{3} Ali ‘Imran / آل عمران | الْقُرْآنُ الْكَرِيْمُ | المائدة / Al-Maidah {5} |
Tafsir Al-Qur’an Surat An-Nisa النساء (Wanita) lengkap dengan tulisan arab latin, arti dan terjemah Bahasa Indonesia. Surah ke 4 Tafsir ayat Ke 11.
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ ۚ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ۚ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ ۚ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۗ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۚ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا ﴿١١﴾
yụṣīkumullāhu fī aulādikum liż-żakari miṡlu ḥaẓẓil-unṡayaīn, fa ing kunna nisā`an fauqaṡnataini fa lahunna ṡuluṡā mā tarak, wa ing kānat wāḥidatan fa lahan-niṣf, wa li`abawaihi likulli wāḥidim min-humas-sudusu mimmā taraka ing kāna lahụ walad, fa il lam yakul lahụ waladuw wa wariṡahū abawāhu fa li`ummihiṡ-ṡuluṡ, fa ing kāna lahū ikhwatun fa li`ummihis-sudusu mim ba’di waṣiyyatiy yụṣī bihā au daīn, ābā`ukum wa abnā`ukum, lā tadrụna ayyuhum aqrabu lakum naf’ā, farīḍatam minallāh, innallāha kāna ‘alīman ḥakīmā
QS. An-Nisa [4] : 11
Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.
Allah mewasiatkan dan memerintahkan kepada kalian terkait dengan anak-anak kalian, bila salah seorang dari kalian mati dan meninggalkan anak-anak, laki-laki maupun wanita, maka seluruh warisannya untuk mereka, laki-laki mendapatkan dua kali bagian wanita, bila bersama mereka tidak ada ahli waris yang lain. Bila mayit hanya meninggalkan anak-anak perempuan saja, maka dua anak perempuan atau lebih mendapatkan dua pertiga dari harta, bila anak perempuan itu hanya satu maka dia mendapatkan setengah. Bapak ibu mayit, masing-masing dari keduanya mendapatkan seperenam bila mayit mempunyai anak, laki-laki atau wanita, satu atau lebih. Bila mayit tidak mempunyai anak dan ahli warisnya hanya bapak dan ibunya, maka ibu mendapatkan sepertiga dan sisanya untuk bapak. Bila mayit mempunyai saudara-saudara, dua atau lebih, laki-laki atau wanita, maka ibunya mendapatkan seperenam, sedangkan bapaknya mendapatkan sisanya dan saudara-saudara tersebut tidak mendapatkan apa pun. Pembagian warisan ini baru boleh dilakukan setelah menunaikan wasiat mayit sebatas sepertiga hartanya atau membayar hutangnya. Bapak-bapak dan anak-anak kalian yang berhak mendapatkan warisan, kalian tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat manfaatnya kepada kalian di dunia dan akhirat kalian, maka janganlah melebihkan salah seorang dari mereka atas yang lain. Apa yang Aku wasiatkan kepada kalian ini merupakan kewajiban dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui makhluk-Nya lagi Maha Bijaksana dalam syariat yang ditetapkan-Nya.
Ayat yang mulia ini, ayat sesudahnya, serta ayat yang memungkasi surat ini ketiganya merupakan ayat-ayat yang membahas ilmu faraid. Ilmu faraid merupakan rincian dari ketiga ayat ini, dan hadis-hadis yang menerangkan tentang hal ini kedudukannya sebagai tafsir dari ayat-ayat tersebut.
Kami akan mengetengahkan sebagian darinya yang berkaitan dengan tafsir ayat ini. Mengenai ketetapan semua masalah dan perbedaan pendapat, semua dalilnya dan alasan-alasan yang dikemukakan di kalangan para Imam, pembahasannya terdapat di dalam kitab-kitab fiqih yang membahas masalah hukum-hukum syara’.
Di dalam hadis telah disebutkan anjuran untuk belajar ilmu faraid, dan bagian-bagian waris tertentu ini merupakan hal yang paling penting dalam ilmu faraid.
Imam Abu Daud dan Imam Ibnu Majah meriwayatkan melalui hadis Abdur Rahman ibnu Ziyad ibnu An’am Al-Ifriqi, dari Abdur Rahman ibnu Rafi’ At-Tanukhi, dari Abdullah ibnu Amr secara marfu’:
Ilmu itu ada tiga macam, dan yang selain dari itu hanya dinamakan keutamaan (pelengkap), yaitu ayat muhkamah, atau sunnah yang ditegakkan, atau faridah (pembagian waris) yang adil.
Telah diriwayatkan melalui hadis Ibnu Mas’ud dan Abu Sa’id, tetapi sanad masing-masing dari keduanya perlu dipertimbangkan.
Ibnu Uyaynah mengatakan, sebenarnya ilmu faraid itu dinamakan separo ilmu, karena dengan ilmu ini semua manusia mendapat cobaan.
Imam Bukhari mengatakan sehubungan dengan tafsir ayat ini:
telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Hisyam, bahwa Ibnu Juraij pernah menceritakan kepada mereka, telah menceritakan kepadaku Ibnul Munkadir, dari Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan: Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan Abu Bakar datang dengan berjalan kaki menjengukku di Bani Salamah. Nabi menjumpaiku dalam keadaan tidak sadar akan sesuatu pun. Lalu beliau meminta air wudu dan melakukan wudu, kemudian mencipratkan (bekas air wudunya itu) kepadaku hingga aku sadar. Lalu aku bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah yang akan engkau perintahkan kepadaku sehubungan dengan hartaku? Apa yang harus kuperbuat dengannya?” Maka turunlah firman-Nya. Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam Nasai melalui hadis Hajaj ibnu Muhammad Al-A’war, dari Ibnu Juraii dengan lafaz yang sama.
Jama’ah meriwayatkannya, semuanya melalui hadis Sufyan ibnu Uyaynah, dari Muhammad ibnul Munkadir, dari Jabir.
Hadis lain dari Jabir mengenai asbabun nuzul ayat ini.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Zakaria ibnu Addi, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah (yaitu Ibnu Amr Ar-Ruqqi), dari Abdullah ibnu Muhammad ibnu Uqail. dari Jabir yang menceritakan bahwa istri Sa’d ibnur Rabi’ datang menghadap Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, kedua wanita ini adalah anak perempuan Sa’d ibnur Rabi’, ayahnya telah gugur sebagai syuhada ketika Perang Uhud bersamamu. Sesungguhnya paman kedua anak perempuan ini mengambil semua hartanya dan tidak meninggalkan bagi keduanya sedikit harta pun, sedangkan keduanya tidak dapat menikah kecuali bila keduanya mempunyai harta.” Jabir melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda: Allah akan memberikan keputusan mengenai hal tersebut. Maka turunlah ayat tentang pembagian waris. Kemudian Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengirimkan utusan kepada paman kedua wanita itu dan bersabda (kepadanya): Berikanlah dua pertiganya kepada kedua anak perempuan Sa’d dan bagi ibu keduanya seperdelapan. sedangkan selebihnya adalah untukmu.
Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melalui jalur Abdullah ibnu Muhammad ibnu Uqail dengan. lafaz yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hal ini tidak dikenal kecuali melalui hadisnya (Ibnu Uqail).
Yang jelas hadis Jabir yang pertama sebenarnya menerangkan asbabun nuzul ayat terakhir dari surat An-Nisa ini, seperti yang akan diterangkan kemudian. Karena sesungguhnya saat itu ia hanya mempunyai beberapa saudara perempuan dan tidak mempunyai anak perempuan. dan sebenarnya kasus pewarisannya adalah berdasarkan kalalah. Tetapi kami sengaja menyebutkannya dalam pembahasan ayat ini karena mengikut kepada Imam Bukhari, mengingat dia pun menyebutkannya dalam bab ini.
Hadis kedua dari Jabir lebih dekat kepada pengertian asbabun nuzul ayat ini.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Allah mensyariatkan bagi kalian tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anak kalian. Yaitu: Bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.
Allah memerintahkan kepada kalian untuk berlaku adil terhadap mereka. Karena dahulu orang-orang Jahiliah menjadikan semua harta pusaka hanya untuk ahli waris laki-laki saja. sedangkan ahli waris perempuan tidak mendapatkan sesuatu pun darinya. Maka Allah memerintahkan agar berlaku adil di antara sesama mereka (para ahli waris) dalam pembagian pokok harta pusaka. tetapi bagian kedua jenis dibedakan oleh Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى, Dia rnenjadikan bagian anak lelaki sama dengan bagian dua anak perempuan.. Dikarenakan itu karena seorang lelaki dituntut kewajiban memberi nafkah, dan beban biaya lainnya. jerih payah dalam berniaga, dan berusaha serta menanggung semua hal yang berat. Maka sangatlah sesuai bila ia diberi dua kali lipat dari apa yang diterima oleh perempuan.
Seorang ulama yang cerdik menyimpulkan dari firman-Nya: Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan Bahwa Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى lebih kasih sayang kepada makhluk-Nya daripada seorang ibu kepada anaknya, karena Allah telah mewasiatkan kepada kedua orang tua terhadap anak-anak mereka, maka diketahuilah bahwa Dia lebih sayang kepada mereka daripada orang-orang tua mereka sendiri. Seperti yang disebutkan di dalam sebuah hadis sahih. bahwa ada seorang wanita dari kalangan para tawanan dipisahkan dengan bayinya. Lalu si ibu mencari-cari bayinya kesana kemari. Ketika ia menjumpai bayinya, maka ia langsung mengambilnya dan menempelkannya pada dadanya, lalu menyusukannya. Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda kepada para sahabatnya:
Bagaimanakah menurut kalian, tegakah wanita ini mencampakkan bayinya ke dalam api, sedangkan dia mampu melakukannya. Mereka menjawab, “Tidak, wahai Rasulullah.” Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda.”Maka demi Allah, sesungguhnya Allah lebih sayang kepada hamba-hamba-Nya daripada wanita ini kepada anaknya.”
Imam Bukhari sehubungan dengan bab ini mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yusuf, dari Warqa, dari Ibnu Abu Najaih. dari Ata. dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa pada mulanya harta pusaka bagi anak (si mayat) dan bagi kedua orang tuanya hanya wasiat, maka Allah menurunkan sebagian dari ketentuan tersebut menurut apa yang disukai-Nya. Dia menjadikan bagian anak lelaki sama dengan bagian dua anak perempuan, dan menjadikan bagi kedua orang tua, masing-masing dari keduanya mendapat seperenam dan sepertiga, dan bagi istri seperdelapan dan seperempat, dan bagi suami separo dan seperempat.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya:
Allah mensyariatkan bagi kalian tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anak kalian.Yaitu: Bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.
Demikian itu karena ketika turun ayat faraid yang isinya adalah ketetapan dari Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى yang menentukan bagian bagi anak lelaki, anak perempuan, dan kedua orang tua, maka orang-orang merasa tidak suka atau sebagian dari mereka tidak senang dengan pembagian itu. Di antara mereka ada yang mengatakan, “Wanita diberi seperempat atau seperdelapan dan anak perempuan diberi setengah serta anak lelaki kecil pun diberi, padahal tiada seorang pun dari mereka yang berperang membela kaumnya dan tidak dapat merebut ganimah.” Akan tetapi, hadis ini didiamkan saja, barangkali Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melupakannya atau kita katakan kepadanya, lalu beliau bersedia mengubahnya. Mereka berkata. “Wahai Rasulullah, mengapa engkau memberikan bagian warisan kepada anak perempuan separo dari harta yang ditinggalkan ayahnya. padahal ia tidak dapat menaiki kuda dan tidak pula dapat berperang rnembela kaumnya?” Bahkan anak kecil pun diberi bagian warisan padahal ia tidak dapat berbuat apa-apa. Tersebutlah bahwa di masa Jahiliah mereka tidak memberikan warisan kecuali hanya kepada orang yang berperang membela kaumnya. dan mereka hanya memberikannya kepada anak yang tertua dan yang lebih tua lagi.
Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
…dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan
Sebagian ulama mengatakan bahwa lafaz fauqa (lebih) adalah tambahan yang berarti, jika anak itu semuanya perempuan dua orang. Seperti pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya:
maka penggallah kepala mereka. (Al Anfaal:12)
Akan tetapi, pendapat ini kurang dapat diterima. baik dalam ayat ini ataupun dalam ayat yang kedua. Karena sesungguhnya tidak ada dalam Al-Qur’an suatu tambahan pun yang tidak ada faedahnya, maka pendapat tersebut tidak dapat diterima.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
…maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan.
Seandainya makna yang dimaksud adalah seperti apa yang dikatakan mereka, niscaya akan disebutkan dalam firman di atas dengan memakai Lafaz falahuma (maka bagi keduanya) dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Sebenarnya pengertian bagian dua pertiga bagi dua anak perempuan ini diambil dari pengertian hukum bagian dua saudara perempuan yang terdapat pada ayat terakhir dari surat An-Nisa. Karena sesungguhnya dalam ayat ini Allah menetapkan bahwa bagian dua saudara perempuan adalah dua pertiga. Apabila dua saudara perempuan mendapat bagian dua pertiga. maka terlebih lagi dua anak perempuan secara analoginya.
Dalam pembahasan yang lalu disebutkan melalui hadis Jabir, bahwa Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah menetapkan bagi kedua orang anak perempuan Sa’d ibnur Rabi’ dua pertiga. Maka Al-Kitab dan Sunnah menunjukkan kepada pengertian ini pula, juga sesungguhnya Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى telah berfirman:
jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. (An Nisaa:11)
Seandainya bagian dua anak perempuan adalah separo, niscaya hal ini dinaskan oleh ayat Al-Qur’an. Untuk itu disimpulkan, bilamana ditetapkan bagi anak perempuan yang seorang bagiannya sendiri, maka hal ini menunjukkan bahwa dua orang anak perempuan mempunyai bagian yang sama dengan tiga orang anak perempuan.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan. , hingga akhir ayat.
Ibu dan bapak mempunyai bagian warisan dalam berbagai keadaan seperti penjelasan berikut:
Pertama, bilamana keduanya berkumpul bersama anak-anak si mayat, maka ditetapkan bagi masing-masing dari keduanya bagian seperenam. Jika si mayat tidak mempunyai anak kecuali hanya seorang anak perempuan. maka bagi si anak perempuan ditetapkan separo harta warisan. sedangkan masing-masing kedua orang tua si mayat mendapat bagian seperenam. Kemudian si ayah mendapat seperenam lainnya secara ta’sib. Dengan demikian. pihak ayah dalam keadaan seperti ini memperoleh dua bagian. yaitu dari bagian yang tertentu dan dari status ‘asabah.
Kedua, bilamana ibu dan bapak yang mewaris harta peninggalan si mayat tanpa ada ahli waris yang lain, maka ditetapkan bagi ibu bagian sepertiga, sedangkan bagi ayah dalam keadaan seperti mengambil semua sisanya secara ‘asabah murni. Dengan demikian si ayah memperoleh bagian dua kali lipat dari si ibu yaitu dua pertiganya.
Seandainya kedua ibu bapak dibarengi dengan suami atau istri si mayat, maka si suami mengambil separonya atau si istri mengambil seperempatnya. Kemudian para ulama berbeda pendapat mengenai bagian yang diambil oleh si ibu sesudah tersebut. Pendapat mereka tersimpul ke dalam tiga kelompok:
Ibu mendapat bagian sepertiga dari sisa (setelah bagian suami atau istri diambil) dalam kedua masalah di atas. karena sisanya seakan-akan adalah seluruh warisan bagi keduanya, dan Allah menetapkan bagi si ibu separo dari apa yang diterima oleh si ayah. Dengan demikian, berarti si ibu mendapat sepertiga dari sisa sedangkan si ayah mendapat dua pertiga dari sisa. Demikianlah menurut pendapat Umar dan Usman serta riwayat yang paling sahih di antara dua riwayat yang bersumber dari Ali. Hal yang sama dikatakan oleh Ibnu Mas’ud dan Zaid ibnu Sabit, yang merupakan pegangan para ahli fiqih yang tujuh orang dan keempat orang Imam, serta jumhur ulama.
Si ibu mendapat sepertiga dari seluruh harta peninggalan. Karena berdasarkan keumuman makna firman-Nya: jika orang yang meninggal tidak punya anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Karena sesungguhnya makna ayat lebih mencakup daripada hanya dibatasi dengan adanya suami atau istri atau tidak sama sekali. Hal ini merupakan pendapat Ibnu Abbas. Telah diriwayatkan hal yang serupa dari Ali dan Mu’az ibnu Jabal. Hal yang sama dikatakan oleh Syuraih serta Daud Az-Zahiri. Pendapat ini dipilih oleh Abul Husain Muhammad ibnu Abdullah. ibnul Labban Al-Basri di dalam kitabnya Al-Ijaz fi ‘Umul Faraid. Tetapi pendapat ini masih perlu dipertimbangkan, bahkan boleh dikata lemah, karena makna lahiriah ayat menunjukkan bahwa sebenarnya pembagian tersebut hanyalah bila keduanya saja yang mewarisi semua harta, tanpa ada ahli waris yang lain. Dalam masalah ini sebenarnya suami atau istri mengambil bagian yang telah ditentukan. sedangkan sisanya dianggap seakan-akan semua warisan. lalu si ibu mengambil sepertiganya.
Ibu mendapat sepertiga dari seluruh warisan dalam masalah istri secara khusus. Istri mendapat bagian seperempatnya, yaitu memperoleh tiga point dari dua belas point. Sedangkan ibu mendapat sepertiganya, yaitu empat point. Sisanya diberikan kepada bapak si mayat. Dalam masalah suami, ibu mendapat sepertiga dari sisa agar si ibu tidak mendapat bagian lebih banyak daripada bagian si ayah sekiranya si ibu mendapat sepertiga dari seluruh harta warisan. Dengan demikian. maka asal masalahnya adalah enam: Suami mendapat separonya. yaitu tiga point, bagi si ibu sepertiga dari sisa, yakni asal masalah dikurangi bagian suami, yaitu satu point. Sedangkan bagi si ayah adalah sisanya setelah diambil bagian si ibu, yaitu dua point. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Sirin, pendapat ini merupakan gabungan dari kedua pendapat di atas. Tetapi pendapat ini pun dinilai lemah, dan pendapat yang sahih adalah yang pertama tadi.
Ketiga, bilamana ibu bapak si mayat berkumpul dengan saudara-saudara lelaki si mayat, baik yang dari seibu sebapak atau yang dari sebapak atau yang dari seibu. Maka sesungguhnya saudara-saudara si mayat tidak dapat warisan apa pun bila ada bapak si mayat. Tetapi sekalipun demikian, mereka dapat menghijab (menghalang-halangi) ibu untuk mendapat sepertiganya. tetapi yang didapat oleh si ibu hanyalah seperenamnya. Maka bagian si ibu bersama keberadaan saudara-saudara si mayat adalah seperenam.
Jika tiada ahli waris lagi selain ibu bapak, maka si bapak mendapat sisa keseluruhannya. Hukum mengenai kedua saudara lelaki sama dengan hukum banyak saudara lelaki, seperti yang telah disebutkan di atas. Demikianlah menurut jumhur ulama.
Imam Baihaqi meriwayatkan melalui jalur Syu’bah maula Ibnu Abbas, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa ia masuk menemui Usman, lalu Ibnu Abbas mengatakan ‘Sesungguhnya seorang saudara tidak dapat menolak ibu untuk mendapatkan sepertiga.” Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى telah berfirman: jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara. Dua orang saudara menurut bahasa kaummu berbeda dengan beberapa orang saudara. Maka sahabat Usman berkata.”Aku tidak mampu mengubah apa yang telah berlaku sebelumku dan telah dijalankan di beberapa kota besar, dijadikan sebagai kaidah waris-mewaris di kalangan orang-orang.”
Akan tetapi, kebenaran asar ini masih perlu dipertimbangkan, karena Syu’bah yang disebut dalam sanad asar ini pemah diragukan oleh Malik ibnu Anas. Seandainya asar ini sahih dari Ibnu Abbas, niscaya akan dijadikan pegangan oleh murid-muridnya yang terdekat. Apa yang dinukil oleh mereka dari Ibnu Abbas justru berbeda dengan hal tersebut.
Telah diriwayatkan oleh Abdur Rahman ibnu Abuz Zanad, dari Kharijah ibnu Zaid, dari ayatnya yang mengatakan bahwa dua orang saudara dinamakan pula ikhwah (beberapa orang saudara).
Kami telah membahas masalah ini secara terpisah dengan pembahasan yang terinci.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnul Mugirah, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Zurai, dari Sa’id, dari Qatadah, sehubungan dengan Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى: Jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara maka ibunya mendapat seperenam. Mereka (beberapa saudara) dapat merugikan bagian ibu. sekalipun mereka tidak dapat mewaris (karena adanya ayah si mayat). Tetapi jika saudara si mayat hanya seorang, maka ia tidak dapat menghalang-halangi ibu dari bagian sepertiganya, dan ibu baru dapat dihalang-halangi jika jumlah saudara lebih dari satu orang. Para ulama berpendapat. sebenarnya mereka (beberapa saudara) dapat menghalang-halangi sebagian dari bagian ibu —yakni dari sepertiga menjadi seperenam— karena ayah mereka menjadi wali yang menikahkan mereka dan memberi mereka nafkah, sedangkan ibu mereka tidak.
Pendapat ini dinilai cukup baik.
Tetapi telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas dengan sanad yang sahih, bahwa ia memandang seperenam bagian ibu karena ada mereka, adalah untuk mereka yang sisanya.
Pendapat ini dinilai syaz. diriwayatkan oleh Ibnu Jarir di dalam kitab tafsirnya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Yahya, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma’mar, dari Ibnu Tawus, dari ayahnya, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa seperenam yang dihalang-halangi oleh beberapa saudara dari ibu mereka adalah agar bagian tersebut untuk mereka, bukan untuk ayah mereka.
Selanjutnya Ibnu Jarir mengatakan bahwa pendapat ini berbeda dengan pendapat semua ulama. Telah menceritakan kepadaku Yunus, telah menceritakan kepada kami Sufyan, telah menceritakan kepada kami Amr, dari Al-Hasan ihnu Muhammad, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa kalalah ialah orang yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai orang tua (yakni yang mewarisinya hanyalah saudara-saudaranya saja).
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan), sesudah dibayar utangnya.
Para ulama Salaf dan Khalaf sepakat bahwa utang lebih didahulukan daripada wasiat. Pengertian ini dapat tersimpul dari makna ayat bila direnungkan secara mendalam.
Imam Ahmad. Imam Turmuzi, dan Imam Ibnu Majah serta para penulis kitab tafsir meriwayatkan melalui hadis Ibnu Ishaq, dari Al-Haris ibnu Abdullah Al-A’war, dari Ali ibnu Abu Talib yang mengatakan bahwa:
sesungguhnya kalian telah membaca firman-Nya: sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Sesungguhnya Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah memutuskan bahwa utang lebih didahulukan daripada wasiat. Sesungguhnya saudara-saudara yang seibu itu dapat saling mewaris, tetapi saudara-saudara yang berbeda ibu tidak dapat saling mewaris. Seorang Lelaki dapat mewarisi saudara yang seibu sebapak, tetapi tidak kepada saudara yang sebapak.
Kemudian Imam Turmuzi mengatakan, “Kami tidak mengetahui asar ini kecuali melalui riwayat Al-Haris, sebagian dan kalangan ulama ada yang membicarakan tentangnya.”
Menurut kami: Al-Haris adalah orang yang mahir dalam Ilmu faraid dan mendalaminya serta menguasai ilmu hisab.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Orang-orang tua kalian dan anak-anak kalian, kalian tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagi kalian.
Sesungguhnya Kami menentukan bagi orang-orang tua dan anak-anak bagian yang tertentu. dan Kami samakan di antara masing-masingnya dalam pembagian warisan, berbeda dengan perkara yang biasa dilakukan di Masa Jahiliah. Berbeda dengan apa yang pernah diterapkan pada permulaan Islam, yaitu harta pusaka buat anak. sedangkan buat kedua orang tua adalah berdasarkan wasiat, seperti dalam riwayat yang lalu dari Ibnu Abbas. Sesungguhnya Allah menasakh hal tersebut, lalu menggantinya dengan ketentuan dalam ayat ini, maka diberi-Nyalah bagian kepada mereka, juga kepada yang lainnya berdasarkan kekerabatan mereka (dengan si mayat). Hal ini tiada lain karena manusia itu adakalanya mendapat manfaat duniawi atau ukhrawi atau kedua-duanya dari pihak ayah banyak hal yang tidak ia dapatkan dari anaknya sendiri: tetapi adakalanya sebaliknya. Karena itulah Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menyebutkan dalam firman-Nya:
Orang-orang tua kalian dan anak-anak kalian, kalian tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagi kalian.
Yakni sesungguhma manfaat dapat diharapkan dari pihak ini, sebagaimana manfaat pun dapat diharapkan dari pihak yang lain. Karena itulah maka Kami menentukan bagian untuk ini dan untuk itu, sena Kami samakan di antara kedua belah pihak dalam hal mewaris harta pusaka.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Ini adalah ketetapan dari Allah.
Ketetapan yang telah Kami sebutkan menyangkut rincian bagian warisan dan memberikan kepada sebagian ahli waris bagian yang lebih banyak daripada yang lainnya. Hal tersebut merupakan ketentuan dari Allah dan keputusan yang telah ditetapkan-Nya. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana, Dia tidak akan meletakkan segala sesuatu yang bukan pada tempatnya, dan Dia pasti memberi setiap orang hak yang layak, diterima sesuai dengan keadaannya. Karena itulah Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berfirman:
Sesungguhnya Allah Maha tahu dan Maha bijaksana.
Firman Allah جَلَّ جَلالُهُ, يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ “Allah جَلَّ جَلالُهُ mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.” Maksudnya, anak-anak kalian wahai para kedua orang tua, di mana mereka itu adalah amanah bagi kalian dan sesungguhnya Allah جَلَّ جَلالُهُ telah mewasiatkan mereka kepada kalian agar kalian mengurus kemaslahatan mereka, baik agama maupun dunia mereka, maka kalian harus mengajar mereka, mendidik mereka, dan menghalangi mereka dari kerusakan, memerintahkan mereka untuk taat kepada Allah جَلَّ جَلالُهُ dan konsisten dalam ketakwaan secara terus menerus, sebagaimana Allah جَلَّ جَلالُهُ berfirman,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (At-Tahrim: 6).
Sebenarnya anak-anak telah diwasiatkan kepada orang tua mereka, bila para orang tua menunaikan wasiat tersebut, maka mereka mendapat balasan yang berlimpah, dan bila mereka melalaikannya, maka mereka berhak menerima ancaman dan siksaan. Ini di antara yang menunjukkan bahwa Allah جَلَّ جَلالُهُ adalah lebih Penyayang terhadap hamba-hambaNya daripada kedua orang tua, di mana Allah جَلَّ جَلالُهُ telah mewasiatkan kepada kedua orang tua padahal mereka telah memiliki kasih sayang yang begitu besar terhadap anak-anak mereka.
Kemudian Allah جَلَّ جَلالُهُ menyebutkan tentang tata cara pewarisan mereka. Allah جَلَّ جَلالُهُ berfirman, لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ “Bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan,” yaitu, anak-anak atau anak dari anak laki-laki (cucu), bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan bila tidak ada seorang ahli waris yang memiliki hak tertentu, demikian juga apa yang tersisa dari pembagian hak-hak tertentu. Para ulama telah berijma’ atas hal tersebut. Dan bahwasanya dengan adanya anak-anak, maka harta warisan adalah milik mereka dan tidak ada bagian sama sekali bagi anak-anak dari anak laki-laki (cucu), di mana anak-anak tersebut adalah laki-laki dan perempuan. Ini dengan bersatunya laki-laki dan perempuan.
Dalam hal ini ada dua kondisi; hanya laki-laki saja, dan akan datang ketentuannya dan hanya perempuan saja. Allah جَلَّ جَلالُهُ telah menyebutkan hal itu dalam FirmanNya, فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ “Dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua,” yaitu, anak perempuan atau anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan) tiga orang atau lebih, فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً “maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika anak perempuan itu seorang saja,” yaitu, seorang anak perempuan atau anak perempuan dari anak laki-laki, (cucu perempuan),فَلَهَا النِّصْفُ “maka ia memperoleh separuh harta,” ini merupakan ijma’.
Penting ditanyakan, dari mana diambil dasar hukum bagi dua orang anak perempuan mendapatkan duapertiga setelah adanya ijma’ akan hal tersebut? Maka jawabannya adalah; bahwasanya itu diambil dari Firman Allah جَلَّ جَلالُهُ, وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ “Jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta.” Itu artinya, jika lebih dari satu maka hak tertentu itu beralih dari setengah dan urutan persentase setelah (setengah) tersebut adalah dua pertiga. Demikian juga Firman Allah جَلَّ جَلالُهُ, لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ “Bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan,” apabila seseorang meninggalkan seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, maka anak laki-laki itu mendapatkan dua pertiga. Dan Allah جَلَّ جَلالُهُ telah mengabarkan bahwa bagian anak laki-laki itu seperti bagian dua anak perempuan, dengan demikian itu menunjukkan bahwa dua anak perempuan mendapatkan dua pertiga. Begitu juga seorang anak perempuan apabila mendapatkan bagian sepertiga bersama saudara laki-lakinya padahal ia lebih besar kemudharatannya daripada saudara lainnya yang perempuan, maka bagian sepertiga itu bersama saudara lain yang perempuan adalah lebih utama dan lebih patut. Demikian juga Firman Allah جَلَّ جَلالُهُ tentang dua saudara perempuan,
فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ
“Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal.” (An-Nisa`: 176).
Itu adalah sebuah nash yang jelas tentang dua saudara perempuan. Maka apabila dua orang saudara perempuan itu dengan jauhnya jarak mereka mendapatkan dua pertiga, maka dua anak perempuan dengan dekatnya jarak adalah lebih utama dan lebih patut. Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah memberikan kedua orang anak perempuan Sa’d dua pertiga, sebagaimana yang termaktub dalam kitab ash-Shahih .
Lalu apa faidah dari Firman Allah جَلَّ جَلالُهُ, فَوْقَ اثْنَتَيْنِ “Lebih dari dua?”
Faidah Firman Allah جَلَّ جَلالُهُ itu -dan hanya Allah جَلَّ جَلالُهُ yang lebih Mengetahuinya- adalah agar diketahui bahwa hak tertentu yaitu dua pertiga tersebut tidaklah bertambah dengan bertambahnya jumlah mereka lebih dari dua orang, akan tetapi jumlah tersebut untuk dua orang atau lebih.
Ayat ini menunjukkan bahwa apabila didapatkan seorang anak perempuan dan satu atau beberapa anak perempuan dari anak laki-laki (cucu), maka anak perempuan itu mendapatkan setengah dan tersisa dari dua pertiga yang telah ditetapkan oleh Allah جَلَّ جَلالُهُ bagi anak-anak perempuan atau anak-anak perempuan dari anak laki-laki (cucu) seperenam, lalu diberikanlah bagian itu kepada seorang anak atau beberapa anak perempuan dari anak laki-laki (cucu).
Oleh karena itu bagian seperenam tersebut dinamakan pelengkap bagi dua pertiga. Kondisi seperti itu terjadi juga bagi anak perempuan dari anak laki-laki (cucu) bersama anak-anak perempuan dari anak laki-laki (anaknya cucu) yang lebih bawah darinya.
Ayat ini juga menunjukkan bahwa ketika anak-anak perempuan itu atau anak-anak perempuan dari anak laki-laki itu telah mengambil seluruh bagian dua pertiga itu, maka hilanglah bagian selain mereka (di bawah mereka) dari anak-anak perempuan dari anak laki-laki, karena Allah جَلَّ جَلالُهُ tidak menetapkan bagian mereka kecuali dua pertiga saja dan bagian itu telah habis mereka ambil. Sekiranya mereka tidak gugur haknya, niscaya hal itu mengakibatkan ditetapkannya bagi mereka lebih banyak lagi dari dua pertiga, dan hal itu bertentangan dengan nash yang ada. Ketentuan hukum-hukum tersebut telah disepakati oleh para ulama, dan segala pujian hanya bagi Allah جَلَّ جَلالُهُ.
Firman Allah جَلَّ جَلالُهُ, مَا تَرَكَ “Dari harta yang ditinggalkan” menunjukkan bahwa seluruh ahli waris mewarisi apa yang ditinggalkan oleh seorang yang meninggal, berupa rumah, perabot, emas, perak, ataupun lainnya, hingga diyat (denda) yang belum terlaksana kecuali setelah ia meninggal, juga hutang-hutang yang dipikulnya.
Kemudian Allah جَلَّ جَلالُهُ menyebutkan warisan kedua orang tua, dalam FirmanNya, وَلِأَبَوَيْهِ “Dan untuk dua orang ibu-bapak,” yaitu ayah orang yang meninggal atau ibunya, لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ “bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggal-kan, jika yang meninggal itu mempunyai anak,” yaitu, anak-anak si mayit atau cucu-cucunya dari anak laki-lakinya, yang laki-laki maupun perempuan, seorang ataupun banyak. Adapun ibu, ia mendapat tidak lebih dari seperenam bersama dengan adanya salah seorang dari anak-anak si mayit, sedang ayah, dengan adanya be-berapa anak laki-laki tidak berhak mendapat lebih dari seperenam. Apabila anak tersebut seorang perempuan atau beberapa perempuan dan tidak ada lagi warisan yang tersisa setelah pembagian hak-hak yang tertentu, seperti kedua orang tua dan dua orang anak perempuan, maka mereka tidak mempunyai bagiannya lagi dari ‘Ashabah (sisa pembagian), dan apabila masih tersisa setelah pembagian hak seorang anak perempuan atau beberapa anak perempuan, maka ayah mendapatkan seperenam karena hak tertentu dan sisa pembagian karena ‘Ashabah. Hal itu karena kita telah memberikan hak-hak tertentu kepada pemiliknya, dan apa yang tersisa darinya maka yang lebih berhak adalah yang laki-laki, dan ayah lebih berhak lebih dahulu daripada saudara si mayit, pamannya, atau yang lainnya.
فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ “Jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga.” Maksudnya, yang tersisa adalah ayah; karena Allah جَلَّ جَلالُهُ menyandarkan harta kepada ayah, sedang ibu hanya dengan satu kali sandaran saja. Kemudian Allah جَلَّ جَلالُهُ menentukan hak bagian ibu. Itu menunjukkan bahwa sisanya adalah hak ayah. Dengan demikian diketahui bahwa ayah dalam kondisi tidak adanya anak-anak dari si mayit tidak memiliki hak tertentu, akan tetapi ia mewarisi dengan cara ‘Ashabah seluruh harta atau apa-apa yang tersisa dari pembagian hak-hak yang tertentu.
Akan tetapi apabila didapatkan bersama kedua orang tua salah seorang dari suami atau istrinya dari si mayit -yang diistilahkan dengan sebutan Umariyatain- maka suami atau istri mengambil haknya yang tertentu, kemudian ibu mengambil sepertiga dari sisa pembagian itu dan ayah mendapat sisanya. Ini berlandaskan Firman Allah جَلَّ جَلالُهُ, وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ “Dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga,” yaitu, sepertiga dari apa yang akan diwarisi oleh kedua orang tua tersebut. Dan itu terwujud dalam kedua kondisi berikut: Seperenam pada kondisi (yang menjadi ahli waris adalah) suami, ayah dan ibu atau seperempat pada kondisi (yang mewarisi adalah) istri, ayah dan ibu.
Ayat itu tidak menunjukkan bahwa ibu mewarisi sepertiga dari harta secara penuh dengan tidak adanya anak-anak si mayit, hingga dikatakan, sesungguhnya kedua kondisi itu telah dikecualikan dari hal tersebut.
Dan penjelasan dari hal itu adalah bahwa apa yang diambil oleh suami atau istri seperti apa yang diambil oleh orang-orang yang memiliki hutang atas si mayit, yaitu diambil dari jumlah harta si mayit secara keseluruhan, dan sisa dari itu adalah hak kedua orang tua. Dan didasari pula oleh karena bila kita memberikan kepada ibu sepertiga harta warisan, pastilah bagian ibu lebih banyak dari ayah pada kondisi adanya suami, atau ayah akan mengambil pada kondisi adanya istri lebih banyak dari ibu setengah dari seperenam. Ini tidak ada kesamaannya, dan yang seharusnya adalah persamaannya dengan ayah atau ayah mengambil dua kali lipat dari apa yang diambil oleh ibu.
فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ “Jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam,” baik saudara kandung atau seayah atau seibu, laki-laki maupun perempuan, yang mendapat warisan atau terhalang mendapat warisan dengan adanya ayah atau kakek. Akan tetapi mungkin akan dikatakan oleh sebagian orang, bahwa Firman Allah جَلَّ جَلالُهُ, فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ “Jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara” tidak secara zahir mencakup orang-orang yang tidak mendapat warisan, dengan dalil bahwa dalam ayat itu tidak terkandung orang yang terhalang oleh orang yang berhak mendapat setengah. Dengan demikian saudara tidaklah terhalang dari sepertiga kecuali saudara yang mendapat warisan saja. Ini didukung oleh kenyataan bahwa hikmah terhalangnya mereka dari sepertiga adalah agar saudara yang mewarisi itu mendapatkan sejumlah harta yang cukup dan hal itu tidak ada. WAllah جَلَّ جَلالُهُu a’lam, akan tetapi dengan syarat jumlah mereka dua atau lebih.
Hal itu menjadi lebih rumit, karena lafazh “saudara” dalam ayat tersebut dengan lafazh jamak. Itu dapat dijawab dengan kenyataan bahwa maksud dari lafazh itu adalah hanya untuk menunjukkan jumlah bukan jamak, dan hal ini ditegaskan dengan lafazh “dua,” dan terkadang lafazh jamak itu dimaksudkan dan diartikan dengan dua, sebagaimana dalam Firman Allah جَلَّ جَلالُهُ tentang Dawud dan Sulaiman ‘alaihimassalam,
وَكُنَّا لِحُكْمِهِمْ شَاهِدِينَ
“Dan Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu.” (Al-Anbiya`: 78).
Dan Allah جَلَّ جَلالُهُ berfirman tentang saudara seibu, وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ “Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka masing-masing dari kedua jenis saudara itu mendapatkan seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.” Allah جَلَّ جَلالُهُ menggunakan lafazh jamak, dan yang dimaksudkan adalah dua atau lebih menu-rut ijma’.
Dengan dasar ini, maka apabila seorang mayit meninggalkan ibu, ayah dan beberapa saudara, maka hak ibu adalah seperenam, dan sisanya adalah hak ayah. Beberapa saudara itu menghalangi ibu mendapatkan sepertiga dan ayah menghalangi mereka mendapat bagian, kecuali dengan adanya kemungkinan lain, yaitu hak ibu adalah sepertiga dan sisanya adalah hak ayah.
Kemudian Allah جَلَّ جَلالُهُ berfirman, مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ “Sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutang-nya,” maksudnya, hak-hak tertentu tersebut, bagian-bagiannya dan warisan-warisan itu sesungguhnya dapat berlaku dan terjadi setelah dipotong oleh hutang yang ditanggung oleh mayit; hak milik Allah جَلَّ جَلالُهُ atau milik manusia lain. Dan juga setelah pelaksanaan wasiat yang telah diwasiatkan oleh mayit setelah meninggalnya. Sisa dari itu semualah yang menjadi harta peninggalan yang berhak diwarisi oleh para ahli waris.
Dan wasiat didahulukan dalam ayat ini padahal pelaksanaannya diakhirkan setelah hutang agar diperhatikan dengan baik, karena merealisasikan wasiat itu sangatlah berat bagi para ahli waris, dan bila tidak demikian, maka hutang-hutang adalah didahulukan dari wasiat, dan diambil dari harta yang ada. Sedangkan wasiat adalah sah dengan hanya sepertiga saja atau kurang dari itu, bagi orang di luar keluarga yang tidak menjadi ahli waris. Selain dari itu tidak boleh dilaksanakan kecuali dengan izin dari para ahli waris.
Allah جَلَّ جَلالُهُ berfirman, آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا “(Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu.”
Sekiranya ketentuan pembagian warisan itu dikembalikan kepada akal pikiran dan pilihan kalian, niscaya akan terjadi kemudharatan di mana hanya Allah جَلَّ جَلالُهُ saja yang mengetahuinya, karena tidak sempurnanya akal pikiran dan tidak adanya pengetahuannya tentang hal-hal yang patut dan baik dalam segala waktu dan tempat. Mereka tidak mengetahui anak yang mana atau orang tua yang mana yang lebih berguna bagi mereka dan lebih dekat kepada tercapainya tujuan-tujuan mereka, baik agama maupun dunia.
فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا “Ini adalah ketetapan dari Allah جَلَّ جَلالُهُ. Sesungguhnya Allah جَلَّ جَلالُهُ Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” Maksudnya, telah ditentukan oleh Allah جَلَّ جَلالُهُ yang meliputi segala sesuatu dengan ilmuNya, dan berlaku bijaksana dalam segala syariatNya, dan menentukan apa yang telah ditetapkanNya dengan sebaik-baik ketentuan. Akal manusia tidaklah mampu untuk menghadirkan seperti hukum-hukumNya yang baik dan sesuai bagi setiap zaman dan tempat, serta kondisi.
Setelah ayat sebelumnya menjelaskan dampak orang yang mengabaikan hak orang lain, ayat ini menjelaskan ketentuan pembagian harta warisan yang dijelaskan Allah secara rinci agar tidak diabaikan. Allah mensyariatkan, yakni mewajibkan, kepada kamu tentang pembagian harta warisan untuk anak-anak kamu baik laki-laki atau perempuan, dewasa atau kecil, yaitu bagian seorang anak laki-laki apabila bersamanya ada anak perempuan dan tidak ada halangan yang ditetapkan agama untuk memperoleh warisan, disebabkan karena membunuh pewaris atau berbeda agama, maka ia berhak memperoleh harta warisan yang jumlahnya sama dengan bagian dua orang anak perempuan, karena lakilaki mempunyai tanggung jawab memberi nafkah bagi keluarga. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua dan tidak ada bersama keduanya seorang anak lelaki, maka bagian mereka adalah dua pertiga dari harta warisan yang ditinggalkan ibu atau ayahnya. Jika dia, anak perempuan, itu seorang diri saja dan tidak ada bersamanya anak laki-laki, maka dia memperoleh harta warisan setengah dari harta yang ditinggalkan orang tuanya. Demikianlah harta warisan yang diterima anak apabila orang tua mereka meninggal dunia dan meninggalkan harta. Dan apabila yang meninggal dunia adalah anak laki-laki atau perempuan, maka untuk kedua ibu-bapak mendapat bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan oleh sang anak. Jumlah itu menjadi hak bapak dan ibu, jika dia yang meninggal itu mempunyai anak laki-laki atau perempuan. Akan tetapi, jika dia yang meninggal itu tidak mempunyai anak laki-laki atau perempuan dan harta dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya saja, maka ibunya mendapat bagian warisan sepertiga dan selebihnya untuk ayahnya. Jika dia yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara dua atau lebih, baik saudara seibu dan sebapak, maupun saudara seibu atau sebapak saja, lelaki atau perempuan, dan yang meninggal tidak mempunyai anak, maka ibunya mendapat bagian warisan seperenam dari harta waris yang ditinggalkan, sedang ayahnya mendapat sisanya. Pembagian-pembagian tersebut di atas dibagikan kepada ahli warisnya yang berhak mendapatkan setelah dipenuhi wasiat yang dibuatnya sebelum meninggal dunia atau setelah dibayar utangnya. Allah sengaja menentukan tentang pembagian harta warisan untuk orang tua dan anak-anak kamu sedemikian rupa karena kamu tidak mengetahui hikmah di balik ketentuan itu siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagi kamu dari kedua orang tua dan anak-anak kalian. Ini adalah ketetapan yang turun langsung dari Allah untuk ditaati dan diperhatikan. Sungguh, Allah maha mengetahui segala sesuatu, mahabijaksana dalam segala ketetapan-ketetapan-Nya. Demikianlah ketentuan pembagian harta warisan yang ditetapkan langsung oleh Allah agar tidak terjadi perselisihan di antara ahli waris. Jika manusia yang membuat ketentuan, niscaya terjadi kecurangan dan kezaliman. Allah mahatahu hikmah di balik ketetapan dan ketentuan itusetelah dijelaskan tentang perincian bagian warisan sebab nasab, berikut ini dijelaskan tentang pembagian warisan karena perkawinan. Dan adapun bagian kamu, wahai para suami, apabila ditinggal mati istri adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak darimu atau anak dari suami lain. Jika mereka yaitu istri-istrimu itu mempunyai anak laki-laki atau perempuan, maka kamu hanya berhak mendapat bagian seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah dipenuhi wasiat yang mereka buat sebelum mereka meninggal atau setelah dibayar utangnya apabila mereka mempunyai utang. Jika suami meninggal, maka para istri memperoleh bagian seperempat dari harta warisan yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak dari mereka atau anak dari istri lain. Jika kamu mempunyai anak laki-laki atau perempuan, maka para istri memperoleh bagian seperdelapan dari harta warisan yang kamu tinggalkan setelah dipenuhi wasiat yang kamu buat sebelum kamu meninggal atau setelah dibayar utang-utangmu apabila ada utang yang belum dibayar. Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan kalalah, yakni orang yang meninggal dalam keadaan tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak sebagai pewaris langsung, tetapi orang yang meninggal tersebut mempunyai seorang saudara laki-laki seibu atau seorang saudara perempuan seibu, maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu mendapat bagian seperenam dari harta yang ditinggalkan secara bersama-sama. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka mendapat bagian secara bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu tanpa ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Pembagian waris ini baru boleh dilakukan setelah dipenuhi wasiat yang dibuatnya sebelum meninggal atau setelah dibayar utangnya apabila mempunyai utang yang belum dilunasi. Wasiat yang dibolehkan adalah untuk kemaslahatan, bukan untuk mengurangi apalagi menghalangi seseorang memperoleh bagiannya dari harta warisan tersebut dengan tidak menyusahkan ahli waris lainnya. Demikianlah ketentuan Allah yang ditetapkan sebagai wasiat yang harus dilaksanakan dengan sepenuh hati. Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan, maha penyantun dengan tidak segera memberi hukuman bagi orang yang melanggar perintah-Nya.
An-Nisa Ayat 11 Arab-Latin, Terjemah Arti An-Nisa Ayat 11, Makna An-Nisa Ayat 11, Terjemahan Tafsir An-Nisa Ayat 11, An-Nisa Ayat 11 Bahasa Indonesia, Isi Kandungan An-Nisa Ayat 11
Tafsir Surat An-Nisa Ayat: 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | 21 | 22 | 23 | 24 | 25 | 26 | 27 | 28 | 29 | 30 | 31 | 32 | 33 | 34 | 35 | 36 | 37 | 38 | 39 | 40 | 41 | 42 | 43 | 44 | 45 | 46 | 47 | 48 | 49 | 50 | 51 | 52 | 53 | 54 | 55 | 56 | 57 | 58 | 59 | 60 | 61 | 62 | 63 | 64 | 65 | 66 | 67 | 68 | 69 | 70 | 71 | 72 | 73 | 74 | 75 | 76 | 77 | 78 | 79 | 80 | 81 | 82 | 83 | 84 | 85 | 86 | 87 | 88 | 89 | 90 | 91 | 92 | 93 | 94 | 95 | 96 | 97 | 98 | 99 | 100 | 101 | 102 | 103 | 104 | 105 | 106 | 107 | 108 | 109 | 110 | 111 | 112 | 113 | 114 | 115 | 116 | 117 | 118 | 119 | 120 | 121 | 122 | 123 | 124 | 125 | 126 | 127 | 128 | 129 | 130 | 131 | 132 | 133 | 134 | 135 | 136 | 137 | 138 | 139 | 140 | 141 | 142 | 143 | 144 | 145 | 146 | 147 | 148 | 149 | 150 | 151 | 152 | 153 | 154 | 155 | 156 | 157 | 158 | 159 | 160 | 161 | 162 | 163 | 164 | 165 | 166 | 167 | 168 | 169 | 170 | 171 | 172 | 173 | 174 | 175 | 176
Raih pahala amal jariyah dengan cara membagikan (share) konten ini kepada yang lainnya. Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه
"Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)