{3} Ali ‘Imran / آل عمران | الْقُرْآنُ الْكَرِيْمُ | المائدة / Al-Maidah {5} |
Tafsir Al-Qur’an Surat An-Nisa النساء (Wanita) lengkap dengan tulisan arab latin, arti dan terjemah Bahasa Indonesia. Surah ke 4 Tafsir ayat Ke 29.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا ﴿٢٩﴾
yā ayyuhallażīna āmanụ lā ta`kulū amwālakum bainakum bil-bāṭili illā an takụna tijāratan ‘an tarāḍim mingkum, wa lā taqtulū anfusakum, innallāha kāna bikum raḥīmā
QS. An-Nisa [4] : 29
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu.
Wahai orang-orang yang membenarkan Allah dan Rasul-Nya dan mengamalkan syariat-Nya, tidak halal bagi kalian memakan harta sebagian dari kalian dengan cara yang tidak benar, kecuali bila ia sesuai dengan tuntunan syariat dan usaha yang halal atas dasar sukarela diantara kalian. Janganlah sebagian dari kalian membunuh sebagian yang lain sehingga kalian membinasakan diri kalian sendiri dengan melakukan dosa-dosa dan kemaksiatan-kemaksiatan. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepada kalian dalam segala apa yang Dia perintahkan kepada kalian, dan apa yang Dia larang kalian darinya.
Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى melarang hamba-hamba-Nya yang beriman memakan harta sebagian dari mereka atas sebagian yang lain dengan cara yang batil, yakni melalui usaha yang tidak diakui oleh syariat, seperti dengan cara riba dan judi serta cara-cara lainnya yang termasuk ke dalam kategori tersebut dengan menggunakan berbagai macam tipuan dan pengelabuan. Sekalipun pada lahiriahnya cara-cara tersebut memakai cara yang diakui oleh hukum syara’, tetapi Allah lebih mengetahui bahwa sesungguhnya para pelakunya hanyalah semata-mata menjalankan riba, tetapi dengan cara hailah (tipu muslihat). Demikianlah yang terjadi pada kebanyakannya.
Hingga Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ibnul MuSanna, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami Daud, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan seorang lelaki yang membeli dari lelaki lain sebuah pakaian. Lalu lelaki pertama mengatakan, “Jika aku suka, maka aku akan mengambilnya, dan jika aku tidak suka, maka akan ku kembalikan berikut dengan satu dirham.” Ibnu Abbas mengatakan bahwa hal inilah yang disebutkan oleh Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى di dalam firman-Nya:
Hai orang-orang yang beriman. janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil.
Ibnu Abu Hatim mengatakan. telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Harb Al-Musalli, telah menceritakan kepada kami lbnul Futlail, dari Daud Al-Aidi, dari Amir, dari Alqamah, dari Abdullah sehubungan dengan ayat ini, bahwa ayat ini muhkamah, tidak dimansukh dan tidak akan dimansukh sampai hari kiamat.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ketika Allah menurunkan firman-Nya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil.
Maka kaum muslim berkata, “Sesungguhnya Allah telah melarang kita memakan harta sesama kita dengan cara yang batil, sedangkan makanan adalah harta kita yang paling utama. Maka tidak halal bagi seorang pun di antara kita makan pada orang lain, bagaimanakah nasib orang lain (yang tidak mampu)?” Maka Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menurunkan firman-Nya: Tiada dosa atas orang-orang tuna netra. (Al Fath:17), hingga akhir ayat.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
terkecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kalian.
Lafaz tijaratan dapat pula dibaca tijaratun. ungkapan ini merupakan bentuk istisna munqati’. Seakan-akan dikatakan, “Janganlah kalian menjalankan usaha yang menyebabkan perbuatan yang diharamkan, tetapi berniagalah menurut peraturan yang diakui oleh syariat, yaitu perniagaan yang dilakukan suka sama suka di antara pihak pembeli dan pihak penjual, dan carilah keuntungan dengan cara yang diakui oleh syariat.” Perihalnya sama dengan istisna yang disebutkan di dalam firman-Nya:
dan janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan sesuatu (sebab) yang benar. (Al An’am:151)
Juga seperti yang ada di dalam firman-Nya:
mereka tidak akan merasakan mati di dalamnya kecuali mati di dunia. (Ad Dukhaan:56)
Berangkat dari pengertian ayat ini, Imam Syafii menyimpulkan dalil yang mengatakan tidak sah jual beli itu kecuali dengan serah terima secara lafzi (qabul), karena hal ini merupakan bukti yang menunjukkan adanya suka sama suka sesuai dengan makna nas ayat. Lain halnya dengan jual beli secara mu’atah, hal ini tidak menunjukkan adanya saling suka sama suka, adanya sigat ijab qabul itu merupakan suatu keharusan dalam jual beli.
Tetapi jumhur ulama. Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Ahmad berpendapat berbeda. Mereka mengatakan, sebagaimana ucapan itu menunjukkan adanya suka sama suka. begitu pula perbuatan, ia dapat menunjukkan kepastian adanya suka sama suka dalam kondisi tertentu. Karena itu, mereka membenarkan keabsahan jual beli secara mu’atah (secara mutlak).
Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa jual beli mu’atah hanya sah dilakukan terhadap hal-hal yang kecil dan terhadap hal-hal yang dianggap oleh kebanyakan orang sebagai jual beli. Tetapi pendapat ini adalah pandangan hati-hati dari sebagian ulama ahli tahqiq dari kalangan mazhab Syafii.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan firman-Nya:
…kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kalian.
Baik berupa jual beli atau ata yang diberikan dari seseorang kepada orang lain. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki’, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Al-Qasim, dari Sulaiman Al-Ju’fi, dari ayahnya, dari Maimun ibnu Mihran yang menceritakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda:
Jual beli harus dengan suka sama suka, dan khiyar adalah sesudah transaksi, dan tidak halal bagi seorang muslim menipu muslim lainnya.
Hadis ini berpredikat mursal.
Faktor yang menunjukkan adanya suka sama suka secara sempurna terbukti melalui adanya khiyar majelis. Seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahihain, bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda:
Penjual dan pembeli masih dalam keadaan khiyar selagi keduanya belum berpisah.
Menurut lafaz yang ada pada Imam Bukhari disebutkan seperti berikut:
Apabila dua orang lelaki melakukan transaksi jual beli, maka masing-masing pihak dari keduanya boleh khiyar selagi keduanya belum berpisah.
Orang yang berpendapat sesuai dengan makna hadis ini ialah Imam Ahmad dan Imam Syafii serta murid-murid keduanya, juga kebanyakan ulama Salaf dan ulama Khalaf.
Termasuk ke dalam pengertian hadis ini adanya khiyar syarat sesudah transaksi sampai tiga hari berikutnya disesuaikan menurut apa yang dijelaskan di dalam transaksi mengenai subyek barangnya, sekalipun sampai satu tahun, selagi masih dalam satu kampung dan tempat lainnya yang semisal. Demikianlah menurut pendapat yang terkenal dari Imam Malik.
Mereka menilai sah jual beli mu’atah secara mutlak. Pendapat ini dikatakan oleh mazhab Imam Syafii. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa jual beli secara mu’atah itu sah hanya pada barang-barang yang kecil yang menurut tradisi orang-orang dinilai sebagai jual beli. Pendapat ini merupakan hasil penyaringan yang dilakukan oleh segolongan ulama dari kalangan murid-murid Imam Syafii dan telah disepakati di kalangan mereka.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Dan janganlah kalian membunuh diri kalian.
Yakni dengan mengerjakan hal-hal yang diharamkan Allah dan melakukan perbuatan-perbuatan maksiat terhadap-Nya serta memakan harta orang lain secara batil.
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepada kalian.
Yaitu dalam semua perintah-Nya kepada kalian dan dalam semua larangannya.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasan ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai’ah, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Abu Habib, dari Imran ibnu Abu Anas, dari Abdur Rahman ibnu Jubair, dari Amr ibnul As r.a. yang menceritakan bahwa ketika Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengutusnya dalam Perang Zatus Salasil, di suatu malam yang sangat dingin ia bermimpi mengeluarkan air mani. Ia merasa khawatir bila mandi jinabah, nanti akan binasa. Akhirnya ia terpaksa bertayamum, lalu salat Subuh bersama teman-temannya. Amr ibnul As melanjutkan kisahnya, “Ketika kami kembali kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, maka aku ceritakan hal tersebut kepadanya. Beliau bersabda, ‘Hai Amr, apakah kamu salat dengan teman-temanmu, sedangkan kamu mempunyai jinabah?’. Aku (Amr) menjawab, ‘Wahai Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, sesungguhnya aku bermimpi mengeluarkan air mani di suatu malam yang sangat dingin, hingga aku merasa khawatir bila mandi akan binasa, kemudian aku teringat kepada firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى yang mengatakan:
Dan janganlah kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepada kalian.
Karena itu, lalu aku bertayamum dan salat.’ Maka Rasulullah Saw tertawa dan tidak mengatakan sepatah kata pun.”
Ia meriwayatkan pula dari Muhammad ibnu Abu Salamah, dari Ibnu Wahb, dari Ibnu Luhai’ah, dan Umar ibnul Haris, keduanya dari Yazid ibnu Abu Habib, dari Imran ibnu Abu Anas, dari Abdur Rahman ibnu Jubair Al-Masri, dari Abu Qais maula Amr ibnul As, dari Amr ibnul عَلَيْهِ السَلاَمُ Lalu ia menuturkan hadis yang semisal. Pendapat ini —Allah lebih mengetahui— lebih dekat kepada kebenaran.
Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Muhammad ibnu Hamid Al-Balkhi, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Saleh ibnu Sahl Al-Balkhi, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Umar Al-Qawariri, telah menceritakan kepada kami Yusuf ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Ziyad ibnu Sa’d, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa Amr ibnul As pernah salat menjadi imam orang-orang banyak dalam keadaan mempunyai jinabah. Ketika mereka datang kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, lalu mereka menceritakan kepadanya hal tersebut. Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memanggil Amr dan menanyakan hal itu kepadanya. Maka Amr ibnul As menjawab, “Wahai Rasulullah, aku merasa khawatir cuaca yang sangat dingin akan membunuhku (bila aku mandi jinabah), sedangkan Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى telah berfirman:
‘Dan janganlah kalian membunuh diri kalian’, hingga akhir ayat.” Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ diam, membiarkan Amr ibnul عَلَيْهِ السَلاَمُ
Kemudian sehubungan dengan ayat ini Ibnu Murdawaih mengetengahkan sebuah hadis melalui Al-A’masy, dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda:
Barang siapa yang membunuh dirinya sendiri dengan sebuah besi, maka besi itu akan berada di tangannya yang dipakainya untuk menusuki perutnya kelak di hari kiamat di dalam neraka Jahannam dalam keadaan kekal di dalamnya untuk selama-lamanya. Dan barang siapa yang membunuh dirinya sendiri dengan racun, maka racun itu berada di tangannya untuk ia teguki di dalam neraka Jahannam dalam keadaan kekal di dalamnya untuk selama-lamanya.
Hadis ini ditetapkan di dalam kitab Sahihain. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Abuz Zanad dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah, dari Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dengan lafaz yang semisal.
Dari Abu Qilabah, dari Sabit ibnu Dahhak r.a. Disebutkan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda:
Barang siapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu, maka kelak pada hari kiamat dia akan diazab dengan sesuatu itu.
Di dalam kitab Sahihain melalui hadis Al-Hasan dari Jundub ibnu Abdullah Al-Bajli dinyatakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda:
Dahulu ada seorang lelaki dari kalangan umat sebelum kalian yang terluka, lalu ia mengambil sebuah pisau dan memotong urat nadi tangannya, lalu darah terus mengalir hingga ia mati. Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berfirman, “Hamba-Ku mendahului (Izin)-Ku terhadap dirinya, Aku haramkan surga atas dirinya.”
Allah جَلَّ جَلالُهُ melarang para hambaNya yang beriman dari memakan harta di antara mereka dengan cara yang batil, hal ini mencakup memakan harta dengan cara pemaksaan, pencurian, mengambil harta dengan cara perjudian dan pencaharian yang hina, bahkan bIsa ‘alaihissalamadi termasuk juga dalam hal ini adalah memakan harta sendiri dengan sombong dan berlebih-lebihan, karena hal tersebut adalah termasuk kebatilan dan bukan dari kebenaran. Kemudian setelah Allah جَلَّ جَلالُهُ mengharamkan memakan harta dengan cara yang batil, Allah جَلَّ جَلالُهُ membolehkan bagi mereka memakan harta dengan cara perniagaan dan pencaharian yang tidak terdapat padanya penghalang-penghalang dan yang mengandung syarat-syarat seperti saling ridha dan sebagainya.
وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ “Dan janganlah kamu membunuh dirimu,” maksudnya, janganlah sebagian kalian membunuh sebagian yang lain, dan janganlah seseorang membunuh dirinya, dan termasuk dalam hal itu adalah menjerumuskan diri ke dalam kehancuran dan melakukan perbuatan-perbuatan berbahaya yang mengakibatkan kematian dan kebinasaan, إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا “Sesungguhnya Allah جَلَّ جَلالُهُ Maha Penyayang kepadamu,” dan di antara rahmatNya adalah di mana Allah جَلَّ جَلالُهُ memelihara diri, dan harta kalian, serta melarang kalian dari menyia-nyiakan dan membinasakannya, dan Allah جَلَّ جَلالُهُ menjadikan adanya hukuman atas hal tersebut berupa had-had.
Perhatikanlah suatu ringkasan dan penyatuan dalam Firman Allah جَلَّ جَلالُهُ, لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ “Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu,” dan وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ “dan janganlah kamu membunuh dirimu” bagaimana FirmanNya itu mencakup harta-harta selain dirimu, harta dirimu sendiri, membunuh dirimu dan membunuh selain dirimu dengan ungkapan yang begitu pendek daripada perkataan, “Janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian lain dan janganlah sebagian kalian membunuh sebagian yang lain,” dengan tidak mencakupnya ungkapan tersebut akan harta orang lain dan membunuh orang lain, padahal menggabungkan kata harta dan jiwa kepada seluruh kaum Mukminin merupakan dalil bahwa kaum Mukminin dalam kasih sayang mereka, mencintai dan mengasihi di antara mereka dan maslahat-maslahat mereka adalah seperti satu tubuh, di mana keimanan itulah yang menyatukan mereka pada maslahat-maslahat mereka, dunia maupun akhirat.
Dan tatkala Allah جَلَّ جَلالُهُ melarang mereka dari memakan harta dengan cara yang batil yaitu suatu cara yang mengandung mara bahaya atas diri mereka, terhadap orang yang memakannya dan orang yang mengambil hartanya, lalu Allah جَلَّ جَلالُهُ membolehkan bagi mereka perkara yang mengandung kemaslahatan untuk mereka berupa beberapa bentuk mata pencaharian dan perniagaan, serta beberapa bentuk profesi dan persewaan dengan berfirman, إِلَا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ “Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu” yaitu bahwasanya hal tersebut adalah boleh bagi kalian. Dan Allah جَلَّ جَلالُهُ mensyaratkan adanya keridhaan dari kedua pihak padahal perkara itu adalah sebuah perniagaan, hal itu menjadi suatu indikasi bahwasanya akad perniagaan itu disyaratkan bukan dari akad riba, karena riba bukanlah dari perniagaan, bahkan riba itu adalah perkara yang bertentangan dengan maksud dari perniagaan. Di dalam perniagaan harus ada keridhaan dari kedua belah pihak dan masing-masing pihak melaksanakannya dengan penuh kesadaran dan pilihannya, dan merupakan kesempurnaan dari saling merelakan adalah agar apa yang menjadi akad atasnya itu adalah suatu barang yang diketahui, karena bila tidak diketahui, maka tidaklah akan ada yang namanya suka sama suka, dan agar barang tersebut mampu diserahkan, karena barang yang tidak mampu diserahkan adalah sejenis dengan tindakan perniagaan perjudian. Dari perniagaan gharar (yang memiliki unsur penipuan) dengan segala bentuknya yang tidak mengandung saling suka sama suka, maka akadnya tidaklah sah. Ayat ini menunjukkan juga bahwa akad itu akan terlaksana (sah) dengan hal apa pun yang menunjukkan kepadanya berupa perkataan maupun perbuatan, karena Allah جَلَّ جَلالُهُ telah mensyaratkan suka sama suka padanya, maka dengan jalan apa pun tercapainya suka sama suka niscaya tercapai pula akadnya dengan hal tersebut.
Kemudian Allah جَلَّ جَلالُهُ menutup ayat ini dengan FirmanNya, إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا “Sesungguhnya Allah جَلَّ جَلالُهُ Maha Penyayang kepadamu” dan di antara bentuk rahmatNya adalah Allah جَلَّ جَلالُهُ melindungi darah dan harta-harta kalian, memeliharanya, dan melarang kalian dari menumpahkannya.
Ayat-ayat yang lalu berbicara tentang hukum pernikahan, sementara pernikahan itu tidak bisa dilepaskan dari harta, terutama berkaitan dengan maskawin. Oleh sebab itu, ayat berikut berbicara tentang bagaimana manusia beriman mengelola harta sesuai dengan keridaan Allah. Wahai orang-orang yang beriman! janganlah sekali-kali kamu saling memakan atau memperoleh harta di antara sesamamu yang kamu perlukan dalam hidup dengan jalan yang batil, yakni jalan tidak benar yang tidak sesuai dengan tuntunan syariat, kecuali kamu peroleh harta itu dengan cara yang benar dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu yang tidak melanggar ketentuan syariat. Dan janganlah kamu membunuh dirimu atau membunuh orang lain karena ingin mendapatkan harta. Sungguh, Allah maha penyayang kepadamu dan hamba-hamba-Nya yang berimandan barang siapa berbuat demikian, dalam memperoleh harta, dengan cara melanggar hukum dan dengan berbuat zalim, maka akan kami masukkan dia ke dalam neraka. Yang demikian itu, yakni menjatuhkan hukuman dengan siksaan neraka, adalah sesuatu hal yang sangat mudah bagi Allah.
An-Nisa Ayat 29 Arab-Latin, Terjemah Arti An-Nisa Ayat 29, Makna An-Nisa Ayat 29, Terjemahan Tafsir An-Nisa Ayat 29, An-Nisa Ayat 29 Bahasa Indonesia, Isi Kandungan An-Nisa Ayat 29
Tafsir Surat An-Nisa Ayat: 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | 21 | 22 | 23 | 24 | 25 | 26 | 27 | 28 | 29 | 30 | 31 | 32 | 33 | 34 | 35 | 36 | 37 | 38 | 39 | 40 | 41 | 42 | 43 | 44 | 45 | 46 | 47 | 48 | 49 | 50 | 51 | 52 | 53 | 54 | 55 | 56 | 57 | 58 | 59 | 60 | 61 | 62 | 63 | 64 | 65 | 66 | 67 | 68 | 69 | 70 | 71 | 72 | 73 | 74 | 75 | 76 | 77 | 78 | 79 | 80 | 81 | 82 | 83 | 84 | 85 | 86 | 87 | 88 | 89 | 90 | 91 | 92 | 93 | 94 | 95 | 96 | 97 | 98 | 99 | 100 | 101 | 102 | 103 | 104 | 105 | 106 | 107 | 108 | 109 | 110 | 111 | 112 | 113 | 114 | 115 | 116 | 117 | 118 | 119 | 120 | 121 | 122 | 123 | 124 | 125 | 126 | 127 | 128 | 129 | 130 | 131 | 132 | 133 | 134 | 135 | 136 | 137 | 138 | 139 | 140 | 141 | 142 | 143 | 144 | 145 | 146 | 147 | 148 | 149 | 150 | 151 | 152 | 153 | 154 | 155 | 156 | 157 | 158 | 159 | 160 | 161 | 162 | 163 | 164 | 165 | 166 | 167 | 168 | 169 | 170 | 171 | 172 | 173 | 174 | 175 | 176
Raih pahala amal jariyah dengan cara membagikan (share) konten ini kepada yang lainnya. Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه
"Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)