{3} Ali ‘Imran / آل عمران | الْقُرْآنُ الْكَرِيْمُ | المائدة / Al-Maidah {5} |
Tafsir Al-Qur’an Surat An-Nisa النساء (Wanita) lengkap dengan tulisan arab latin, arti dan terjemah Bahasa Indonesia. Surah ke 4 Tafsir ayat Ke 93.
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا ﴿٩٣﴾
wa may yaqtul mu`minam muta’ammidan fa jazā`uhụ jahannamu khālidan fīhā wa gaḍiballāhu ‘alaihi wa la’anahụ wa a’adda lahụ ‘ażāban ‘aẓīmā
QS. An-Nisa [4] : 93
Dan barangsiapa membunuh seorang yang beriman dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka Jahanam, dia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, dan melaknatnya serta menyediakan azab yang besar baginya.
Barangsiapa yang melakukan pelanggaran terhadap seorang mukmin lalu dia membunuhnya dengan sengaja tanpa hak, maka hukumannya adalah Jahanam kekal didalamnya, plus murka Allah dan pengusirannya dari Rahmat-Nya bila Dia membalasnya atas dosanya. Dan Allah menyiapkan untuk mereka siksa yang paling berat disebabkan kejahatan besar yang dilakukannya. Akan tetapi Allah memaafkan dan melimpahkan karunia kepada orang-orang yang beriman, sehingga Dia tidak mengekalkan mereka di dalam Neraka Jahanam.
Ayat ini mengandung makna ancaman yang keras dan peringatan yang tidak mengenal ampun terhadap orang yang melakukan dosa besar ini, yang disebut oleh Allah bergandengan dengan perbuatan syirik dalam banyak ayat dari Kitabullah. Di dalam surat Al-Furqan, Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berfirman:
Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar. (Al Furqaan:68)
Dalam ayat lainnya Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى telah berfirman:
Katakanlah, “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kalian oleh Tuhan kalian, yaitu: Janganlah kalian mempersekutukan sesuatu dengan Dia.” (Al An’am:151)
Ayat-ayat dan hadis-hadis yang mengharamkan pembunuhan banyak sekali, antara lain ialah sebuah hadis yang disebut di dalam kitab Sahihain melalui Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda:
Mula-mula perkara yang diputuskan di antara manusia pada hari kiamat ialah mengenai masalah darah.
Di dalam hadis yang lain diriwayatkan oleh Imam Abu Daud melalui riwayat Amr ibnul Walid ibnu Abdah Al-Masri, dari Ubadah ibnus-Samit, disebutkan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah bersabda:
Orang mukmin itu masih tetap dalam keadaan berjalan cepat dan baik, selagi ia tidak mengalirkan darah yang diharamkan. Apabila ia mengalirkan darah yang diharamkan, maka terhentilah jalannya (karena lelah dan lemah).
Sesungguhnya lenyapnya dunia ini lebih ringan di sisi Allah daripada membunuh seorang lelaki muslim.
Seandainya bersatu semua penduduk langit dan penduduk bumi dalam membunuh seorang lelaki muslim, niscaya Allah mencampakkan mereka semua ke dalam neraka.
Barang siapa ikut terlibat dalam membunuh seorang muslim —sekalipun dengan sepatah kata— kelak di hari kiamat ia datang, sedangkan di antara kedua matanya tertulis kalimat “Orang yang dijauhkan dari rahmat Allah.”
Ibnu Abbas mempunyai pendapat tiada tobat (yang diterima) bagi pembunuh orang mukmin dengan sengaja.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Adam, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, telah menceritakan kepada kami Al-Mugirah ibnun Nu’man yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ibnu Jubair mengatakan, “Ulama Kufah berselisih pendapat mengenai masalah membunuh orang mukmin dengan sengaja. Maka aku (Ibnu Jubair) berangkat menemui Ibnu Abbas, lalu aku tanyakan masalah ini kepadanya. Ia menjawab bahwa telah diturunkan ayat berikut,” yaitu firman-Nya:
Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam.
Ayat ini merupakan ayat yang paling akliir diturunkan (berkenaan dengan masalah hukum, pent.) dan tiada suatu ayat lain pun yang me-mansukh-nya.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Nasai melalui berbagai jalur dari Syu’bah dengan lafaz yang sama.
Imam Abu Daud meriwayatkannya dari Imam Ahmad ibnu Ham-bal, dari Ibnu Mahdi, dari Sufyan As-Sauri, dari Mugirah ibnun Nu’man, dari Sa’id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya:
Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam.
Ibnu Abbas mengatakan bahwa tiada sesuatu pun yang memansukh ayat ini.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Aun, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Sa’id ibnu Jubair yang mengatakan bahwa Abdur Rahman ibnu Abza menceritakan bahwa Ibnu Abbas pernah ditanya mengenai firman-Nya:
Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam., hingga akhir ayat. Ibnu Abbas menjawab bahwa ayat ini tiada yang memansukhnya.
Ibnu Abbas mengatakan sehubungan dengan ayat berikut, yaitu firman-Nya: Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah. (Al Furqaan:68), hingga akhir ayat. Bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang musyrik.
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Mansur, telah menceritakan kepadaku Sa’id ibnu Jubair, atau telah menceritakan ke-padaku Al-Hakam, dari Sa’id ibnu Jubair yang pernah mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Abbas mengenai firman-Nya:
Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam.
Maka Ibnu Abbas menjawab, “Sesungguhnya seorang lelaki itu apabila telah mengetahui Islam dan syariat-syariat (hukum-hukum)nya, kemudian ia membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah Jahannam dan tiada tobat baginya.” Ketika aku (Sa’id ibnu Jubair) ceritakan jawaban tersebut kepada Mujahid, maka Mujahid mengatakan, “Kecuali orang yang menyesali perbuatannya (yakni bertobat).”
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid dan Ibnu Waki’, keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Yahya Al-Jabiri, dari Salim ibnu Abul Ja’d yang mengatakan, “Ketika kami berada di dalam rumah Ibnu Abbas sesudah kedua matanya mengalami kebutaan, maka datanglah seorang lelaki, lalu bertanya kepadanya, ‘Hai Abdullah Ibnu Abbas, bagaimanakah menurutmu tentang seorang lelaki yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja?’ Maka Ibnu Abbas menjawab, ‘Balasannya ialah neraka Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya serta melaknatinya dan menyediakan baginya azab yang besar.’ Lelaki itu bertanya lagi, ‘Bagaimanakah menurutmu, bila si pembunuh itu bertobat dan beramal saleh serta menempuh jalan hidayah?’ Ibnu Abbas menjawab, ‘Semoga ibunya kehilangan dia (kata-kata cacian), mana mungkin tobatnya diterima dan dapat memperoleh hidayah? Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, sesungguhnya aku pernah mendengar Nabi kalian bersabda: Semoga ibunya kehilangan dia, yaitu pembunuh seorang mukmin dengan sengaja. Kelak di hari kiamat si terbunuh dengan leher yang berlumuran darah datang seraya membawa si pembunuh dengan tangan kanan atau tangan kirinya ke hadapan Arasy Tuhan Yang Maha Pemurah. Si terbunuh memegang si pembunuh dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya memegang kepala si pembunuh, si terbunuh berkata: Ya Tuhanku, tanyakanlah kepadanya, karena apakah dia membunuhku? Demi Tuhan yang jiwa Abdullah ini berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, sesungguhnya sejak ayat ini diturunkan, tiada ayat lain yang me-mansukh-nya hingga Nabi kalian wafat, dan sesudah turunnya ayat ini tiada suatu bukti pun yang merevisinya’.”
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja’far, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, bahwa ia pernah mendengar Yahya ibnul Mujiz menceritakan hadis berikut dari Salim, dari Ibnu Abul Ja’d, dari Ibnu Abbas, bahwa ada seorang lelaki datang kepadanya, lalu bertanya, “Bagaimanakah pendapatmu tentang seorang lelaki yang membunuh lelaki lain (yang mukmin) dengan sengaja?” Ibnu Abbas menjawabnya dengan membacakan firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى: Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya. (An Nisaa:93) Lelaki itu bertanya lagi, bahwa ayat ini merupakan ayat (hukum) yang paling akhir diturunkan, tiada suatu ayat pun yang me-mansukh-nya hingga Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ wafat, dan memang tiada wahyu yang turun sesudah kepergian beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Bagaimanakah pendapatmu jika ternyata si pembunuh itu bertobat, beriman, dan beramal saleh serta mendapatkan hidayah?” Ibnu Abbas menjawab, “Mana mungkin tobatnya diterima? Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda,” yaitu: Semoga ibunya kehilangan dia, yaitu seorang lelaki yang membunuh lelaki lain dengan sengaja, kelak di hari kiamat si terbunuh akan membawa pembunuhnya dengan tangan kanan atau tangan kirinya —atau tangan kanan atau tangan kirinya memegang kepala si pembunuh— sedangkan dia sendiri dalam keadaan berlumuran darah pada lehernya. ia datang ke hadapan Arasy, lalu berkata, “Wahai Tuhanku, tanyailah hamba-Mu ini, mengapa dia membunuhku.”
Imam Nasai meriwayatkannya dari Qutaibah dan Ibnu Majah, dari Muhammad ibnus Sabbah, dari Sufyan ibnu Uyaynah, dari Ammar Az-Zahabi dan Yahya Al-Jabiri serta Sabit As-Samali, dari Salim ibnu Abul Ja’d, dari Ibnu Abbas. Lalu ia mengetengahkan hadis ini.
Hal ini diriwayatkan pula melalui berbagai jalur, dari Ibnu Abbas.
Di antara ulama Salaf yang berpendapat tidak ada tobat bagi si pembunuh dengan sengaja ialah Zaid ibnu Sabit, Abu Hurairah, Abdullah ibnu Umar, Abu Salamah ibnu Abdur Rahman, Ubaid ibnu Umair, Al-Hasan, Qatadah, dan Ad-Dahhak ibnu Muzahim. Demikianlah menurut apa yang dinukil oleh Ibnu Abu Hatim.
Banyak hadis yang menerangkan bab ini, antara lain ialah apa yang telah diriwayatkan oleh Abu Bakar ibnu Murdawaih di dalam kitab tafsirnya,
telah menceritakan kepada kami Da’laj ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ibrahim ibnu Sa’id Al-Busyanji. Telah menceritakan pula kepada kami Abdullah ibnu Ja’far, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Fahd, keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Ubaid ibnu Ubaidah, telah menceritakan kepada kami Mu’tamir ibnu Sulaiman, dari ayahnya, dari Al-A’masy, dari Abu Amr ibnu Syurahbil berikut sanadnya, dari Abdullah ibnu Mas’ud, dari Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang telah bersabda: Kelak di hari kiamat orang yang terbunuh datang dengan membawa pembunuhnya seraya memegang kepala si pembunuh dengan tangan yang lainnya, lalu berkata, “Wahai Tuhanku, tanyailah orang ini, mengapa dia membunuhku?” Maka si pembunuh menjawab, “Aku membunuhnya untuk membela keagungan-Mu.” Maka Allah berfirman, “Sesungguhnya keagungan itu adalah milik-Ku.” Lalu didatangkan lagi orang lain yang menyeret pembunuhnya, kemudian ia berkata, “Wahai Tuhanku, tanyakanlah kepada orang ini, mengapa dia membunuhku.” Si pembunuh menjawab, “Aku telah membunuhnya untuk membela keagungan si Fulan.” Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berfirman, “Sesungguhnya si Fulan tidak memiliki keagungan, maka pikullah dosanya.” Lalu si pembunuh dicampakkan ke dalam neraka dan jatuh ke dalamnya selama tujuh puluh musim gugur (tahun).
Imam Nasai meriwayatkannya dari Ibrahim ibnul Mustamir Al-Aufi, dari Amr ibnu Asim, dari Mu’tamir ibnu Sulaiman dengan lafaz yang sama.
Hadis lain.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Safwan ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Saur ibnu Yazid, dari Abu Aun, dari Abu Idris yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Mu’awiyah r.a. mengatakan bahwa ia pernah mendengar Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda: Semua dosa masih mempunyai harapan untuk diampuni oleh Allah, kecuali seorang lelaki yang mati dalam keadaan kafir, atau seorang lelaki yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Nasai, dari Muhammad ibnul Musanna, dari Safwan ibnu Isa dengan lafaz yang sama.
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ja’far, telah menceritakan kepada kami Simawaih, telah menceritakan kepada kami Abdul A’la ibnu Mishar, telah menceritakan kepada kami Sadaqah ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Khalid ibnu Dihqan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Zakaria, ia pernah mendengar Ummu Darda mengatakan, “Aku pernah mendengar Abu Darda berkata bahwa ia pernah mendengar Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda: ‘Semua dosa mudah-mudahan Allah mengampuninya kecuali orang yang mati dalam keadaan musyrik, atau orang yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja’.”
Ditinjau dari sanad ini, hadis berpredikat garib jiddan, karena hadis yang terkenal dan dihafal adalah hadis Mu’awiyah tadi.
Kemudian Ibnu Mardawaih meriwayatkan melalui jalur Baqiyyah ibnul Walid, dari Nafi’ ibnu Yazid, telah menceritakan kepadaku Ibnu Jubair Al-Ansari, dari Daud Al-Husain, dari Nafi’, dari Ibnu Umar, dari Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang telah bersabda:
Barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, berarti ia telah kafir terhadap Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى
Hadis ini berpredikat munkar, di dalam sanadnya masih banyak hal yang diragukan.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami An-Nadr, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnul Mugirah, telah menceritakan kepada kami Humaid, telah datang kepadanya Abul Aliyah yang saat itu sedang bersama seorang temannya. Maka Abul Aliyah berkata kepada kami berdua, “Kemarilah kamu berdua, kamu berdua lebih muda daripada aku dan lebih kuat hafalan hadisnya dibandingkan diriku.” Lalu Abul Aliyah membawa kami kepada Bisyr ibnu Asim. Sesampainya di rumah Bisyr ibnu Asim, Abul Aliyah berkata kepadanya, “Ceritakanlah hadismu kepada kedua orang ini.” Maka Bisyr ibnu Asim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Uqbah ibnu Malik Al-Laisi hadis berikut: Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengirimkan suatu pasukan khusus untuk memerangi suatu kaum. Lalu ada seorang lelaki bergabung dengan kaum tersebut, yang segera diikuti oleh seorang lelaki dari kalangan pasukan Sariyyah seraya menghunus pedangnya. Lelaki dari kalangan kaum itu berkata, “Sesungguhnya aku adalah seorang muslim.” Tetapi lelaki dari Sariyyah itu tidak mempedulikan kata-katanya, melainkan langsung memukulnya dengan pedang hingga ia terbunuh. Kemudian kejadian itu sampai kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Maka beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengucapkan kata-kata yang berat terhadap peristiwa itu. Ketika si pembunuh sampai, yang saat itu Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sedang berkhotbah, maka si pembunuh itu berkata, “Demi Allah, tidak sekali-kali si terbunuh itu mengucapkan kata-kata pengakuannya, melainkan hanya ingin menyelamatkan dirinya dari pembunuhan.” Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berpaling darinya, juga dari orang-orang yang ada di belakang lelaki itu, lalu beliau melanjutkan khotbahnya. Kemudian lelaki itu berkata lagi, “Wahai Rasulullah, tidak sekali-kali dia mengucapkan kata-katanya itu melainkan hanya untuk menyelamatkan diri dari pembunuhan.” Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berpaling darinya, juga dari orang-orang yang datang bersamanya, lalu melangsungkan khotbahnya. Lelaki itu tidak sabar hingga ia berkata untuk yang ketiga kalinya, “Demi Allah wahai Rasulullah, tidak sekali-kali ia mengucapkan kata-katanya itu melainkan hanya ingin menyelamatkan dirinya dari pembunuhan.” Maka kali ini Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menghadapkan wajahnya ke arah lelaki itu, sedangkan wajah beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tergambar rasa penyesalan yang sangat. Lalu beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda: Sesungguhnya Allah menolak (tobat) orang yang membunuh seorang mukmin. Sabda ini diulangnya hingga tiga kali.
Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis Sulaiman ibnul Mugirah.
Tetapi pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama dari kalangan ulama Salaf dan Khalaf ialah pendapat yang mengatakan bahwa seorang pembunuh masih mempunyai harapan untuk bertobat antara dia dan Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى Untuk itu, jika ia benar-benar tobat dan kembali ke jalan yang benar serta bersikap khusyuk, tawaduk, dan beramal saleh, maka Allah akan mengganti keburukannya dengan kebaikan. Memberikan ganti kepada si terbunuh dengan diambil perbuatan-perbuatan aniayanya, hingga Allah rida kepadanya dan mengampuni dosa-dosanya.
Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى telah berfirman:
Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah. (Al Furqaan:68) sampai dengan firman-Nya: kecuali orang-orang yang bertobat, beriman, dan mengerjakan amal saleh. (Al Furqaan:70)
Hal ini merupakan hadis pula yang tidak boleh dimansukh, sedangkan mengenai interpretasi hal ini ditujukan kepada orang-orang musyrik, dan ayat surat An-Nisa diinterpretasikan kepada orang-orang mukmin merupakan hal yang bertentangan dengan makna lahiriah ayat, dan masih diperlukan adanya dalil yang menunjukkan kepada takwil tersebut (yang mengatakan bahwa pelaku berdosa besar, masuk neraka, dan tiada tobat baginya).
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Katakanlah, “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah.” (Az Zumar:53), hingga akhir ayat.
Makna ayat ini umum mencakup semua dosa, seperti kekufuran, kemusyrikan, keraguan, munafik, membunuh jiwa, dan perbuatan fasik serta lain-lainnya. Dengan kata lain, barang siapa yang bertobat dari hal-hal tersebut, niscaya Allah menerima tobatnya. Dalam ayat yang lain Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى telah berfirman:
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. (An Nisaa:48 dan 116)
Ayat ini umum pengertiannya mencakup semua jenis dosa selain dosa menyekutukan Allah. Ayat yang bermakna demikian disebutkan dalam surat An-Nisa, sesudah dan sebelum ayat ini (ayat 93), untuk memperkuat harapan.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan sebuah kisah di kalangan kaum Bani Israil di masa silam, yaitu seorang lelaki dari kalangan mereka sempat membunuh seratus orang. Lalu ia meminta kepada orang yang alim dari kalangan mereka, “Apakah masih ada tobat bagiku?” Orang alim itu menjawab, “Tiada sesuatu pun yang menghalang-halangi antara kamu dan tobat.” Selanjutnya orang alim itu menunjukkan kepadanya sebuah kampung yang penduduknya menyembah Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى, dan menganjurkannya untuk pindah ke kampung tersebut. Maka si lelaki tersebut hijrah ke kampung yang dimaksud, tetapi di tengah jalan, maut merenggutnya. Pada akhirnya lelaki itu dibawa oleh malaikat rahmat, seperti yang sering kami sebut di tempat yang lain.
Apabila hal ini terjadi di kalangan kaum Bani Israil, maka lebih diterima lagi tobat yang dilakukan oleh umat ini, karena Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى telah meletakkan semua beban dan belenggu dari kami tidak seperti yang terjadi pada umat-umat terdahulu, dan Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى mengutus Nabi kita dengan membawa syariat yang cenderung kepada kebenar-an dan penuh dengan toleransi.
Adapun mengenai makna firman-Nya yang mengatakan: Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja. (An Nisaa:93), hingga akhir ayat. Maka sahabat Abu Hurairah dan sejumlah ulama Salaf mengatakan bahwa memang demikianlah balasannya, jika Allah hendak mengazabnya.
Ibnu Murdawaih meriwayatkan asar ini berikut sanadnya secara marfu’ melalui jalur Muhammad ibnu Jami’ Al-Attar, dari Al-Ala ibnu Maimun Al-Anbari, dari Hajjaj Al-Aswad, dari Muhammad ibnu Sirin, dari Abu Hurairah secara marfu’. Akan tetapi, tidak sah bila makna ayat ini diartikan bahwa memang itulah balasannya jika dibalaskan kepadanya. Demikian pula halnya dalam semua ancaman atas suatu perbuatan dosa. Tetapi memang demikian keadaannya karena adanya penghalang berupa amal-amal saleh yang mencegah sampainya balasan tersebut kepada pelakunya, menurut kedua pendapat yang terdapat di dalam kitab Muwazanah dan kitab Al-Ihbat. Pendapat terakhir ini merupakan jalan keluar yang paling baik dalam menerangkan Bab “Wa’id” (ancaman).
Bilamana diinterpretasikan bahwa pelaku pembunuhan dimasukkan ke dalam neraka, maka menurut pendapat Ibnu Abbas dan para pendukungnya, pengertian ini diinterpretasikan “tidak ada tobat baginya”. Atau kalau menurut pendapat jumhur ulama dengan interpretasi “dia tidak mempunyai amal saleh yang dapat menyelamatkan dirinya”. Maka yang tersimpul dari semua pendapat menunjukkan bahwa si pembunuh tidak kekal di dalam neraka, melainkan istilah kekal di sini hanya menunjukkan pengertian masa tinggal yang sangat lama. Sebagai buktinya banyak hadis mutawatir dari Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Yang menyatakan bahwa kelak akan dikeluarkan dari neraka orang-orang yang di dalam kalbunya terdapat iman yang beratnya lebih kecil daripada biji sawi (biji zarrah).
Adapun mengenai hadis Mu’awiyah yang mengatakan:
Semua dosa mudah-mudahan Allah mengampuninya, kecuali seorang lelaki yang mati dalam keadaan kafir, atau seorang lelaki yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja.
Pengertian lafaz asa dalam ayat ini menunjukkan makna tarajji (harapan). Apabila pengertian tarajji pada kedua gambaran tersebut tidak ada, bukan berarti meniadakan terjadinya tarajji pada salah satu dari kedua gambaran itu. Yang dimaksud ialah membunuh, karena adanya banyak dalil, seperti yang telah kami kemukakan di atas.
Orang yang mati dalam keadaan kafir, menurut nas dinyatakan bahwa Allah sama sekali tidak memberikan ampunan baginya. Mengenai tuntutan si terbunuh terhadap si pembunuh kelak di hari kiamat, sesungguhnya hal ini termasuk hak-hak yang menyangkut anak Adam di antara sesama mereka. Hal ini jelas tidak dapat dihapus dengan tobat, melainkan sudah merupakan suatu keharusan urusannya dikembalikan kepada mereka yang bersangkutan. Dalam hal ini tidak ada bedanya antara orang yang terbunuh dan orang yang dicuri, orang yang digasab dan orang yang dituduh berbuat zina, dan semua hak yang menyangkut anak Adam. Karena sesungguhnya ijma’ telah sepakat bahwa hak-hak anak Adam tidak dapat digugurkan oleh tobat, melainkan harus dikembalikan kepada mereka yang berhak untuk kebenaran tobatnya.
Jika pengembalian hak ini tidak dapat dilaksanakan di dunia, pasti di hari kiamat akan dituntut. Tetapi adanya tuntutan ini tidak memastikan adanya pembalasan, karena barangkali si pembunuh mempunyai banyak amal saleh yang keseluruhan atau sebagiannya dapat dibayarkan kepada si terbunuh. Kemudian dengan sisa amal saleh yang masih dimilikinya, akhirnya ia dapat masuk surga karenanya. Atau barangkali Allah memberikan kepada si terbunuh ganti rugi menurut apa yang dikehendaki-Nya dari kemurahan-Nya, yaitu berupa gedung-gedung di dalam surga berikut semua kenikmatan yang ada di dalamnya, dan derajatnya ditinggikan di dalamnya, serta lain sebagainya yang serupa.
Selanjutnya bagi pelaku pembunuhan secara sengaja terdapat ketentuan-ketentuan hukumnya di dunia dan ketentuan-ketentuan hukumnya di akhirat. Mengenai ketentuan hukumnya di dunia ialah ia diserahkan kepada para wali si terbunuh, sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman-Nya:
Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya. (Al Isra: 33), hingga akhir ayat.
Kemudian ahli waris si terbunuh disuruh memilih antara membunuh si pembunuh, atau memaafkan atau menerima diat berat yang terdiri atas tiga macam, yaitu tiga puluh ekor unta hiqqah, tiga puluh ekor unta jaz’ah, dan empat puluh ekor unta khilfah, seperti yang diterangkan di dalam kitab-kitab fiqih.
Para imam berbeda pendapat mengenai masalah memerdekakan seorang budak, berpuasa dua bulan berturut-turut ataukah memberi makan, menurut salah satu pendapat di antara dua pendapat, seperti ketentuan yang telah disebutkan dalam keterangan kifarat membunuh secara tersalah (tidak sengaja). Ada dua pendapat mengenainya.
Menurut pendapat Imam Syafii, semua muridnya, dan segolongan ulama, kifarat hukumnya wajib atas si pembunuh. Karena jika dalam kasus pembunuhan secara tidak disengaja ia diwajibkan membayar kifarat, maka terlebih lagi dalam kasus pembunuhan secara sengaja. Mereka mengkiaskan hal ini dengan masalah sumpah palsu, dan mengemukakan alasannya dengan menyebutkan masalah qada salat yang ditinggalkan secara sengaja, bahwa menurut kesepakatan mereka, wajib pula meng-qada salat yang ditinggalkan secara tidak sengaja.
Murid-murid Imam Ahmad dan lain-lainnya mengatakan bahwa pembunuhan secara disengaja terlalu berat dosanya bila dihapus dengan kifarat. Maka tiada kifarat dalam kasus pembunuhan disengaja. Hal yang sama dikatakan pula terhadap kasus sumpah palsu, dan tiada jalan untuk membedakan antara kedua masalah tersebut dan masalah meninggalkan salat dengan sengaja, karena sesungguhnya mereka mengatakan wajib meng-qada salat bila ditinggalkan dengan sengaja.
Orang-orang yang berpendapat wajib membayar kifarat dalam kasus pembunuhan secara sengaja berpegang kepada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Amir ibnul Fadl, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, dari Ibrahim ibnu Abu Ablah, dari Al-Garif ibnu Ayyasy, dari Wailah ibnul Asqa’ yang menceritakan bahwa sego-ongan orang dari Bani Sulaim datang kepada Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, lalu mereka bertanya, “Sesungguhnya seorang teman dari kalangan kami yang pasti masuk neraka karena pernah membunuh.” Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda: Maka hendaklah ia memerdekakan seorang budak yang akan ditebus oleh Allah setiap anggota tubuhnya dengan setiap anggota tubuh budak itu dari neraka.
Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Damrah ibnu Rabi’ah, dari Ibrahim ibnu Abu Ablah, dari Al-Garif Ad-Dailami yang menceritakan, “Kami datang kepada Wasilah ibnul Asqa’, lalu kami berkata, ‘Ceritakanlah kepada kami sebuah hadis yang pernah engkau dengar dari Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ’.” Wasilah mengatakan, “Kami datang kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sehubungan dengan seorang teman kami yang telah melakukan perbuatan dosa besar (membunuh) yang memastikannya masuk neraka. Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda: ‘Merdekakanlah oleh kalian seorang budak untuknya, niscaya Allah akan menebus setiap anggota tubuhnya dengan setiap anggota tubuh budak itu dari neraka’.”
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Nasai melalui hadis Ibrahim ibnu Abu Ablah dengan lafaz yang sama.
Menurut lafaz Imam Abu Daud, dari Al-Garif Ad-Dailami, disebutkan seperti berikut:
“Kami datang kepada Wasilah ibnul Asqa’, lalu kami berkata kepadanya, “Ceritakanlah sebuah hadis yang tidak kamu tambah-tambahi dan tidak pula kamu kurangi kepada kami.” Maka Wasilah marah dan mengatakan, “Rupanya seseorang dari kalian biasa membaca Al-Qur’an yang ia gantungkan di dalam rumahnya, lalu ia menambah-nambah dan mengurangi bacaannya.” Kami berkata, “Sesungguhnya kami hanya bermaksud sebuah hadis yang engkau dengar secara langsung dari Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sendiri.” Wasilah menjawab, “Kami pernah menghadap Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sehubungan dengan seorang teman kami yang wajib masuk neraka (karena telah membunuh seseorang). Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda: ‘Merdekakanlah seorang budak oleh kalian untuknya, niscaya Allah akan menebus setiap anggota tubuhnya dengan setiap anggota tubuh budak itu dari neraka’.”
Telah berlalu bahwa Allah جَلَّ جَلالُهُ memberitakan bahwasanya tidaklah terjadi pembunuhan terhadap seorang Mukmin oleh Mukmin yang lain, dan bahwasanya pembunuhan itu adalah di antara bentuk kufur amali. Dalam ayat ini Allah جَلَّ جَلالُهُ menyebutkan tentang ancaman bagi pembunuh dengan sengaja yaitu ancaman yang menggetarkan jiwa, menakutkan hati, dan membuat orang-orang yang berakal gelisah, dan tidaklah ada hukuman yang dikeluarkan bagi dosa-dosa besar yang lebih besar dari hukuman ini, bahkan tidak ada yang sepertinya, yaitu kabar bahwa hukumannya adalah Jahanam, artinya, dosa yang besar ini telah patut menjadi satu-satunya dosa untuk diberikan hukuman kepada pelakunya dengan Jahanam dengan segala siksaan yang ada di dalamnya dan kehinaan yang nyata, kemurkaan Allah جَلَّ جَلالُهُ, hilangnya keselamatan dan keberuntungan, serta adanya kegagalan dan kerugian, maka hanya kepada Allah جَلَّ جَلالُهُ kita berlindung dari segala sebab yang menjauhkan dari rahmatNya.
Ancaman ini memiliki kedudukan yang sama seperti hal-hal yang semisal dengannya dari nash-nash ancaman atas beberapa dosa-dosa besar dan kemaksiatan dengan keabadian dalam neraka atau haramnya surga. Dan sesungguhnya para ulama rahimahumullah telah berbeda pendapat tentang penafsirannya, di samping kesepakatan mereka atas batilnya pendapat Khawarij dan Mu’tazilah yang berpendapat akan kekalnya orang-orang seperti itu (pelaku dosa besar) dalam neraka walaupun mereka ini masih bertauhid, dan yang shahih dalam tafsirannya adalah apa yang dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim 5 dalam Madarij as-Salikin , di mana beliau telah menyebutkan beberapa pendapat para ulama dalam tafsir akan hal tersebut lalu beliau mengomentarinya seraya berkata;
“Sekelompok ulama berpendapat, bahwa nash-nash ini atau yang semisalnya adalah di antara perkara yang disebutkan padanya tuntutan diberlakukannya hukuman. Keberadaan tuntutan hukum tidak mengharuskan adanya suatu hukuman, karena hukuman itu hanya akan terwujud jika tuntutan-tuntutannya terpenuhi dan tidak ada penghalang-penghalangnya. Maksud dari nash-nash ini adalah pemberitahuan bahwa yang demikian itu merupakan sebab yang mengakibatkan hukuman. Dan sungguh telah ada dalil tentang adanya penghalang-penghalang tersebut yang sebagiannya adalah ijma’ dan sebagian lagi berupa nash.
Mereka menyatakan bahwa atas dasar inilah penegakan kemaslahatan dunia dan akhirat atau kemudharatan keduanya, dan atas dasar ini juga patokan hukum-hukum syariat dan ketetapan-ketetapan takdir, dan juga merupakan tuntutan sunnah Allah جَلَّ جَلالُهُ yang berlaku di dunia, dengannya ada keterkaitan antara sebab-sebab dan akibatnya sebagai suatu penciptaan dan perintah, dan sungguh Allah جَلَّ جَلالُهُ telah menjadikan bagi setiap hal ada hal lain yang kontradiksi dengannya yang selalu melawannya dan menghadangnya hingga hukum yang tegak adalah yang paling kuat darinya, maka kekuatan menghasilkan kesehatan dan keselamatan, dan kerusakan serta kezhaliman yang terjadi pada interaksi antara dua hal yang berlawanan tersebut adalah penghalang bagi fungsi alam. Jadi fungsi kekuatan dan hukum adalah bagi yang paling kuat darinya, demikian juga bagi kekuatan obat-obatan dan penyakit. Seorang hamba memiliki kesempatan untuk sehat dan kesempatan untuk sakit, salah satu pihak dari kedua hal itu akan menghalangi kesempurnaan pengaruh dari pihak lainnya dan melawannya, dan bila ia mampu menanggulanginya dan menang atasnya, niscaya pengaruhnya yang akan berfungsi, dari sinilah dapat diketahui pembagian makhluk yang masuk surga dan tidak masuk neraka atau sebaliknya, dan makhluk yang masuk neraka kemudian keluar darinya dan menetapnya dalam neraka adalah sesuai dengan hal-hal yang menuntut keberadaannya di neraka tersebut yang berpengaruh pada cepat atau lambatnya ia keluar dari neraka.
Makhluk yang memiliki mata hati yang terang di mana ia mampu memandang dengannya segala hal yang dikabarkan oleh Allah جَلَّ جَلالُهُ dalam kitabNya berupa perkara tentang Hari Pembalasan dan perincian-perinciannya, hingga seolah-olah ia menyaksikannya dengan mata kepala sendiri, dan ia mengetahui bahwa hal ini adalah suatu tuntutan uluhiyah Allah جَلَّ جَلالُهُ,,, rububiyahNya, kemuliaanNya, dan hikmahNya, dan bahwasanya mustahil pada Diri Allah جَلَّ جَلالُهُ apa yang berlawanan dengan itu semua. Dan prosentase keyakinan tersebut pada diri orang itu adalah sama dengan prosentase apa yang tidak pantas padaNya, sehingga prosentase hal tersebut berkaitan dengan bashirahnya adalah seperti prosentase (kuatnya) sinar matahari dan bintang kepada daya pandangannya. Dan inilah hakikat keimanan yang benar yang mampu membakar keburukan sebagaimana api membakar kayu, dan orang yang memiliki keimanan seperti ini, mustahil baginya terus-menerus berbuat keburukan walaupun ia pernah melakukannya dan bahkan seringkali melakukannya, karena apa yang ada bersamanya berupa cahaya keimanan akan selalu memerintahkan kepadanya untuk memperbaharui taubat pada setiap waktu dan untuk kembali kepada Allah جَلَّ جَلالُهُ dalam setiap desah nafasnya. Dan inilah makhluk yang paling Allah جَلَّ جَلالُهُ cintai.” Berakhir perkataan beliau dan semoga Allah جَلَّ جَلالُهُ menyucikan jiwanya dan membalasnya untuk Islam dan kaum Muslimin dengan kebaikan.
Dan barang siapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja yakni dengan niat dan terencana, maka balasannya yang pantas dan setimpal ialah neraka jahanam yang sangat mengerikan, dia kekal di dalamnya dalam waktu yang lama disertai dengan siksaan yang amat mengerikan. Di samping hukuman itu, Allah murka kepadanya dan melaknatnya yakni menjauhkannya dan tidak memberinya rahmat, serta menyediakan azab yang besar baginya selain dari azab-azab yang disebutkan di atas di akhirat pada ayat yang lalu Allah telah menegaskan hukuman yang amat pedih bagi seseorang yang melakukan pembunuhan dengan sengaja. Pada ayat ini Allah memberikan peringatan kepada kaum muslim untuk berhati-hati agar tidak terjerumus ke dalam pembunuhan. Salah satu kesempatan yang memungkinkan terjadinya pembunuhan dengan sengaja itu ialah pada waktu terjadinya peperangan dengan seseorang atau sekelompok yang tidak dikenal. Wahai orang-orang yang beriman! berhati-hatilah dalam mengambil keputusan untuk membunuh seseorang. Karena itu, apabila kamu pergi melakukan perjalanan di atas bumi, baik untuk berperang dan atau untuk tugas apa pun di jalan Allah, maka telitilah dan carilah keterangan yang pasti tentang orang yang kamu hadapi itu dan jangan kamu melakukan tindakan apa pun kepadanya kalau kamu ragu dan janganlah kamu mengatakan kepada orang atau siapa pun yang mengucapkan salam, yakni orang yang mengucapkan kalimat la’ ila’ha illalla’h, kepadamu, kamu bukan seorang yang beriman, lalu kamu membunuhnya dengan maksud mencari harta benda kehidupan dunia dari pembunuhan itu, padahal di sisi Allah ada harta yang banyak, yang lebih baik daripada apa yang kamu dapatkan dari harta rampasan peperangan itu, yaitu pahala yang berlipat ganda yang disediakan oleh Allah di akhirat. Begitu jugalah keadaan kamu dahulu, ketika kamu kafir, sebelum kamu beriman, menyembunyikan keimananmu, lalu Allah memberikan nikmat-Nya berupa nikmat iman kepadamu lalu kamu beriman seperti sekarang ini, maka telitilah dengan pasti sebelum kamu bertindak kepadanya. Sungguh, Allah mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan dan maha memberi balasan atas apa yang kamu lakukan.
An-Nisa Ayat 93 Arab-Latin, Terjemah Arti An-Nisa Ayat 93, Makna An-Nisa Ayat 93, Terjemahan Tafsir An-Nisa Ayat 93, An-Nisa Ayat 93 Bahasa Indonesia, Isi Kandungan An-Nisa Ayat 93
Tafsir Surat An-Nisa Ayat: 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | 21 | 22 | 23 | 24 | 25 | 26 | 27 | 28 | 29 | 30 | 31 | 32 | 33 | 34 | 35 | 36 | 37 | 38 | 39 | 40 | 41 | 42 | 43 | 44 | 45 | 46 | 47 | 48 | 49 | 50 | 51 | 52 | 53 | 54 | 55 | 56 | 57 | 58 | 59 | 60 | 61 | 62 | 63 | 64 | 65 | 66 | 67 | 68 | 69 | 70 | 71 | 72 | 73 | 74 | 75 | 76 | 77 | 78 | 79 | 80 | 81 | 82 | 83 | 84 | 85 | 86 | 87 | 88 | 89 | 90 | 91 | 92 | 93 | 94 | 95 | 96 | 97 | 98 | 99 | 100 | 101 | 102 | 103 | 104 | 105 | 106 | 107 | 108 | 109 | 110 | 111 | 112 | 113 | 114 | 115 | 116 | 117 | 118 | 119 | 120 | 121 | 122 | 123 | 124 | 125 | 126 | 127 | 128 | 129 | 130 | 131 | 132 | 133 | 134 | 135 | 136 | 137 | 138 | 139 | 140 | 141 | 142 | 143 | 144 | 145 | 146 | 147 | 148 | 149 | 150 | 151 | 152 | 153 | 154 | 155 | 156 | 157 | 158 | 159 | 160 | 161 | 162 | 163 | 164 | 165 | 166 | 167 | 168 | 169 | 170 | 171 | 172 | 173 | 174 | 175 | 176
Raih pahala amal jariyah dengan cara membagikan (share) konten ini kepada yang lainnya. Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه
"Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)