụ, wa lā tas`amū an taktubụhu ṣagīran au kabīran ilā ajalih, żālikum aqsaṭu ‘indallāhi wa aqwamu lisy-syahādati wa adnā allā tartābū illā an takụna tijāratan ḥāḍiratan tudīrụnahā bainakum fa laisa ‘alaikum junāḥun allā taktubụhā, wa asy-hidū iżā tabāya’tum wa lā yuḍārra kātibuw wa lā syahīd, wa in taf’alụ fa innahụ fusụqum bikum, wattaqullāh, wa yu’allimukumullāh, wallāhu bikulli syai`in ‘alīm
QS. Al-Baqarah [2] : 282
Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan. Dan hendaklah orang yang berutang itu mendiktekan, dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikit pun daripadanya. Jika yang berutang itu orang yang kurang akalnya atau lemah (keadaannya), atau tidak mampu mendiktekan sendiri, maka hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada), agar jika yang seorang lupa, maka yang seorang lagi mengingatkannya. Dan janganlah saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil. Dan janganlah kamu bosan menuliskannya, untuk batas waktunya baik (utang itu) kecil maupun besar. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu kepada ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak menuliskannya. Dan ambillah saksi apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dipersulit dan begitu juga saksi. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sungguh, hal itu suatu kefasikan pada kamu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan mengikuti Rasul-Nya Muhammad, bila kalian bermuamalah dengan hutang untuk jangka waktu tertentu maka tulislah demi menjaga harta dan menepis perselisihan. Hendaknya yang menulis adalah seorang laki-laki yang dipercaya lagi teliti. Hendaknya orang yang telah diajari menulis oleh Allah tidak menolak untuk melakukan hal itu. Hendaknya pihak penghutang mendiktekan hutang yang dipikulnya, merasa diawasi oleh Rabb-nya dan tidak mengurangi hutangnya sedikitpun. Bila pihak penghutang adalah seseorang yang telah mendapatkan vonis tidak boleh bertransaksi karena dia menghambur-hamburkan hartanya atau berfoya-foya, atau dia masih kecil atau orang gila, atau tidak bisa berbicara karena bisu atau tidak mampu berbicara secara sempurna, maka hendaknya walinya yang melakukan hal itu untuknya. Carilah dua orang saksi muslim dewasa dari kalangan orang-orang yang adil. Bila tidak ada dua orang laki-laki, maka terimalah kesaksian satu orang laki-laki dan dua orang wanita yang kalian terima kesaksiannya, sehingga bila salah seorang dari kedua wanita tersebut lupa maka yang lainnya mengingatkannya. Hendaknya para saksi berkenan mengabulkan permintaan siapa yang meminta mereka untuk bersaksi, para saksi juga harus memberikan kesaksiannya bila diminta untuk itu. Jangan merasa jenuh untuk menulis hutang-piutang, besar maupun kecil, sampai waktu yang telah ditentukan, karena hal itu lebih adil dalam syariat Allah dan petunjuk-Nya, lebih membantu dalam menegakkan kesaksian dan menunaikannya, serta lebih menjauhkan kemungkinan terjadinya keragu-raguan terkait dengan jenis hutang, kadar dan waktu pelunasannya. Akan tetapi bila masalahnya adalah jual beli, mengambil barang dan membayar harganya saat itu juga, maka tidak diperlukan penulisan, dianjurkan mengajukan saksi dalam hal ini demi menepis perselisihan dan percekcokan. Di antara kewajiban saksi dan penulis adalah menunaikan kesaksian sebagaimana ia dan penulisan sebagimana yang diperintahkan oleh Allah. Pemilik hak atau pemikul kewajiban tidak boleh menimpakan kesulitan kepada penulis dan saksi, demikian pula penulis dan saksi tidak boleh merugikan pihak yang memerlukan penulisan dan kesaksiannya. Bila kalian melakukan apa yang dilarang, maka hal itu merupakan penyimpangan dari ketaatan kepada Allah dan akibat buruknya akan menimpa kalian sendiri. Takutlah kalian semuanya kepada Allah dalam segala apa yang Dia perintahkan dan Dia larang. Dia mengajarkan kepada kalian segala apa yang bermanfaat di dunia dan akhirat kalian. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, tiada yang samar bagi Allah dari urusan-urusan kalian dan Dia akan membalas kalian sesuai dengan apa yang kalian kerjakan.
Ayat yang mulia ini merupakan ayat yang terpanjang di dalam Al-Qur’an.
Imam Abu Jafar ibnu jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Yunus, dari Ibnu Syihab yang menceritakan bahwa telah menceritakan kepadaku Sa’id ibnul Musayyab, telah sampai kepadanya bahwa ayat Al-Qur’an yang menceritakan peristiwa yang terjadi di Arasy adalah ayat dain (utang piutang).
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Ali ibnu Zaid, dari Yusuf ibnu Mahran, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa tatkala ayat mengenai utang piutang diturunkan, Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda: Sesungguhnya orang yang mula-mula berbuat ingkar adalah Adam a.s. Bahwa setelah Allah menciptakan Adam, lalu Allah mengusap punggung Adam, dan dikeluarkan dari punggungnya itu semua keturunannya hingga hari kiamat, semua keturunannya ditampilkan kepadanya. Lalu Adam melihat di antara mereka seorang lelaki yang kelihatan cemerlang. Maka Adam bertanya, “Wahai Tuhanku, siapakah orang ini?” Allah menjawab, “Dia adalah anakmu Daud.” Adam berkata, “Wahai Tuhanku, berapakah umurnya?” Allah menjawab, “Enam puluh tahun.” Adam berkata, “Wahai Tuhanku, tambahlah usianya.” Allah berfirman, “Tidak dapat, kecuali jika Aku menambahkannya dari usiamu.” Dan tersebutlah bahwa usia Adam (ditakdirkan) selama seribu tahun. Maka Allah menambahkan kepada Daud empat puluh tahun (diambil dari usia Adam). Lalu Allah mencatatkan hal tersebut ke dalam suatu catatan dan dipersaksikan oleh para malaikat. Ketika Adam menjelang wafat dan para malaikat datang kepadanya, maka Adam berkata, “Sesungguhnya masih tersisa usiaku selama empat puluh tahun.” Lalu dikatakan kepadanya, “Sesungguhnya kamu telah memberikannya kepada anakmu Daud.” Adam menyangkal, “Aku tidak pernah melakukannya.” Maka Allah menampakkan kepadanya catatan itu dan para malaikat mempersaksikannya. Telah menceritakan kepada kami Aswad ibnu Amir ibnu Hammad ibnu Salamah, lalu ia menyebutkan hadis ini, tetapi di dalamnya ditambahkan seperti berikut: Maka Allah menggenapkan usia Daud menjadi seratus tahun, dan menggenapkan bagi Adam usia seribu tahun.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, dari Yusuf ibnu Abu Habib, dari Abu Daud At-Tayalisi, dari Hammad ibnu Salamah. Hadis ini garib sekali. Ali ibnu Zaid ibnu Jad’an hadis-hadisnya berpredikat munkar (tidak dapat diterima).
Tetapi hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya dengan lafaz yang semisal dari hadis Al-Haris ibnu Abdur Rahman ibnu Abu Wisab, dari Sa’id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah. Juga dari riwayat Abu Daud ibnu Abu Hind, dari Asy-Sya’bi, dari Abu Hurairah, serta dari jalur Muhammad ibnu Amr, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, juga dari hadis Tammam ibnu Sa’d, dari Zaid ibnu Aslam, dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah, dari Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Lalu Imam Hakim menuturkan hadis yang semisal.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kalian menuliskannya.
Hal ini merupakan petunjuk dari Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى buat hamba-hamba-Nya yang mukmin apabila mereka mengadakan muamalah secara tidak tunai, yaitu hendaklah mereka mencatatkannya, karena catatan itu lebih memelihara jumlah barang dan masa pembayarannya serta lebih tegas bagi orang yang menyaksikannya. Hikmah ini disebutkan dengan jelas dalam akhir ayat, yaitu melalui firman-Nya:
Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan kesaksian dan lebih dekat kepada tidak’ (menimbulkan) keraguan kalian.
Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kalian menuliskannya. (Al Baqarah:282) Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan transaksi salam yang dibatasi dengan waktu tertentu.
Qatadah meriwayatkan dari Abu Hassan Al-A:raj, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, “Aku bersaksi bahwa utang yang dalam tanggungan sampai dengan batas waktu yang tertentu merupakan hal yang dihalalkan dan diizinkan oleh Allah pemberlakuannya.” Kemudian Ibnu Abbas membacakan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan. (Al Baqarah:282)
Demikianlah menurut riwayat Imam Bukhari. Telah ditetapkan di dalam kitab Sahihain melalui riwayat Sufyan ibnu Uyaynah, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Abdullah ibnu Kasir, dari Abul Minhal, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa ketika Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tiba di Madinah, para penduduknya telah terbiasa saling mengutangkan buah-buahan untuk masa satu tahun, dua tahun, sampai tiga tahun. Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda:
Barang siapa yang berutang, maka hendaklah ia berutang dalam takaran yang telah dimaklumi dan dalam timbangan yang telah dimaklumi untuk waktu yang ditentukan.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
…hendaklah kalian menuliskannya.
Melalui ayat ini Allah memerintahkan adanya catatan untuk memperkuat dan memelihara. Apabila timbul suatu pertanyaan bahwa telah ditetapkan di dalam kitab Sahihain dari Abdullah ibnu Umar yang menceritakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah bersabda:
Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi (buta huruf), kami tidak dapat menulis dan tidak pula menghitung.
Maka bagaimanakah menggabungkan pengertian antara hadis ini dan perintah mengadakan tulisan (catatan)?
Sebagai jawabannya dapat dikatakan bahwa utang piutang itu bila dipandang dari segi hakikatnya memang tidak memerlukan catatan pada asalnya. Dikatakan demikian karena Kitabullah telah dimudahkan oleh Allah untuk dihafal manusia, demikian pula sunnah-sunnah, semuanya dihafal dari Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Hal yang diperintahkan oleh Allah untuk dicatat hanyalah masalah-masalah rinci yang biasa terjadi di antara manusia. Maka mereka diperintahkan untuk melakukan hal tersebut dengan perintah yang mengandung arti petunjuk, bukan perintah yang berarti wajib seperti yang dikatakan oleh sebagian ulama.
Ibnu Juraij mengatakan, “Barang siapa yang melakukan transaksi utang piutang, hendaklah ia mencatatnya, dan barang siapa yang melakukan jual beli, hendaklah ia mengadakan persaksian.
Qatadah mengatakan, disebutkan kepada kami bahwa Abu Sulaiman Al-Mur’isyi (salah seorang yang berguru kepada Ka’b) mengatakan kepada teman-teman (murid-murid)nya, “Tahukah kalian tentang seorang yang teraniaya yang berdoa kepada Tuhannya, tetapi doanya tidak dikabulkan?” Mereka menjawab, “Mengapa bisa demikian?” Abu Sulaiman berkata, “Dia adalah seorang lelaki yang menjual suatu barang untuk waktu tertentu, tetapi ia tidak memakai saksi dan tidak pula mencatatnya. Ketika tiba masa pembayarannya, ternyata si pembeli mengingkarinya. Lalu ia berdoa kepada Tuhannya, tetapi doanya tidak dikabulkan. Demikian itu karena dia telah berbuat durhaka kepada Tuhannya (tidak menuruti perintah-Nya yang menganjurkannya untuk mencatat atau mempersaksikan hal itu).”
Abu Sa’id, Asy-Sya’bi, Ar-Rabi’ ibnu Anas, Al-Hasan, Ibnu Juraij, dan Ibnu Zaid serta lain-lainnya mengatakan bahwa pada mulanya hal ini (menulis utang piutang dan jual beli) hukumnya wajib, kemudian di-mansukh oleh firman-Nya:
Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya). (Al Baqarah:283)
Dalil lain yang memperkuat hal ini ialah sebuah hadis yang menceritakan tentang syariat umat sebelum kita, tetapi diakui oleh syariat kita serta tidak diingkari, yang isinya menceritakan tiada kewajiban untuk menulis dan mengadakan persaksian.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Lais, dari Ja’far ibnu Rabi’ah, dari Abdur Rahman ibnu Hurmuz, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang mengisahkan dalam sabdanya: Bahwa (dahulu) ada seorang lelaki dan kalangan Bani Israil meminta kepada seseorang yang juga dari kalangan Bani Israil agar meminjaminya uang sebanyak seribu dinar. Maka pemilik uang berkata kepadanya, “Datangkanlah kepadaku para saksi agar transaksiku ini dipersaksikan oleh mereka.” Ia menjawab, “Cukuplah Allah sebagai saksi.” Pemilik uang berkata, “Datangkanlah kepadaku seorang yang menjaminmu.” Ia menjawab, “Cukuplah Allah sebagai penjamin.” Pemilik uang berkata, “Engkau benar.” Lalu pemilik uang memberikan utang itu kepadanya untuk waktu yang ditentukan. Lalu ia berangkat memakai jalan laut (naik perahu). Setelah keperluannya selesai, lalu ia mencari perahu yang akan mengantarkannya ke tempat pemilik uang karena saat pelunasan utangnya hampir tiba. Akan tetapi, ia tidak menjumpai sebuah perahu pun. Akhirnya ia mengambil sebatang kayu, lalu melubangi tengahnya, kemudian uang seribu dinar itu dimasukkan ke dalam kayu itu berikut sepucuk surat buat alamat yang dituju. Lalu lubang itu ia sumbat rapat, kemudian ia datang ke tepi laut dan kayu itu ia lemparkan ke dalamnya seraya berkata, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau telah mengetahui bahwa aku pernah berutang kepada si Fulan sebanyak seribu dinar. Ketika ia meminta kepadaku seorang penjamin, maka kukatakan, ‘Cukuplah Allah sebagai penjaminku,’ dan ternyata ia rela dengan hal tersebut. Ia meminta saksi kepadaku, lalu kukatakan, ‘Cukuplah Allah sebagai saksi,’ dan ternyata ia rela dengan hal tersebut. Sesungguhnya aku telah berusaha keras untuk menemukan kendaraan (perahu) untuk mengirimkan ini kepada orang yang telah memberiku utang, tetapi aku tidak menemukan sebuah perahu pun. Sesungguhnya sekarang aku titipkan ini kepada Engkau.” Lalu ia melemparkan kayu itu ke laut hingga tenggelam ke dalamnya. Sesudah itu ia berangkat dan tetap mencari kendaraan perahu untuk menuju ke negeri pemilik piutang. Lalu lelaki yang memberinya utang keluar dan melihat-lihat barangkali ada perahu yang tiba membawa uangnya. Ternyata yang ia jumpai adalah sebatang kayu tadi yang di dalamnya terdapat uang. Maka ia memungut kayu itu untuk keluarganya sebagai kayu bakar. Ketika ia membelah kayu itu, ternyata ia menemukan sejumlah harta dan sepucuk surat itu. Kemudian lelaki yang berutang kepadanya tiba, dan datang kepadanya dengan membawa uang sejumlah seribu dinar, lalu berkata, “Demi Allah, aku terus berusaha keras mencari perahu untuk sampai kepadamu dengan membawa uangmu, tetapi ternyata aku tidak dapat menemukan sebuah perahu pun sebelum aku tiba dengan perahu ini.” Ia bertanya, “Apakah engkau pernah mengirimkan sesuatu kepadaku?” Lelaki yang berutang balik bertanya, “Bukankah aku telah katakan kepadamu bahwa aku tidak menemukan sebuah perahu pun sebelum perahu yang datang membawaku sekarang?” Ia berkata, “Sesungguhnya Allah telah membayarkan utangmu melalui apa yang engkau kirimkan di dalam kayu tersebut. Maka kembalilah kamu dengan seribu dinarmu itu dengan sadar.”
Sanad hadis ini sahih, dan Imam Bukhari meriwayatkannya dalam tujuh tempat (dari kitabnya) melalui berbagai jalur yang sahih secara muallaq dan memakai sigat jazm (ungkapan yang tegas). Untuk itu ia mengatakan bahwa Lais ibnu Sa’id pernah meriwayatkan, lalu ia menuturkan hadis ini.
Menurut suatu pendapat, Imam Bukhari meriwayatkan sebagian dari hadis ini melalui Abdullah ibnu Saleh, juru tulis Al-Lais, dari Al-Lais.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Dan hendaklah seorang penulis di antara kalian menuliskannya dengan benar.
Yakni secara adil dan benar. Dengan kata lain, tidak berat sebelah dalam tulisannya, tidak pula menuliskan, melainkan hanya apa yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, tanpa menambah atau menguranginya.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis.
Janganlah seorang yang pandai menulis menolak bila diminta untuk mencatatnya buat orang lain, tiada suatu hambatan pun baginya untuk melakukan hal ini. Sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya apa yang belum ia ketahui sebelumnya, maka hendaklah ia bersedekah kepada orang lain yang tidak pandai menulis, melalui tulisannya. Hendaklah ia menunaikan tugasnya itu dalam menulis, sesuai dengan apa yang disebutkan oleh sebuah hadis:
Sesungguhnya termasuk sedekah ialah bila kamu memberikan bantuan dalam bentuk jasa atau membantu orang yang bisu.
Dalam hadis yang lain disebutkan:
Barang siapa yang menyembunyikan suatu pengetahuan yang dikuasainya, maka kelak di hari kiamat akan dicocok hidungnya dengan kendali berupa api neraka.
Mujahid dan Ata mengatakan, orang yang pandai menulis diwajibkan mengamalkan ilmunya.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
…dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya.
Dengan kata lain, hendaklah orang yang berutang mengimlakan kepada si penulis tanggungan utang yang ada padanya, dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah dalam hal ini.
…dan janganlah ia mengurangi sedikit pun dari utangnya.
Artinya, jangan sekali-kali ia menyembunyikan sesuatu dari utangnya.
Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya.
Yang dimaksud dengan istilah safih ialah orang yang dilarang ber-tasarruf karena dikhawatirkan akan berbuat sia-sia atau lain sebagainya.
…atau lemah keadaannya.
Yakni karena masih kecil atau berpenyakit gila.
…atau dia sendiri tidak mampu mengimlakan.
Umpamanya karena bicaranya sulit atau ia tidak mengetahui mana yang seharusnya ia lakukan dan mana yang seharusnya tidak ia lakukan (tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang salah). Dalam keadaan seperti ini disebutkan oleh firman-Nya:
…maka hendaklah walinya mengimlakan dengan jujur.
Adapun firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antara kalian).
Ayat ini memerintahkan mengadakan persaksian di samping tulisan untuk lebih memperkuat kepercayaan.
Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan.
Hal ini berlaku hanya dalam masalah harta dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya. Sesungguhnya persaksian wanita diharuskan dua orang untuk menduduki tempat seorang lelaki, hanyalah karena akal wanita itu kurang. Seperti yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya:
telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ja’far, dari Amr ibnu Abu Amr, dari Al-Maqbari, dari Abu Hurairah, dari Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang telah bersabda: Hai semua kaum wanita, bersedekahlah dan banyaklah beristigfar, karena sesungguhnya aku melihat kalian adalah mayoritas penghuni neraka. Lalu ada salah seorang wanita dari mereka yang kritis bertanya, “Wahai Rasulullah, mengapa kami adalah kebanyakan penghuni neraka?” Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjawab, “Kalian banyak melaknat dan ingkar kepada suami. Aku belum pernah melihat orang (wanita) yang lemah akal dan agamanya dapat mengalahkan orang (lelaki) yang berakal selain dari kalian.” Wanita itu bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan lemah akal dan agamanya itu?” Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda, “Adapun kelemahan akalnya ialah kesaksian dua orang wanita mengimbangi kesaksian seorang lelaki, inilah segi kelemahan akalnya. Dan ia diam selama beberapa malam tanpa salat serta berbuka dalam bulan Ramadan (karena haid), maka segi inilah kelemahan agamanya.”
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
…dari saksi-saksi yang kalian ridai.
Di dalarn ayat ini terkandung makna yang menunjukkan adanya persyaratan adil bagi saksi. Makna ayat ini bersifat muqayyad (mengikat) yang dijadikan pegangan hukum oleh Imam Syafii dalam menangani semua kemutlakan di dalam Al-Qur’an yang menyangkut perintah mengadakan persaksian tanpa syarat. Ayat ini dijadikan dalil oleh orang yang menolak kesaksian seseorang yang tidak dikenal. Untuk itu ia mempersyaratkan, hendaknya seorang saksi itu haras adil lagi disetujui.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Supaya jika seorang lupa.
Yakni jika salah seorang dari kedua wanita itu lupa terhadap kesaksiannya,
…maka yang seorang lagi mengingatkannya.
Maksudnya, orang yang lupa akan diingatkan oleh temannya terhadap kesaksian yang telah dikemukakannya. Berdasarkan pengertian inilah sejumlah ulama ada yang membacanya fatuzakkira dengan memakai tasydid. Sedangkan orang yang berpendapat bahwa kesaksian seorang wanita yang dibarengi dengan seorang wanita lainnya, membuat kesaksiannya sama dengan kesaksian seorang laki-laki, sesungguhnya pendapat ini jauh dari kebenaran. Pendapat yang benar adalah yang pertama.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila dipanggil.
Makna ayat ini menurut suatu pendapat yaitu ‘apabila para saksi itu dipanggil untuk mengemukakan kesaksiannya, maka mereka harus mengemukakannya’. Pendapat ini dikatakan oleh Qatadah dan Ar-Rabi’ ibnu Anas. Hal ini sama dengan makna firman-Nya:
Dan janganlah penults enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis.
Berdasarkan pengertian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa mengemukakan kesaksian itu hukumnya fardu kifayah. Menurut pendapat yang lain, makna ini merupakan pendapat jumhur ulama, dan yang dimaksud dengan firman-Nya:
Dan janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila dipanggil., menunjukkan pengertian pemberian keterangan secara hakiki. Sedangkan firman-Nya, “Asy-syuhada” yang dimaksud dengannya ialah orang yang menanggung persaksian. Untuk itu apabila ia dipanggil untuk memberikan keterangan, maka ia harus menunaikannya bila telah ditentukan. Tetapi jika ia tidak ditentukan, maka hukumnya adalah fardu kifayah.
Mujahid dan Abu Mijlaz serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan, “Apabila kamu dipanggil menjadi saksi, maka kamu boleh memilih antara mau dan tidak. Tetapi jika kamu telah bersaksi, kemudian dipanggil untuk memberikan keterangan, maka kamu harus menunaikannya.”
Di dalam kitab Sahih Muslim telah ditetapkan —demikian pula di dalam kitab-kitab sunnah lainnya— melalui jalur Malik, dari Abdullah ibnu Abu Bakar ibnu Muhammad ibnu Amr ibnu Hazm, dari ayahnya (yaitu Abdullah ibnu Amr ibnu Usman), dari Abdur Rahman ibnu Abu Amrah, dari Zaid ibnu Khalid, bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda:
Maukah aku ceritakan kepada kalian sebaik-baik para saksi? Yaitu orang yang memberikan keterangan (kesaksian)nya sebelum diminta untuk mengemukakannya.
Hadis lain dalam kitab Sahihain menyebutkan:
Maukah aku ceritakan kepada kalian para saksi yang buruk? Yaitu orang-orang yang mengemukakan kesaksiannya sebelum diminta melakukannya.
Demikian pula sabda Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang mengatakan:
Kemudian datanglah suatu kaum yang kesaksian mereka mendahului sumpah, dan sumpah mereka mendahului kesaksiannya.
Menurut riwayat yang lain disebutkan:
Kemudian datanglah suatu kaum yang selalu mengemukakan kesaksian mereka, padahal mereka tidak diminta untuk mengemukakan kesaksiannya.
Mereka adalah saksi-saksi palsu.
Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Al-Hasan Al-Basri bahwa makna ayat ini mencakup kedua keadaan itu, yakni menanggung dan mengemukakan persaksian.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
…dan janganlah kalian jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya.
Hal ini merupakan kesempurnaan dari petunjuk, yaitu perintah untuk mencatat hak, baik yang kecil maupun yang besar. Karena disebutkan pada permulaannya. la tas-amu, artinya janganlah kalian merasa enggan mencatat hak dalam jumlah seberapa pun, baik sedikit ataupun banyak, sampai batas waktu pembayarannya.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguan kalian.
Maksudnya, hal yang Kami perintahkan kepada kalian —yaitu mencatat hak bilamana transaksi dilakukan secara tidak tunai— merupakan hal yang lebih adil di sisi Allah. Juga lebih menguatkan persaksian, yakni lebih kukuh kesaksian si saksi bila ia membubuhkan tanda tangannya, karena manakala ia melihatnya, ia pasti ingat akan persaksiannya. Mengingat bisa saja seandainya ia tidak membubuhkan tanda tangannya, ia lupa pada persaksiannya, seperti yang kebanyakan terjadi.
…dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguan kalian.
Yakni lebih menghapus keraguan, bahkan apabila kalian berselisih pendapat, maka catatan yang telah kalian tulis di antara kalian dapat dijadikan sebagai rujukan, sehingga perselisihan di antara kalian dapat diselesaikan dan hilanglah rasa keraguan.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
…kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kalian jalankan di antara kalian, maka tak ada dosa bagi kalian, (jika) kalian tidak menulisnya.
Dengan kata lain, apabila transaksi jual beli dilakukan secara kontan dan serah terima barang dan pembayarannya, tidak mengapa jika tidak dilakukan penulisan, mengingat tidak ada larangan bila tidak memakainya.
Adapun mengenai masalah persaksian atas jual beli, hal ini disebutkan oleh firman-Nya:
Dan persaksikanlah apabila kalian berjual beli.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar’ah, telah menceritakan kepadaku Yahya ibnu Abdullah ibnu Bakr, telah menceritakan kepadaku Ibnu Luhai’ah, telah menceritakan kepadaku Ata ibnu Dinar, dari Sa’id ibnu Jubair sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan persaksikanlah apabila kalian berjual beli. (Al Baqarah:282) Yaitu buatlah persaksian atas hak kalian jika memakai tempo waktu, atau tidak memakai tempo waktu. Dengan kata lain, buatlah persaksian atas hak kalian dalam keadaan apa pun.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Jabir ibnu Zaid, Mujahid, Ata, dan Ad-Dahhak hal yang semisal.
Asy-Sya’bi dan Al-Hasan mengatakan bahwa perintah yang ada dalam ayat ini di-mansukh oleh firman-Nya: Akan tetapi jika sebagian kalian mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanat-nya (utangnya).
Tetapi menurut jumhur ulama, perintah yang terkandung di dalam ayat ini ditafsirkan sebagai petunjuk dan anjuran, namun bukan perintah wajib. Sebagai dalilnya ialah hadis Khuzaimah ibnu Sabit Al-Ansari yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa:
telah menceritakan kepada kami Abul Yaman, telah menceritakan kepada kami Syu’aib, dari Az-Zuhri, telah menceritakan kepadaku Imarah ibnu Khuzaimah Al-Ansari, bahwa pamannya yang merupakan salah seorang sahabat Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah menceritakan kepadanya hadis berikut: Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah membeli seekor kuda dari seorang Arab Badui. Setelah harganya disetujui, maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mencari lelaki Badui itu untuk membayar harga kuda tersebut. Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengambil keputusan yang cepat, sedangkan lelaki Badui itu terlambat. Akhirnya di tengah jalan lelaki Badui itu dikerumuni oleh banyak orang lelaki, mereka menawar harga kuda itu, sedangkan mereka tidak mengetahui bahwa Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah membelinya. Hingga salah seorang dari mereka ada yang mau membelinya dengan harga yang lebih tinggi dari apa yang pernah ditawar oleh Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Lalu lelaki Badui itu berseru kepada Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, “Jika engkau ingin membeli kuda ini, maka belilah, dan jika engkau tidak mau membelinya, aku akan menjualnya (kepada orang lain).” Maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berdiri dan bangkit ketika mendengar seruan itu, lalu beliau bersabda, “Bukankah aku telah membelinya darimu?” Lelaki Badui itu menjawab, “Tidak, demi Allah, aku belum menjualnya kepadamu.” Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda, “Tidak, bahkan aku telah membelinya darimu.” Maka orang-orang mengerumuni Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan lelaki Badui yang sedang berbantahan itu. Orang Badui itu berkata, “Datangkanlah seseorang yang mempersaksikan bahwa aku telah menjual kuda ini kepadamu.” Lalu setiap orang yang datang dari kaum muslim mengatakan kepada lelaki Badui itu, “Celakalah kamu ini, sesungguhnya Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak pernah berbicara tidak benar melainkan hanya benar belaka.” Hingga datanglah Khuzaimah, lalu ia mendengarkan pengakuan Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan sanggahan lelaki Badui yang mengatakan, “Datangkanlah seorang saksi yang mempersaksikan bahwa aku telah menjual(nya) kepadamu.” Lalu Khuzaimah berkata, “Aku bersaksi bahwa engkau (Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) telah membeli kuda itu darinya.” Lalu Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berpaling ke arah Khuzaimah dan bersabda, “Dengan alasan apakah kamu bersaksi?” Khuzaimah menjawab, “Dengan percaya kepadamu, wahai Rasulullah.” Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjadikan persaksian Khuzaimah sama kedudukannya dengan persaksian dua orang lelaki.
Hal yang semisal diriwayatkan pula oleh Imam Abu Daud melalui hadis Syu’aib dan An-Nasai melalui riwayat Muhammad ibnul Walid Az-Zubaidi, keduanya meriwayatkan hadis ini dari Az-Zuhri dengan lafaz yang semisal.
Akan tetapi, untuk lebih hati-hati sebagai tindakan preventif ialah pendapat yang mengatakan sebagai petunjuk dan sunnah, karena berdasarkan apa yang telah diriwayatkan oleh kedua Imam, yaitu Al-Hafiz Abu Bakar Ibnu Murdawaih dan Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui riwayat Mu’az ibnu Mu’az Al-Anbari, dari Syu’bah, dari Firas, dari Asy-Sya’bi, dari Abu Burdah, dari Abu Musa, dari Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang telah bersabda:
Ada tiga macam orang yang berdoa kepada Allah, tetapi tidak diperkenankan bagi mereka, yaitu seorang lelaki yang mempunyai istri yang berakhlak buruk, tetapi ia tidak menceraikannya. Seorang lelaki yang menyerahkan harta anak yatim kepada anak yatim yang bersangkutan sebelum usianya balig, dan seorang lelaki yang memberikan sejumlah utang kepada lelaki lain tanpa memakai saksi.
Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa sanad hadis ini sahih dengan syarat Syaikhain. Imam Hakim mengatakan, tetapi keduanya tidak mengetengahkannya, mengingat murid-murid Syu’bah me-mauquf-kan hadis ini hanya pada Abu Musa (yakni kata-kata Abu Musa). Sesungguhnya yang mereka sepakati sanad hadis Syu’bah hanyalah hadis yang mengatakan: Ada tiga macam orang yang diberikan pahalanya kepada mereka dua kali lipat…
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
…dan janganlah penulis serta saksi saling sulit-menyulitkan.
Menurut suatu pendapat, makna ayat ini ialah janganlah penulis dan saksi berbuat menyeleweng, misalnya dia menulis hal yang berbeda dari apa yang diimlakan kepadanya, sedangkan si saksi memberikan keterangan yang berbeda dengan apa yang didengarnya, atau ia menyembunyikan kesaksiannya secara keseluruhan. Pendapat ini dikatakan oleh Al-Hasan dan Qatadah serta selain keduanya. Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud ialah tidak boleh mempersulit keduanya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Usaid ibnu Asim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain (yakni Ibnu Hafs), telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Yazid ibnu Abu Ziad, dari Miqsam, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: dan janganlah penulis serta saksi saling sulit-menyulitkan. (Al Baqarah:282) Bahwa seorang lelaki datang, lalu memanggil keduanya (juru tulis dan saksi) supaya mencatat dan mempersaksikan, lalu keduanya mengatakan, “Kami sedang dalam keperluan.” Kemudian ia berkata, “Sesungguhnya kamu berdua telah diperintahkan melakukannya.” Maka tidak boleh baginya mempersulit keduanya.
Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa hal yang semisal telah diriwayatkan dari Ikrimah, Mujahid, Tawus, Sa’id ibnu Jubair, Ad-Dahhak, Atiyyah, Muqatil ibnu Hayyan, dan Ar-Rabi’ ibnu Anas serta As-Saddi.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Jika kalian lakukan (yang demikian itu), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada diri kalian.
Yakni jika kalian menyimpang dari apa yang diperintahkan kepada kalian atau kalian melakukan hal
(282) Ayat-ayat ini meliputi petunjuk Allah جَلَّ جَلالُهُ kepada hamba-hambaNya dalam muamalah di antara mereka yaitu pemeliharaan hak-hak mereka dengan cara-cara yang bermanfaat dan kemas-lahatan yang oleh orang-orang yang ahli pikir pun tidak mampu memberikan sarannya yang lebih baik dan lebih sempurna darinya, karena di dalamnya banyak sekali faidah-faidahnya, di antaranya:
1. Bolehnya muamalah dalam bentuk hutang piutang, baik berupa hutang-hutang salam atau pembelian barang yang harganya ditangguhkan, semua itu boleh dilakukan, karena Allah جَلَّ جَلالُهُtelah mengabarkannya berkaitan dengan kaum Mukminin, dan apa pun yang Allah جَلَّ جَلالُهُ kabarkan tentang kaum Mukminin, maka sesungguhnya hal itu termasuk konsekuensi keimanan dan telah ditetapkan juga hal itu oleh Allah جَلَّ جَلالُهُ Yang Mahakuasa.
2. Wajibnya menyebutkan tempo pembayaran dalam seluruh transaksi hutang piutang dan masa penyewaan.
3. Bahwasanya apabila tempo itu tidak diketahui, maka itu tidak halal, karena itu (sangat rentan) adanya tipu daya dan berba-haya, maka hal itu termasuk dalam perjudian.
4. Allah جَلَّ جَلالُهُmemerintahkan untuk mencatat (dokumentasi) hutang piutang. Perkara yang satu ini terkadang menjadi wajib yaitu apabila wajib memelihara hak seperti milik seorang hamba yang wajib atasnya perwalian contohnya harta anak yatim, wakaf, perwakilan, amanah, dan terkadang juga mendekati wajib sebagaimana bila hak itu semata-mata milik seorang hamba. Dan terkadang juga lebih berat kepada wajib dan terka-dang lebih berat kepada sunnah, sesuai dengan kondisi yang dituntut untuk masalah itu. Dan pada intinya pencatatan itu adalah merupakan perangkat yang paling besar dalam men-jaga muamalah-muamalah yang tertangguhkan karena rentan terjadi kelupaan dan kesalahan, dan sebagai tindakan pence-gahan dari orang-orang yang tidak amanah yang tidak takut kepada Allah جَلَّ جَلالُهُ .
5. Perintah Allah جَلَّ جَلالُهُkepada juru tulis untuk menulis antara kedua pihak yang bermuamalah itu dengan adil, ia tidak boleh condong kepada salah satu pihak karena faktor keluarga misal-nya atau selainnya, atau memusuhi salah satunya karena suatu dendam dan semacamnya.
6. Bahwasanya penulisan antara kedua belah pihak yang ber-muamalah adalah di antara amal-amal yang paling utama dan tindakan kebaikan kepada keduanya. Dalam pencatatan itu mengandung pemeliharaan hak-hak keduanya dan melepaskan tanggung jawab dari keduanya seperti yang diperintahkan oleh Allah جَلَّ جَلالُهُ. Maka hendaklah juru tulis mencari pahala (dengan profesinya) di antara manusia dengan perkara-perkara ini agar mendapat keberuntungan dengan balasan baiknya.
7. Hendaklah juru tulis mengetahui keadilan dan terkenal dengan keadilan, karena bila dia tidak mengerti keadilan, pastilah dia tidak akan bisa mewujudkannya, dan apabila keadilannya tidak diakui oleh orang banyak dan tidak diridhai mereka maka pastilah pencatatan juga tidak akan diakui, dan maksud yang diinginkan tidak akan terwujud yaitu pemeliharaan hak.
8. Bahwasanya kesempurnaan dari pencatatan dan keadilan dalam muamalah itu adalah bahwa juru tulis itu ahli dalam merangkai kata dan membuat kalimat yang sesuai dalam se-gala macam muamalah sesuai dengan jenisnya, dan kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat dalam hal ini memiliki peran yang cukup besar.
9. Bahwasanya pencatatan itu di antara nikmat-nikmat Allah جَلَّ جَلالُهُ terhadap hamba-hambaNya, di mana urusan-urusan agama dan urusan-urusan dunia mereka tidak akan lurus kecuali dengannya. Dan bahwasanya barangsiapa yang diajarkan oleh Allah جَلَّ جَلالُهُ penulisan, sesungguhnya Allah جَلَّ جَلالُهُ telah mengaruniakan kepadanya keutamaan yang besar, dan menjadi kesempurnaan syukurnya terhadap nikmat Allah جَلَّ جَلالُهُitu, agar dia memenuhi kebutuhan-kebutuhan hamba dengan pencatatan yang dilaku-kannya dan dia tidak boleh menolak untuk menulis. Karena itu Allah جَلَّ جَلالُهُ berfirman, وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ اَنْ يَّكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللّٰهُ “Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya.”
10. Bahwasanya apa yang ditulis oleh juru tulis itu merupakan pengakuan dari orang yang menanggung hak apabila dia mampu merangkai kata tentang hak yang wajib atas dirinya tersebut. Namun apabila ia tidak mampu akan hal itu karena umurnya yang masih kecil atau kebodohannya, ketidakwa-rasannya, kebisuannya, atau ketidakmampuannya, maka wali-nya harus melakukannya untuknya, dan walinya itu sebagai wakil dirinya dalam hal tersebut.
11. Bahwasanya pengakuan itu adalah jalan yang paling besar dalam menetapkan suatu hak, di mana Allah جَلَّ جَلالُهُmemerintah-kan kepada juru tulis untuk menulis apa yang didiktekan oleh orang yang menanggung hak orang lain.
12. Penetapan perwalian bagi orang-orang yang tidak mampu seperti anak kecil, orang gila, orang bodoh, dan semacamnya.
13. Bahwasanya seorang wali itu posisinya sama seperti posisi orang yang diwalikannya dalam segala pengakuannya yang berkaitan dengan hak-haknya.
14. Bahwasanya orang yang Anda percaya dalam suatu muamalah dan Anda serahkan urusan itu kepadanya, maka perkataannya dalam perkara itu dapat diterima, karena dia adalah pengganti diri Anda, karena apabila wali itu untuk orang-orang yang tidak mampu menempati posisi mereka, maka orang yang Anda jadikan wali dengan pilihan Anda sendiri lalu Anda serahkan urusan itu kepadanya adalah lebih utama diterima dan diakui perkataannya dan didahulukan daripada perkataan Anda sendiri ketika terjadi perselisihan.
15. Bahwasanya diwajibkan atas orang yang menanggung hak orang lain, apabila mendiktekan kepada juru tulis agar bertak-wa kepada Allah جَلَّ جَلالُهُ dan tidak berlaku curang terhadap hak yang ditanggungnya. Ia tidak mengurangi jumlahnya atau sifatnya, atau syarat di antara syarat-syaratnya atau ukuran di antara ukuran-ukurannya. Akan tetapi ia harus mengakui setiap hal yang berkaitan dengan hak tersebut sebagaimana juga hal itu wajib atas orang lain yang menanggung hak dirinya. Barang-siapa yang tidak melaksanakan itu, maka ia termasuk orang-orang yang curang lagi mengurangi (timbangan dan takaran).
16. Wajib mengakui hak-hak yang nampak dan hak-hak yang ter-sembunyi, dan bahwa hal itu adalah di antara karakter terbesar ketakwaan, sebagaimana menolak pengakuan adalah di antara pembatal ketakwaan dan yang menguranginya.
17. Petunjuk untuk mengadakan saksi dalam jual beli. Apabila dalam hal hutang piutang, maka hukumnya adalah hukum pencatatan sebagaimana yang telah lalu. Karena penulisan itu adalah pencatatan kesaksian. Apabila jual beli itu adalah jual beli tunai, maka seyogyanya ada saksi padanya dan tidak berdosa bila meninggalkan penulisan karena banyaknya dan adanya kesulitan untuk menulis (semua kasus yang ada).
18. Petunjuk untuk mengadakan saksi dua orang laki-laki yang adil, namun apabila tidak memungkinkan atau tidak ada atau sulit, maka boleh satu laki-laki dan dua wanita. Itu mencakup segala macam muamalah, transaksi obligasi dan transaksi utang piutang dengan segala hal yang berkaitan dengannya, se-perti syarat-syarat atau dokumen-dokumen atau semacamnya.
Apabila ada keberatan yang mengatakan bahwa terdapat riwayat shahih dari Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bahwa beliau memutuskan dengan satu saksi saja disertai sumpah, tetapi kenapa ayat yang mulia ini tidak menunjukkan kecuali hanya saksi dua laki-laki atau satu laki-laki dan dua wanita? Dapat dijawab, bahwa ayat yang mulia ini mengandung petunjuk Allah جَلَّ جَلالُهُ kepada hamba-hambaNya untuk menjaga hak-hak mereka, oleh karena itu Allah جَلَّ جَلالُهُ mendatangkan padanya jalan yang paling sempurna dan yang paling kuat, dan ayat ini juga tidak mengandung hal yang meniadakan (menafikan) apa yang disebutkan oleh Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dengan menetapkan satu saksi yang disertai sumpah. Masa-lah memelihara hak-hak, pada awal-awalnya Allah جَلَّ جَلالُهُ mengarah-kan hambaNya untuk berhati-hati dan menjaga secara total. Masalah ketetapan di antara kedua pihak yang bersengketa dipertimbangkan dengan melihat segala hal yang membantu dan keterangan-keterangan yang ada sesuai keadaan dan kon-disinya.
19. Bahwasanya kesaksian dua orang wanita itu sebanding dengan satu laki-laki dalam hak-hak duniawi. Adapun dalam perkara-perkara agama seperti periwayatan dan fatwa, maka seorang wanita satu derajat (sama dengan) laki-laki. Perbedaan antara dua perkara itu sangatlah jelas sekali.
20. Petunjuk kepada hikmah di balik perbandingan kesaksian dua wanita dengan satu laki-laki yang mana hal itu dikarenakan kelemahan daya ingat wanita pada umumnya dan kuatnya daya ingat laki-laki.
21. Bahwasanya sekiranya seorang saksi bila melupakan kesak-siannya namun saksi yang lainnya mengingatkannya lalu dia teringat kembali, maka kelupaan itu tidaklah mengapa bila dapat dihindarkan dengan adanya pengingatan tersebut, ber-dasarkan Firman Allah جَلَّ جَلالُهُ, اَنْ تَضِلَّ اِحْدٰىهُمَا فَتُذَكِّرَ اِحْدٰىهُمَا الْاُخْرٰىۗ “Supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya.” Yang lebih baik lagi adalah bila seorang saksi itu lupa kemudian dia bisa mengingat kembali tanpa diingatkan oleh saksi lainnya, karena sesungguhnya kesaksian itu intinya adalah keyakinan dan ilmu.
22. Bahwasanya kesaksian itu harus dengan dasar ilmu dan keya-kinan, bukan keraguan. Maka ketika terjadi keraguan pada se-orang saksi dalam kesaksiannya walaupun berdasarkan dugaan terkuatnya, tidaklah halal baginya untuk bersaksi kecuali dengan apa yang ia ketahui dengan yakin.
23. Bahwasanya seorang saksi itu tidak boleh menolak bila diminta untuk bersaksi, baik saksi untuk membela atau untuk melawan, dan bahwasanya menunaikan kesaksian itu adalah di antara amalan-amalan shalih yang paling utama sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah جَلَّ جَلالُهُ dan mengabarkan tentang manfaatnya dan berbagai kemaslahatannya.
24. Bahwasanya tidaklah boleh memudaratkan juru tulis dan tidak juga saksi, yaitu dengan dipanggil pada waktu-waktu yang memudaratkan mereka berdua. Dan sebagaimana orang-orang yang memiliki hak dan orang-orang yang saling bermuamalah itu dilarang merugikan para juru tulis maupun para saksi, begitu pula juru tulis dan saksi tidak boleh merugikan orang-orang yang memiliki hak maupun kedua pihak yang bermua-malah atau salah satu pihak dari keduanya. Dalam hal ini bahwa saksi maupun juru tulis bila terjadi kerugian pada mereka dalam hal penulisan maupun kesaksian, maka kewajiban keduanya gugur.
25. Peringatan bahwasanya orang-orang yang baik yang melaku-kan kebajikan, tidaklah halal merugikan dan memberatkan mereka dengan suatu hal yang tidak mereka sanggupi. Tidak-kah pahala kebajikan itu adalah kebajikan juga? Dan demikian juga atas orang-orang yang melakukan kebajikan, agar me-nyempurnakan kebaikan mereka dengan tidak merugikan, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan terhadap orang-orang yang menjadi obyek kebaikan mereka, karena sesungguhnya kebajikan itu tidaklah sempurna kecuali dengan sikap tersebut.
26. Bahwasanya tidaklah halal memungut biaya terhadap penu-lisan dan kesaksian, di mana kedua hal tersebut hukumnya adalah wajib; karena hal itu adalah haq yang telah diwajibkan oleh Allah جَلَّ جَلالُهُ atas saksi dan juru tulis, dan karena pungutan itu merupakan tindakan merugikan kedua pihak yang bermua-malah.
27. Peringatan terhadap kemaslahatan dan manfaat yang diakibat-kan oleh pengamalan akan petunjuk yang mulia ini; bahwa dalam pengamalan tersebut terdapat pemeliharaan hak, ke-adilan, menghilangkan perselisihan, selamat dari kelupaan dan kebingungan. Karena itu Allah جَلَّ جَلالُهُ berfirman, ذٰلِكُمْ اَقْسَطُ عِنْدَ اللّٰهِ وَاَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَاَدْنٰىٓ اَلَّا تَرْتَابُوْٓا “Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah جَلَّ جَلالُهُ dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menim-bulkan) keraguanmu” dan ini merupakan kemaslahatan yang asasi bagi manusia.
28. Hendaklah diketahui bahwa menulis (mencatat) adalah di antara perkara-perkara agama, karena hal itu merupakan tin-dakan memelihara agama dan dunia, dan merupakan sebab kebajikan.
29. Bahwasanya barangsiapa yang diistimewakan oleh Allah جَلَّ جَلالُهُ de-ngan suatu nikmat dari nikmat-nikmat Allah جَلَّ جَلالُهُ yang dibutuhkan manusia, maka menjadi kesempurnaan kesyukuran terhadap nikmat itu adalah mengembalikan kenikmatan itu kepada hamba-hamba Allah جَلَّ جَلالُهُ dan ia memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka dengannya. Karena Allah جَلَّ جَلالُهُ menyebutkan sebab dilarang-nya seorang juru tulis menolak menjadi juru tulis dengan FirmanNya, كَمَا عَلَّمَهُ اللّٰهُ “Sebagaimana Allah mengajarkannya.” Dan bersama itu, barangsiapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, niscaya Allah جَلَّ جَلالُهُ memenuhi kebutuhannya.
30. Bahwasanya memudaratkan para juru tulis dan para saksi adalah tindakan kefasikan terhadap manusia, karena kefasikan itu keluar dari ketaatan kepada Allah جَلَّ جَلالُهُ kepada kemaksiatan kepadaNya, dan itu bertambah dan berkurang serta bercabang-cabang. Oleh karena itu Allah جَلَّ جَلالُهُ tidak berfirman “dan kalian adalah orang-orang yang fasik” akan tetapi Dia berfirman, فَاِنَّهٗ فُسُوْقٌۢ بِكُمْ ۗ “Maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu.” Maka seberapa besar keluarnya seseorang dari ketaatannya kepada Allah جَلَّ جَلالُهُ, sebesar itu pula kefasikan yang ada padanya. Dan dapat diambil sebagai dalil Firman Allah جَلَّ جَلالُهُ, وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗ وَيُعَلِّمُكُمُ اللّٰهُ ۗ “Dan bertakwalah kepada Allah; Allah جَلَّ جَلالُهُ mengajarmu,” bahwa bertakwa kepada Allah جَلَّ جَلالُهُ merupakan jalan memperoleh ilmu, dan yang lebih jelas dari ayat ini adalah FirmanNya,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ تَتَّقُوا اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّكُمْ فُرْقَانًا
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu Furqan (pembeda antara yang haq dengan yang batil).” (Al-Anfal: 29),
yakni, ilmu yang dengannya kalian bisa membedakan antara segala hakikat, kebenaran, dan kebatilan.
31. Bahwasanya sebagaimana ilmu yang bermanfaat di antaranya adalah mengajarkan perkara-perkara agama yang berkaitan dengan ibadah, begitu pula mengajarkan perkara-perkara duniawi yang berkaitan dengan muamalah, karena Allah جَلَّ جَلالُهُmemelihara bagi hamba-hambaNya segala perkara agama dan dunia mereka, dan kitabNya yang agung merupakan penjelas segala sesuatu.
32. Disyariatkannya penulisan dokumen berkaitan dengan hak-hak, yaitu penggadaian dan jaminan-jaminan yang dibebankan kepada seseorang untuk memperoleh haknya, baik dia itu pe-kerja yang baik atau jahat, terpercaya atau pengkhianat. Karena berapa banyak sudah dokumen-dokumen telah memelihara hak dan menghilangkan perselisihan.
33. Bahwasanya menjadi kesempurnaan dokumen dalam pengga-daian adalah barang yang menjadi jaminan harus dipegang, sekalipun itu tidaklah berarti bahwa penggadaian itu tidaklah sah kecuali dengan dipegangnya (jaminan), akan tetapi adanya pembatasan dengan dipegangnya jaminan menunjukkan bahwa terkadang dengan terjadi serah terima terjadilah kepercayaan yang sempurna dan terkadang tidak sampai dipegang, sehingga menjadi kurang sempurna.
Wahai orang-orang yang beriman! apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu pembayaran yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya untuk melindungi hak masing-masing dan untuk menghindari perselisihan. Dan hendaklah seorang yang bertugas sebagai penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar, jujur, dan adil, sesuai ketentuan Allah dan peraturan perundangan yang berlaku dalam masyarakat. Kepada para penulis diingatkan agar janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagai tanda syukur, sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya kemampuan membaca dan menulis, maka hendaklah dia menuliskan sesuai dengan pengakuan dan pernyataan pihak yang berutang dan disetujui oleh pihak yang mengutangi. Dan hendaklah orang yang berutang itu mendiktekan apa yang telah disepakati untuk ditulis, dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, tuhan pemelihara-Nya, dan janganlah dia mengurangi sedikit pun daripada utangnya, baik yang berkaitan dengan kadar utang, waktu, cara pembayaran, dan lain-lain yang dicakup oleh kesepakatan. Jika yang berutang itu orang yang kurang akalnya, tidak pandai mengurus harta karena suatu dan lain sebab, atau lemah keadaannya, seperti sakit atau sangat tua, atau tidak mampu mendiktekan sendiri karena bisu atau tidak mengetahui bahasa yang digunakan, atau boleh jadi malu, maka hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar dan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada saksi dua orang laki-laki, atau kalau saksi itu bukan dua orang laki-laki, maka boleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi yang ada, yakni yang disepakati oleh yang melakukan transaksi. Hal tersebut agar jika yang seorang dari perempuan itu lupa, maka perempuan yang seorang lagi yang menjadi saksi bersamanya mengingatkannya. Dan sebagaimana Allah berpesan kepada para penulis, kepada para saksi pun Allah berpesan. Janganlah saksi-saksi itu menolak memberi keterangan apabila dipanggil untuk memberi kesaksian, karena penolakannya itu dapat merugikan orang lain. Dan janganlah kamu bosan menuliskannya, baik utang itu kecil maupun besar, sampai yakni tiba batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, yakni penulisan utang piutang dan persaksian yang dibicarakan itu, lebih adil di sisi Allah, yakni dalam pengetahuan-Nya dan dalam kenyataan hidup, dan lebih dapat menguatkan kesaksian, yakni lebih membantu penegakan persaksian, dan lebih mendekatkan kamu kepada ketidakraguan terkait jenis utang, besaran dan waktunya. Petunjuk-petunjuk di atas adalah jika muamalah dilakukan dalam bentuk utang piutang, tetapi jika hal itu merupakan perdagangan berupa jual beli secara tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak menuliskannya, sebab memang pencatatan jual beli tidak terlalu penting dibanding transaksi utang-piutang. Dan dianjurkan kepadamu ambillah saksi apabila kamu berjual beli untuk menghindari perselisihan, dan janganlah penulis dipersulit dan begitu juga saksi oleh para pihak untuk memberikan keterangan dan kesaksian jika diperlukan, begitu juga sebaliknya para pencatat dan saksi tidak boleh merugikan para pihak. Jika kamu, wahai para penulis dan saksi serta para pihak, lakukan yang demikian, maka sungguh, hal itu suatu kefasikan pada kamu. Dan bertakwalah kepada Allah dan rasakanlah keagungannya dalam setiap perintah dan larangan, Allah memberikan pengajaran kepadamu tentang hak dan kewajiban, dan Allah maha mengetahui segala sesuatu. Tuntunan pada ayat yang lalu mudah dilaksanakan jika seseorang tidak sedang dalam perjalanan. Jika kamu dalam perjalanan dan melakukan transaksi keuangan tidak secara tunai, sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis yang dapat menulis utang piutang sebagaimana mestinya, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang oleh yang berpiutang atau meminjamkan. Tetapi menyimpan barang sebagai jaminan atau menggadaikannya tidak harus dilakukan jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain. Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya, utang atau apa pun yang dia terima, dan hendaklah dia yang menerima amanat tersebut bertakwa kepada Allah, tuhan pemelihara-Nya. Dan wahai para saksi, janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, yakni jangan mengurangi, melebihkan, atau tidak menyampaikan sama sekali, baik yang diketahui oleh pemilik hak maupun yang tidak diketahuinya, karena barang siapa menyembunyikannya, sungguh, hatinya kotor, karena bergelimang dosa. Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan, sekecil apa pun itu, yang nyata maupun yang tersembunyi, yang dilakukan oleh anggota badan maupun hati.
Al-Baqarah Ayat 282 Arab-Latin, Terjemah Arti Al-Baqarah Ayat 282, Makna Al-Baqarah Ayat 282, Terjemahan Tafsir Al-Baqarah Ayat 282, Al-Baqarah Ayat 282 Bahasa Indonesia, Isi Kandungan Al-Baqarah Ayat 282
Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat: 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | 21 | 22 | 23 | 24 | 25 | 26 | 27 | 28 | 29 | 30 | 31 | 32 | 33 | 34 | 35 | 36 | 37 | 38 | 39 | 40 | 41 | 42 | 43 | 44 | 45 | 46 | 47 | 48 | 49 | 50 | 51 | 52 | 53 | 54 | 55 | 56 | 57 | 58 | 59 | 60 | 61 | 62 | 63 | 64 | 65 | 66 | 67 | 68 | 69 | 70 | 71 | 72 | 73 | 74 | 75 | 76 | 77 | 78 | 79 | 80 | 81 | 82 | 83 | 84 | 85 | 86 | 87 | 88 | 89 | 90 | 91 | 92 | 93 | 94 | 95 | 96 | 97 | 98 | 99 | 100 | 101 | 102 | 103 | 104 | 105 | 106 | 107 | 108 | 109 | 110 | 111 | 112 | 113 | 114 | 115 | 116 | 117 | 118 | 119 | 120 | 121 | 122 | 123 | 124 | 125 | 126 | 127 | 128 | 129 | 130 | 131 | 132 | 133 | 134 | 135 | 136 | 137 | 138 | 139 | 140 | 141 | 142 | 143 | 144 | 145 | 146 | 147 | 148 | 149 | 150 | 151 | 152 | 153 | 154 | 155 | 156 | 157 | 158 | 159 | 160 | 161 | 162 | 163 | 164 | 165 | 166 | 167 | 168 | 169 | 170 | 171 | 172 | 173 | 174 | 175 | 176 | 177 | 178 | 179 | 180 | 181 | 182 | 183 | 184 | 185 | 186 | 187 | 188 | 189 | 190 | 191 | 192 | 193 | 194 | 195 | 196 | 197 | 198 | 199 | 200 | 201 | 202 | 203 | 204 | 205 | 206 | 207 | 208 | 209 | 210 | 211 | 212 | 213 | 214 | 215 | 216 | 217 | 218 | 219 | 220 | 221 | 222 | 223 | 224 | 225 | 226 | 227 | 228 | 229 | 230 | 231 | 232 | 233 | 234 | 235 | 236 | 237 | 238 | 239 | 240 | 241 | 242 | 243 | 244 | 245 | 246 | 247 | 248 | 249 | 250 | 251 | 252 | 253 | 254 | 255 | 256 | 257 | 258 | 259 | 260 | 261 | 262 | 263 | 264 | 265 | 266 | 267 | 268 | 269 | 270 | 271 | 272 | 273 | 274 | 275 | 276 | 277 | 278 | 279 | 280 | 281 | 282 | 283 | 284 | 285 | 286
Raih pahala amal jariyah dengan cara membagikan (share) konten ini kepada yang lainnya. Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه
"Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)