{3} Ali ‘Imran / آل عمران | الْقُرْآنُ الْكَرِيْمُ | المائدة / Al-Maidah {5} |
Tafsir Al-Qur’an Surat An-Nisa النساء (Wanita) lengkap dengan tulisan arab latin, arti dan terjemah Bahasa Indonesia. Surah ke 4 Tafsir ayat Ke 125.
وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَاتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۗ وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا ﴿١٢٥﴾
wa man aḥsanu dīnam mim man aslama waj-hahụ lillāhi wa huwa muḥsinuw wattaba’a millata ibrāhīma ḥanīfā, wattakhażallāhu ibrāhīma khalīlā
QS. An-Nisa [4] : 125
Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang dengan ikhlas berserah diri kepada Allah, sedang dia mengerjakan kebaikan, dan mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah telah memilih Ibrahim menjadi kesayangan(-Nya).
Tidak seorangpun yang lebih baik agamanya daripada seorang yang hati dan anggota tubuhnya tunduk kepada Allah semata, sedangkan dia berbuat baik dalam perkataan dan perbuatannya dan hanya mengikuti perintah Rabb-nya. Dia juga mengikuti agama Ibrahim dan syariatnya, condong menjauhi aqidah-aqidah yang rusak dan syariat-syariat yang batil. Allah telah memilih Ibrahim alaihisslam dan mengangkatnya sebagai Khalil di antara makhluk-Nya. Ayat ini menetapkan sifat khullah bagi Allah yang merupakan derajat tertinggi dari kecintaan dan pemilihan.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah.
Yakni ikhlas dalam beramal demi Tuhannya, amal perbuatannya didasari oleh iman, dan mengharapkan pahala serta rida-Nya.
sedangkan dia pun mengerjakan kebaikan.
Dalam beramal ia mengikuti jalur yang telah disyariatkan oleh Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى kepadanya, sesuai dengan tuntunan hidayah dan agama yang hak yang disampaikan oleh Rasul-Nya. Kedua syarat ini harus dipenuhi oleh seseorang bila ia menginginkan amalnya diterima, suatu amal perbuatan tanpa keduanya tidaklah sah. Dengan kata lain, amal yang ikhlas lagi benar harus dilandasi dengan kedua syarat ini. Amal yang ikhlas ialah amal yang dilakukan karena Allah, dan amal yang benar ialah amal yang mengikuti ketentuan syariat. Secara lahiriah dinilai sah dengan mengikuti peraturan syariat dan secara batiniah dilandasi dengan ikhlas, keduanya ini saling berkaitan erat. Maka, manakala salah satu dari kedua syarat ini tidak dipenuhi oleh suatu amal, amal tersebut tidak sah. Bila tidak dilandasi oleh ikhlas, berarti pelakunya adalah munafik, yaitu orang-orang yang suka pamer (riya). Orang yang dalam amalnya tidak mengikuti tuntunan syariat, berarti dia sesat dan bodoh. Tetapi bila kedua syarat tersebut terpenuhi, maka amal perbuatannya itu termasuk amal perbuatan orang-orang yang mukmin. Seperti yang disebutkan oleh Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى di dalam firman-Nya:
Mereka itulah orang-orang yang Kami terima dari mereka amal yang baik yang telah mereka kerjakan dan Kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka. (Al Ahqaaf:16), hingga akhir ayat.
Karena itulah dalam firman berikutnya disebutkan:
dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus.
Mereka adalah Nabi Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan para pengikutnya sampai hari kiamat nanti. Perihalnya sama dengan makna ayat lain, yaitu firman-Nya:
Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad). (Ali Imran:68), hingga akhir ayat.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى yang lainnya, yaitu:
Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif.” Dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. (An Nahl:123)
Yang dimaksud dengan istilah al-hanif ialah yang sengaja menyimpang dari kemusyrikan. Dengan kata lain, meninggalkannya karena mengerti dan menghadapkan diri kepada perkara yang hak secara keseluruhan dengan keteguhan hati, tanpa ada yang bisa menghalangi-nya dan tidak ada yang dapat mengusiknya dari perkara yang hak.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.
Di dalam ayat ini terkandung makna yang menganjurkan mengikuti Ibrahim a.s. karena dia adalah seorang imam yang diikuti, mengingat dia telah mencapai puncak tingkatan taqarrub seorang hamba kepada Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى Sesungguhnya dia telah sampai kepada tingkatan khullah (kekasih) yang merupakan kedudukan mahabbah yang tertinggi. Hal ini tiada lain berkat ketaatannya yang banyak kepada Tuhannya, seperti yang disebut di dalam firman-Nya:
dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji. (An Najm:37)
Menurut kebanyakan ulama Salaf, makna yang dimaksud dengan lafaz waffa ialah orang yang mengerjakan semua yang diperintahkan kepadanya, tiada suatu pun yang termasuk ke dalam pengertian iba-dah, melainkan dia mengerjakannya. Nabi Ibrahim tidak pernah melupakan hal kecil karena sedang sibuk dengan hal yang besar, tidak pernah pula melupakan perkara remeh karena sedang mengerjakan perkara yang agung dalam masalah ibadah.
Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى telah berfirman:
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya (secara sempurna). (Al Baqarah:124), hingga akhir ayat.
Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan). (An Nahl:120)
Hingga ayat sesudahnya.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Harb, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Ha-bib ibnu Abu Sabit, dari Sa’id ibnu Jubair, dari Amr ibnu Maimun yang menceritakan bahwa sesungguhnya Mu’az ketika tiba di negeri Yaman melaksanakan salat Subuh bersama mereka, lalu Mu’az membacakan firman-Nya: Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya. (An Nisaa:125), Maka seorang lelaki dari kalangan mereka ada yang berkata, “Sesungguhnya hati ibu Nabi Ibrahim bahagia.”
Ibnu Jarir menuturkan sehubungan dengan tafsir ayat ini dari salah seorang ulama, bahwa sesungguhnya Allah menamakan Nabi Ibrahim dengan sebutan Al-Khalil tiada lain kisahnya bermula ketika penduduk negeri yang berdekatan dengannya mengalami musim paceklik. Salah seorang dari mereka berangkat menuju tempat khalil (kesayangan)nya dari kalangan penduduk Mausul —menurut pendapat sebagian dari mereka dari kalangan penduduk Mesir— dengan tujuan mengambil makanan buat keluarganya dari khalil itu. Tetapi sesampainya di tempat khalil, ia tidak kebagian dan keperluannya tidak terpenuhi, lalu lelaki itu kembali ke kampung halamannya. Ketika sudah dekat ke tempat keluarganya di suatu tempat yang banyak pasirnya, maka ia berkata kepada dirinya sendiri, “Sebaiknya aku penuhi karung-karung ini dengan pasir, agar keluargaku tidak sedih bila aku kembali kepada mereka tanpa makanan, agar mereka menduga bahwa aku datang kepada mereka dengan membawa makanan yang sangat diperlukan mereka.” Suatu mukjizat terjadi. Ternyata pasir yang berada di dalam karung itu benar-benar berubah menjadi tepung terigu, tanpa sepengetahuannya. Ketika sampai di tempat keluarganya, ia langsung tidur (istirahat), sedangkan keluarganya terbangun, lalu membuka karung-karung tersebut, dan ternyata mereka menjumpai tepung terigu di dalamnya. Mereka langsung membuat adonan roti dari tepung itu, kemudian dimasak. Ketika terbangun, ia merasa heran, lalu menanyakan kepada keluarganya mengenai tepung terigu itu, dari manakah mereka mendapatkannya hingga dapat membuat roti? Mereka menjawab, “Tepung terigu yang engkau bawa dari khalil-mu itu.” Maka ia menjawab, “Ya, tepung terigu itu berasal dari kekasih Allah.” Maka sejak saat itu Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menamakannya (Nabi Ibrahim) sebagai Khalilullah (kekasih Allah).
Mengenai kesahihan kisah ini dan kenyataannya, masih perlu dipertimbangkan, pada garis besarnya tidak lebih dan tidak kurang merupakan kisah israiliyat yang tidak dapat dipercaya dan tidak dapat pula didustakan.
Sesungguhnya Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menyebut Nabi Ibrahim dengan julukan Khalilullah tiada lain karena ia sangat mencintai Tuhannya melalui apa yang ia kerjakan demi-Nya berupa amal-amal ketaatan yang disukai dan diridai-Nya.
Telah disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui riwayat Abu Sa’id Al-Khudri, bahwa ketika Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berkhotbah kepada mereka dalam khotbah terakhirnya, mengatakan:
Amma Ba’du. Hai manusia. seandainya aku mengambil dari kalangan penduduk bumi ini seorang khalil (kesayangan), niscaya aku akan mengambil Abu Bakar ibnu Abu Quhafah sebagai seorang kesayangan, tetapi teman kalian ini (yakni Abu Bakar) telah menjadi khalilullah (kesayangan Allah).
Melalui jalur Jundub ibnu Abdullah Al-Bajali, Abdullah ibnu Amr ibnul As, dan Abdullah ibnu Mas’ud, dari Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, disebutkan bahwa Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah bersabda:
Sesungguhnya Allah menjadikan diriku sebagai kesayangan-(Nya), sebagaimana Dia menjadikan Ibrahim sebagai kesayangan(Nya).
Abu Bakar Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahim ibnu Muhammad ibnu Muslim, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ahmad ibnu Usaid, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Ya’qub Al-Jurjani di Mekah, telah menceritakan kepada kami Abdullah Al-Hanafi, telah menceritakan kepada kami Zam’ah Abu Saleh, dari Salamah ibnu Wahran, dari Ikrimah dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa sejumlah orang dari kalangan sahabat Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ duduk menunggu kedatangan beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ keluar, dan ketika berada di dekat mereka, beliau mendengar mereka membicarakan sesuatu. Sebagian dari mereka mengatakan, “Sungguh mengherankan, Allah mengambil kesayangan di antara makhluk-Nya, Dia menjadikan Ibrahim sebagai kesayangan-Nya.” Orang yang lainnya mengatakan, “Tiada yang lebih mengherankan daripada Nabi Musa yang diajak berbicara langsung oleh Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى” Orang yang lainnya lagi mengatakan, “Isa adalah roh (ciptaan) Allah dan kalimah (perintah)-Nya.” Yang lainnya lagi mengatakan bahwa Adam telah dipilih oleh Allah sebagai pilihan-Nya. Maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menemui mereka dan mengucapkan salam kepada mereka, lalu bersabda, “Sesungguhnya aku telah mendengar pembicaraan kalian, dan kalian merasa heran karena Nabi Ibrahim menjadi kesayangan Allah. Memang demikianlah keadaannya, Nabi Musa menjadi orang yang diajak bicara langsung oleh-Nya, Nabi Isa adalah roh dan kalimah-Nya, dan Adam adalah orang yang dipilih oleh-Nya. Memang demikianlah kenyataannya, begitu pula Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ” Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melanjutkan sabdanya: Ingatlah, dan sesungguhnya aku adalah kekasih Allah, tanpa membanggakan diri, dan aku adalah orang yang mula-mula memberi syafaat dan orang yang mula-mula diberi izin untuk memberi syafaat, tanpa membanggakan diri. Dan aku adalah orang yang mula-mula menggerakkan (mengetuk) pintu surga, maka Allah membukakannya dan menyuruh aku masuk ke dalam surga dengan ditemani oleh orang-orang miskin dari kalangan kaum mukmin, tanpa membanggakan diri. Dan aku adalah orang yang paling mulia di antara orang-orang yang terdahulu dan yang kemudian, kelak di hari kiamat, tanpa membanggakan diri.
Bila ditinjau dari segi ini, hadis berpredikat garib. Tetapi sebagian di antaranya mempunyai banyak syawahid yang memperkuatnya di dalam kitab-kitab Sahih dan kitab-kitab yang lain.
Qatadah meriwayatkan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan, “Apakah kalian merasa heran karena predikat khullah (kesayangan Allah) diberikan kepada Nabi Ibrahim, predikat kalim (diajak berbicara secara langsung oleh Allah) diberikan kepada Nabi Musa, dan predikat ruyah (melihat langsung Allah) diberikan kepada Muhammad, semoga salawat dan salam Allah terlimpahkan kepada mereka semuanya.”
Demikian menurut riwayat Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya, dan Imam Hakim mengatakan bahwa hal ini dinilai sahih dengan syarat Imam Bukhari, tetapi Imam Bukhari dan Imam Muslim tidak mengetengahkannya.
Hal yang sama diriwayatkan dari Anas ibnu Malik dan bukan hanya seorang dari kalangan para sahabat, para tabiin, dan para imam dari kalangan ulama Salaf dan ulama Khalaf.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abduka Al-Qazwaini, telah menceritakan kepada kami Muhammad (yakni Ibnu Sa’id ibnu Sabiq), telah menceritakan kepada kami Amr (yakni ibnu Abu Qais), dari Asim, dari Abu Rasyid, dari Ubaid ibnu Umair yang mengatakan bahwa Nabi Ibrahim adalah orang yang selalu menjamu orang lain. Pada suatu hari ia keluar mencari seseorang yang akan diajaknya makan bersama, tetapi ia tidak menemukan seseorang pun. Maka ia kembali ke rumahnya, dan ternyata di dalam rumahnya ia menjumpai seseorang yang sedang berdiri. Nabi Ibrahim a.s. menanyai orang tersebut, “Hai hamba Allah, apakah yang menyebabkan kamu memasuki rumahku tanpa izinku?” Orang itu menjawab, “Aku memasukinya atas izin Tuhan.” Nabi Ibrahim bertanya, “Siapakah Anda ini?” Orang itu menjawab, “Aku adalah malaikat maut, Tuhanku mengutusku kepada seseorang hamba dari kalangan hamba-hamba-Nya untuk menyampaikan berita gembira kepadanya bahwa Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى telah menjadikannya sebagai kesayangan-Nya.” Nabi Ibrahim bertanya, “Siapakah orang itu? Demi Allah, jika kamu memberitahukannya ada di suatu tempat yang jauh dari negeri ini, niscaya aku benar-benar akan datang kepadanya, lalu aku ingin menjadi tetangganya hingga maut memisahkan di antara kita.” Malaikat maut utusan Allah menjawab, “Orang itu adalah kamu sendiri.” Nabi Ibrahim berkata keheranan, “Aku sendiri?” Ia menjawab, “Ya.” Nabi Ibrahim bertanya, “Mengapa Allah menjadikan diriku sebagai kesayangan-Nya?” ia menjawab, “Karena sesungguhnya kamu suka memberi kepada orang lain, sedangkan kamu sendiri tidak pernah meminta kepada mereka.”
Telah menceritakan kepada kami Mahmud ibnu Khalid As-Sulami, telah menceritakan kepada kami Al-Walid, dari Ishaq ibnu Yasar yang mengatakan, “Ketika Allah menjadikan Nabi Ibrahim sebagai kesayangan-Nya, maka Allah menanamkan ke dalam hatinya rasa takut (kepada Dia), sehingga degupan kalbunya benar-benar terdengar dari kejauhan, sebagaimana suara kepakan sayap burung di angkasa.”
Hal yang sama disebutkan di dalam sifat Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, bahwa dari dalam dada beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sering terdengar suara gejolak sebagaimana suara gejolak panci bila air yang ada di dalamnya mendidih, karena menangis.
Maksudnya, tidaklah ada seorang pun yang paling baik agamanya daripada seorang yang menyatukan antara keikhlasan kepada Dzat yang disembah yaitu penyerahan diri hanya untuk Allah جَلَّ جَلالُهُ yang menunjukkan akan penyerahan hati, penghadapannya, kembalinya, keikhlasannya dan penghadapan wajah serta seluruh anggota tubuh kepada Allah جَلَّ جَلالُهُ, وَهُوَ “sedang dia pun” di samping keikhlasan dan penyerahan diri tersebut, مُحْسِنٌ “mengerjakan kebaikan” yaitu mengikuti syariat Allah جَلَّ جَلالُهُ yang telah Allah جَلَّ جَلالُهُ utus rasul-rasul dengannya dan telah Allah جَلَّ جَلالُهُ turunkan kitab-kitabNya dan Allah جَلَّ جَلالُهُ jadikan hal itu sebagai jalan bagi makhluk-makhlukNya yang terpilih dan pengikut-pengikut mereka, وَاتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ “dan ia mengikuti agama Ibrahim” yaitu agama dan syariatnya حَنِيفًا “yang lurus” yaitu jauh dari syirik menuju kepada pengesaan dan jauh dari menghadap kepada makhluk menuju kedekatan kepada Sang Pencipta, وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا “dan Allah جَلَّ جَلالُهُ menjadikan Ibrahim sebagai kesayanganNya,” al-Khullah adalah tingkatan tertinggi dari kecintaan, tingkatan ini diperoleh oleh dua orang kesayangan Allah جَلَّ جَلالُهُ, yaitu Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan Ibrahim ‘alaihissalam, sedangkan kecintaan dari Allah جَلَّ جَلالُهُ secara umum adalah kepada seluruh kaum Mukminin, dan sesungguhnya Allah جَلَّ جَلالُهُ menjadikan Ibrahim sebagai kesayangan, karena beliau telah menunaikan apa yang telah diperintahkan kepadanya, tegar dalam cobaan yang dihadapkan kepadanya hingga Allah جَلَّ جَلالُهُ menjadikannya sebagai imam bagi seluruh manusia dan mengambilnya sebagai kesayangan serta meninggikan sebutannya pada seluruh alam semesta.
Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang dengan ikhlas, tunduk, patuh, dan berserah diri kepada Allah secara total, sedang dia mengerjakan kebaikan sesuai dengan tuntunan Allah dan rasul-Nya dan mengikuti agama ibrahim secara lurus’ dan Allah telah memilih ibrahim menjadi kesayangan-Nya, karena ia berada pada tingkat kecintaan yang paling tinggi dan ketaatan yang luar biasa terhadap Allahdan milik Allahlah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, yaitu seluruh wujud yang ada di alam raya ini, dan dia mahakuasa atas segalanya, dan pengetahuan Allah meliputi segala sesuatu, yang besar maupun yang kecil, yang tampak maupun yang tersembunyi, dan yang diucapkan maupun yang hanya terlintas di dalam hati dan pikiran manusia.
An-Nisa Ayat 125 Arab-Latin, Terjemah Arti An-Nisa Ayat 125, Makna An-Nisa Ayat 125, Terjemahan Tafsir An-Nisa Ayat 125, An-Nisa Ayat 125 Bahasa Indonesia, Isi Kandungan An-Nisa Ayat 125
Tafsir Surat An-Nisa Ayat: 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | 21 | 22 | 23 | 24 | 25 | 26 | 27 | 28 | 29 | 30 | 31 | 32 | 33 | 34 | 35 | 36 | 37 | 38 | 39 | 40 | 41 | 42 | 43 | 44 | 45 | 46 | 47 | 48 | 49 | 50 | 51 | 52 | 53 | 54 | 55 | 56 | 57 | 58 | 59 | 60 | 61 | 62 | 63 | 64 | 65 | 66 | 67 | 68 | 69 | 70 | 71 | 72 | 73 | 74 | 75 | 76 | 77 | 78 | 79 | 80 | 81 | 82 | 83 | 84 | 85 | 86 | 87 | 88 | 89 | 90 | 91 | 92 | 93 | 94 | 95 | 96 | 97 | 98 | 99 | 100 | 101 | 102 | 103 | 104 | 105 | 106 | 107 | 108 | 109 | 110 | 111 | 112 | 113 | 114 | 115 | 116 | 117 | 118 | 119 | 120 | 121 | 122 | 123 | 124 | 125 | 126 | 127 | 128 | 129 | 130 | 131 | 132 | 133 | 134 | 135 | 136 | 137 | 138 | 139 | 140 | 141 | 142 | 143 | 144 | 145 | 146 | 147 | 148 | 149 | 150 | 151 | 152 | 153 | 154 | 155 | 156 | 157 | 158 | 159 | 160 | 161 | 162 | 163 | 164 | 165 | 166 | 167 | 168 | 169 | 170 | 171 | 172 | 173 | 174 | 175 | 176
Raih pahala amal jariyah dengan cara membagikan (share) konten ini kepada yang lainnya. Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه
"Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)