{3} Ali ‘Imran / آل عمران | الْقُرْآنُ الْكَرِيْمُ | المائدة / Al-Maidah {5} |
Tafsir Al-Qur’an Surat An-Nisa النساء (Wanita) lengkap dengan tulisan arab latin, arti dan terjemah Bahasa Indonesia. Surah ke 4 Tafsir ayat Ke 105.
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ ۚ وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا ﴿١٠٥﴾
innā anzalnā ilaikal-kitāba bil-ḥaqqi litaḥkuma bainan-nāsi bimā arākallāh, wa lā takul lil-khā`inīna khaṣīmā
QS. An-Nisa [4] : 105
Sungguh, Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, dan janganlah engkau menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang yang berkhianat,
Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu wahai Rasul Al Qur’an yang berisi kebenaran, agar kamu memisahkan di antara manusia semuanya dengan apa yang Allah telah wahyukan kepadamu dan beritahukan kepadamu. Maka jangan membela orang-orang yang mengkhianati diri mereka sendiri dengan menyembunyikan kebenaran, hanya karena apa yang mereka perlihatkan berupa kata-kata yang menyimpang dari kebenaran kepadamu.
Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berfirman, ditujukan kepada Rasul-Nya:
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran.
Kitab itu adalah perkara yang hak dari Allah, di dalam berita dan perintah serta larangannya mengandung perkara yang hak.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
…supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah perlihatkan kepadamu.
Ayat ini dijadikan dalil oleh kalangan ulama Usul yang berpendapat bahwa Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ boleh memutuskan peradilan dengan ijtihad, berdasarkan makna ayat ini.
Berdasarkan apa yang telah disebut di dalam kitab Sahihain, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Zainab binti Ummu Salamah, dari Ummu Salamah, bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah mendengar suara gaduh persengketaan di depan pintu rumahnya. Maka beliau keluar menemui mereka, dan bersabda:
Ingatlah, sebenarnya aku adalah seorang manusia, dan aku hanya memutuskan peradilan sesuai dengan apa yang aku dengar. Dan barangkali seseorang dari kalian adalah orang yang lebih lihai dalam beralasan daripada sebagian yang lain, lalu aku memutuskan peradilan untuk (kemenangan)nya. Maka barang siapa yang aku telah putuskan peradilan untuknya terhadap hak seorang muslim, sesungguhnya hal itu hanyalah sepotong api neraka. Karena itu, hendaklah ia membawanya atau membiarkannya.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki’, telah menceritakan kepada kami Usamah ibnu Zaid, dari Abdullah ibnu Rafi’, dari Ummu Salamah yang menceritakan bahwa ada dua orang lelaki dari kalangan Ansar datang mengadukan persengketaan mereka kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengenai warisan yang ada di antara keduanya di masa yang lalu, sedangkan masing-masing tidak mempunyai bukti. Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda: Sesungguhnya kalian mengadukan perkara kalian kepadaku, dan sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia, barangkali salah seorang dari kalian lebih lihai dalam alasannya daripada yang lain, dan aku hanya memutuskan berdasarkan apa yang aku dengar. Maka barang siapa yang aku putuskan sesuatu untuk kemenangannya menyangkut hak saudaranya, janganlah dia mengambilnya. Karena sebenarnya aku memberikan kepadanya sepotong api neraka, yang akan ia bawa seraya dikalungkan di lehernya kelak di hari kiamat. Maka kedua lelaki itu menangis, lalu masing-masing mengatakan, “Hakku untuk saudaraku.” Lalu Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda: Mengapa tidak kalian katakan sejak semula, sekarang pergilah dan berbagilah kalian, dan tegakkanlah perkara yang hak di antara kalian berdua, kemudian bagikanlah di antara kamu berdua dan hendaklah masing-masing dari kalian menghalalkan kepada temannya.
Imam Abu Daud meriwayatkannya melalui hadis Usamah ibnu Zaid dengan lafaz yang sama, tetapi ditambahkan:
Sesungguhnya aku hanya memutuskan perkara di antara kalian berdua dengan pendapatku sehubungan dengan hal-hal yang tidak diturunkan wahyu kepadaku mengenainya.
Mujahid, Ikrimah, Qatadah, As-Saddi, Ibnu Zaid, dan lain-lainnya telah mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan seorang pencuri dari kalangan Bani Ubairiq. Mereka mengetengahkan kisahnya dengan konteks yang berbeda-beda, tetapi pengertiannya berdekatan.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan kisah ini secara panjang lebar. Untuk itu Abu Isa At-Turmuzi dalam kitab Jami’-nya dalam tafsir ayat ini —dan Imam Ibnu Jarir dalam kitab tafsirnya— mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Ahmad ibnu Abu Syu’aib Abu Muslim Al-Harrani, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Salamah Al-Harrani, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq, dari Asim, dari Umar ibnu Qatadah, dari ayahnya, dari kakeknya (yaitu Qatadah ibnu Nu’man r.a.) yang menceritakan hadis berikut:
Dalam salah satu ahli bait dari kalangan kami yang dikenal dengan nama Bani Ubairiq terdapat orang yang bernama Bisyr, Basyir, dan Mubasysyir. Basyir adalah seorang munafik, dia mengucapkan syair untuk mengejek sahabat-sahabat Rasul صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, kemudian ia menisbatkannya kepada seseorang dari kalangan orang-orang Badui. Lalu ia mengatakan bahwa si Fulan telah mengatakan anu dan anu, dan si Fulan yang lain telah mengatakan demikian dan demikian. Akan tetapi, bila sahabat-sahabat Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mendengar syair tersebut, mereka berkata, “Demi Allah, tidak ada orang yang mengatakan syair ini kecuali lelaki yang jahat itu,” atau kalimat yang serupa. Mereka mengatakan bahwa yang mengatakannya adalah Ibnul Ubairiq. Bani Unairiq adalah suatu keluarga yang miskin lagi sengsara, baik di masa Jahiliah maupun di masa Islam. Di Madinah makanan pokok mereka adalah buah kurma dan gandum. Seseorang yang mempunyai kemampuan, bila datang kafilah dari negeri Syam (yaitu dari Darmak), dia membeli makanan pokoknya dari kafilah tersebut khusus untuk dirinya. Adapun anak-anak mereka, makanan pokoknya adalah kurma dan gandum. Ketika datang kafilah dari Syam, pamanku (yaitu Rifa’ah ibnu Zaid) membeli sepikul makanan pokok yang dibawa kafilah itu dari Darmak, lalu ia memasukkannya ke dalam pedaringan (gentong beras), di dalam pedaringan itu terdapat pula senjata, baju besi, dan pedang. Pada suatu malam sesudah pembelian itu, rumah pamanku kemasukan pencuri yang masuk dari bagian bawah. Si pencuri membobok pedaringan dan mengambil makanan berikut senjata. Pada pagi harinya, pamanku Rifa’ah datang kepadaku melaporkan, “Hai anak saudaraku, sesungguhnya tadi malam kita kemalingan, tempat penyimpanan makanan kita dibobok dan pencuri membawa makanan serta senjata kita.” Lalu kami menyelidiki di sekitar perkampungan itu. Kami bertanya ke sana dan kemari. Akhirnya ada yang mengatakan bahwa mereka melihat Bani Ubairiq menyalakan api (memasak) tadi malam, dan mereka berpendapat bahwa yang mereka masak itu tiada lain makanan curian dari kami. Ketika kami sedang melakukan penyelidikan, yang saat itu Bani Ubairiq ada di dalam perkampungan itu, mereka mengatakan, “Demi Allah, kami merasa yakin orang yang mencuri makanan kalian itu tiada lain Labid ibnu Sahl, seorang lelaki dari kalangan kita yang dikenal baik dan Islam.” Ketika Labid mendengar tuduhan itu, dengan serta merta ia menghunus pedangnya dan berkata, “Aku dikatakan mencuri? Demi Allah, kalian akan merasakan pedang ini atau kalian harus membuktikan pencurian ini.” Mereka berkata, “Tenanglah, menjauhlah engkau dari kami, engkau bukan pencurinya.” Maka kami terus melakukan penyelidikan di perkampungan itu sampai kami tidak meragukan lagi bahwa mereka adalah pencurinya. Kemudian pamanku berkata kepadaku, “Hai keponakanku, sebaiknya engkau datang saja kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan berbicara kepadanya mengenai hal tersebut.” Qatadah melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia datang kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan berkata, “Sesungguhnya ada suatu keluarga dari kalangan kami yang miskin, mereka mengincar rumah pamanku Rifa’ah ibnu Zaid, lalu mereka mencuri apa yang tersimpan di dalam tempat makanannya, mereka mengambil senjata dan makanan yang ada padanya. Maka aku memohon kepadamu untuk mengatakan kepada mereka, hendaknya mereka mengembalikan kepada kami senjata kami. Adapun mengenai makanan, maka kami relakan.” Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda, “Aku akan melaksanakan hal tersebut.” Tetapi ketika Bani Ubairiq mendengar hal tersebut, mereka datang kepada seorang lelaki dari kalangan mereka yang dikenal dengan nama Usaid ibnu Urwah, lalu mereka berbicara kepadanya mengenai hal itu. Maka mereka sepakat untuk mengadakan pembelaan di hadapan Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, lalu mereka berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Qatadah ibnun Nu’man dan pamannya datang kepada suatu keluarga dari kalangan kami yang dikenal sebagai ahli Islam dan orang baik-baik, lalu mereka menuduhnya berbuat mencuri, tanpa bukti dan saksi.” Qatadah melanjutkan kisahnya, Maka aku datang lagi kepada Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ untuk membicarakan hal itu, tetapi Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda (kepadaku), ‘Kamu telah datang ke suatu keluarga yang dikenal di kalangan mereka sebagai pemeluk Islam dan orang baik-baik, lalu kamu tuduh mereka mencuri tanpa bukti dan tanpa saksi’.” Qatadah mengatakan, “Lalu aku kembali, dan sesungguhnya perasaanku saat itu benar-benar rela mengeluarkan sebagian dari hartaku, tanpa harus membicarakan hal tersebut kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Lalu pamanku datang kepadaku dan bertanya, ‘Hai keponakanku, apakah yang telah kamu lakukan?’ Lalu aku menceritakan kepadanya apa yang telah dikatakan oleh Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ kepadaku. Maka pamanku berkata, ‘Hanya kepada Allah-lah kita memohon pertolongan’.” Tetapi tidak lama kemudian turunlah wahyu Al-Qur’an yang mengatakan seperti berikut, yaitu: Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan jangan-lah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat. (An Nisaa:105) dan mohonlah ampun kepada Allah. (An Nisaa:106) Yang dimaksud dengan ‘orang-orang yang berkhianat’ itu adalah Bani Ubairiq. Yaitu memohon ampun dari apa yang telah kamu katakan kepada Qatadah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya. (An Nisaa:106-107) sampai dengan firman-Nya: Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An Nisaa:110) Dengan kata lain, seandainya mereka meminta ampun, niscaya mereka diampuni. Barang siapa yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia mengerjakan untuk (kemudaratan) dirinya sendiri. (An Nisaa:111) sampai dengan firman-Nya: dosa yang nyata. (An Nisaa:112) Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى yang ditujukan kepada Labid, yaitu: Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu. (An Nisaa:113) sampai dengan firman-Nya: maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar. (An Nisaa:114) Ketika Al-Qur’an telah diturunkan kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, senjata itu diserahkan kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, dan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengembalikannya kepada Rifa’ah. Qatadah mengatakan, “Aku datang kepada pamanku dengan membawa senjata tersebut, sedangkan pamanku adalah orang yang sudah lanjut usia atau telah tuna netra sejak zaman Jahiliah, ‘atau’ di sini mengandung makna ragu-ragu dari pihak Abu Isa, dan aku menilai Islam pamanku masih diragukan. Ketika aku menyerahkan senjata itu kepadanya, ia berkata, “Hai keponakanku, senjata itu kusedekahkan buat sabilillah.” Maka aku merasa yakin bahwa Islamnya adalah benar. Setelah Al-Qur’an mengenai hal tersebut diturunkan, maka Basyir bergabung dengan orang-orang musyrik, lalu ia bertempat tinggal di rumah Sulafah binti Sa’d ibnu Sumayyah. Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menurunkan firman-Nya: Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu. dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya. (An Nisaa:115-116) Setelah Basyir tinggal di rumah Sulafah binti Sa’d, maka Hissan ibnu Sabit mengejeknya melalui bait-bait syair. Maka Sulafah mengambil pelana unta kendaraan Basyir dan memanggulnya di atas kepala, lalu ia keluar rumah dan mencampakkan pelana itu ke padang pasir. Kemudian ia berkata, “Kamu menghadiahkan kepadaku syairnya Hissan (yang pedas), kamu bukan datang kepadaku dengan kebaikan.”
Lafaz hadis ini menurut apa yang ada pada Imam Turmuzi disebutkan bahwa hadis ini garib, kami tidak mengetahui seseorang pun yang meng-isnad-kan (menyandarkan)nya selain Muhammad ibnu Salamah Al-Harrani.
Yunus ibnu Bukair dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang telah meriwayatkannya melalui Muhammad ibnu Ishaq, dari Asim ibnu Umar ibnu Qatadah secara mursal, tanpa menyebutkan dari ayahnya, dari kakeknya.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya dari Hasyim ibnul Qasim Al-Harrani, dari Muhammad ibnu Salamah dengan lafaz yang sama dengan sebagiannya.
Ibnul Munzir di dalam kitab tafsirnya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail (yakni As-Saiq), telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abu Syu’aib Al-Harrani, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Salamah, lalu ia mengetengahkan hadis ini dengan panjang lebar.
Abusy Syekh Al-Asbahani di dalam kitab tafsirnya telah meriwayatkan hadis ini dari Muhammad ibnu Ayyasy ibnu Ayyub dan Al-Hasan ibnu Ya’qub, keduanya dari Al-Hasan ibnu Ahmad ibnu Abu Syu’aib Al-Harrani, dari Muhammad ibnu Salamah dengan lafaz yang sama. Kemudian di akhirnya ia mengatakan bahwa Muhammad ibnu Salamah mengatakan, “Telah mendengar hadis ini dariku Yahya ibnu Mu’in, Ahmad ibnu Hambal, dan Ishaq ibnu Israil.”
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Hakim Abu Abdullah An-Naisaburi di dalam kitabnya yang berjudul Al-Mustadrak, dari Ibnu Abbas Al-Asam, dari Ahmad ibnu Abdul Jabbar Al-Utaridi, dari Yunus ibnu Bukair, dari Muhammad ibnu Ishaq secara makna lagi lebih lengkap daripada yang lain, dan di dalamnya terdapat syair. Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa hadis ini sahih dengan syarat Imam Muslim, tetapi keduanya (Imam Bukhari dan Imam Muslim) tidak mengetengahkannya.
Allah جَلَّ جَلالُهُ mengabarkan bahwa Dia telah menurunkan kepada hamba dan RasulNya sebuah kitab dengan kebenaran, maksudnya, terjaga dari setan yang hendak mencampurnya dengan kebatilan ketika turunnya, akan tetapi ia turun dengan kebenaran dan mencakup hal-hal yang benar pula, kabar-kabarNya adalah benar, perintah dan laranganNya adalah adil,
وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًا
“Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (al-Qur`an) sebagai kalimat yang benar dan adil.” (Al-An’am: 115).
Dan Allah جَلَّ جَلالُهُ mengabarkan bahwa Dia menurunkannya untuk dijadikan sebagai hukum di antara manusia, dan dalam ayat lainnya,
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur`an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.” (An-Nahl: 44).
Kemungkinan ayat ini adalah tentang posisi kitab ini sebagai hakim di antara manusia dalam perkara-perkara yang diperselisihkan dan diperdebatkan, dan hal tersebut adalah dalam menjelaskan seluruh perkara agama, dasar-dasarnya, dan cabang-cabangnya. Kemungkinan lain bahwa kedua ayat tersebut memiliki makna yang sama, maka sebagai hakim di sini maksudnya adalah meliputi hukum tentang darah, kehormatan, harta, seluruh hak, akidah, dan seluruh permasalahan-permasalahan hukum, dan FirmanNya, بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ “Dengan apa yang telah Allah جَلَّ جَلالُهُ wahyukan kepadamu” yaitu bukan dengan hawa nafsumu, akan tetapi dengan apa yang telah Allah جَلَّ جَلالُهُ ajarkan dan Allah جَلَّ جَلالُهُ ilhamkan kepadamu, sebagaimana Firman Allah جَلَّ جَلالُهُ,
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوْحَى
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur`an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 3-4).
Ayat ini mengandung dalil tentang kema’shuman Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pada apa pun yang disampaikannya dari Allah جَلَّ جَلالُهُ berupa segenap hukum-hukum atau selainnya, dan bahwa disyaratkan untuk menjadi hakim itu adalah ilmu dan adil, karena Firman Allah جَلَّ جَلالُهُ, بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ “Dengan apa yang telah Allah جَلَّ جَلالُهُ wahyukan kepadamu” dan Allah جَلَّ جَلالُهُ tidak berfirman; “dengan pendapatan,” dan Allah جَلَّ جَلالُهُ juga mengharuskan hakim di antara manusia agar mengetahui tentang kitab.
Dan tatkala Allah جَلَّ جَلالُهُ memerintahkan untuk mengadili perkara di antara manusia dengan hukum yang mengandung keadilan, lalu Allah جَلَّ جَلالُهُ melarangnya dari kezhaliman dan kesewenang-wenangan yang merupakan suatu hal yang bertentangan dengan keadilan seraya berfirman, وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِيْنَ خَصِيْمًا “Dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah) karena (membela) orang-orang yang khianat,” maksudnya, janganlah kamu membela orang yang kalian ketahui pengkhianatan mereka yaitu seorang yang mengakui suatu barang yang bukan miliknya atau seorang yang mengingkari suatu hak yang harus dipenuhinya, baik ia ketahui dengan pasti ataupun hanya dengan prasangkanya saja. Ayat ini menunjukkan haramnya pertikaian dalam kebatilan, dan menjadi pembela bagi orang yang bersalah dalam perkara agama maupun hak-hak duniawi, dan pemahaman terbalik dari ayat ini adalah bahwa boleh membela seseorang dalam perkara persidangan yang mana orang tersebut tidak diketahui memiliki kezhaliman.
Rangkaian ayat-ayat yang lalu membicarakan banyak hal tentang orang-orang munafik dan sifat-sifat buruk yang mereka miliki yang tidak mau melakukan tuntunan, dan perintah untuk bersikap tegas kepada mereka, bahkan dengan memerangi mereka, maka pada ayat ini Allah menyebutkan bahwa kitab Al-Qur’an itu telah membawa kebenaran. Sungguh, kami, melalui malaikat jibril, telah menurunkan kitab Al-Qur’an kepadamu, nabi Muhammad, yaitu suatu kitab yang sempurna dalam segala aspeknya, yang mengandung tuntunan, petunjuk, nasihat, dan rahmat bagimu dan bagi kaummu yang membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara semua manusia tanpa membedakan jenis kelamin, agama, posisi dan kedudukan sosial mereka dengan apa yang telah Allah ajarkan, ilhamkan, perlihatkan, dan atau tunjukkan kepadamu melalui hati dan akalmu, dan janganlah engkau menjadi penentang bagi orang yang tidak bersalah, karena membela orang-orang yang berkhianatpada ayat ini Allah memerintahkan kepada nabi Muhammad dan umatnya untuk memohon ampun. Dan mohonlah ampunan kepada Allah. Sungguh, Allah selamanya, sejak dahulu hingga kini dan masa mendatang, maha pengampun atas dosa-dosa yang telah dilakukan oleh hamba-hamba-Nya, maha penyayang kepada hamba-hamba-Nya yang beriman di dunia dan di akhirat.
An-Nisa Ayat 105 Arab-Latin, Terjemah Arti An-Nisa Ayat 105, Makna An-Nisa Ayat 105, Terjemahan Tafsir An-Nisa Ayat 105, An-Nisa Ayat 105 Bahasa Indonesia, Isi Kandungan An-Nisa Ayat 105
Tafsir Surat An-Nisa Ayat: 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | 21 | 22 | 23 | 24 | 25 | 26 | 27 | 28 | 29 | 30 | 31 | 32 | 33 | 34 | 35 | 36 | 37 | 38 | 39 | 40 | 41 | 42 | 43 | 44 | 45 | 46 | 47 | 48 | 49 | 50 | 51 | 52 | 53 | 54 | 55 | 56 | 57 | 58 | 59 | 60 | 61 | 62 | 63 | 64 | 65 | 66 | 67 | 68 | 69 | 70 | 71 | 72 | 73 | 74 | 75 | 76 | 77 | 78 | 79 | 80 | 81 | 82 | 83 | 84 | 85 | 86 | 87 | 88 | 89 | 90 | 91 | 92 | 93 | 94 | 95 | 96 | 97 | 98 | 99 | 100 | 101 | 102 | 103 | 104 | 105 | 106 | 107 | 108 | 109 | 110 | 111 | 112 | 113 | 114 | 115 | 116 | 117 | 118 | 119 | 120 | 121 | 122 | 123 | 124 | 125 | 126 | 127 | 128 | 129 | 130 | 131 | 132 | 133 | 134 | 135 | 136 | 137 | 138 | 139 | 140 | 141 | 142 | 143 | 144 | 145 | 146 | 147 | 148 | 149 | 150 | 151 | 152 | 153 | 154 | 155 | 156 | 157 | 158 | 159 | 160 | 161 | 162 | 163 | 164 | 165 | 166 | 167 | 168 | 169 | 170 | 171 | 172 | 173 | 174 | 175 | 176
Raih pahala amal jariyah dengan cara membagikan (share) konten ini kepada yang lainnya. Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه
"Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)