{3} Ali ‘Imran / آل عمران | الْقُرْآنُ الْكَرِيْمُ | المائدة / Al-Maidah {5} |
Tafsir Al-Qur’an Surat An-Nisa النساء (Wanita) lengkap dengan tulisan arab latin, arti dan terjemah Bahasa Indonesia. Surah ke 4 Tafsir ayat Ke 102.
وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِنْ وَرَائِكُمْ وَلْتَأْتِ طَائِفَةٌ أُخْرَىٰ لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ ۗ وَدَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ تَغْفُلُونَ عَنْ أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُمْ مَيْلَةً وَاحِدَةً ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ كَانَ بِكُمْ أَذًى مِنْ مَطَرٍ أَوْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَنْ تَضَعُوا أَسْلِحَتَكُمْ ۖ وَخُذُوا حِذْرَكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ أَعَدَّ لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا ﴿١٠٢﴾
wa iżā kunta fīhim fa aqamta lahumuṣ-ṣalāta faltaqum ṭā`ifatum min-hum ma’aka walya`khużū asliḥatahum, fa iżā sajadụ falyakụnụ miw warā`ikum walta`ti ṭā`ifatun ukhrā lam yuṣallụ falyuṣallụ ma’aka walya`khużụ ḥiżrahum wa asliḥatahum, waddallażīna kafarụ lau tagfulụna ‘an asliḥatikum wa amti’atikum fa yamīlụna ‘alaikum mailataw wāḥidah, wa lā junāḥa ‘alaikum ing kāna bikum ażam mim maṭarin au kuntum marḍā an taḍa’ū asliḥatakum, wa khużụ ḥiżrakum, innallāha a’adda lil-kāfirīna ‘ażābam muhīnā
QS. An-Nisa [4] : 102
Dan apabila engkau (Muhammad) berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu engkau hendak melaksanakan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata mereka, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan satu rakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang lain yang belum shalat, lalu mereka shalat denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata mereka. Orang-orang kafir ingin agar kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu sekaligus. Dan tidak mengapa kamu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat suatu kesusahan karena hujan atau karena kamu sakit, dan bersiap siagalah kamu. Sungguh, Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu.
Bila kamu wahai Nabi sedang berada di medan perang dan kamu hendak mendirikan shalat bersama mereka, maka hendaknya sekelompok orang berdiri bersamamu untuk mendirikan shalat sedangkan kelompok yang lain menyiapkan senjata mereka. Bila kelompok pertama sujud, maka hendaknya kelompok kedua dibelakang kalian dalam keadaan bersiap siaga menghadapi musuh. Kelompok pertama menyempurnakan rakaat mereka yang kedua lalu mereka salam, kemudian kelompok kedua yang belum memulai shalat datang untuk bermakmum kepadamu di rakaat mereka yang pertama. Kemudian mereka menyempurnakan sendiri rakaat mereka yang kedua. Hendaknya mereka tetap waspada kepada musuh mereka dan menyiapkan senjata mereka. Orang-orang yang mengingkari agama Allah itu ingin kalian lengah dari senjata dan perbekalan kalian sehingga mereka bisa menyerang kalian secara tiba-tiba dan menghabisi kalian. Tidak ada dosa atas kalian saat itu bila kalian mendapatkan gangguan berupa hujan atau kalian dalam keadaan sakit untuk meninggalkan senjata-senjata kalian dengan tetap disertai kewaspadaan. Sesungguhnya Allah telah menyiapkan bagi orang-orang yang mengingkari agama-Nya siksa yang menghinakan dan merendahkan mereka.
Salat Khauf banyak ragamnya, karena sesungguhnya musuh itu adakalanya berada di arah kiblat, dan adakalanya berada di lain arah. Salat itu adakalanya terdiri atas empat rakaat, adakalanya tiga rakaat (seperti salat Magrib), dan adakalanya dua rakaat (seperti salat Subuh dan salat Safar). Kemudian adakalanya mereka melakukan salat dengan berjamaah, adakalanya perang sedang berkecamuk, sehingga mereka tidak dapat berjamaah, melainkan masing-masing salat sendirian dengan menghadap ke arah kiblat atau ke arah lainnya, baik dengan berjalan kaki ataupun berkendaraan.
Dalam keadaan perang sedang berkecamuk, mereka diperbolehkan berjalan dan memukul dengan pukulan yang bertubi-tubi, sedangkan mereka dalam salatnya.
Ada ulama yang mengatakan bahwa dalam keadaan perang sedang berkecamuk, mereka melakukan salatnya satu rakaat saja, karena berdasarkan kepada hadis Ibnu Abbas yang lalu tadi. Hal ini dikatakan oleh Imam Ahmad ibnu Hambal. Al-Munziri di dalam kitab Al-Hawasyi mengatakan bahwa pendapat ini dikatakan oleh Ata, Jabir, Al-Hasan, Mujahid, Al-Hakam, Qatadah, dan Hammad. Hal yang sama dikatakan pula oleh Tawus dan Ad-Dahhak.
Abu Asim Al-Abbadi meriwayatkan dari Muhammad ibnu Nasr Al-Marwazi, bahwa ia berpendapat salat Subuh dikembalikan menjadi satu rakaat dalam keadaan khauf (perang). Hal yang sama dikatakan oleh Ibnu Hazm.
Ishaq ibnu Rahawaih mengatakan, “Adapun dalam keadaan pedang beradu, maka cukup bagimu satu rakaat dengan cara memakai isyarat saja. Jika kamu tidak mampu, cukup hanya dengan sekali sujud karena salat adalah zikrullah.”
Ulama lainnya mengatakan cukup hanya dengan sekali takbir saja. Barangkali dia bermaksud satu rakaat, seperti yang dikatakan oleh Imam Ahmad ibnu Hambal dan murid-muridnya. Hal yang sama dikatakan oleh Jabir ibnu Abdullah, Abdullah ibnu Umar dan Ka’b serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang dari kalangan sahabat, juga As-Saddi, menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.
Akan tetapi, orang-orang yang meriwayatkan pendapat ini hanya meriwayatkan berdasarkan makna lahiriahnya saja, yaitu menilai cukup salat khauf hanya dengan sekali takbir, seperti yang dikatakan oleh mazhab Ishaq ibnu Rahawaih. Hal yang sama dikatakan pula oleh Al-Amir Abdul Wahhab ibnu Bukht Al-Makki. Bahkan ia berani mengatakan, “Jika ia tidak mampu melakukan takbir, janganlah ia meninggalkan salat dalam hatinya, cukup hanya dengan niat.” Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Sa’id ibnu Mansur di dalam kitab sunannya, dari Ismail ibnu Ayyasy, dari Syu’aib ibnu Dinar.
Di antara ulama ada yang membolehkan mengakhirkan salat karena uzur peperangan dan sibuk menghadapi musuh, seperti yang dilakukan oleh Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, beliau mengakhirkan salat Lohor dan Asar dalam Perang Ahzab dan mengerjakannya sesudah Magrib. Kemudian beliau melakukan salat Magrib dan Isya sesudahnya. Juga seperti yang disabdakannya sesudah itu (yakni dalam Perang Bani Quraizah) ketika beliau mempersiapkan pasukan kaum muslim untuk menghadapi mereka. Beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda:
Jangan sekali-kali seseorang di antara kalian salat Asar, melainkan di tempat Bani Quraizah!
Waktu salat datang ketika mereka berada di tengah jalan. Maka sebagian dari mereka mengatakan bahwa yang dimaksud oleh Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ hanyalah agar kita berjalan dengan cepat, bukan bermaksud agar kita mengakhirkan salat dari waktunya. Maka golongan ini mengerjakan salat Asar tepat pada waktunya di tengah jalan.
Sedangkan golongan lain dari mereka mengakhirkan salat Asar, lalu mereka mengerjakannya di tempat Bani Quraizah sesudah salat Magrib. Akan tetapi, Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak menegur salah satu dari kedua golongan tersebut.
Kami membahas masalah ini di dalam kitab Sirah, dan menerangkan pula bahwa orang-orang yang mengerjakan salat Asar pada waktunya lebih dekat kepada kebenaran daripada kenyataannya, sekalipun golongan yang lain dimaafkan. Hujah mereka yang menyebabkan mereka mengakhirkan salat Asar dari waktunya ialah uzur, karena mereka sedang dalam rangka jihad dan mengadakan serangan cepat terhadap segolongan orang-orang Yahudi yang terkutuk, disebabkan mereka melanggar perjanjian.
Menurut pendapat jumhur ulama, semuanya itu dimansukh oleh salat khauf, karena sesungguhnya ayat salat khauf masih belum diturunkan ketika terjadi peristiwa itu. Setelah ayat salat khauf diturunkan, maka mengakhirkan salat dimansukh olehnya. Hal ini lebih jelas dalam hadis Abu Sa’id Al-Khudri yang diriwayatkan oleh Imam Syafii dan ahlus sunan.
Akan tetapi, hal ini sulit bila diselaraskan dengan apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari di dalam kitab sahihnya, yaitu dalam Bab “Salat di Saat Mengepung Benteng dan Bersua dengan Musuh”. Disebutkan bahwa Al-Auza’i mengatakan, “Jika kemenangan berada di tangan dan mereka tidak mampu melakukan salat, hendaklah mereka salat dengan memakai isyarat, masing-masing orang mengerjakannya sendiri-sendiri. Jika mereka tidak mampu memakai isyarat, hendaklah mereka mengakhirkan salat sampai peperangan terhenti atau situasi aman dan terkendali, baru mereka melakukan salatnya dua rakaat. Jika dua rakaat tidak mampu mereka kerjakan, maka cukup dengan satu rakaat dan dua kali sujud. Jika hal itu tidak mampu juga mereka kerjakan (karena keadaan masih sangat genting), maka tidak cukup bagi mereka mengerjakan salatnya hanya dengan takbir, melainkan mereka harus mengakhirkannya hingga keadaan benar-benar aman.” Hal ini dikatakan oleh Makhul.
Anas ibnu Malik mengatakan, ia ikut mengepung Benteng Tustur di saat fajar menyingsing, lalu pecahlah perang dengan serunya, hingga pasukan kaum muslim tidak dapat melakukan salat Subuh. Maka kami tidak mengerjakannya kecuali setelah matahari tinggi, lalu baru kami berkesempatan mengerjakannya, saat itu kami berada di bawah pimpinan Abu Musa. Akhirnya kami beroleh kemenangan dan berhasil merebut Benteng Tustur.
Sahabat Anas mengatakan, “Tidaklah aku gembira bila salat tersebut ditukar dengan dunia dan semua yang ada padanya.” Demikianlah menurut apa yang diketengahkan oleh Imam Bukhari.
Selanjutnya Imam Bukhari mengiringinya dengan hadis tentang mengakhirkan salat di saat Perang Ahzab. Menyusul hadis perintah Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ kepada pasukan kaum muslim yang mengatakan bahwa mereka jangan mengerjakan salat Asar kecuali di tempat Bani Quraizah, seakan-akan Imam Bukhari memilih pendapat ini.
Bagi orang yang cenderung kepada pendapat ini boleh meniru apa yang telah dilakukan oleh Abu Musa dan teman-temannya pada waktu penaklukan Benteng Tustur, karena sesungguhnya hal ini menurut kebanyakan ulama telah dikenal. Akan tetapi, peristiwa tersebut terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibnul Khattab, dan tiada suatu nukilan pun yang menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Abu Musa dan teman-temannya diprotes oleh seseorang dari kalangan sahabat.
Para ulama mengatakan bahwa salat khauf disyariatkan pada saat Perang Khandaq, karena Perang Zatur Riqa’ terjadi sebelum Perang Khandaq menurut kebanyakan ulama Sirah dan Magazi. Di antara mereka yang me-nas-kan demikian ialah Muhammad ibnu Ishaq, Musa ibnu Uqbah, Al-Waqidi, Muhammad ibnu Sa’d (juru tulisnya), dan Khalifah ibnul Khayyat serta lain-lainnya.
Lain halnya dengan Imam Bukhari dan lain-lainnya. Mereka mengatakan bahwa Perang Zatur Riqa’ terjadi sesudah Perang Khandaq, karena berdasarkan kepada hadis Abu Musa dan hadis lainnya yang disebut di atas, kecuali Perang Khaibar.
Tetapi yang sangat mengherankan sekali ialah apa yang dikatakan oleh Al-Muzani, Abu Yusuf Al-Qadi, dan Ibrahim ibnu Ismail ibnu Ulayyah. Mereka berpendapat bahwa salat khauf telah dimansukh oleh perintah Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang mengakhirkan salat dalam Perang Khandaq. Pendapat ini sangat aneh, karena terbukti melalui banyak hadis bahwa salat khauf terjadi sesudah Perang Khandaq.
Sebagai jalan keluarnya menginterpretasikan pengertian mengakhirkan salat pada hari itu menurut apa yang dikatakan oleh Makhul dan Al-Auza’i lebih kuat dan lebih dekat kepada kebenaran.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu), lalu kamu hendak mendirikan salat bersama-sama mereka.
Maksudnya, apabila kamu salat bersama mereka sebagai imam dalam salat khauf. Hal ini bukan seperti keadaan yang pertama tadi, karena pada keadaan pertama salat di-qasar-kan (dipendekkan) menjadi satu rakaat, seperti yang ditunjukkan oleh makna hadisnya, yaitu sendiri-sendiri, sambil berjalan kaki ataupun berkendaraan, baik menghadap ke arah kiblat ataupun tidak, semuanya sama.
Kemudian disebutkan keadaan berjamaah dengan bermakmum kepada seorang imam, alangkah baiknya pengambilan dalil yang dilakukan oleh orang-orang yang mewajibkan salat berjamaah berdasar-kan ayat yang mulia ini, mengingat dimaafkan banyak pekerjaan karena jamaah. Seandainya berjamaah tidak wajib, maka hal tersebut pasti tidak diperbolehkan.
Adapun orang yang menyimpulkan dalil dari ayat ini, bahwa salat khauf dimansukh sesudah Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, karena berdasarkan kepada firman-Nya: Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka.
Dengan pengertian ini, berarti gambaran salat tersebut terlewatkan olehnya, dan cara penyimpulan dalil seperti ini lemah. Dapat pula disanggah dengan sanggahan semisal perkataan orang-orang yang tidak mau berzakat, yaitu mereka yang beralasan kepada firman-Nya yang mengatakan:
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kalian membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketenteraman jiwa bagi mereka. (At Taubah:103)
Mereka mengatakan bahwa kami tidak mau membayar zakat kepada siapa pun sesudah Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, melainkan kami akan mengeluarkannya dengan tangan kami sendiri untuk diberikan kepada orang-orang yang akan kami beri. Kami tidak akan memberikannya kepada siapa pun kecuali kepada orang yang doanya menjadi ketenteraman jiwa bagi kami.
Sekalipun alasan mereka demikian, para sahabat menyanggah dan menyangkal alasan mereka, dan tetap memaksa untuk membayar zakatnya serta memerangi orang-orang dari kalangan mereka yang membangkang, tidak mau membayar zakat.
Dalam pembahasan berikut akan kami ketengahkan terlebih dahulu asbabun nuzul ayat ini sebelum menerangkan sifat (gambaran)nya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ibnul Musanna, telah menceritakan kepadaku Ishaq, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Hasyim, telah menceritakan kepada kami Saif, dari Abu Rauq, dari Abu Ayyub, dari Ali r.a. yang menceritakan bahwa suatu kaum dari kalangan Bani Najjar bertanya kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Mereka mengatakan, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami sering bepergian di muka bumi. Bagaimanakah caranya kami menunaikan salat?” Maka Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menurunkan firman-Nya: Dan apabila kalian bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kalian meng-qasar salat (kalian). (An Nisaa:101) Kemudian wahyu terhenti. Satu tahun kemudian Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melakukan peperangan lagi dan salat Lohor dalam peperangan itu. Maka orang-orang musyrik berkata (dengan sesama mereka), “Sesungguhnya Muhammad dan sahabat-sahabatnya memberikan kesempatan kepada kalian punggung mereka, mengapa kalian tidak segera menyerang mereka dari belakang?” Lalu seseorang dari mereka ada yang berkata, “Sesungguhnya masih ada segolongan lagi dari mereka yang berada di belakangnya melindungi mereka.” Ali r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menurunkan firman-Nya di antara kedua salat (Lohor dan Asar), yaitu: jika kalian takut diserang orang-orang kafir. (An Nisaa:101), hingga akhir ayat berikutnya. Maka turunlah ayat mengenai salat khauf.
Konteks hadis ini garib, tetapi sebagian darinya ada syahid (penguat)nya yang diketengahkan melalui riwayat Abu Ayyasy Az-Zuraqi, nama aslinya ialah Zaid ibnus Samit Az-Zuraqi r.a. yang ada pada Imam Ahmad dan Ahli Sunan.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur-Razzaq, telah menceritakan kepada kami As-Sauri, dari Mansur, dari Mujahid, dari Abu Ayyasy Az-Zuraqi yang menceritakan, “Ketika kami bersama-sama Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ di Asfan, orang-orang musyrik yang di bawah pimpinan Khalid ibnul Walid (yang saat itu belum masuk Islam) datang hendak menyerang kami. Posisi mereka terletak di antara kami dan arah kiblat. Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melakukan salat Lohor bersama kami.” Mereka (pasukan kaum musyrik) berkata, “Sesungguhnya mereka berada di dalam suatu posisi yang menguntungkan, seandainya saja kita menyerang mereka di saat mereka lengah.” Kemudian mereka mengatakan pula, “Sekarang telah tiba saatnya bagi mereka suatu salat yang lebih mereka sukai daripada anak-anak dan diri mereka sendiri.” Maka turunlah Malaikat Jibril di antara salat Lohor dan Asar dengan membawa ayat-ayat berikut, yaitu firman-Nya: Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu), lalu kamu hendak mendirikan salat bersama-sama mereka. (An Nisaa:102) Ketika waktu salat tiba, Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memerintahkan mereka untuk menyandang senjata, lalu membariskan kami di belakangnya menjadi dua saf. Kemudian Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ rukuk, dan kami semua rukuk, lalu Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengangkat tubuhnya dari rukuk, kami pun melakukan hal yang sama semuanya. Sesudah itu Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sujud bersama saf yang berada di belakangnya, sedangkan saf berikutnya dalam keadaan tetap berdiri melakukan tugas penjagaan. Setelah mereka sujud dan bangun, maka golongan yang lainnya duduk, lalu sujud menggantikan mereka yang telah sujud. Kemudian saf kedua maju menggantikan kedudukan saf pertama, dan saf pertama mundur menggantikan kedudukan saf yang kedua. Lalu Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ rukuk, maka mereka semuanya rukuk, dan Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengangkat kepalanya dari rukuk, maka mereka mengangkat kepalanya pula dari rukuknya. Hal ini dilakukan mereka secara bersama-sama. Kemudian Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sujud bersama saf yang berada di belakangnya, sedangkan saf yang lain tetap berdiri menjaga mereka. Setelah mereka duduk, maka saf yang lainnya duduk, lalu sujud. Selanjutnya Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ salam bersama-sama mereka semua, dan selesailah salatnya. Abu Ayyasy Az-Zuraqi mengatakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjalankan salat ini dua kali, sekali di Asfan, dan yang lainnya di tanah tempat orang-orang Bani Sulaim.
Kemudian Imam Ahmad meriwayatkannya dari Gundar, dari Syu’bah, dari Mansur dengan sanad yang sama dan dengan lafaz yang semisal.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, dari Sa’id ibnu Mansur, dari Jarir ibnu Abdul Hamid. Sedangkan Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis Syu’bah dan Abdul Aziz ibnu Abdus Samad, semuanya dari Mansur dengan lafaz yang sama.
Sanad riwayat ini sahih dan mempunyai banyak syahid (penguat), antara lain ialah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Haiwah ibnu Syuraih, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Harb, dari Az-Zubaidi, dari Az-Zuhri, dari Abdullah ibnu Abdullah ibnu Atabah, dari Ibnu Abbas r.a. yang menceritakan bahwa Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berdiri (untuk salat), lalu orang-orang berdiri pula bersamanya. Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bertakbir, maka mereka pun bertakbir mengikutinya, Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ rukuk, dan sebagian dari mereka rukuk bersamanya, kemudian Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sujud yang diikuti oleh sebagian dari mereka. Kemudian Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berdiri untuk rakaat yang kedua, maka berdirilah orang-orang yang tadinya sujud bersamanya dan tetap berdiri menjaga saudara-saudara mereka yang belum salat. Lalu golongan yang lainnya bergabung bersama Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ rukuk dan sujud bersamanya. Semua pasukan berada dalam salat, tetapi sebagian dari mereka menjaga sebagian yang lainnya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Mu’az ibnu Hisyam, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Qatadah, dari Sulaiman ibnu Qais Al-Yasykuri, bahwa ia pernah bertanya kepada Jabir ibnu Abdullah tentang mengqasar salat, bilakah diturunkan dan pada peristiwa apa? Jabir menjawab, “Kami berangkat menghadap kafilah orang-orang Quraisy yang datang dari negeri Syam. Ketika kami berada di Nakhlah (sedang beristirahat), maka datanglah seorang lelaki dari kalangan musuh kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (secara diam-diam), lalu bertanya dengan nada mengancam, ‘Hai Muhammad, apakah kamu takut kepadaku?’ Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjawab, Tidak.’ Lelaki itu berkata lagi, “Siapakah yang akan mencegahku darimu?’ Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjawab, ‘Allah yang akan melindungiku darimu.’ Maka pedang lelaki itu terjatuh, kemudian Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berbalik mengancam dan memperingatinya. Kemudian Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memerintahkan agar semuanya berangkat dan menyandang senjatanya masing-masing. Tetapi waktu salat tiba, maka diserukan untuk salat. Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ salat dengan segolongan orang dari kaum, sedangkan kaum yang lain menjaga mereka yang sedang salat. Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ salat bersama-sama saf yang ada di belakangnya sebanyak dua rakaat, kemudian mereka yang telah salat bersamanya mundur ke belakang, lalu kedudukan mereka digantikan oleh orang-orang yang belum salat, dan mereka menggantikan posisi orang-orang yang belum salat itu untuk menjaganya. Lalu Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ salat bersama mereka dua rakaat lagi, kemudian Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ salam. Dengan demikian, Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melakukan salatnya sebanyak empat rakaat, sedangkan bagi masing-masing kaum dua rakaat. Pada hari itulah Allah menurunkan wahyu yang menerangkan tentang qasar salat dan memerintahkan kepada orang-orang mukmin agar tetap membawa senjatanya.”
Imam Ahmad meriwayatkannya pula. Untuk itu ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Syuraih, telah menceritakan kepada kami Abu Uwwanah, dari Abu Bisyr, dari Sulaiman ibnu Qais Al-Yasykuri, dari Jabir ibnu Abdullah yang menceritakan bahwa Rasu¬lullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berperang melawan orang-orang Hafsah. Lalu datanglah seorang lelaki dari kalangan mereka yang dikenal dengan nama Gauras ibnul Haris, sehingga berdiri di hadapan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dengan pedang yang terhunus, (saat itu Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sedang istirahat). Lalu ia berkata, “Siapakah yang akan melindungimu dariku?” Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjawab, “Allah.” Maka saat itu juga pedang terjatuh dari tangan Gauras. Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengambil pedangnya, lalu berkata kepadanya, “Siapakah yang akan melindungimu dariku?” Lelaki itu menjawab, “Semoga engkau adalah orang yang paling baik dalam membalas.” Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda, “Maukah engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan aku adalah utusan Allah?” Lelaki itu menjawab, “Tidak. Tetapi aku berjanji kepadamu, aku tidak akan memerangimu dan tidak akan membantu orang-orang yang memerangimu.” Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melepaskannya. Gauras kembali kepada kaumnya, lalu mengatakan kepada mereka, “Aku baru saja datang dari manusia yang paling baik.” Ketika waktu salat tiba, Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melakukan salat khauf, dan orang-orang dibagi menjadi dua golongan, segolongan berada di hadapan musuh, dan segolongan yang lain salat bersama Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ salat dua rakaat bersama-sama mereka, lalu mereka bersalam. Sesudah itu mereka pergi dan menggantikan posisi golongan lain yang belum salat menghadapi musuh, sedangkan mereka yang tadinya berjaga menghadapi musuh, bergabung salat bersama Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sebanyak dua rakaat. Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melakukan salat empat rakaat, sedangkan bagi masing-masing kaum dua rakaat.
Hadis ini bila ditinjau dari segi sanadnya diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Abu Qatn (yaitu Amr ibnul Haisam), telah menceritakan kepada kami Al-Mas’udi, dari Yazid Al-Faqir yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Jabir ibnu Abdullah tentang dua rakaat dalam perjalanan, apakah keduanya adalah salat qasar? Jabir ibnu Abdullah menjawab, “Salat dua rakaat dalam perjalanan adalah salat yang sempurna. Sesungguhnya yang dimaksud dengan qasar hanyalah di saat peperangan berkecamuk, yaitu satu rakaat. Tatkala kami sedang bersama Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dalam suatu peperangan, tiba-tiba salat didirikan. Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ membuat satu saf barisan yang terdiri atas segolongan kaum, sedangkan segolongan yang lain berada di hadapan musuh. Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ salat bersama mereka satu rakaat dan sujud sebanyak dua kali bersama mereka. Kemudian orang-orang yang tidak ikut salat meninggalkan posisinya untuk menggantikan mereka yang telah salat, dan yang telah salat menggantikan posisi mereka yang belum salat. Lalu mereka yang belum salat itu bersaf di belakang Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, dan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ salat bersama mereka satu rakaat serta sujud dua kali bersama-sama mereka. Setelah itu Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ duduk (bertasyahhud) dan salam bersama orang-orang yang ada di belakangnya, dan salam pula mereka yang sedang dalam posisi berjaga. Dengan demikian, berarti Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ salat dua rakaat, sedangkan masing-masing dari kedua kaum itu satu rakaat.” Kemudian Jabir ibnu Abdullah membacakan firman-Nya: Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu), lalu kamu hendak mendirikan salat bersama-sama mereka. (An Nisaa:102), hingga akhir ayat.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja’far, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Al-Hakam, dari Yazid Al-Faqir, dari Jabir ibnu Abdullah, bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ salat bersama mereka (yaitu salat khauf). Untuk itu Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengatur mereka menjadi dua saf, satu saf berada di hadapannya, dan saf yang lain berada di belakangnya. Kemudian Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ salat satu rakaat bersama mereka yang ada di belakangnya dengan dua kali sujud. Selanjutnya mereka yang telah salat maju ke depan dan menggantikan posisi teman mereka yang belum salat. Lalu mereka yang belum salat datang dan menggantikan kedudukan mereka yang sudah salat, maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ salat bersama mereka satu rakaat lagi berikut dua kali sujud, setelah itu beliau salam. Maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melakukan salat dua rakaat, dan bagi mereka masing-masing satu rakaat.
Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis Syu’bah. Hadis ini mempunyai jalur-jalur lain yang bersumber dari Jabir, dan di dalam kitab Sahih Muslim hadis ini diriwayatkan melalui sanad yang lain dan dengan lafaz yang lain pula. Jamaah telah meriwayatkannya di dalam kitab-kitab sahih, musnad, dan sunan dari Jabir.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Na’im ibnu Hammad, telah menceritakan kepada kami Hammad, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnul Mubarak, telah menceritakan kepada kami Ma’mar, dari Az-Zuhri, dari Salim, dari ayahnya sehubungan dengan firman-Nya: Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu), lalu kamu hendak mendirikan salat bersama-sama mereka. (An Nisaa:102) ia mengatakan, yang dimaksud adalah salat khauf. Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ salat dengan salah satu golongan dari dua golongan yang ada sebanyak satu rakaat, sedangkan golongan yang lain menghadap ke arah musuh sambil berjaga-jaga. Setelah itu golongan yang tadinya menghadapi musuh datang dan salat bersama Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ salat satu rakaat lagi bersama mereka, kemudian salam. Sesudah itu masing-masing dari kedua golongan melakukan salat sendiri-sen-diri masing-masing satu rakaat.
Hadis ini diriwayatkan oleh jamaah dalam kitab-kitab mereka melalui jalur Ma’mar dengan lafaz yang sama. Hadis ini mempunyai banyak jalur periwayatan dari sejumlah sahabat.
Abu Bakar ibnu Murdawaih sehubungan dengan hadis ini mengetengahkan jalur-jalur dan lafaz-lafaznya dengan cara yang baik. Hal yang sama dilakukan pula oleh Ibnu Jarir. Hal ini akan kami catat di dalam Kitabul Ahkam Al-Kabir, insya Allah.
Perintah menyandang senjata dalam salat khauf, menurut segolongan ulama diinterpretasikan berhukum wajib karena berdasarkan kepada makna lahiriah ayat. Pendapat ini merupakan salah satu dari kedua pendapat yang dikatakan oleh Imam Syafii. Sebagai dalilnya ialah firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى yang mengatakan:
Dan tidak ada dosa atas kalian meletakkan senjata kalian, jika kalian mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kalian memang sakit, dan siap siagalah kalian (tetap waspadalah kalian). (An Nisaa:102)
Dengan kata lain, tetap waspadalah kalian, karena sewaktu-waktu bila diperlukan, kalian pasti akan menyandangnya dengan mudah, tanpa susah payah lagi.
Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang yang kafir itu. (An Nisaa:102)
Karena itulah Allah جَلَّ جَلالُهُ menyebutkan setelahnya tata cara dari shalat Khauf dalam FirmanNya, وَإِذَا كُنْتَ فِيْهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَاةَ “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka.” Maksudnya, engkau shalat menjadi imam bersama mereka, di mana engkau menegakkannya, menyempurnakan aturan-aturannya, dan melakukan apa yang memang wajib bagimu dan bagi mereka, kemudian Allah جَلَّ جَلالُهُ menafsirkan sendiri hal tersebut seraya berfirman, فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ “Maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu,” maksudnya, dan sekelompok lagi berjaga menghadap musuh, sebagaimana yang ditunjukkan oleh kalimat selanjutnya, فَإِذَا سَجَدُوْا “Kemudian apabila mereka sujud” yaitu orang-orang yang shalat besertamu, maksudnya, mereka telah menyempurnakan shalat, dan Allah جَلَّ جَلالُهُ mengungkapkan maksud shalat dengan kata sujud untuk menjelaskan tentang keutamaan sujud dan bahwasanya ia adalah merupakan salah satu rukun di antara rukun-rukun shalat, bahkan ia merupakan rukun yang paling utama, فَلْيَكُوْنُوْا مِنْ وَرَائِكُمْ وَلْتَأْتِ طَائِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّوْا “maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat,” mereka itu adalah kelompok pertama yang berjaga menghadap musuh, فَلْيُصَلُّوْا مَعَكَ “lalu shalatlah mereka denganmu,” hal ini menunjukkan bahwa imam tidaklah beranjak dari tempatnya setelah bubarnya kelompok pertama yang shalat bersamanya dengan maksud menunggu kelompok kedua, dan bila mereka telah berdiri dan siap shalat, maka ia melanjutkan shalat yang tersisa darinya, kemudian imam duduk sambil menunggu para makmum dengan menyempurnakan shalat mereka dahulu kemudian imam salam bersama mereka. Ini adalah salah satu tata cara dari shalat Khauf, karena sesungguhnya banyak sifat-sifat shalat Khauf yang shahih dari Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, dan kesemuanya boleh dilakukan.
Ayat ini menunjukkan bahwa shalat jamaah itu wajib ‘ain, hal ini karena dua alasan:
Pertama, bahwasanya Allah جَلَّ جَلالُهُ memerintahkan hal tersebut dalam kondisi yang berat seperti ini, yaitu saat memuncaknya rasa takut terhadap musuh dan rasa kewaspadaan terhadap serangan mereka, dan bila Allah جَلَّ جَلالُهُ mewajibkan hal tersebut pada kondisi yang segenting itu, maka kewajibannya dalam kondisi yang tenang dan aman adalah lebih utama dan lebih patut.
Kedua, bahwa orang-orang yang shalat Khauf banyak meninggalkan syarat-syarat dan hal-hal wajib dalam shalat biasa, dan banyak sekali dibiarkan dari mereka perbuatan-perbuatan yang membatalkan shalat pada selain shalat Khauf, hal itu tidaklah menunjukkan kecuali hanya untuk menegaskan akan wajibnya shalat berjamaah, karena tidaklah akan bertentangan antara yang wajib dengan yang sunnah, dan sekiranya bukan karena wajibnya shalat jamaah, niscaya semua hal-hal yang wajib itu tidaklah boleh ditinggalkan.
Dan ayat yang mulia ini juga menunjukkan bahwa yang paling utama dan paling baik adalah agar mereka shalat bersama satu imam saja walaupun hal itu mengandung suatu cacat yang tidak menjadi suatu hal yang kurang sekiranya mereka shalat dengan beberapa imam, yang demikian itu adalah demi bersatunya kalimat kaum Muslimin, keselarasan mereka dan tidak bercerai berainya kesatuan mereka, dan agar hal tersebut menjadi suatu faktor yang memberi rasa takut kepada musuh-musuh mereka.
Allah جَلَّ جَلالُهُ memerintahkan untuk menyandang senjata dan bertindak waspada dalam mengerjakan shalat Khauf, yang demikian itu walaupun terlihat mengandung suatu gerakan dan kesibukan di luar amalan-amalan shalat namun sesungguhnya di balik itu terdapat maslahat yang sangat besar dan lebih diutamakan, yaitu menyatukan antara shalat, berjihad, dan bertindak waspada dari musuh yang sangat berusaha keras dalam mengalahkan kaum Muslimin, menyerbu mereka, dan menjarah harta-harta benda mereka, karena itulah Allah جَلَّ جَلالُهُ berfirman, وَدَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ تَغْفُلُوْنَ عَنْ أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ فَيَمِيْلُوْنَ عَلَيْكُمْ مَيْلَةً وَاحِدَةً “Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus.”
Kemudian Allah جَلَّ جَلالُهُ memaafkan orang-orang yang memiliki udzur berupa sakit atau karena hujan untuk meletakkan senjata mereka, akan tetapi mereka tetap harus bertindak waspada dalam FirmanNya, وَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ كَانَ بِكُمْ أَذًى مِنْ مَطَرٍ أَوْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَنْ تَضَعُوْا أَسْلِحَتَكُمْ وَخُذُوْا حِذْرَكُمْ إِنَّ اللَّهَ أَعَدَّ لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا “Dan tidak ada dosa atasmu meletak-kan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat suatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit, dan siap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah جَلَّ جَلالُهُ telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu,” dan di antara siksaan yang menghinakan itu adalah apa yang telah diperintahkan oleh Allah جَلَّ جَلالُهُ kepada golonganNya yaitu orang-orang yang beriman dan para penolong agamaNya, serta orang-orang yang bertauhid untuk membunuh dan memerangi mereka di mana saja kaum Muslimin itu menemui mereka, menyerang mereka, mengepung mereka, dan mencari mereka pada segala penjuru, mengancam mereka dalam setiap kondisi serta tidak lengah dari mereka karena dikhawatirkan kaum kafir memperoleh beberapa keinginan mereka terhadap kaum Mukminin, maka milik Allah جَلَّ جَلالُهُ saja pujian dan sanjungan yang terbesar atas apa yang telah dikaruniakanNya terhadap kaum Mukminin dan pembelaanNya atas mereka dengan pertolonganNya dan instruksi-instruksiNya, di mana bila kaum Muslimin itu menempuhnya secara sempurna, niscaya tidaklah akan ada suatu kaum yang akan mengalahkan mereka dan tidaklah ada suatu musuh yang akan menguasai mereka dalam waktu kapan pun.
Dan FirmanNya, فَإِذَا سَجَدُوْا فَلْيَكُوْنُوْا مِنْ وَرَائِكُمْ “Kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan satu rakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh)” menunjukkan bahwa kelompok pertama tersebut menyempurnakan seluruh shalat mereka sebelum mereka beranjak pergi ke tempat penjagaan, dan bahwasanya Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tetap diam untuk menunggu kelompok selanjutnya sebelum beliau salam, karena telah disebutkan di atas bahwa kelompok tersebut berdiri bersama beliau menegakkan shalat, lalu Allah جَلَّ جَلالُهُ mengabarkan tentang keikutsertaan mereka dengan beliau dalam shalat, kemudian Allah جَلَّ جَلالُهُ menyandarkan perbuatan tersebut kepada kelompok itu saja tanpa menyandarkannya kepada Rasul, maka hal itu menunjukkan bahwa maksudnya adalah seperti yang telah kita sebutkan di atas.
Dan dalam FirmanNya, وَلْتَأْتِ طَائِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّوْا فَلْيُصَلُّوْا مَعَكَ “Dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu” sebuah dalil bahwa kelompok pertama telah menyelesaikan shalat, dan bahwa seluruh shalat kelompok yang kedua bersama imam menurut realitanya pada rakaat pertama dan menurut hukumnya pada rakaat mereka yang terakhir, di mana hal itu mengharuskan imam menunggu hingga mereka menyempurnakan shalat mereka, kemudian imam salam bersama mereka, hal ini sangatlah jelas bagi orang yang memperhatikannya.
Kalau pada ayat sebelumnya Allah memberikan kemudahan kepada kaum muslim untuk meng-qashar salat dalam perjalanan dan karena rasa takut, maka pada ayat ini Allah menjelaskan tata cara pelaksanaan salat itu. Dan apabila suatu ketika ada situasi yang membahayakan keselamatan, seperti karena adanya musuh dan ketika itu engkau, wahai nabi Muhammad, berada di tengah-tengah mereka, para sahabatmu, lalu engkau hendak melaksanakan salat khauf bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri besertamu untuk melaksanakan salat dan segolongan yang lain menghadapi musuh yang mungkin dapat melakukan penyerangan terhadapmu dan yang bersamamu itu hendaklah menyandang senjata mereka. Kemudian apabila mereka yang salat besertamu itu melakukan sujud, yakni telah menyempurnakan satu rakaat atau telah selesai melaksanakan salat, maka hendaklah mereka itu pindah dari belakangmu untuk menghadapi musuh dan berjaga-jaga seperti yang telah dilakukan oleh kelompok yang sebelumnya, dan hendaklah datang golongan yang lain, yakni golongan kedua, yang belum salat, lalu mereka melakukan salat seperti kelompok pertama melakukannya denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata mereka. Hal ini dilakukan karena orang-orang kafir ingin dengan keinginan dan harapan yang besar agar kalian lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu sekaligus. Dan tidak ada dosa atas kamu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat suatu kesusahan atau kesulitan yang disebabkan karena hujan yang menyebabkan rusaknya senjata kamu atau karena kamu sakit yang menyebabkan kamu tidak dapat menyandang senjatamu, dan bersiap siagalah kamu menghadapi berbagai kemungkinan yang terjadi pada kalian akibat dari dua kondisi itu. Sungguh, Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu, baik di dunia maupun di akhirat ayat yang lalu menggambarkan pelaksanaan salat khauf dengan tata cara tersendiri dalam suasana perang. Pada ayat ini Allah memerintahkan kaum muslimin untuk melakukan zikir sesuai dengan kondisi mereka, berdiri, duduk, atau berbaring setelah selesai melakukan salat. Selanjutnya, apabila kamu telah menyelesaikan salat yang dilakukan dalam keadaan takut tersebut, ingatlah Allah sebanyak-banyaknya sesuai dengan kondisi dan kemampuan kamu, ketika kamu berdiri, pada waktu duduk, dan ketika berbaring, dan semoga dengan memperbanyak zikir itu kamu mendapat pertolongan dari Allah. Kemudian, apabila kamu telah merasa aman dari suasana menakutkan yang kamu alami yang menyebabkan kamu melaksanakannya dengan cara yang disebutkan di atas atau sudah kembali ke tempat asal kamu dari medan perang, maka laksanakanlah salat itu sebagaimana biasa sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan syariat, terpenuhi rukun dan syaratnya serta sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Sungguh, salat yang kamu lakukan itu adalah kewajiban yang ditentukan batas-batas waktunya atas orang-orang yang beriman. Karena itu, setiap salat dalam kondisi normal itu harus dilakukan pada waktu yang ditentukan untuknya, tidak bisa dimajukan atau dimundurkan.
An-Nisa Ayat 102 Arab-Latin, Terjemah Arti An-Nisa Ayat 102, Makna An-Nisa Ayat 102, Terjemahan Tafsir An-Nisa Ayat 102, An-Nisa Ayat 102 Bahasa Indonesia, Isi Kandungan An-Nisa Ayat 102
Tafsir Surat An-Nisa Ayat: 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | 21 | 22 | 23 | 24 | 25 | 26 | 27 | 28 | 29 | 30 | 31 | 32 | 33 | 34 | 35 | 36 | 37 | 38 | 39 | 40 | 41 | 42 | 43 | 44 | 45 | 46 | 47 | 48 | 49 | 50 | 51 | 52 | 53 | 54 | 55 | 56 | 57 | 58 | 59 | 60 | 61 | 62 | 63 | 64 | 65 | 66 | 67 | 68 | 69 | 70 | 71 | 72 | 73 | 74 | 75 | 76 | 77 | 78 | 79 | 80 | 81 | 82 | 83 | 84 | 85 | 86 | 87 | 88 | 89 | 90 | 91 | 92 | 93 | 94 | 95 | 96 | 97 | 98 | 99 | 100 | 101 | 102 | 103 | 104 | 105 | 106 | 107 | 108 | 109 | 110 | 111 | 112 | 113 | 114 | 115 | 116 | 117 | 118 | 119 | 120 | 121 | 122 | 123 | 124 | 125 | 126 | 127 | 128 | 129 | 130 | 131 | 132 | 133 | 134 | 135 | 136 | 137 | 138 | 139 | 140 | 141 | 142 | 143 | 144 | 145 | 146 | 147 | 148 | 149 | 150 | 151 | 152 | 153 | 154 | 155 | 156 | 157 | 158 | 159 | 160 | 161 | 162 | 163 | 164 | 165 | 166 | 167 | 168 | 169 | 170 | 171 | 172 | 173 | 174 | 175 | 176
Raih pahala amal jariyah dengan cara membagikan (share) konten ini kepada yang lainnya. Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه
"Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)