{3} Ali ‘Imran / آل عمران | الْقُرْآنُ الْكَرِيْمُ | المائدة / Al-Maidah {5} |
Tafsir Al-Qur’an Surat An-Nisa النساء (Wanita) lengkap dengan tulisan arab latin, arti dan terjemah Bahasa Indonesia. Surah ke 4 Tafsir ayat Ke 33.
وَلِكُلٍّ جَعَلْنَا مَوَالِيَ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ ۚ وَالَّذِينَ عَقَدَتْ أَيْمَانُكُمْ فَآتُوهُمْ نَصِيبَهُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدًا ﴿٣٣﴾
wa likullin ja’alnā mawāliya mimmā tarakal-wālidāni wal-aqrabụn, wallażīna ‘aqadat aimānukum fa ātụhum naṣībahum, innallāha kāna ‘alā kulli syai`in syahīdā
QS. An-Nisa [4] : 33
Dan untuk masing-masing (laki-laki dan perempuan) Kami telah menetapkan para ahli waris atas apa yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya dan karib kerabatnya. Dan orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berikanlah kepada mereka bagiannya. Sungguh, Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.
Kami telah menjadikan untuk masing-masing dari kalian ahli waris yang mewarisi apa yang ditinggalkan oleh bapak ibu dan para kerabat. Dan orang-orang di mana kalian telah bersumpah setia dengan mereka untuk saling menolong dan saling berbagi warisan, maka berikanlah apa yang ditetapkan bagi mereka kepada mereka. Saling mewarisi atas dasar sumpah setia untuk saling menolong ditetapkan diawal Islam, kemudian di nasakh (dihapus) dengan turunnya ayat-ayat warisan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui amal-amal yang kalian perbuat dan Dia akan membalas kalian atasnya.
Ibnu Abbas, Mujahid, Sa’id ibnu Jubair, Abu Saleh, Qatadah, Zaid ibnu Aslam, As-Saddi, Ad-Dahhak, dan Muqatil ibnu Hayyan serta lain-lainnya mengatakan sehubungan dengan firman-Nya:
Bagi tiap-tiap harta peninggalan, Kami jadikan pewaris-pewaris.
Yang dimaksud dengan mawali dalam ayat ini ialah warasah (para ahli waris).
Menurut riwayat lain yang dari Ibnu Abbas, mawali artinya para ‘asabah (ahli waris laki-laki).
Ibnu Jarir mengatakan, orang-orang Arab menamakan anak paman (saudara sepupu) dengan sebutan maula. Seperti yang dikatakan oleh Al-Fadl ibnu Abbas dalam salah satu bait syairnya, yaitu:
Tunggulah, hai anak-anak paman kami, mawali kami, jangan sekali-kali tampak di antara kita hal-hal yang sejak lalu terpendam!
Ibnu Jarir mengatakan, yang dimaksud oleh firman-Nya:
…dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat.
Yakni berupa harta peninggalan kedua orang tua dan kaum kerabat.
Takwil ayat: Bagi masing-masing dari kalian, hai manusia, telah kami jadikan para ‘asabah yang akan mewarisinya, yaitu dari harta pusaka yang ditinggalkan oleh orang tua dan kaum kerabatnya sebagai warisannya.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bagiannya.
Yaitu terhadap orang-orang yang kalian telah bersumpah setia atas nama iman yang dikukuhkan antara kalian dan mereka, berikanlah kepada mereka bagiannya dari harta warisan itu, seperti halnya terhadap hal-hal yang telah kalian janjikan dalam sumpah-sumpah yang berat. Sesungguhnya Allah menyaksikan perjanjian dan transaksi yang terjadi di antara kalian.
Ketentuan hukum ini berlaku di masa permulaan Islam, kemudian hukum ini dimansukh sesudahnya. Tetapi mereka tetap diperintahkan agar memenuhi janji terhadap orang-orang yang mengadakan perjanjian dengan mereka, dan mereka tidak boleh melupakan keberadaan transaksi yang telah mereka lakukan setelah ayat ini diturunkan.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami As-Silt ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Abu Umamah, dari Idris, dari Talhah ibnu Musarrif, dari Sa’id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya:
Bagi tiap-tiap harta peninggalan Kami jadikan pewaris-pewaris.
Yang dimaksud dengan mawali dalam ayat ini ialah pewaris-pewaris.
Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka.
Dahulu ketika kaum Muhajirin tiba di Madinah, seorang Muhajir mewarisi harta seorang Ansar, bukan kaum kerabat orang Ansar itu sendiri, karena persaudaraan yang telah digalakkan oleh Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ di antara mereka. Tetapi ketika ayat ini diturunkan, yaitu firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Bagi tiap-tiap harta peninggalan, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. Maka hukum tersebut dimansukh. Kemudian Ibnu Abbas membacakan firman-Nya:
Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bagiannya.
Yaitu berupa pertolongan, bantuan, dan nasihat, sedangkan hak waris sudah ditiadakan dan yang ada baginya adalah bagian dari wasiat.
Kemudian Imam Bukhari mengatakan bahwa Abu Usamah mendengar dari Idris, dan Idris mendengar dari Talhah.
Pendapat yang benar adalah yang dikatakan oleh jumhur ulama, Imam Malik, dan Imam Syafii serta Imam Ahmad menurut riwayat yang terkenal darinya. Mengingat firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menyebutkan:
Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan oleh ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya.
Yaitu para pewaris dari kalangan kaum kerabatnya yang dari seibu sebapak, juga kaum kerabat lainnya, merekalah yang akan mewarisi hartanya, bukan orang lain.
Seperti yang ditetapkan di dalam kitab Sahihain, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda:
Berikanlah bagian-bagian tertentu kepada pemiliknya masing-masing, dan apa yang masih tersisa, maka berikanlah kepada kerabat lelaki yang paling dekat.
Dengan kata lain, bagikanlah harta warisan kepada ahli waris yang mempunyai bagian-bagian tertentu yang disebutkan oleh Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى dalam dua ayat faraid, dan sisa yang masih ada sesudah pembagian tersebut, berikanlah kepada asabah.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka. (An Nisaa:33)
Yakni sebelum turunnya ayat ini.
maka berilah kepada mereka bagiannya.
Yaitu dari harta warisan yang ada. Maka hilf apa pun yang dilakukan sesudah itu, hilf tidak berarti lagi. Menurut suatu pendapat, sesungguhnya ayat ini memansukh hilf di masa mendatang, juga hukum hilf di masa yang lalu, maka tidak ada saling mewaris lagi di antara orang-orang yang terlibat di dalam hilf (sumpah setia).
Seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, telah menceritakan kepada kami Idris Al-Audi, telah menceritakan kepadaku Talhah ibnu Musarrif, dari Sa’id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: maka berilah kepada mereka bagiannya. (An Nisaa:33) Yaitu berupa pertolongan, bantuan, dan nasihat, diberikan wasiat kepadanya, tetapi tidak ada hak waris lagi baginya.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya:
Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka.Di masa lalu seorang lelaki mengadakan transaksi dengan lelaki lain yang isinya menyatakan bahwa siapa saja di antara keduanya meninggal dunia, maka ia dapat mewarisinya. Maka Allah menurunkan firman-Nya:
Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewaris) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kalian mau berbuat baik kepada saudara-saudara (seagama) kalian. (Al Ahzab:6)
Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى bermaksud kecuali jika kalian menetapkan suatu wasiat buat mereka, maka hal tersebut diperbolehkan diambil dari sepertiga harta peninggalan. Hal inilah yang kita maklumi. Hal yang sama di-naskan oleh bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf, bahwa hukum ini dimansukh oleh firman-Nya: Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kalian mau berbuat baik kepada saudara-saudara (seagama) kalian. (Al Ahzab:6)
Menurut Sa’id ibnu Jubair, makna yang dimaksud ialah berikanlah kepada mereka bagian warisannya. Sa’id ibnu Jubair mengatakan bahwa sahabat Abu bakar mengadakan transaksi dengan seorang maula (bekas budaknya), maka Abu Bakar dapat mewarisinya. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
Az-Zuhri meriwayatkan dari Ibnul Musayyab, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang yang mengadopsi anak angkat, lalu anak-anak angkat mereka mewarisi hartanya. Kemudian Allah menurunkan firman-Nya sehubungan dengan mereka, maka Dia menjadikan bagi mereka bagian dari wasiat, sedangkan warisan diberikan kepada orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan si mayat dari kalangan kaum kerabatnya dan para asabah-nya. Allah menolak adanya hak waris bagi anak angkat, dan hanya memberikan bagian bagi mereka melalui wasiat si mayat. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
Ibnu Jarir mengatakan makna yang dimaksud oleh firman-Nya
…maka berilah kepada mereka bagiannya.
Berupa pertolongan, bantuan, dan nasihat, bukan memberi mereka bagian warisan dari harta si mayat, tanpa mengatakan bahwa ayat ini dimansukh. Hal tersebut bukan pula merupakan suatu hukum di masa lalu yang kemudian dimansukh, melainkan ayat ini hanya menunjukkan kepada pengertian wajib menunaikan hilf yang telah disepakati, yaitu saling membantu dan saling menolong (bukan saling mewaris). Kesimpulan ayat ini bersifat muhkam dan tidak dimansukh.
Akan tetapi, pendapat yang dikatakan oleh Ibnu Jarir ini masih perlu dipertimbangkan. Karena sesungguhnya di antara hilf itu ada yang isinya hanya menyatakan kesetiaan untuk saling membantu dan saling menolong, tetapi ada pula yang isinya menyatakan saling mewarisi, seperti yang diriwayatkan oleh bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf. Juga seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, bahwa dahulu seorang Muhajir dapat mewarisi seorang Ansar, bukan kaum kerabat atau famili si orang Ansar, lalu hukum ini dimansukh. Mana mungkin dikatakan bahwa ayat ini muhkam dan tidak dimansukh?
FirmanNya, وَلِكُلٍّ “Dan bagi tiap-tiap” yaitu dari manusia, جَعَلْنَا مَوَالِيَ “Kami jadikan pewaris-pewarisnya” maksudnya, mereka membantunya dan ia membantu mereka dengan cara saling menghargai, membela, dan saling menolong terhadap perkara-perkara, مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأقْرَبُونَ “dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat,” hal ini mencakup seluruh karib kerabat berupa Ushul (garis keturunan ke atas/leluhur), Furu’ (garis keturunan ke bawah) maupun Hawasyi (kerabat), mereka itu adalah pewaris-pewaris karena kekerabatan. Kemudian Allah جَلَّ جَلالُهُ menyebutkan sebuah jenis yang lain dari pewaris-pewaris tersebut dalam FirmanNya, وَالَّذِينَ عَقَدَتْ أَيْمَانُكُمْ “Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka,” yaitu kalian berjanji kepada mereka dengan perkara yang telah kalian setujui akadnya bersama berupa akad sumpah setia untuk saling membela, membantu, dan bersekutu dalam harta dan sebagainya. Semua itu adalah di antara nikmat-nikmat Allah جَلَّ جَلالُهُ kepada hamba-hambaNya, di mana para pewaris-pewaris tersebut saling membantu dalam suatu hal yang tidak bisa dilakukan oleh sebagian dari mereka secara sendirian, Allah جَلَّ جَلالُهُ berfirman, فَآتُوهُمْ نَصِيبَهُمْ “Maka berilah kepada mereka bagiannya” yaitu berikanlah kepada pewaris-pewaris tersebut bagian-bagian mereka yang memang seharusnya ditunaikan berupa pembelaan, saling membantu, dan menolong dalam perkara di luar kemaksiatan kepada Allah جَلَّ جَلالُهُ, dan harta warisan itu milik karib kerabat dari pewaris-pewaris tersebut yang terdekat. إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدًا “Sesungguhnya Allah جَلَّ جَلالُهُ menyaksikan segala sesuatu” yaitu menyaksikan segala sesuatu, dengan ilmuNya akan segala perkara, dan pandanganNya terhadap segala gerakan-gerakan hambaNya, serta pendengaranNya terhadap segala suara-suara mereka.
Usai melarang manusia berangan-angan yang akan mendorongnya iri dan dengki atas kelebihan orang lain, termasuk dalam hal warisan, ayat ini lalu mengingatkan bahwa harta warisan itu sudah ditentukan pembagiannya oleh Allah. Dan ketahuilah bahwa untuk setiap harta peninggalan, dari apa yang ditinggalkan oleh kedua orang tua dan juga yang ditinggalkan oleh karib kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya, dan juga bagi orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka sebagai suami istri, maka berikanlah kepada mereka bagiannya sesuai dengan kesepakatan sebelumnya. Sungguh, Allah maha menyaksikan segala sesuatu. Masih dalam kaitan larangan agar tidak berangan-angan dan iri hati atas kelebihan yang Allah berikan kepada siapa pun, laki-laki maupun perempuan, ayat ini membicarakan secara lebih konkret fungsi dan kewajiban masing-masing dalam kehidupan. Laki-laki atau suami itu adalah pelindung bagi perempuan atau istri, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka, laki-laki, atas sebagian yang lain, perempuan, dan karena mereka, yakni laki-laki secara umum atau suami secara khusus, telah memberikan nafkah apakah itu dalam bentuk mahar ataupun serta biaya hidup rumah tangga sehari-hari dari hartanya sendiri. Maka perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka yang taat kepada Allah dan menjaga diri ketika suami tidak ada di rumah atau tidak bersama mereka, karena Allah telah menjaga diri mereka. Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan melakukan nusyuz (durhaka terhadap suami), seperti meninggalkan rumah tanpa restu suami, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka dengan lemah lembut dan pada saat yang tepat, tidak pada sembarang waktu, dan bila nasihat belum bisa mengubah perilaku mereka yang buruk itu, tinggalkanlah mereka di tempat tidur dengan cara pisah ranjang, dan bila tidak berubah juga, kalau perlu pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan tetapi memberi kesan kemarahan. Tetapi jika mereka sudah menaatimu, tidak lagi berlaku nusyuz, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya dengan mencerca dan mencaci maki mereka. Sungguh, Allah mahatinggi, maha-besar.
An-Nisa Ayat 33 Arab-Latin, Terjemah Arti An-Nisa Ayat 33, Makna An-Nisa Ayat 33, Terjemahan Tafsir An-Nisa Ayat 33, An-Nisa Ayat 33 Bahasa Indonesia, Isi Kandungan An-Nisa Ayat 33
Tafsir Surat An-Nisa Ayat: 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | 21 | 22 | 23 | 24 | 25 | 26 | 27 | 28 | 29 | 30 | 31 | 32 | 33 | 34 | 35 | 36 | 37 | 38 | 39 | 40 | 41 | 42 | 43 | 44 | 45 | 46 | 47 | 48 | 49 | 50 | 51 | 52 | 53 | 54 | 55 | 56 | 57 | 58 | 59 | 60 | 61 | 62 | 63 | 64 | 65 | 66 | 67 | 68 | 69 | 70 | 71 | 72 | 73 | 74 | 75 | 76 | 77 | 78 | 79 | 80 | 81 | 82 | 83 | 84 | 85 | 86 | 87 | 88 | 89 | 90 | 91 | 92 | 93 | 94 | 95 | 96 | 97 | 98 | 99 | 100 | 101 | 102 | 103 | 104 | 105 | 106 | 107 | 108 | 109 | 110 | 111 | 112 | 113 | 114 | 115 | 116 | 117 | 118 | 119 | 120 | 121 | 122 | 123 | 124 | 125 | 126 | 127 | 128 | 129 | 130 | 131 | 132 | 133 | 134 | 135 | 136 | 137 | 138 | 139 | 140 | 141 | 142 | 143 | 144 | 145 | 146 | 147 | 148 | 149 | 150 | 151 | 152 | 153 | 154 | 155 | 156 | 157 | 158 | 159 | 160 | 161 | 162 | 163 | 164 | 165 | 166 | 167 | 168 | 169 | 170 | 171 | 172 | 173 | 174 | 175 | 176
Raih pahala amal jariyah dengan cara membagikan (share) konten ini kepada yang lainnya. Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه
"Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)