{3} Ali ‘Imran / آل عمران | الْقُرْآنُ الْكَرِيْمُ | المائدة / Al-Maidah {5} |
Tafsir Al-Qur’an Surat An-Nisa النساء (Wanita) lengkap dengan tulisan arab latin, arti dan terjemah Bahasa Indonesia. Surah ke 4 Tafsir ayat Ke 43.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا ﴿٤٣﴾
yā ayyuhallażīna āmanụ lā taqrabuṣ-ṣalāta wa antum sukārā ḥattā ta’lamụ mā taqụlụna wa lā junuban illā ‘ābirī sabīlin ḥattā tagtasilụ, wa ing kuntum marḍā au ‘alā safarin au jā`a aḥadum mingkum minal-gā`iṭi au lāmastumun-nisā`a fa lam tajidụ mā`an fa tayammamụ ṣa’īdan ṭayyiban famsaḥụ biwujụhikum wa aidīkum, innallāha kāna ‘afuwwan gafụrā
QS. An-Nisa [4] : 43
Wahai orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati shalat ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan, dan jangan pula (kamu hampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan junub kecuali sekedar melewati jalan saja, sebelum kamu mandi (mandi junub). Adapun jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau sehabis buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Sungguh, Allah Maha Pemaaf, Maha Pengampun.
Wahai orang-orang yang membenarkan Allah dan Rasul-Nya dan mengamalkan syariat-Nya, jangan mendekati shalat dan jangan melaksanakannya saat kalian dalam keadaan mabuk sehingga kalian mengetahui dan menyadari apa yang kalian ucapkan, (hal ini sebelum pengharaman khamar secara total dalam keadaan apa pun). Dan jangan mendekati shalat saat kalian dalam keadaan hadats besar, jangan pula mendekati tempat-tempatnya yaitu masjid, kecuali siapa diantara kalian yang hanya sekedar numpang lewat dari satu pintu ke pintu lainnya sehingga kalian bersuci dengan mandi. Bila kalian dalam keadaan sakit yang karenanya kalian tidak mampu untuk menggunakan air, atau saat dalam perjalanan, atau salah seorang di antara kalian selesai buang hajat, atau kalian melakukan hubungan suami istri lalu kalian tidak mendapatkan air untuk bersuci, maka carilah debu yang suci, sapulah wajah dan tangan kalian darinya. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf, Dia memaafkan kesalahan-kesalahan kalian dan menutupinya atas kalian.
Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى melarang orang-orang mukmin melakukan salat dalam keadaan mabuk yang membuat seseorang tidak menyadari apa yang dikatakannya. Dan Allah melarang pula mendekati tempat salat (yaitu masjid-masjid) bagi orang yang mempunyai jinabah (hadas besar), kecuali jika ia hanya sekadar melewatinya dari suatu pintu ke pintu yang lain tanpa diam di dalamnya.
Ketentuan hukum ini terjadi sebelum khamr diharamkan, seperti yang ditunjukkan oleh hadis yang telah kami ketengahkan dalam tafsir ayat surat Al-Baqarah, yaitu pada firman-Nya:
Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. (Al Baqarah:219), hingga akhir ayat.
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ membacakannya (sebanyak tiga kali) kepada Umar. Maka Umar berkata, “Ya Allah, jelaskanlah kepada kami masalah khamr ini dengan penjelasan yang memuaskan.”
Ketika ayat ini diturunkan, maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ membacakannya kepada Umar. Lalu Umar berkata, “Ya Allah, berilah kami penjelasan tentang masalah khamr ini dengan penjelasan yang memuaskan.” Setelah itu mereka tidak minum khamr dalam waktu-waktu salat, hingga turun ayat berikut:
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib de-gan panah, adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan. (Al Maidah:90)
sampai dengan firman-Nya:
maka berhentilah kalian (dari mengerjakan perbuatan itu). (Al Maidah:91)
Maka barulah Umar mengatakan, “Kami berhenti, kami berhenti.”
Menurut riwayat Israil, dari Abi lshaq, dari Umar ibnu Syurahbil, dari Umar ibnul Khattab mengenai kisah pengharaman khamr yang di dalamnya antara lain disebutkan: Maka turunlah ayat yang ada di dalam surat An-Nisa, yaitu firman-Nya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian salat, sedang kalian dalam keadaan mabuk, sehingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan.
Tersebutlah bahwa juru seru Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (yakni tukang azan) apabila mengiqamahkan salat menyerukan seruan berikut, yaitu: “Jangan sekali-kali orang yang sedang mabuk mendekati salat!” Demikianlah lafaz hadis menurut riwayat Imam Abu Daud.
Ibnu Abu Syaibah menuturkan sehubungan dengan asbabun nuzul ayat ini sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Habib, telah menceritakan kepada kami Abu Daud, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, telah menceritakan kepadaku Sammak ibnu Harb yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Mus’ab ibnu Sa’d menceritakan hadis berikut dari Sa’d yang mengatakan, “Telah diturunkan empat buah ayat berkenaan dengan kami (orang-orang Ansar). Pada awal mulanya ada seorang lelaki dari kalangan Ansar membuat jamuan makanan, lalu ia mengundang sejumlah orang dari kalangan Muhajirin dan sejumlah orang dari kalangan Ansar untuk menghadirinya.
Maka kami makan dan minum hingga kami semua mabuk, kemudian kami saling membangga-banggakan diri. Lalu ada seorang lelaki mengambil rahang unta dan memukulkannya ke hidung Sa’d hingga hidung Sa’d terluka karenanya. Demikian itu terjadi sebelum ada pengharaman khamr. Lalu turunlah firman-Nya: ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian salat, sedang kalian dalam keadaan mabuk.’ (An Nisaa:43), hingga akhir ayat.”
Hadis secara lengkapnya ada pada Imam Muslim melalui riwayat Syu’bah. Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ahlus Sunan —kecuali Ibnu Majah— dengan melalui berbagai jalur dari Sammak dengan lafaz yang sama.
Penyebab lain berkaitan dengan asbabun nuzul ayat ini sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Abdullah Ad-Dusytuki, telah menceritakan kepada kami Abu Ja’far, dari Ata ibnus Saib, dari Abu Abdur Rahman As-Sulami, dari Ali ibnu Abu Talib yang menceritakan, “Abdur Rahman ibnu Auf membuat suatu jamuan makanan buat kami, lalu ia mengundang kami dan memberi kami minuman khamr. Lalu khamr mulai bereaksi di kalangan sebagian dari kami, dan waktu salat pun tiba.” Kemudian mereka mengajukan si Fulan sebagai imam. Maka si Fulan membaca surat Al-Kafirun dengan bacaan seperti berikut, “Katakanlah, hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah, dan kami menyembah apa yang kalian sembah” (dengan bacaan yang keliru sehingga mengubah artinya secara fatal). Maka Allah menurunkan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian salat. sedang kalian dalam keadaan mabuk, sehingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan. (An Nisaa:43)
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. Imam Turmuzi telah meriwayatkan melalui Abdu ibnu Humaid, dari Abdur Rahman Ad-Dusytuki dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi selanjutnya mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih.
Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Muhammad ibnu Basysyar, dari Abdur Rahman ibnu Mahdi, dari Sufyan As-Sauri, dari Ata ibnus Said. dari Abu Abdur Rahman, dari Ali. bahwa dia (Ali) dan Abdur Rahman serta seorang lelaki lainnya pernah minum khamr, lalu Abdur Rahman salat menjadi imam mereka dan membaca surat Al-Kafirun, tetapi bacaannya itu ngawur dan keliru. Maka turunlah firman-Nya:
…janganlah kalian salat, sedang kalian dalam keadaan mabuk.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Nasai melalui hadis As-Sauri dengan lafaz yang sama.
Ibnu Jarir meriwayatkan pula dari Ibnu Humaid, dari Jarir, dari Ata, dari Abu Abdur Rahman As-Sulami yang menceritakan bahwa Ali bersama sejumlah sahabat pernah diundang ke rumah Abdur Rahman ibnu Auf, lalu mereka makan, dan Abdur Rahman menyajikan khamr kepada mereka, lalu mereka meminumnya. Hal ini terjadi sebelum ada pengharaman khamr. Lalu datanglah waktu salat, maka mereka mengajukan Ali sebagai imam mereka, dan Ali membacakan kepada mereka surat Al-Kafirun, tetapi bacaannya tidak sebagaimana mestinya. Maka Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menurunkan firman-Nya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian salat, sedang kalian dalam keadaan mabuk.
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Al-Hajjaj ibnul Minhal, telah menceritakan kepada kami Haminad, dari Ata ibnus Saib, dari Abdur Rahman ibnu Habib (yaitu Abu Abdur Rahman As-Sulami), bahwa Abdur Rahman ibnu Auf pernah membuat suatu jamuan makanan dan minuman. Lalu ia mengundang sejumlah sahabat Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Kemudian ia salat Magrib bersama mereka, yang di dalamnya ia membacakan surat Al-Kafirun dengan bacaan seperti berikut, “Katakanlah, ‘Hai orang-orang kafir, aku menyembah yang kalian sembah dan kalian menyembah apa yang aku sembah, dan aku menyembah apa yang kalian sembah, bagi kalian agama kalian, dan bagi kami agama kami’.” Maka Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menurunkan firman-Nya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian salat, sedang kalian dalam keadaan mabuk, sehingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan kisah ayat ini, bahwa sejumlah kaum lelaki datang dalam keadaan mabuk, hal ini terjadi sebelum khamr diharamkan. Maka Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menurunkan firman-Nya: janganlah kalian salat, sedang kalian dalam keadaan mabuk. (An Nisaa:43), hingga akhir ayat.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa hal yang sama dikatakan pula oleh Abu Razin dan Mujahid.
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma’mar, dari Qatadah, bahwa mereka selalu menjauhi mabuk-mabukan di saat hendak menghadapi salat lima waktu, kemudian hal ini dimansukh dengan pengharaman khamr.
Ad-Dahhak mengatakan sehubungan dengan ayat ini, bahwa yang dimaksud bukanlah mabuk karena khamr, melainkan mabuk karena tidur (yakni tertidur lelap sekali). Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim. Tetapi Ibnu Jarir memberikan komentarnya, “Yang benar, makna yang dimaksud ialah mabuk karena khamr.” Ibnu Jarir mengatakan bahwa larangan ini tidak ditujukan kepada mabuk yang menyebabkan orang yang bersangkutan tidak dapat memahami khitab (perintah) karena hal ini disamakan hukumnya dengan orang gila. Sesungguhnya larangan ini hanyalah ditujukan kepada mabuk yang orang yang bersangkutan masih dapat memahami taklif (kewajiban). Demikianlah kesimpulan dari komentar Ibnu Jarir.
Pendapat ini disebutkan pula bukan oleh hanya seorang dari kalangan ulama Usul Fiqh, yaitu bahwa larangan ini ditujukan kepada orang yang dapat memahami ucapan, bukan orang mabuk yang tidak mengerti apa yang diucapkan kepadanya, karena sesungguhnya pemahaman itu merupakan syarat bagi taklif.
Akan tetapi, dapat pula diinterpretasikan bahwa makna yang dimaksud ialah sindiran yang mengandung arti larangan terhadap orang yang mabuk berat, mengingat mereka diperintahkan pula untuk mela-kukan salat lima waktu di sepanjang malam dan siang hari. Dengan demikian, si pemabuk berat selarrianya tidak dapat mengerjakan salat lima waktu pada waktunya masing-masing. Hal ini sama pengertiannya dengan makna firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى yang mengatakan:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (Ali Imran:102)
Ayat ini mengandung makna perintah yang ditujukan kepada mereka agar mereka bersiap-siap mati dalam keadaan memeluk agama Islam dan selalu menetapi ketaatan kepada Allah yang merupakan realisasi dari hal tersebut.
Adapun firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
sehingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan.
Hal ini merupakan pendapat terbaik yang dikatakan sehubungan dengan definisi mabuk, yaitu orang yang bersangkutan tidak mengerti apa yang diucapkannya. sebab orang yang sedang mabuk itu bacaan Al-Qur’annya pasti akan ngawur dan tidak direnungi serta tidak ada kekhusyukan dalam bacaannya.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdus Sammad, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Abu Qilabah, dari Anas yang mengatakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda: Apabila seseorang di antara kalian mengantuk, sedangkan ia dalam salat, hendaklah ia bersalam, lalu tidur hingga ia mengerti (menyadari) apa yang diucapkannya.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari secara munfarid, tanpa Imam Muslim.
Adapun Imam Muslim, dia meriwayatkannya —juga Imam Nasai— melalui hadis Ayyub dengan lafaz yang sama, tetapi pada sebagian lafaz hadis disebutkan:
karena barangkali ia mengucapkan istigfar, tetapi justru memaki dirinya sendiri.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
(Jangan pula hampiri masjid) sedang kalian dalam keadaan junub, kecuali sekadar berlalu saja, hingga kalian mandi.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ammar. telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman Ad-Dusytuki, telah menceritakan kepada kami Abu Ja’far, dari Zaid ibnu Aslam, dari Ata ibnu Yasar,dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya:
dan (jangan pula hampiri masjid) sedang kalian dalam keadaan junub, kecuali sekadar berlalu saja hingga kalian mandi.
Ibnu Abbas mengatakan, “Janganlah kalian memasuki masjid ketika kalian sedang dalam keadaan berjinabah, kecuali orang yang hanya sekadar lewat saja.” Dengan kata lain, hanya lewat saja dan tidak duduk di dalamnya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula bahwa hal yang semisal telah diriwayatkan pula dari Abdullah ibnu Mas’ud, Anas, Abu Ubaidah, Sa’id ibnul Musayyab, Ad-Dahhak, Ata, Mujahid, Masruq, Ibrahim An-Nakha’i, Zaid ibnu Aslam, Abu Malik, Amr ibnu Dinar, Al-Hakam ibnu Atabah, Ikrimah, Al-Hasan Al-Basri, Yahya ibnu Sa’id Al-Ansari, Ibnu Syihab, dan Qatadah.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Abu Saleh, telah menceritakan kepadaku Al-Lais, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Abu Habib mengenai firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
…dan (jangan pula hampiri masjid) sedang kalian dalam keadaan junub kecuali sekadar berlalu saja.
Sesungguhnya banyak kaum laki-laki dari kalangan Ansar pintu rumah-rumah mereka menghadap ke masjid. Apabila mereka mengalami jinabah, sedangkan mereka tidak mempunyai air, maka terpaksalah mereka harus mencari air, dan jalan yang paling dekat menuju tempat air tiada lain harus melalui masjid. Maka Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menurunkan firman-Nya:
dan (jangan pula hampiri masjid) sedang kalian dalam keadaan junub kecuali sekadar berlalu saja.
Kesahihan riwayat Yazid ibnu Abu Habib rahimahullah ini terbukti melalui sebuah hadis di dalam Sahih Bukhari yang menyebutkan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda:
Tutuplah semua celah (pintu) yang menuju ke masjid, kecuali celah milik Abu Bakar.
Hal ini dikatakan oleh Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dalam usia senjanya, sebagai pemberitahuan darinya bahwa Abu Bakar r.a. kelak akan memegang tampuk khalifah sesudahnya. Jalan menuju masjid kebanyakan hanya dipakai untuk keperluan-keperluan penting yang menyangkut kemaslahatan kaum muslim. Maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memerintahkan agar menutup semua pintu yang menuju masjid, kecuali pintu milik Abu Bakar r.a.
Adapun mengenai riwayat seseorang yang mengatakan bahwa yang tidak ditutup adalah pintu milik Ali r.a., seperti yang disebut di dalam sebagian kitab sunan, hal ini merupakan suatu kekeliruan. Yang benar adalah riwayat yang ditetapkan di dalam kitab Sahih Bukhari tadi.
Berangkat dari pengertian ayat ini, banyak kalangan imam yang menarik kesimpulan bahwa orang yang mempunyai jinabah diharamkan berdiam di dalam masjid, tetapi diperbolehkan baginya melewati masjid. Termasuk pula ke dalam pengertian jinabah yaitu wanita yang berhaid dan yang sedang nifas, tetapi ada sebagian ulama yang mengharamkan keduanya melewati masjid karena dikhawatirkan darahnya akan mengotori masjid. Sebagian ulama mengatakan, jika masing-masing dari keduanya terjamin kebersihannya dan tidak akan mengotori masjid, maka keduanya boleh melewati masjid, tetapi jika tidak terjamin, hukumnya tetap haram, tidak boleh lewat masjid.
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan sebuah hadis dari Siti Aisyah r.a. yang menceritakan:
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda kepadaku, “Ambilkanlah kain penulup kepala dari dalam masjid.” Maka Aku menjawab, “Sesungguhnya aku sedang berhaid.” Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda, “Sesungguhnya haidmu bukan pada tanganmu.”
Imam Muslim meriwayatkan pula hal yang semisal melalui Abu Hurairah r.a. Di dalam hadis ini terkandung makna yang menunjukkan bahwa wanita yang berhaid boleh lewat di dalam masjid, dan wanita yang bernifas termasuk ke dalam pengertian wanita yang berhaid.
Imam Abu Daud meriwayatkan melalui hadis Aflat ibnu Khalifah Al-Amiri,dari Jisrah (anak perempuan Dajajah), dari Siti Aisyah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda:
Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi orang yang haid, tidak pula bagi orang yang berjinabah.
Abu Muslim Al-Khattabi mengatakan bahwa jamaah menilai daif hadis ini. Mereka mengatakan bahwa Aflat adalah orang yang tidak dikenal. Akan tetapi, Ibnu Majah meriwayatkannya melalui hadis Abul Khattab Al-Hajri, dari Mahduj Az-Zuhali, dari Jisrah, dari Ummu Salamah, dari Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dengan lafaz yang sama. Abu Zar’ah Ar-Razi mengatakan bahwa Jisrah mengatakan dari Ummu Salamah. Yang benar adalah Jisrah. dari Siti Aisyah.
Adapun mengenai hadis yang diriwayatkan oleh Abu Isa At-Turmuzi, dari Salim ibnu Abu Hafsah, dari Atiyyah, dari Abu Sa’id Al-Khudri yang mengatakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda:
Hai Ali, tidak halal bagi seseorang yang berjinabah di dalam masjid ini selain aku dan kamu.
Hadis ini daif dan tidak kuat, karena sesungguhnya Salim yang disebut dalam sanadnya berpredikat matruk (tak terpakai hadisnya), dan gurunya (yaitu Atiyyah) berpredikat daif.
Hadis lain sehubungan dengan makna ayat diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Al-Munzir ibnu Syazan, telah menceritakan kepada kami Abdullali ibnu Musa, telah menceritakan kepadaku Ishaq ibnu Abu Laila, dari Al-Minhal, dari Zur ibnu Hubaisy, dari Ali sehubungan dengan makna firman-Nya:
Dan (jangan pula hampiri masjid) sedang kalian dalam keadaan junub, terkecuali sekadar berlalu saja.
Seseorang tidak boleh mendekati (mengerjakan) salat (bila dalam keadaan berjinabah), kecuali jika ia sebagai seorang musafir yang mengalami jinabah, lalu ia tidak menjumpai air, maka ia boleh salat hingga menjumpai air.
Kemudian Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya melalui jalur lain dari Al-Minhal ibnu Amr, dari Zur, dari Ali ibnu Abu Talib, lalu ia mengetengahkannya. Ibnu Abu Hatim mengatakan, hal yang semisal telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas dalam salah satu riwayatnya, juga dari Sa’id ibnu Jubair serta Ad-Dahhak.
Ibnu Jarir meriwayatkan melalui hadis Waki’, dari Abu Laila, dari Abbad ibnu Abdullah atau Zur ibnu Hubaisy, dari Ali, lalu ia mengetengahkannya. Ibnu Jarir meriwayatkannya pula melalui jalur Al-Aufi dan Abu Mijlaz, dari Ibnu Abbas, lalu ia mengetengahkannya.
Ibnu Jarir meriwayatkannya pula hal yang semisal dari Sa’id ibnu Jubair, Mujahid, Al-Hasan ibnu Muslim, Al-Hakam ibnu Utbah, Zaid ibnu Aslam, dan anaknya (yaitu Abdur Rahman).
Diriwayatkan melalui jalur Ibnu Jarir, dari Abdullah ibnu Kasir yang mengatakan, “Kami pernah mendengar hal tersebut berkaitan dengan masalah safar (bepergian).’
Pendapat ini didukung oleh adanya sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan ahlus sunan melalui hadis Abu Qilabah, dari Umar ibnu Najdan, dari Abu Zar yang mengatakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda:
Debu yang baik (suci) adalah sarana bersuci orang muslim, sekalipun engkau belum menjumpai air selama sepuluh haji (tahun). Dan apabila kamu menjumpai air, maka usapkanlah ke kulitmu, karena hal tersebut lebih baik bagimu.
Selanjutnya Ibnu Jarir sesudah mengetengahkan kedua pendapat di atas mengatakan bahwa pendapat yang lebih utama sehubungan dengan makna firman-Nya: dan (jangan pula hampiri masjid) sedang kalian dalam keadaan junub, kecuali sekadar berlalu saja. (An Nisaa:43), ialah pendapat yang mengatakan bahwa terkecuali bagi orang-orang yang melewatinya saja. Demikian itu karena Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى telah menjelaskan hukum orang musafir bila tidak menemukan air, sedangkan ia dalam keadaan junub. Yaitu yang disebutkan di dalam firman-Nya: Dan jika kalian sakit atau sedang dalam musafir. (An Nisaa:43), hingga akhir ayat.
Dengan demikian berarti masalahnya telah dimaklumi, bahwa seandainva firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
…dan (jangan pula hampiri masjid) sedang kalian dalam keadaan junub, kecuali sekadar berlalu saja, hingga kalian mandi. dimaksudkan adalah orang yang dalam bepergian (musafir), maka tidak perlu diulang lagi penyebutannya pada firman-Nya:
Dan jika kalian sakit atau sedang dalam musafir.mengingat dalam firman sebelumnya telah disebutkan.
Dengan demikian, berarti takwil ayat adalah seperti berikut: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendekati masjid untuk salat di dalamnya ketika kalian sedang dalam keadaan mabuk, hingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan, jangan pula kalian hampiri masjid ketika kalian sedang dalam keadaan junub, hingga kalian mandi, kecuali sekadar berlalu saja.
‘Abirus sabil artinya orang yang melewati dan menyeberanginya. Seperti pengertian dalam kalimat “Aku menyeberangi jalan itu” dan “Si Fulan menyeberangi sungai itu”, disebutkan dengan akar kata yang sama, yaitu ‘abara, ‘abran, dan ‘uburan. Termasuk ke dalam pengertian kata ‘araba ialah dikatakan terhadap unta yang kuat dalam perjalanan jauh dengan sebutan ‘abral asfar, mengingat kekuatannya dalam menjelajahi jarak yang sangat jauh.
Pendapat inilah yang didukung oleh jumhur ulama, yaitu sesuai dengan makna lahiriah ayat. Seakan-akan Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى melarang melakukan pekerjaan salat dalam keadaan tidak pantas. bertentangan dengan tujuan dari salat itu sendiri, melarang pula memasuki tempat salat dalam keadaan yang tidak layak, yaitu berjinabah, yang jelas bertentangan dengan salat, juga dengan tempat salat itu sendiri yang suci.
Adapun firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
hingga kalian mandi.
Firman ini merupakan dalil bagi mazhab ketiga Imam, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafii yang mengatakan bahwa haram bagi orang yang junub diam di dalam masjid, hingga ia mandi atau bertayamum jika tidak ada air, atau tidak mampu menggunakan air karena sesuatu sebab.
Imam Ahmad berpendapat, “Manakala orang yang mempunyai jinabah melakukan wudu, maka ia diperbolehkan tinggal di dalam masjid,” karena berdasarkan kepada apa yang diriwayatkan sendiri dan juga Sa’id ibnu Mansur di dalam kitab sunannya dengan sanad yang sahih, yang menyebutkan bahwa dahulu para sahabat melakukan hal tersebut.
Sa’id ibnu Mansur mengatakan di dalam kitab sunannya: telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz Ibnu Muhammad (yakni Ad-Darawardi), dari Hisyam ibnu Sa’d, dari Zaid ibnu Aslam, dari Ata ibnu Yasar yang menceritakan bahwa ia melihat banyak sahabat Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ duduk-duduk di dalam masjid —sedangkan mereka dalam keadaan junub— karena mereka telah melakukan wudu seperti wudu untuk salat.
Sanad riwayat ini sahih dengan syarat Muslim.
Adapun firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Dan jika kalian sakit atau sedang dalam musafir atau seseorang di antara kalian datang dari tempat buang air atau kalian telah menyentuh perempuan, kemudian kalian tidak mendapat air, maka bertayamumlah kalian dengan tanah yang baik (suci).
Adapun mengenai sakit yang membolehkan seseorang bertayamum adalah sakit yang mengkhawatirkan akan matinya salah satu anggota tubuh, atau sakit bertambah parah, atau sembuhnya bertambah lama jika menggunakan air. Tetapi ada ulama yang membolehkan bertayamum hanya karena alasan sakit saja, berdasarkan keumuman makna ayat.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Gassan Malik ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Qais ibnu Hafs, dari Mujahid sehubungan dengan firman-Nya: Dan jika kalian sakit. Ayat ini diturunkan berkenaan dengan seorang lelaki dari kalangan Ansar yang sedang sakit, karenanya ia tidak dapat bangkit untuk melakukan wudu, dan ia tidak mempunyai seorang pembantu pun yang menyediakan air wudu untuknya. Lalu ia menanyakan masalah tersebut kepada Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Maka Allah menurunkan ayat ini. Hadis ini mursal.
Mengenai safar atau bepergian, tidak ada bedanya antara jarak yang jauh dan jarak yang dekat.
Adapun firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
atau seseorang di antara kalian datang dari tempat buang air.
Yang dimaksud dengan al-gait ialah tempat yang tenang, kemudian dipinjam untuk menunjukkan pengertian tempat buang air.
Adapun mengenai firman-Nya:
atau kalian telah menyentuh perempuan.
Ada yang membacanya lamastum (لمستم), dan ada pula yang membacanya lamastum (لامستم). Ulama tafsir dan para imam berbeda pendapat mengenai maknanya.
Pertama mengatakan bahwa hal tersebut adalah kata kinayah (sindiran) mengenai persetubuhan, karena berdasarkan firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى yang lainnya, yaitu:
Jika kalian menceraikan istri-istri kalian sebelum kalian bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kalian sudah menentukan maharnya, maka bayarlah separo dari mahar yang telah kalian tentukan itu. (Al Baqarah:237)
Dalam ayat yang lain Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى telah berfirman pula:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kalian ceraikan mereka sebelum kalian mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagi kalian yang kalian minta menyempurnakannya. (Al Ahzab:49)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kep.ada kami Abu Sa’id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Waki”, dari Sufyan, dari Abu Ishaq, dari Sa’id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: atau kalian telah menyentuh perempuan. (An Nisaa:43) bahwa yang dimaksud dengan lamastum dalam ayat ini adalah persetubuhan.
Telah diriwayatkan dari Ali, Ubay ibnu Ka’b, Mujahid, Tawus, Al-Hasan, Ubaid ibnu Umair, Sa’id ibnu Jubair, Asy-Sya’bi, Qatadah, dan Muqatil ibnu Hayyan hal yang semisal.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Humaid ibnu Mas’adah, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Zurai”, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Abu Bisyr, dari Sa’id ibnu Jubair yang menceritakan bahwa mereka membicarakan masalah al-lams, maka sebagian orang dari kalangan bekas-bekas budak mengatakan bahwa yang dimaksud adalah bukan persetubuhan (tetapi persentuhan). Sejumlah orang dari kalangan orang-orang Arab mengatakan bahwa makna yang dimaksud adalah persetubuhan.
Sa’id ibnu Jubair melanjutkan kisahnya, “Setelah itu aku menjumpai Ibnu Abbas, dan kukatakan kepadanya bahwa orang-orang dari kalangan Mawali dan orang-orang Arab berselisih pendapat mengenai makna al-lams. Para Mawali mengatakan bahwa hal itu bukan persetubuhan, sedangkan orang-orang Arab mengatakannya persetubuhan.”
Ibnu Abbas bertanya, “Kalau kamu berasal dari golongan yang mana di antara kedua golongan itu?” Aku menjawab, “Aku berasal dari Mawali.” Ibnu Abbas berkata, “Kelompok Mawali kalah, sesungguhnya lams dan mass serta muhasyarah artinya persetubuhan. Allah sengaja mengungkapkannya dengan kata-kata sindiran menurut apa yang dikehendaki-Nya.”
Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkannya pula dari Ibnu Basysyar, dari Gundar, dari Syu’bah dengan makna yang semisal.
Kemudian ia meriwayatkannya pula melalui jalur lainnya dari Sa’id ibnu Jubair dengan lafaz yang semisal.
Hal yang semisal disebutkannya bahwa telah menceritakan kepadaku Ya’qub, telah menceritakan kepada kami Hasyim yang mengatakan bahwa Abu Bisyr pernah berkata, “Telah menceritakan kepada kami Sa’id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa al-lams, al-mass, dan al-mubasyarah artinya persetubuhan, tetapi Allah mengungkapkannya dengan kata sindiran menurut apa yang disukai-Nya.”
Telah menceritakan kepada kami Abdul Hamid ibnu Bayan, telah menceritakan kepada kami Ishaq Al-Azraq, dari Sufyan, dari Asim Al-Ahwal, dari Bikr ibnu Abdullah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa al-imilamasah artinya jimak, tetapi Allah Mahamulia, Dia mengungkapkannya dengan kata sindiran menurut apa yang dikehendaki-Nya.
Menurut riwayat yang dinilai sahih, telah disebutkan hal tersebut dari Ibnu Abbas melalui berbagai jalur periwayatan. Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkannya dari salah seorang yang dikemukakan oleh Ibnu Abu Hatim dari mereka.
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, ulama lainnya mengatakan bahwa Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى bermaksud menggunakan ungkapan tersebut ditujukan kepada setiap orang yang menyentuh dengan tangannya atau dengan anggota lainnya. Diwajibkan pula atas setiap orang yang menyentuhkan salah satu anggota tubuhnya kepada anggota tubuh perempuan secara langsung (tanpa penghalang).
Selanjutnya Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Mukhariq, dari Tariq, dari Abdullah ibnu Mas’ud yang mengatakan bahwa al-lams ialah melakukan kontak tubuh dengan perempuan selain persetubuhan.
Diriwayatkan dari berbagai jalur bersumber dari Ibnu Mas’ud dengan lafaz yang semisal.
Diriwayatkan melalui hadis Al-A’masy, dari Ibrahim, dari Abu Ubaidah, dari Abdullah ibnu Mas’ud yang mengatakan bahwa ciuman termasuk al-massu, pelakunya diwajibkan berwudu.
Imam Tabrani meriwayatkan berikut sanadnya, dari Abdullah ibnu Mas’ud yang mengatakan bahwa seorang lelaki diharuskan berwudu karena melakukan persentuhan dengan perempuan, memegangnya dengan tangan, juga menciumnya. Tersebutlah bahwa Abdullah ibnu Mas’ud mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini, yaitu firman-Nya: atau kalian telah menyentuh perempuan. (An Nisaa:43) Yakni mengedipkan mata.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Umar, dari Nafi”, bahwa Ibnu Umar pernah melakukan wudu karena telah mencium istrinya. ia berpendapat bahwa perbuatan tersebut mengharuskan seseorang berwudu. Menurutnya perbuatan tersebut termasuk al-limas.
Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir meriwayatkan pula melalui jalur Syu’bah, dari Mukhariq, dari Tariq, dari Abdullah yang mengatakan bahwa al-lams ialah melakukan kontak tubuh dengan perempuan kecuali bersetubuh.
Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan hal yang semisal dari Ibnu Umar, Ubaidah, Abu Usman An-Nahdi, Abu Ubaidah (yakni ibnu Abdullah ibnu Mas’ud), Amir Asy-Sya’bi, Sabit ibnul Hajjaj, Ibrahim An-Nakha’i, dan Zaid ibnu Aslam.
Menurut kami diriwayatkan oleh Imam Malik dari Az-Zuhri, dari Salim ibnu Abdullah ibnu Umar, dari ayahnya, bahwa ia pernah mengatakan, “Ciuman seorang lelaki terhadap istrinya dan memegangnya (meremasnya) dengan tangan termasuk ke dalam pengertian mulamasah. Karena itu, barang siapa yang mencium istrinya atau memegangnya dengan tangan, maka ia harus berwudu.”
Al-Hafiz Abdul Hasan Ad-Daruqutni meriwayatkan hal yang semisal di dalam kitab sunannya melalui Umar ibnul Khattab.
Akan tetapi, diriwayatkan kepada kami dari Umar ibnul Khattab melalui jalur yang lain, bahwa ia pernah mencium istrinya, kemudian langsung salat tanpa wudu lagi.
Riwayat yang bersumber dari Umar berbeda-beda. Karena itu, dapat diinterpretasikan riwayat darinya yang mengatakan wudu, jika memang sahih bersumber darinya bahwa yang dimaksudkan adalah sunat, bukan wajib.
Pendapat yang mengatakan wajib wudu karena menyentuh perempuan adalah pendapat Imam Syafii dan semua sahabatnya serta Imam Malik, dan menurut riwayat yang terkenal dari Imam Ahmad ibnu Hambal.
Orang-orang yang mendukung pendapat ini mengatakan bahwa ayat ini ada yang membacanya lamastum, ada pula yang membacanya laamastum. Pengertian al-lams menurut istilah syara’ ditujukan kepada makna menyentuh atau memegang dengan tangan, seperti pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya:
Dan kalau Kami turunkan kepadamu tulisan di atas kertas, lalu mereka dapat memegangnya dengan tangan mereka. (Al An’am:7)
Yakni memegangnya dan menyentuhnya dengan tangan mereka.
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah bersabda kepada Ma’iz tatkala ia mengaku berbuat zina, lalu Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menawarkan kepadanya agar mencabut kembali pengakuannya melalui sabdanya:
Barangkali kamu hanya menciumnya atau memegang-megangnya.
Di dalam hadis sahih disebutkan:
Zina tangan ialah meraba (wanita lain).
Siti Aisyah r.a. menceritakan hadis berikut, “Jarang sekali kami lewatkan setiap harinya melainkan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berkeliling mengunjungi kami (para istrinya) semua, lalu beliau mencium dan memegang (kami).”
Termasuk pula ke dalam pengertian ini sebuah hadis yang telah ditetapkan di dalam kitab Sahihain, bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melarang jual beli mulamasah (yang dipegang berarti dibeli).
Pada garis besarnya makna lafaz ini —berdasarkan kedua penafsiran di atas— tetap merujuk kepada pengertian memegang dengan tangan. Mereka mengatakan, “Menurut istilah bahasa, lafaz al-lams ditujukan kepada pengertian memegang dengan tangan, sebagaimana ditujukan pula kepada pengertian bersetubuh.” Salah seorang penyair mengatakan,
“Telapak tanganku berjabatan tangan dengan telapak tangannya untuk meminta kecukupan.”
Sehubungan dengan pengertian memegang ini mereka kemukakan pula sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Mahdi dan Abu Sa’id; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Zaidah, dari Abdul Malik ibnu Umair yang mengatakan bahwa Abu Sa’id mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Malik Ibnu Umair, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Mu’az, bahwa sesungguhnya Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah kedatangan seorang lelaki, lalu lelaki itu bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurutmu tentang seorang lelaki yang menjumpai seorang wanita yang tidak dikenalnya, lalu lelaki itu melakukan segala sesuatu terhadapnya sebagaimana terhadap istrinya sendiri, hanya saja ia tidak menyetubuhinya?” Sahabat Mu’az ibnu Jabal melanjutkan kisahnya, bahwa sehubungan dengan peristiwa tersebut turunlah firman-Nya: Dan dirikanlah salat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan daripada malam. (Hud: 114), hingga akhir ayat. Mu’az melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda: “Berwudulah, kemudian salatlah!” Mu’az bertanya, “Apakah khusus baginya, wahai Rasulullah; ataukah untuk kaum mukmin secara umum?” Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda, “Tidak, bahkan untuk kaum mukmin secara umum.”
Imam Turmuzi meriwayatkannya melalui hadis Zaidah dengan lafaz yang sama, lalu ia mengatakan bahwa sanad hadis ini tidak muttasil.
Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis Syu’bah, dari Abdul Malik ibnu Umair, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila secara mursal. Mereka mengatakan bahwa Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memerintahkan kepadanya untuk melakukan wudu, karena dia hanya menyentuh perempuan dan tidak menggaulinya. Tetapi penilaian ini disanggah dengan alasan bahwa dalam sanad hadis ini terdapat inqita antara Abu Laila dan Mu’az, karena sesungguhnya Abu Laila tidak pernah bersua dengan Mu’az ibnu Jabal.
Kemudian makna hadis ini dapat pula diinterpretasikan bahwa perintah Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang menganjurkannya melakukan wudu dan mengerjakan salat fardu adalah sama dengan apa yang disebutkan di dalam hadis As-Siddiq (Abu Bakar) yang telah kami sebutkan jauh sebelum ini, yaitu:
Tidak sekali-kali seseorang hamba melakukan suatu dosa. lalu ia berwudu dan melakukan salat dua rakaat, melainkan Allah memberikan ampunan baginya. hingga akhir hadis.
Hadis ini disebutkan di dalam tafsir surat Ali Imran, yaitu pada pembahasan mengenai firman-Nya:
mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka. (Ali Imran: 135)
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan bahwa pendapat yang paling benar di antara kedua pendapat tersebut ialah pendapat orang yang mengatakan bahwa yang dimaksud oleh Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى dalam firman-Nya, “Au-lamastumun nisa” ialah persetubuhan, bukan makna lams lainnya. Karena ada sebuah hadis sahih dari Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang mengatakan bahwa beliau pernah mencium salah seorang istrinya, lalu salat tanpa wudu lagi.
Lalu Ibnu Jarir mengatakan.”Hal tersebut diceritakan kepadaku oleh Ismail ibnu Musa As-Saddi yang mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Ayyasy, dari Al-A’masy, dari Habib ibnu Abu Sabit, dari Urwah, dari Siti Aisyah yang menceritakan:
‘Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah melakukan wudu, kemudian mencium (salah seorang istrinya), lalu langsung salat tanpa wudu lagi’.”
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Waki’, dari Al-A’masy, dari Habib, dari Urwah, dari Siti Aisyah: Bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mencium salah seorang istrinya, kemudian keluar rumah untuk menunaikan salat tanpa wudu lagi. Aku (Urwah) berkata, “Dia tiada lain kecuali engkau sendiri.” Maka Siti Aisyah tertawa.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Imam Ibnu Majah, dari sejumlah guru mereka, dari Waki” dengan lafaz yang sama. Kemudian Imam Abu Daud mengatakan. telah diriwayatkan dari As-Sauri; ia pernah mengatakan, “Habib tidak pernah menceritakan hadis kepada kami kecuali dari Urwah Al-Muzani.” Yahya Al-Qattan mengatakan kepada seorang perawi, “Riwayatkanlah dariku bahwa hadis ini mirip dengan bukan hadis.” Imam Turmuzi mengatakan bahwa ia pernah mendengar Imam Bukhari menilai daif hadis ini. Imam Turmuzi mengatakan, “Habib ibnu Abu Sabit belum pernah mendengar hadis dari Urwah.”
Disebutkan di dalam hadis riwayat Ibnu Majah bahwa ia menerimanya dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah dan Ali ibnu Muhammad At-Tanafisi, dari Waki’, dari Al-A’masy, dari Habib ibnu Abu Sabit, dari Urwah ibnuz Zubair, dari Aisyah. Lebih jelas lagi hal tersebut ialah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab musnadnya melalui hadis Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah. Hal ini merupakan nas yang menunjukkan bahwa dia adalah Urwah ibnuz Zubair, dan yang menjadi buktinya ialah ucapannya yang mengatakan, “Dia tiada lain kecuali engkau sendiri,” lalu Siti Aisyah tertawa.
Akan tetapi, Imam Abu Daud meriwayatkan dari Ibrahim ibnu Makhlad, telah menceritakan kepada kami Waki’, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abu Rauq Al-Hamdani At-Taliqani, dari Abdur Rahman ibnu Magra, dari Al-A’masy yang mengatakan, “Telah menceritakan kepada kami teman-teman kami dari Urwah Al-Muzani, dari Siti Aisyah, lalu ia menuturkan hadis ini.”
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Zaid, dari Umar ibnu Unais, dari Hisyam ibnu Abbad, telah menceritakan kepada kami Musaddad ibnu Ali, dari Lais, dari Ata, dari Siti Aisyah. Juga dari Abu Rauq, dari Ibrahim At-Taimi, dari Siti Aisyah r.a. yang mengatakan: Dahulu Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah berkesempatan menciumku sesudah wudu, kemudian beliau tidak mengulangi wudunya.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki”, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abu Rauq Al-Hamdani, dari Ibrahim At-Taimi, dari Siti Aisyah r.a. yang mengatakan: Bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah menciumku, lalu langsung salat tanpa wudu lagi.
Imam Abu Daud dan Imam Kasai meriwayatkannya melalui hadis Yahya Al-Qattan, Imam Abu Daud menambahkan Ibnu Mahdi yang kedua-duanya dari Sufyan As-Sauri, dengan lafaz yang sama. Kemudian Imam Abu Daud dan Imam Nasai mengatakan bahwa Ibrahim At-Taimi belum pernah mendengar dari Siti Aisyah.
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan pula:
telah menceritakan kepada kami Sa’id ibnu Yahya Al-Umawi, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Yazid, dari Sinan, dari Abdur Rahman Al-Auza’i, dari Yahya ibnu Abu Kasir, dari Abu Salamah, dari Ummu Salamah: Bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menciumnya. sedangkan beliau dalam keadaan puasa, lalu tidak berbuka dan tidak pula melakukan wudu.
Ibnu Jarir mengatakan pula:
telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Hafs ibnu Gayyas, dari Hajyaj, dari Amr ibnu Syu’aib, dari Zainab As-Sahmiyyah, dari Siti Aisyah, dari Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: Bahwa Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah mencium (salah seorang istrinya), kemudian langsung salat tanpa wudu lagi.
Imam Ahmad ibnu Muhammad ibnu Fudail meriwayatkannya dari Hajjaj ibnu Artah, dari Amr ibnu Syu’aib, dari Zainab As-Sahmiyyah, dari Siti Aisyah, dari Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dengan lafaz yang sama.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
kemudian kalian tidak mendapat air, maka bertayamumlah kalian dengan tanah yang baik (suci).
Kebanyakan ulama fiqih menyimpulkan hukum ayat ini, bahwa seseorang yang tidak menemukan air tidak boleh bertayamum kecuali setelah berupaya terlebih dahulu mencari air. Bilamana ia telah berupaya mencari air dan tidak menemukannya juga, barulah ia boleh melakukan tayamum. Mereka menyebutkan cara-cara mencari air di dalam kitab-kitab fiqih dalam Bab “Tayamum”.
Mengenai kebolehan bertayamum ini disebut di dalam kitab Sahihain melalui hadis Imran ibnu Husain:
bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melihat seorang lelaki menyendiri, tidak ikut salat bersama kaum yang ada. Maka beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bertanya: Hai Fulan, apakah yang mencegahmu hingga kamu tidak salat bersama kaum, bukankah kamu seorang muslim? Lelaki itu menjawab, “Wahai Rasulullah, tidak demikian, melainkan karena aku terkena jinabah, sedangkan air tidak ada.” Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda: Pakailah debu olehmu, karena sesungguhnya debu itu cukup bagi (bersuci)mu.
Karena itulah maka di dalam firman-Nya disebutkan:
kemudian kalian tidak mendapat air, maka bertayamumlah kalian dengan tanah yang baik (suci).
Ketika kekasihku melihat bahwa maut pasti datang merenggutnya, dan batu-batu kerikil yang berada di bawah telapak kakinya telah penuh dengan darah(nya), maka ia menuju ke mata air yang berada di Darij untuk mencari naungan yang airnya penuh berlimpah.
As-Sa’id menurut pendapat yang lain adalah segala sesuatu yang muncul di permukaan bumi. Dengan demikian, termasuk pula ke dalam pengertiannya debu, pasir, pepohonan, bebatuan, dan tumbuh-tumbuhan. Demikianlah menurut pendapat Imam Malik.
Menurut pendapat lainnya lagi, yang dimaksud dengan sa’id ialah segala sesuatu yang termasuk ke dalam jenis debu, seperti pasir, granit, dan kapur. Demikianlah menurut mazhab Imam Abu Hanifah.
Menurut pendapat yang lainnya lagi, yang dimaksud dengan sa’id ialah debu saja. Demikianlah menurut pendapat Imam Syafii dan Imam Ahmad serta semua murid mereka. Mereka mengatakan demikian dengan berdalilkan firman-Nya yang mengatakan:
hingga (kebun itu) menjadi tanah yang licin. (Al-Kahfi: 40)
Yaitu debu yang licin lagi baik. Berdasarkan kepada sebuah hadis di dalam Sahih Muslim melalui Huzaifah ibnul Yaman yang menceritakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda:
Kita diberi keutamaan di atas semua orang (umat) karena tiga perkara, yaitu saf-saf kita dijadikan seperti saf-saf para malaikat, bumi dijadikan bagi kita semua sebagai tempat untuk sujud (salat), dan tanah dijadikan bagi kita suci lagi menyucikan jika kita tidak menemukan air.
Menurut lafaz yang lain disebutkan:
Dan dijadikan debunya bagi kita suci lagi menyucikan bilamana kita tidak menemukan air.
Mereka mengatakan penyebutan debu dalam hadis ini sebagai sarana untuk bersuci merupakan suatu prioritas. Seandainya ada hal lain yang dapat menggantikan fungsinya, niscaya disebutkan bersamanya. Yang dimaksud dengan istilah tayyib dalam ayat ini ialah yang halal. Menurut pendapat yang lain, yang tidak najis alias suci.
Sebagaimana sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ahli Sunan kecuali Ibnu Majah melalui Abu Qilabah, dari Amr ibnu Najdan, dari Abu Zar yang menceritakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda:
Debu yang suci merupakan sarana bersuci orang muslim jika ia tidak menemukan air, sekalipun selama sepuluh musim haji (sepuluh tahun). Tetapi apabila ia menemukan air, hendaklah ia menyentuhkan (menggunakan)fiya ke kulitnya, karena sesungguhnya hal ini lebih baik baginya.
Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih, dan Imam Ibnu Hibban menilainya sahih.
Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar di dalam kitab musnadnya telah meriwayatkannya melalui Abu Hurairah. dan hadisnya ini dinilai sahih oleh Al-Hafiz Abul Hasan Al-Qattan.
Ibnu Abbas pernah mengatakan bahwa tanah (debu) yang paling baik ialah yang dari lahan pertanian. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim, dan Ibnu Murdawaih me-rafa’-kannya di dalam kitab tafsirnya.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
sapulah muka kalian dan tangan kalian.
Tayamum merupakan pengganti wudu dalam pengertian kegunaannya, tetapi bukan berarti merupakan pengganti wudu dalam semua anggotanya, melainkan cukup hanya dengan mengusapkannya pada muka dan kedua tangan saja. Demikianlah menurut kesepakatan semua ulama.
Akan tetapi, para imam berselisih pendapat mengenai cara bertayamum, seperti dalam penjelasan berikut:
Menurut mazhab Syafii dalam qaul jadid-nya, diwajibkan mengusap wajah dan kedua tangan sampai ke batas siku dengan dua kali usapan. Dikatakan demikian karena kata ‘kedua tangan’ pengertiannya menunjukkan sampai batas kedua pangkal lengan, juga sampai batas kedua siku, sebagaimana yang disebutkan di dalam ayat mengenai wudu. Adakalanya diucapkan dengan maksud sampai sebatas kedua telapak tangan, seperti yang terdapat di dalam ayat mengenai hukuman mencuri, yaitu firman-Nya: maka potonglah tangan keduanya. (Al-Maidah: 38)
Mereka mengatakan bahwa menginterpretasikan kata ‘kedua tangan” dalam ayat ini (An-Nisa: 43) dengan pengertian seperti yang ada pada ayat mengenai wudu adalah lebih utama karena adanya kesamaan dalam Bab “Bersuci”. Salah seorang ulama menuturkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Daruqutni melalui Ibnu Umar yang menceritakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda:
Tayamum itu adalah dua kali usapan, satu usapan pada muka dan yang lainnya pada kedua tangan sampai batas kedua siku.
Akan tetapi, di dalam sanad ini terkandung kelemahan yang membuat hadis kurang kuat untuk dijadikan sebagai dalil.
Imam Abu Daud meriwayatkan melalui Ibnu Umar dalam sebuah hadis yang mengatakan:
bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menempelkan telapak tangannya pada tembok, lalu tangannya itu beliau usapkan ke muka. Kemudian beliau tempelkan lagi tangannya (ke tembok), setelah itu ia gunakan untuk mengusap kedua hastanya.
Tetapi di dalam sanadnya terdapat Muhammad ibnu Sabit Al-Adbi, sedangkan sebagian huffaz ada yang menilainya daif. Selain Imam Abu Daud ada yang meriwayatkannya dari beberapa orang yang siqah, lalu mereka memauqufkannya hanya sampai pada perbuatan Ibnu Umar.
Imam Bukhari, Abu Zar’ah, dan Ibnu Addi mengatakan bahwa pendapat yang benar ialah yang menilainya sahih. Imam Baihaqi mengatakan bahwa menilai marfu’ hadis ini tidak dapat diterima.
Imam Syafii berdalilkan dengan sebuah hadis yang diriwayatkan dari Ibrahim ibnu Muhammad, dari Abul Huwairis, dari Abdur Rahman ibnu Mu’awiyah, dari Al-A’raj, dari Ibnus Summah, bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melakukan tayamum, untuk itu beliau mengusap wajah dan kedua hastanya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Musa ibnu Sahl Ar-Ramli, telah menceritakan kepada kami Na’im ibnu Hammad, telah menceritakan kepada kami Kharijah ibnu Mus’ab, dari Abdullah ibnu Ata, dari Musa ibnu Uqbah, dari Al-A’raj, dari Abu Juhaim yang menceritakan: Aku pernah melihat Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sedang buang air kecil, lalu aku mengucapkan salam penghormatan kepadanya, tetapi beliau tidak menjawab salamku, hingga beliau selesai dari buang air kecilnya. Kemudian beliau berdiri di dekat tembok, lalu menempelkan kedua telapak tangannya ke tembok itu, lalu mengusapkan kedua tangannya ke mukanya. Kemudian menempelkan lagi kedua tangannya ke tembok itu, lalu mengusapkan keduanya pada kedua tangannya sampai kedua sikunya. setelah itu baru beliau menjawab salamku.
Pendapat ini mengatakan bahwa yang diwajibkan ialah mengusap wajah dan kedua telapak tangan dengan dua kali usapan (sekali usapan pada masing-masingnya). Pendapat inilah yang dikatakan oleh Imam Syafii dalam qaul qadim-nya.
Pendapat ketiga mengatakan, cukup mengusap muka dan kedua telapak tangan dengan sekali usapan (pada kesemuanya).
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja’far, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Al-Hakam, dari Zar, dari Abdur Rahman ibnu Abza, dari ayahnya, bahwa ada seorang lelaki datang menghadap Khalifah Umar. Lalu lelaki itu berkata, “Sesungguhnya aku terkena jinabah dan aku tidak menemukan air.” Khalifah Umar berkata, “Kalau demikian, kamu jangan salat.” Ammar (yang hadir di majelis itu) berkata, “Tidakkah engkau ingat, hai Amirul Mukminin, ketika aku dan engkau berada dalam suatu pasukan khusus. Lalu kita mengalami jinabah, sedangkan kita tidak menemukan air. Adapun engkau tidak melakukan salat karenanya, sedangkan aku berguling di tanah (debu), lalu aku salat. Ketika kita datang kepada Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, lalu kuceritakan hal tersebut kepadanya. Maka beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda: Sebenarnya cukup bagimu seperti ini. Kemudian Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menempelkan telapak tangannya ke tanah, lalu meniupnya, setelah itu beliau gunakan untuk mengusap wajah dan kedua telapak tangannya.”
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Abban, telah menceritakan kepada kami Qatadah, dari Urwah, dari Sa’id ibnu Abdur Rahman ibnu Abza, dari ayahnya, dari Ammar, bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda: Melakukan tayamum ialah dengan sekali usap pada wajah dan kedua telapak tangan.
Jalur lain.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahid, dari Sulaiman Al-A’masy, telah menceritakan kepada kami Syaqiq, bahwa ia pernah duduk bersama Abdullah dan Abu Musa. Lalu Abu Ya’la berkata kepada Abdullah, “Seandainya ada seorang lelaki tidak menemukan air, lalu ia tidak salat. Bagaimanakah menurut pendapatmu?” Abdullah menjawab, “Tidakkah kamu ingat apa yang dikatakan oleh Ammar kepada Khalifah Umar, yaitu: ‘Tidakkah kamu ingat ketika Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengirimku bersamamu dalam suatu iringan unta, lalu aku mengalami jinabah, dan kemudian aku berguling di tanah. Ketika aku kembali kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, kuceritakan hal itu kepadanya. Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ hanya tertawa dan bersabda: Sebenarnya kamu cukup melakukan seperti ini. Lalu beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menempelkan kedua telapak tangannya ke tanah, kemudian debunya ia gunakan untuk mengusap kedua telapak tangannya, dan mukanya sekali usap dengan sekali ambilan debu tadi’.” Abdullah berkata, “Tidak mengapa selagi kamu melihat Umar menerima hal tersebut.” Abu Musa berkata lagi kepadanya, “Jika demikian. bagaimanakah dengan ayat yang di dalam surat An-Nisa,” yaitu firman-Nya: kemudian kalian tidak mendapat air, maka bertayamumlah kalian dengan tanah yang baik (suci). (An-Nisa: 43) Abdullah tidak mengetahui apa yang harus ia katakan, lalu Abu Musa berkata, “Seandainya kita memberikan kemurahan buat mereka dalam masalah tayamum, niscaya tanpa segan-segan bila seseorang di antara mereka merasa dingin jika kena air, ia langsung melakukan tayamum.”
Dalam surat Al-Maidah disebutkan oleh firman-Nya:
sapulah muka kalian dan tangan kalian dengan tanah (debu) itu. (Al-Maidah: 6)
Berangkat dari pengertian ayat ini Imam Syafii berpendapat bahwa tayamum diharuskan memakai tanah yang suci dan mengandung debu, hingga ada sebagian dari debu itu yang menempel pada muka dan kedua tangan. Seperti yang disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Syafii dengan sanad yang telah disebutkan di atas dari Ibnus Summah, bahwa ia pernah bersua dengan Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang sedang buang air kecil, lalu ia mengucapkan salam kepadanya. Tetapi Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak menjawab salamnya, melainkan beliau langsung menuju ke sebuah tembok dan mengeriknya dengan tongkat yang ada padanya. Setelah itu beliau menempelkan telapak tangannya pada tembok itu, kemudian mengusapkannya pada wajah dan kedua hastanya.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Allah tidak hendak menyulitkan kalian. (Al-Maidah: 6)
Yakni dalam masalah agama yang telah disyariatkan-Nya buat kalian.
tetapi Dia hendak membersihkan kalian. (Al-Maidah: 6)
Karena itulah maka Allah membolehkan tayamum bila kalian tidak menemukan air, yaitu menggantinya dengan debu. Tayamum merupakan suatu karunia bagi kalian, supaya kalian bersyukur.
Untuk itulah maka disebutkan bahwa di antara keistimewaan umat ini ialah disyariatkan-Nya tayamum bagi mereka, sedangkan pada umat lain hal tersebut tidak disyariatkan.
Seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui hadis Jabir ibnu Abdullah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda:
Aku dianugerahi lima hal yang belum pernah diberikan kepada seorang (rasul pun) sebelumku, yaitu: Aku diberi pertolongan melalui rasa gentar (yang mencekam hati musuh) dalam jarak perjalanan satu bulan, bumi ini dijadikan bagiku sebagai tempat untuk salat dan sarana untuk bersuci. Karena itu, barang siapa dari kalangan umatku menjumpai waktu salat, hendaklah ia salat.
Menurut lafaz yang lain adalah seperti berikut:
karena di dekatnya ada masjid dan sarana bersuci; ganimah dihalalkan bagiku, sedangkan ganimah belum pernah dihalalkan kepada seorang pun sebelumku; aku diberi izin untuk memberi syafaat; dan dahulu seorang nabi diutus hanya untuk kaumnya, sedangkan aku diutus untuk seluruh umat manusia.
Dalam hadis Huzaifah yang lalu yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan:
Kita diberi keutamaan di atas manusia karena tiga perkara, yaitu saf-saf kita dijadikan seperti saf-saf para malaikat; bumi dijadikan bagi kita sebagai tempat salat dan tanahnya suci lagi menyucikan jika kita tidak menemukan air.
Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى dalam surat ini (An-Nisa) berfirman:
sapulah muka kalian dan tangan kalian. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.
Dengan kata lain, termasuk pemaafan dari Allah kepada kalian dan ampunan-Nya bagi kalian ialah disyariatkan-Nya tayamum bagi kalian, dan membolehkan kalian mengerjakan salat dengan tayamum bila kalian tidak menemukan air, sebagai kemudahan dan keringanan buat kalian.
Di dalam ayat ini terkandung pula makna yang menunjukkan bahwa demi membersihkan salat, tidak boleh mengerjakannya dengan keadaan yang tidak baik, misalnya dalam keadaan mabuk, hingga seseorang mengerti dan memahami apa yang diucapkannya. Tidak boleh pula mengerjakannya dalam keadaan mempunyai jinabah, hingga mandi; atau berhadas, hingga berwudu; kecuali jika orang yang ber-sangkutan dalam keadaan sakit atau tidak ada air, maka Allah mem-berikan keringanan dengan membolehkan tayamum sebagai rahmat dari Allah buat hamba-hamba-Nya, kasih sayang Allah kepada mereka, dan kemurahan bagi mereka.
Allah جَلَّ جَلالُهُ melarang hamba-hambaNya yang beriman untuk tidak mendekati shalat ketika dalam kondisi mabuk hingga mereka mampu mengetahui apa yang mereka katakan, hal ini mencakup juga perkara mendekati tempat-tempat shalat, seperti masjid, maka sesungguhnya seorang yang mabuk itu tidak dibolehkan memasukinya, dan juga mencakup shalat itu sendiri, karena sesungguhnya seorang yang mabuk tidak boleh melakukan shalat, tidak juga ibadah yang lain, disebabkan karena pikirannya yang tidak lurus, dan ketidaktahuannya tentang apa yang diucapkannya, oleh karena itu Allah جَلَّ جَلالُهُ mengancam hal tersebut dan mensyaratkan bolehnya melakukan perkara itu ketika mengetahui apa yang diucapkan oleh orang yang mabuk tersebut.
Ayat yang mulia ini telah dinasakh oleh ayat pengharaman khamar secara mutlak, karena sesungguhnya khamar itu pada awalnya tidak diharamkan, kemudian Allah جَلَّ جَلالُهُ telah mengisyaratkan tentang keharamannya bagi hamba-hambaNya dengan Firman-Nya,
يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيْهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah, ‘Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya’.” (Al-Baqarah: 219).
Kemudian Allah جَلَّ جَلالُهُ melarang mereka minum khamar ketika akan mendirikan shalat sebagaimana disebutkan dalam ayat ini, kemudian Allah جَلَّ جَلالُهُ mengharamkannya secara mutlak dalam segala kondisi dan waktu dalam FirmanNya,
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوْهُ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu.” (Al-Ma`idah: 90).
Walaupun demikian sesungguhnya khamar itu akan lebih haram lagi ketika akan mendirikan shalat karena mengandung kerusakan yang besar, yaitu dengan tidak tercapainya maksud dari shalat yang merupakan ruh dari shalat dan intinya, yaitu kekhusyu’an dan hadirnya hati, sedangkan khamar menutupi hati dan menghalangi dari berdzikirkepada Allah جَلَّ جَلالُهُ dan dari shalat.
Dan di antara faidah dari makna ini adalah larangan memulai shalat dalam kondisi sangat mengantuk di mana orang tersebut tidak merasakan (mengetahui) apa yang diucapkan dan dikerjakannya, bahkan ada indikasi dari makna ini bahwa seyogyanya bagi seseorang yang hendak menegakkan shalat agar meninggalkan segala hal-hal yang menyibukkan pikirannya, seperti menahan buang air kecil atau air besar, atau hasrat untuk makan dan hal-hal lain semisalnya, sebagaimana dijelaskan tentang hal itu oleh hadits Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang shahih. (Diriwayatkan oleh Muslim, no. 560 dari hadits Aisyah radhiallahu ‘anha)
Kemudian Allah جَلَّ جَلالُهُ berfirman, وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيْلٍ “(Jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja” yaitu janganlah kalian mendekati shalat ketika kondisi kalian sedang junub kecuali bila sekedar lewat saja, artinya kalian melewati masjid dan tidak tinggal di dalamnya, حَتَّى تَغْتَسِلُوْا “hingga kamu mandi” maksudnya, apabila kalian telah mandi. Dan itulah batas dari larangan mendekati shalat bagi seorang yang junub, maka yang dibolehkan bagi orang tersebut hanyalah melewati masjid saja.
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاءً فَتَيَمَّمُوْا “Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah.” Tayamum dibolehkan bagi orang yang sakit secara mutlak, baik ada air ataupun tidak, karena alasannya adalah sakit yang membuat pemakaian air sangat berat baginya, demikian pula perjalanan jauh (safar), karena ia adalah suatu kondisi yang dihadapkan dengan susahnya mendapatkan air, apabila seorang musafir tidak mendapatkan air atau ia mendapatkannya namun hanya dapat menutupi kebutuhan pokoknya seperti minum dan lainnya, maka boleh baginya bertayamum. Demikian juga bila seseorang telah buang air kecil atau besar atau menyentuh wanita, maka dia boleh bertayamum apabila ia tidak mendapatkan air, baik saat perjalanan maupun menetap, sebagaimana hal itu ditunjukkan oleh keumuman ayat tersebut. Kesimpulannya adalah bahwa Allah جَلَّ جَلالُهُ membolehkan tayamum dalam dua kondisi; di saat tidak ada air, hal ini secara mutlak, baik saat perjalanan maupun menetap, dan di saat sangat berat untuk mempergunakannya seperti sakit atau lainnya.
Dan para ahli tafsir telah berbeda pendapat tentang makna Firman Allah جَلَّ جَلالُهُ, أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ “Atau kamu telah menyentuh perempuan,” apakah yang dimaksud di situ adalah berjimak? Sehingga ayat ini menjadi sebuah nash yang jelas tentang bolehnya bertayamum bagi orang yang junub sebagaimana dijelaskan dalam banyak hadits )Sebagaimana disebutkan dalam Shahih al-Bukhari, no. 338 dan Shahih Muslim, no. 368(, ataukah maksud darinya adalah hanya sebatas sentuhan dengan tangan, lalu hal tersebut disyaratkan dengan kondisi bila menjadi sebab keluarnya madzi, artinya sentuhan dengan adanya syahwat, maka ayat itu menjadi sebuah dalil akan batalnya wudhu karena hal tersebut. Dan para ahli fikih telah berdalil dengan Firman Allah جَلَّ جَلالُهُ, فَلَمْ تَجِدُوْا مَاءً “Kemudian kamu tidak mendapat air” akan wajibnya usaha mencari air pada saat masuknya waktu shalat, mereka berkata; karena sesungguhnya tidaklah mungkin dikatakan bahwa tidak mendapat air bagi orang yang belum mencari, akan tetapi tidaklah dikatakan seperti itu kecuali setelah mencari. Mereka kembali berdalil dengan ayat itu bahwa air yang berubah karena disebabkan oleh sesuatu yang suci boleh -bahkan harus- bersuci dengannya, hal ini karena ia termasuk dalam ayat, فَلَمْ تَجِدُوْا مَاءً “Kemudian kamu tidak mendapat air” dan air yang telah berubah karena bercampur dengan sesuatu yang suci itu juga disebut. Dalam hal itu kita dapat membagi dan menyebutnya sebagai kategori bukan air mutlak, dan dalam masalah ini perlu pembahasan.
Dan ayat yang mulia ini menunjukkan disyariatkannya hukum yang agung tersebut atas umat ini, di mana dengannya Allah جَلَّ جَلالُهُ memberikan karunia atas mereka, yaitu syariat tayamum, dan para ulama telah bersepakat atas hal tersebut, dan segala puji hanya milik Allah جَلَّ جَلالُهُ.
Dan bahwasanya tayamum itu dilakukan dengan tanah yang baik, yaitu segala apa yang ada di atas bumi, baik yang memiliki debu atau tidak, dan kemungkinan juga dikhususkan hanya tanah yang memiliki debu, karena Allah جَلَّ جَلالُهُ berfirman, فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَأَيْدِيْكُمْ مِنْهُ “Sapulah mukamu dan tanganmu” dengannya, sedangkan tanah yang tidak memiliki debu tidaklah mungkin mengusap (wajah) dengannya. Dan FirmanNya, فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ “Sapulah mukamu dan tanganmu” dengannya, ini adalah bagian yang harus disapu dalam bertayamum yaitu seluruh wajah dan kedua tangan hingga kedua pergelangan tangannya, sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits-hadits shahih akan hal tersebut (sebagaimana dalam Shahih al-Bukhari, no. 341 dan Shahih Muslim, no. 368), dan disunnahkan dalam bertayamum adalah dengan satu kali tepukan saja sebagaimana yang dijelaskan oleh hadits Ammar radhiallahu ‘anhu (Hadits Ammar radhiallahu ‘anhu telah berlalu, dan terdapat dalam ash-Shahihain, lihat takhrij sebelumnya), ayat ini juga menunjukkan bahwa tayamumnya orang yang junub sama seperti lainnya yaitu bagian wajah dan kedua tangan.
Suatu pelajaran: Ketahuilah, bahwa kaidah-kaidah kedokteran berporos pada tiga kaidah; menjaga kesehatan dari segala macam penyakit, menghilangkan, dan memberikan perlindungan darinya. Sesungguhnya Allah جَلَّ جَلالُهُ telah mengingatkan akan hal tersebut dalam kitabNya yang mulia; adapun yang menyangkut kaidah menjaga dan memberikan perlindungan, maka sesungguhnya Allah جَلَّ جَلالُهُ telah memerintahkan untuk makan dan minum serta tidak berlebihan dalam hal tersebut, Allah جَلَّ جَلالُهُ juga membolehkan bagi seorang musafir dan orang sakit untuk berbuka puasa demi menjaga kesehatan keduanya, yaitu dengan mempergunakan sesuatu yang bermanfaat untuk tubuh dalam bentuk yang seimbang, dan juga melindungi si sakit dari segala hal yang membahayakannya. Adapun tentang kaidah menghilangkan hal yang mengganggu, maka sesungguhnya Allah جَلَّ جَلالُهُ telah membolehkan bagi seorang yang sedang ihram yang kepalanya sedang terganggu dengan suatu hal untuk mencukur rambutnya demi menghilangkan bau yang tidak sedap padanya. Dalam hal itu juga menyimpan suatu peringatan untuk menghilangkan suatu yang lebih utama darinya berupa air kecil, air besar, muntah, air mani, darah dan lain sebagainya. Ibnu al-Qayyim 5 telah mengingatkan akan hal tersebut .
Ayat ini menunjukkan wajibnya membasuh wajah dan kedua tangan secara menyeluruh, dan bahwa tayamum hukumnya dibolehkan meskipun waktunya tidak sempit, dan bahwa mencari air itu tidaklah diminta kecuali setelah adanya sebab-sebab wajib, Wallahua’lam.
Kemudian Allah جَلَّ جَلالُهُ menutup ayat ini dengan FirmanNya, إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُوْرًا “Sesungguhnya Allah جَلَّ جَلالُهُ Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun,” maksudnya, Allah جَلَّ جَلالُهُ memiliki maaf dan ampunan yang melimpah bagi hamba-hambaNya yang beriman dengan memudahkan dan meringankan dengan seringan-ringannya apa yang telah Dia perintahkan kepada mereka, di mana seorang hamba tidak akan mendapatkan kesulitan dalam menjalankannya hingga ia merasa berat karenanya. Di antara maaf dan ampunanNya adalah Allah جَلَّ جَلالُهُ merahmati umat ini dengan menetapkan syariat sucinya tanah sebagai pengganti air ketika seorang hamba tidak mampu memakainya, dan di antara maaf dan ampunanNya yang lain adalah Allah جَلَّ جَلالُهُ membuka pintu taubat dan ampunan bagi orang-orang yang berbuat dosa. Allah جَلَّ جَلالُهُ menyeru mereka kepadanya dan menjanjikan kepada mereka ampunanNya atas dosa-dosa mereka. Dan di antara maaf dan ampunanNya juga adalah bahwa seorang Mukmin bila bertemu Allah جَلَّ جَلالُهُ dengan membawa dosa dan kesalahan sepenuh bumi dan hamba itu bertemu Allah جَلَّ جَلالُهُ sedang ia tidak mempersekutukanNya dengan sesuatu pun, maka pastilah Allah جَلَّ جَلالُهُ akan memberikan kepadanya ampunan sepenuh bumi pula.
Pada beberapa ayat yang lalu, Al-Qur’an menggambarkan perilaku orang-orang yang sombong dan membanggakan diri serta betapa dahsyat siksa yang akan dijumpai mereka pada hari berbangkit, sampaisampai mereka menginginkan agar disamaratakan saja dengan tanah, sehingga tidak mengalami perhitungan amal sama sekali. Namun hal itu tidak akan terjadi, karena tidak ada seorang pun yang dapat sembunyi dari pengawasan Allah. Oleh sebab itu, ayat ini dan ayat berikutnya menjelaskan bagaimana seharusnya manusia hidup di dunia agar selamat dari siksaan di hari berbangkit tersebut. Caranya ialah dengan melaksanakan salat dan bagaimana salat itu ditunaikan agar bisa menyelamatkan diri dari siksa di hari berbangkit tersebut. Wahai orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, janganlah kamu mendekati tempat salat atau melaksanakan salat ketika kamu dalam keadaan mabuk, yakni hilang ingatan karena minuman keras. Dirikanlah salat jika kamu sudah sadar apa yang kamu ucapkan, dan juga jangan pula kamu hampiri masjid ketika kamu dalam keadaan junub yang mengharuskan kamu mandi wajib, kecuali hanya sekadar melewati jalan saja, boleh kamu lakukan sebelum kamu mandi junub. Adapun jika kamu sakit yang dikhawatirkan bila menyentuh air penyakit itu akan bertambah parah atau susah disembuhkan, atau kamu sedang dalam perjalanan yang jaraknya jauh, sekitar 80 km atau lebih, atau sehabis buang air, apakah itu buang air kecil atau buang air besar, atau kamu telah menyentuh perempuan, apakah itu hanya sekadar bersentuh kulit atau berhubungan suami istri, sedangkan kamu pada waktu itu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu, sedengan cara usaplah wajahmu satu kali dan usap pula tanganmu, dengan mempergunakan debu atau tanah itu. Sungguh, Allah itu maha pemaaf, maha pengampun bagi hamba-hamba-Nya yang mau bertobatbagai pengganti wudu, dengan debu, atau tanah dan sejenisnya, yang baik, yakni suci, tidakkah kamu memperhatikan dengan saksama orang yang telah diberi bagian kitab taurat’ mereka membeli kesesatan dan mereka menghendaki agar kamu tersesat menyimpang dari jalan yang benar.
An-Nisa Ayat 43 Arab-Latin, Terjemah Arti An-Nisa Ayat 43, Makna An-Nisa Ayat 43, Terjemahan Tafsir An-Nisa Ayat 43, An-Nisa Ayat 43 Bahasa Indonesia, Isi Kandungan An-Nisa Ayat 43
Tafsir Surat An-Nisa Ayat: 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | 21 | 22 | 23 | 24 | 25 | 26 | 27 | 28 | 29 | 30 | 31 | 32 | 33 | 34 | 35 | 36 | 37 | 38 | 39 | 40 | 41 | 42 | 43 | 44 | 45 | 46 | 47 | 48 | 49 | 50 | 51 | 52 | 53 | 54 | 55 | 56 | 57 | 58 | 59 | 60 | 61 | 62 | 63 | 64 | 65 | 66 | 67 | 68 | 69 | 70 | 71 | 72 | 73 | 74 | 75 | 76 | 77 | 78 | 79 | 80 | 81 | 82 | 83 | 84 | 85 | 86 | 87 | 88 | 89 | 90 | 91 | 92 | 93 | 94 | 95 | 96 | 97 | 98 | 99 | 100 | 101 | 102 | 103 | 104 | 105 | 106 | 107 | 108 | 109 | 110 | 111 | 112 | 113 | 114 | 115 | 116 | 117 | 118 | 119 | 120 | 121 | 122 | 123 | 124 | 125 | 126 | 127 | 128 | 129 | 130 | 131 | 132 | 133 | 134 | 135 | 136 | 137 | 138 | 139 | 140 | 141 | 142 | 143 | 144 | 145 | 146 | 147 | 148 | 149 | 150 | 151 | 152 | 153 | 154 | 155 | 156 | 157 | 158 | 159 | 160 | 161 | 162 | 163 | 164 | 165 | 166 | 167 | 168 | 169 | 170 | 171 | 172 | 173 | 174 | 175 | 176
Raih pahala amal jariyah dengan cara membagikan (share) konten ini kepada yang lainnya. Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه
"Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)