{3} Ali ‘Imran / آل عمران | الْقُرْآنُ الْكَرِيْمُ | المائدة / Al-Maidah {5} |
Tafsir Al-Qur’an Surat An-Nisa النساء (Wanita) lengkap dengan tulisan arab latin, arti dan terjemah Bahasa Indonesia. Surah ke 4 Tafsir ayat Ke 128.
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا ۚ وَالصُّلْحُ خَيْرٌ ۗ وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحَّ ۚ وَإِنْ تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا ﴿١٢٨﴾
wa inimra`atun khāfat mim ba’lihā nusyụzan au i’rāḍan fa lā junāḥa ‘alaihimā ay yuṣliḥā bainahumā ṣul-ḥā, waṣ-ṣul-ḥu khaīr, wa uḥḍiratil-anfususy-syuḥḥ, wa in tuḥsinụ wa tattaqụ fa innallāha kāna bimā ta’malụna khabīrā
QS. An-Nisa [4] : 128
Dan jika seorang perempuan khawatir suaminya akan nusyuz atau bersikap tidak acuh, maka keduanya dapat mengadakan perdamaian yang sebenarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu memperbaiki (pergaulan dengan istrimu) dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap acuh tak acuh), maka sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.
Bila seorang istri mengetahui suaminya merasa lebih tinggi darinya atau berpaling darinya, maka tidak ada dosa atas mereka berdua untuk berdamai dengan dasar kerelaan keduanya terkait dengan pembagian jatah bermalam dan nafkah. Berdamai itu lebih baik dan lebih utama. Jiwa manusia ditabiatkan di atas kekikiran dan kebakhilan, seolah-olah kebakhilan melingkupinya dan tidak bisa terpisah darinya. Bila kalian memperlakukan istri-istri kalian dengan baik dan kalian takut kepada Allah terhadap mereka, maka Allah mengetahui apa yang kamu lakukan terkait dengan hal itu dan hal lainnya, tidak ada sesuatu yang samar bagi Allah dan Dia akan membalas kalian atasnya.
Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى memberitahukan serta mensyariatkan ketetapan hukum-hukum-Nya menyangkut berbagai kondisi yang dialami oleh sepasang suami istri. Adakalanya pihak suami bersikap tidak senang kepada istrinya, adakalanya pihak suami serasi dengan istrinya, dan adakalanya pihak suami ingin bercerai dengan istrinya.
Keadaan pertama terjadi bilamana pihak istri merasa khawatir terhadap suaminya, bila si suami merasa tidak senang kepadanya dan bersikap tidak acuh kepada dirinya. Maka dalam keadaan seperti ini pihak istri boleh menggugurkan dari kewajiban suaminya seluruh hak atau sebagian haknya yang menjadi tanggungan suami, seperti sandang, pangan, dan tempat tinggal serta lain-lainnya yang termasuk hak istri atas suaminya. Pihak suami boleh menerima hal tersebut dari pihak istrinya, tiada dosa bagi pihak istri memberikan hal itu kepada suaminya, tidak (pula) penerimaan pihak suami dari pihak istrinya akan hal itu. Untuk itulah disebutkan di dalam firman-Nya:
maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya.
Kemudian dalam firman selanjutnya disebutkan:
dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka).
Yakni daripada perceraian.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir.
Maksudnya, perdamaian di saat saling bertolak belakang adalah lebih baik daripada perceraian. Karena itulah ketika usia Saudah binti Zam’ah sudah lanjut, Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berniat akan menceraikannya, tetapi Saudah berdamai dengan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dengan syarat ia tetap menjadi istrinya dan dengan suka rela ia memberikan hari gilirannya kepada Siti Aisyah. Maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menerima persyaratan tersebut yang diajukan oleh Saudah, dengan imbalan Saudah tetap berstatus sebagai istri Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Imam Syafii mengatakan, telah menceritakan kepadanya Ibnu Juraij, dari Ata, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ wafat dalam keadaan meninggalkan sembilan orang istri, sebelum itu beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memberikan hari gilirannya kepada delapan orang istrinya.
Di dalam kitab Sahihain disebut melalui hadis Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Aisyah r.a. yang menceritakan, “Ketika usia Saudah binti Zam’ah sudah lanjut, ia menghadiahkan hari gilirannya kepada Aisyah. Sejak saat itu Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menggilir Siti Aisyah selama dua hari, satu hari milik Siti Aisyah, sedangkan hari yang lain hadiah dari Saudah.”
Di dalam kitab Sahih Bukhari disebut melalui hadis Az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah dengan lafaz yang semisal.
Sa’id ibnu Mansur mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Abuz Zanad, dari Hisyam, dari ayahnya (yaitu Urwah) yang menceritakan bahwa Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى telah menurunkan firman berikut berkenaan dengan Saudah dan wanita-wanita lainnya yang serupa, yaitu: Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya. (An Nisaa:128) Salah seorang istri Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (yaitu Saudah) telah berusia lanjut, ia merasa khawatir bila diceraikan oleh Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, sedangkan dalam waktu yang sama ia tidak mau dilepaskan dari statusnya sebagai istri Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Tetapi ia mengetahui benar kecintaan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ kepada Siti Aisyah dan kedudukan Siti Aisyah di sisi Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Maka ia menghadiahkan hari gilirannya dari Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ untuk Siti Aisyah r.a., dan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menerima hal tersebut.
Imam Baihaqi mengatakan bahwa Imam Ahmad ibnu Yunus telah meriwayatkannya dari Al-Hasan ibnu Abuz Zanad secara mausul.
Jalur ini diriwayatkan oleh Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya. Untuk itu ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Ishaq Al-Faqih (seorang ahli fiqih), telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Ali ibnu Ziyad, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Yunus, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Abuz Zanad, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah, bahwa ia pernah mengatakan kepadanya, “Hai anak saudara perempuanku, Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dahulu tidak pernah memprioritaskan salah seorang di antara kami atas yang lainnya dalam hal gilirannya kepada kami. Jarang sekali Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dalam setiap harinya tidak berkeliling mengunjungi kami semua. Setiap hari beliau selalu mendekati setiap istrinya tanpa menggaulinya, kecuali bila telah sampai pada giliran istri yang harus ia gilir pada saatnya, barulah beliau menginap padanya. Sesungguhnya Saudah binti Zam’ah, ketika usianya telah lanjut dan merasa khawatir akan diceraikan oleh Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, ia mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, giliranku aku hadiahkan kepada Siti Aisyah.’ Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menerima hal tersebut.” Siti Aisyah r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa berkenaan dengan peristiwa inilah Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menurunkan firman-Nya, yaitu: Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh suaminya. (An Nisaa:128), hingga akhir ayat.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dari Ahmad ibnu Yunus dengan lafaz yang sama, juga Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya, selanjutnya Imam Hakim mengatakan bahwa sanad hadis sahih, tetapi keduanya (Imam Bukhari dan Imam Muslim) tidak mengetengahkannya.
Ibnu Murdawaih meriwayatkannya melalui jalur Abu Hilal Al-Asy’ari, dari Abdur Rahman ibnu Abuz Zanad dengan lafaz yang semisal. Juga melalui riwayat Abdul Aziz, dari Muhammad Ad-Darawardi, dari Hisyam ibnu Urwah dengan lafaz yang semisal secara singkat.
Abul Abbas (yaitu Muhammad ibnu Abdur Rahman Ad-Da’uli) dalam permulaan kitab Mu’jam-nya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yahya, telah menceritakan kepada kami Muslim ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Hisyam Ad-Dustuwai’, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim ibnu Abu Barrah yang menceritakan bahwa Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengirimkan utusannya kepada Saudah binti Zam’ah dengan tujuan untuk menceraikannya. Ketika Rasul صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ datang, maka Saudah duduk untuk menyambutnya sebagaimana Siti Aisyah. Ketika Saudah melihat beliau, maka ia berkata kepadanya, “Demi Tuhan yang menurunkan Kalam-Nya kepadamu dan yang telah memilihmu dari semua makhluk-Nya. Aku memohon kepadamu, sudilah engkau merujuk diriku. Karena sesungguhnya aku adalah seorang wanita yang kini telah berusia lanjut, dan memang aku tidak memerlukan lelaki lagi, tetapi aku ingin agar kelak di hari kiamat dibangkitkan bersama istri-istrimu.” Maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ merujuknya. Siti Saudah berkata, “Aku berikan siang hari dan malam hari giliranku buat kekasih Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (yakni Siti Aisyah).”
Hadis ini berpredikat garib lagi mursal.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Muqatil, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah sehubungan dengan firman-Nya: Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya. (An Nisaa:128), Ayat ini diturunkan berkenaan dengan seorang lelaki yang mempunyai istri yang telah lanjut usia, sedangkan dia tidak begitu memerlukannya lagi, lalu ia bermaksud menceraikannya. Tetapi si istri mengatakan kepadanya, “Aku halalkan kamu sehubungan dengan perkara diriku.” Maka turunlah ayat ini.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki’, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah mengenai firman-Nya: Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka). (An Nisaa:128), Siti Aisyah r.a. mengatakan bahwa ayat ini berkenaan dengan seorang wanita yang menjadi istri seseorang lelaki, sedangkan pihak suaminya tidak memerlukannya lagi dan si istri tidak mempunyai anak, tetapi si istri masih tetap ingin berstatus sebagai istrinya, lalu ia mengatakan kepada suaminya, “Janganlah engkau ceraikan aku, dan aku halalkan engkau dari urusanku.”
Telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Hajaj ibnu Minhal, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Hisyam, dari Urwah, dari Siti Aisyah sehubungan dengan firman-Nya: Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya. (An Nisaa:128), Ayat ini berkenaan dengan seorang lelaki yang mempunyai dua orang istri, salah satu di antaranya berusia tua, sedangkan yang lain tidak cantik rupanya dan dia tidak mengingininya lagi, lalu si istri mengatakan, “Janganlah engkau menceraikan diriku, dan sebagai imbalannya engkau bebas dari urusanku.”
Hadis ini disebutkan di dalam kitab sahihain melalui berbagai jalur, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah dengan lafaz yang semisal dengan hadis di atas.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid dan Ibnu Waki’, keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Asy’as, dari Ibnu Sirin yang menceritakan bahwa seorang lelaki datang kepada Khalifah Umar ibnul Khattab, lalu bertanya kepadanya mengenai makna suatu ayat, dan Umar tidak suka dengan pertanyaan tersebut, kemudian Umar memukul lelaki itu dengan cemeti. Lalu ada lelaki lain datang menanyakan tentang makna ayat ini, yaitu firman-Nya: Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya. (An Nisaa:128), Kemudian Umar berbuat hal yang sama dengan orang yang pertama tadi. Akhirnya mereka yang ada menanyakannya, kemudian barulah Umar r.a. menjawab bahwa wanita yang dimaksud adalah istri seseorang yang telah dilupakannya, lalu suaminya kawin lagi dengan wanita muda dengan maksud ingin mempunyai anak. Maka sesuatu yang disepakati oleh kedua belah pihak melalui perdamaian merupakan hal yang diperbolehkan.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain Al-Hasanjani, telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Abul Ahwas, dari Sammak ibnu Harb, dari Khalid ibnu Ur’urah yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki datang kepada Ali ibnu Abu Talib, lalu bertanya kepadanya mengenai makna firman-Nya: Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya. (An Nisaa:128), hingga akhir ayat. Maka Ali ibnu Abu Talib menjawab bahwa hal ini berkenaan dengan seorang lelaki yang mempunyai seorang istri, lalu ia tidak menyukainya lagi karena rupanya yang tidak cantik, usianya telah tua, akhlaknya jahat, atau ada cacatnya, tetapi si istri tidak suka diceraikan oleh suaminya. Maka jika si istri menghapuskan sebagian dari mas kawinnya (dengan syarat tidak diceraikan), maka hal itu halal bagi suaminya. Jika si istri merelakan hari-hari gilirannya, tidak mengapa hal itu dilakukan.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Abu Daud At-Tayalisi, dari Syu’bah, dari Hammad ibnu Salamah dan Abul Ahwas.
Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui jalur Israil, semuanya bersumber dari Sammak.
Hal yang sama ditafsirkan oleh Ibnu Abbas, Ubaidah As-Salmani, Mujahid ibnu Jubair, Asy-Sya’bi, Sa’id ibnu Jubair, Ata, Atiy-yah Al-Aufi, Makhul, Al-Hasan, Al-Hakam ibnu Atabah, dan Qatadah serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf dan para imam. Menurutku, aku belum mengetahui ada seseorang yang berpendapat berbeda dengan penafsiran ayat ini.
Imam Syafii mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Uyaynah dari Az-Zuhri, dari Ibnul Musayyab, bahwa anak perempuan Muhammad ibnu Muslim menjadi istri Rafi’ ibnu Khadij. Maka Rafi’ ibnu Khadij tidak menyukainya lagi karena usianya telah lanjut atau faktor yang lain, lalu Rafi’ bermaksud menceraikannya. Kemudian si istri berkata, “Janganlah engkau ceraikan aku, dan gilirlah aku menurut kemauanmu.” Maka Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menurunkan ayat ini, yaitu firman-Nya: Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya. (An Nisaa:128), hingga akhir ayat.
Imam Hakim meriwayatkan di dalam kitab Mustadrak-nya melalui jalur Abdur Razzaq, dari Ma’mar, dari Az-Zuhri, dari Sa’id ibnul Musayyab dan Sulaiman ibnu Yasar dengan konteks yang lebih panjang dari ini.
Al Hafiz Abu Bakar Al-Baihaqi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sa’id ibnu Abu Amr, telah menceritakan kepada kami Abu Muhammad Ahmad ibnu Abdullah Al-Muzani, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Muhammad ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Abul Yaman, telah menceritakan kepadaku Syu’aib ibnu Abu Hamzah, dari Az-Zuhri, telah menceritakan kepadaku Sa’id ibnul Musayyab dan Sulaiman ibnu Yasar, menurut ketentuan sunnah sehubungan dengan kedua ayat yang di dalamnya menceritakan perihal seorang lelaki dan sikap tidak acuh terhadap istrinya, yaitu firman-Nya: Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya. (An Nisaa:128), hingga akhir ayat berikutnya. berkenaan dengan seorang lelaki bila nusyuz (tidak suka lagi) terhadap istrinya dan tidak lagi memperhatikannya. Maka sebagai jalan keluarnya si suami adakalanya menceraikannya atau tetap memegangnya sebagai istri dengan memperoleh hak sepenuhnya berupa hak giliran, juga sebagian dari harta, hal ini boleh dilakukan oleh pihak suami. Begitu pula sebaliknya jika pihak istri mengadakan perdamaian kepada pihak suami dengan merelakan hak-hak tersebut, pihak istri boleh melakukannya. Menurut Sa’id ibnul Musayyab dan Sulaiman, perdamaian inilah yang dimaksud oleh firman-Nya: maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka). (An Nisaa:128)
Diriwayatkan kepadaku bahwa Rafi’ ibnu Khadij Al-Ansari (salah seorang sahabat Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) mempunyai seorang istri, ketika istrinya telah tua, lalu ia kawin lagi dengan gadis yang masih muda hingga hatinya lebih cenderung kepada istri mudanya. Maka istri tuanya meminta diceraikan, lalu Rafi’ menceraikannya dengan satu talak dan menangguhkannya. Tetapi bila masa idah-nya akan habis, maka Rafi’ merujuknya kembali. Kemudian Rafi’ tetap bersikap lebih memperhatikan istri mudanya. Maka istri tuanya meminta cerai lagi, dan Rafi’ berkata kepadanya, “Saya hanya menuruti kemauanmu, sesungguhnya talakmu padaku hanya tinggal sekali lagi. Jika kamu mau tetap menjadi istriku dengan perlakuan seperti yang kamu alami sekarang, kamu boleh tetap menjadi istriku, atau jika kamu lebih suka kuceraikan, maka kamu aku ceraikan.” Maka istri tua Rafi’ berkata, “Tidak, bahkan aku ingin tetap menjadi istrimu, sekalipun harus berkorban.” Maka Rafi’ tetap memegangnya sebagai istri dengan persyaratan tersebut, demikianlah perdamaian yang dilakukan oleh keduanya, dan Rafi’ tidak memandang hal ini sebagai perbuatan yang berdosa karena pihak istri rela tetap berstatus sebagai istrinya, sekalipun hari gilirannya diberikan kepada istri mudanya.
Hal yang sama secara lengkap diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, dari ayahnya, dari Abul Yaman, dari Syu’aib, dari Az-Zuhri, dari Sa’id ibnul Musayyab dan Sulaiman ibnu Yasar, lalu Ibnu Abu Hatim mengetengahkannya dengan panjang lebar.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka).
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud ialah takhyir, yaitu pihak suami memberikan hak pilih kepada istrinya antara tetap menjadi istri atau diceraikan. Hal ini lebih baik daripada ia merelakan haknya kepada madunya dan membiarkan suaminya berkepanjangan memberlakukannya demikian.
Menurut makna lahiriah ayat, perdamaian yang dilakukan keduanya ialah pihak istri memberikan sebagian dari haknya kepada suaminya dan pihak suami menerima syarat tersebut, hal ini lebih baik bagi pihak istri daripada diceraikan sama sekali. Sebagaimana Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tetap memegang Siti Saudah binti Zam’ah sebagai istrinya dengan merelakan hari gilirannya kepada Siti Aisyah r.a. dan Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak menceraikannya, melainkan membiarkannya termasuk salah seorang dari istri-istrinya.
Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sengaja melakukan demikian agar umatnya mengikuti jejaknya dalam masalah ini, bahwa hal tersebut disyariatkan dan diperbolehkan. Hal ini lebih baik bagi Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, mengingat keserasian itu lebih disukai oleh Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى daripada perceraian. Demikianlah makna firman-Nya: dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka). (An Nisaa:128)
Bahkan talak itu dimurkai oleh Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى
Di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Ibnu Majah, keduanya dari Kasir ibnu Ubaid, dari Muhammad ibnu Khalid, dari Ma’ruf ibnu Wasil, dari Muharib ibnu Disar, dari Abdullah ibnu Umar yang mengatakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda:
Perkara halal yang paling dimurkai oleh Allah ialah talak.
Kemudian Imam Abu Daud meriwayatkannya dari Ahmad ibnu Yunus, dari Ma’ruf, dari Muharib yang menceritakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah bersabda, lalu ia mengetengahkan hadis tersebut dengan lafaz yang semakna dengan hadis di atas secara mursal.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Dan jika kalian menggauli istri kalian dengan baik dan memelihara diri kalian (dari nusyuz dan sikap tak acuh terhadap istri), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.
Jika kalian sabar menahan apa yang tidak kalian sukai dari mereka dan kalian tetap membagi giliran kepada mereka sama dengan istri kalian yang lainnya, maka sesungguhnya Allah Mengetahui hal tersebut, dan kelak Dia akan memberikan kepada kalian balasan pahala yang berlimpah atas sikap kalian yang bijak itu.
Maksudnya, apabila wanita khawatir akan kedurhakaan suaminya, yaitu bersikap congkak padanya, tidak suka kepadanya, dan tidak acuh padanya, maka dalam kondisi seperti ini sebaiknya diadakan perbaikan di antara mereka berdua, dengan cara menggugurkan beberapa haknya yang wajib atas suaminya agar ia tetap bersama suaminya tersebut, yaitu rela dengan yang lebih sedikit dari yang seharusnya berupa nafkah atau pakaian atau tempat tinggal atau pembagian hari dengan cara menggugurkan haknya atau memberikan jatah hari atau malamnya kepada suaminya atau kepada madunya, lalu bila mereka berdua telah sepakat dengan kondisi seperti itu, maka tidaklah berdosa dan tidak salah mereka berdua melakukan itu, tidak mengapa bagi suami dan tidak mengapa pula bagi istri, karena itu suaminya boleh tetap bersama istrinya tersebut dalam kondisi seperti itu, dan hal itu lebih baik daripada bercerai, karena itulah Allah جَلَّ جَلالُهُ berfirman, وَالصُّلْحُ خَيْرٌ “Dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka).”
Dapat diambil dari keumuman lafazh dan makna ayat ini bahwa perdamaian antara dua orang yang masing-masing mempunyai hak atau perselisihan dalam perkara apa pun, adalah lebih baik daripada masing-masing dari mereka berdua itu saling ngotot dalam mempertahankan hak-haknya, karena dengan berdamai akan menjadi tenang dan tetap berada dalam nuansa saling cinta serta sama-sama memakai predikat sifat toleransi dan saling memaafkan, hal ini boleh dalam segala perkara, kecuali dalam perkara menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal, karena sesungguhnya hal itu bukanlah merupakan suatu perdamaian, akan tetapi menjadi sebuah tindakan melampaui batas, dan ketahuilah bahwa setiap hukum dari hukum-hukum yang ada tidaklah akan sempurna dan terpenuhi kecuali dengan adanya tuntutan-tuntutannya dan tidak adanya penghalang-penghalangnya, maka di antara hukum tersebut adalah ketetapan yang besar ini, yaitu perdamaian, Allah جَلَّ جَلالُهُ menyebutkan tuntutan akan hal tersebut dan Allah جَلَّ جَلالُهُ mengingatkan bahwa hal itu adalah baik, dan kebaikan itu akan dicari dan disukai oleh setiap orang yang berakal, di samping itu Allah جَلَّ جَلالُهُ juga memerintahkan dan sangat menganjurkannya, hingga seorang Mukmin akan menambah usahanya dalam mencarinya.
Dan Allah جَلَّ جَلالُهُ juga menyebutkan penghalangnya dalam FirmanNya, وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحَّ “Walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir,” maksudnya, jiwa manusia itu telah diciptakan memiliki watak kikir, yaitu tidak suka mengerahkan apa yang menjadi hak manusia lain, namun sangat berusaha memenuhi hak dirinya, dan jiwa itu telah diarahkan kepada hal seperti itu secara penciptaannya, dan seharusnya kalian berusaha untuk menghilangkan akhlak yang hina ini dari jiwa-jiwa kalian, dan menggantikannya dengan sifat yang bertolak belakang dengannya, yaitu berlapang dada, artinya mengerahkan hak yang menjadi kewajiban atas dirinya dan bersikap puas dengan beberapa hak untuk dirinya, dan ketika seorang manusia dapat dibimbing kepada akhlak yang baik ini, niscaya di saat itu mudahlah baginya perdamaian antara dia dengan lawan-lawannya, dan akan mudahlah jalan keluar yang menyampaikan mereka kepada yang dikehendaki bersama, berbeda dengan orang yang tidak berusaha menghilangkan sifat kikir dari jiwanya, maka pastilah akan terasa susah baginya perdamaian dan persetujuan tersebut, karena ia tidak akan rela kecuali menerima semua haknya dan ia tidak rela untuk menunaikan semua kewajibannya, apalagi bila musuhnya itu sama seperti dia, maka tambah ruwetlah perkaranya.
Kemudian Allah جَلَّ جَلالُهُ berfirman, وَإِنْ تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا “Dan jika kamu bergaul dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh)” yaitu kalian berbuat baik dalam beribadah kepada Allah جَلَّ جَلالُهُ dengan cara seorang hamba menyembah Rabbnya seolah-olah ia melihatNya, dan bila ia tidak melihatNya sesungguhnya Rabbnya itu melihatnya, dan berbuat baik kepada makhluk dengan berbagai jalan kebaikan berupa manfaat harta, ilmu, jabatan, atau selainnya, dan kalian bertakwa kepada Allah جَلَّ جَلالُهُ dengan mengerjakan seluruh perkara yang diperintahkan dan meninggalkan seluruh perkara yang dilarang, atau kalian berbuat baik dengan mengerjakan hal-hal yang diperintahkan dan kalian bertakwa dengan meninggalkan hal-hal yang dilarang, فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا “maka sesungguhnya Allah جَلَّ جَلالُهُ Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan,” sesungguhnya pengetahuan dan ilmuNya meliputi segala hal, baik lahir maupun batin lalu Allah جَلَّ جَلالُهُ menjaganya untuk kalian dan membalasnya dengan balasan yang sempurna.
Dan jika seorang perempuan, yaitu istri, khawatir suaminya akan melakukan nusyuz (lihat surah an-nisa’/4: 34), yaitu sikap kebencian suami terhadap dirinya, aki-bat sikapnya yang buruk, usianya yang lebih tua dari suaminya, atau karena suami menginginkan perempuan lain yang lebih muda dan lebih cantik daripadanya yang mengakibatkan suami meninggalkan kewajibannya selaku suami, tidak memberikan nafkah lahir dan batin, melakukan tindakan kekerasan, dan tindakan-tindakan lainnya yang dapat mengancam keselamatan dirinya, atau khawatir suaminya bersikap tidak acuh dan berpaling dari dirinya, bahkan meninggalkannya yang dapat menyebabkan ikatan perkawinannya terancam putus, maka untuk mengatasi dan menyelesaikan persoalan tersebut keduanya dapat mengadakan musyawarah untuk mencapai perdamaian dan kesepakatan yang sebenarnya, seperti dengan cara mengurangi sebahagian dari hak-hak istri, seperti nafkah, pakaian, dan lainnya dengan harapan suami dapat kembali kepadanya. Kesepakatan dan perdamaian yang diusahakan, itu lebih baik bagi keduanya daripada perceraian, walaupun pada hakikatnya manusia itu, baik suami maupun istri, menurut tabiatnya sama-sama kikir, yaitu bahwa istri hampir hampir tidak mau menerima pengurangan hak-haknya atas nafkah lahir dan batin, dan sementara suami hampir-hampir tidak mau lagi berbagi atau kembali kepada istrinya, apalagi kalau suami sudah mencintai dan menginginkan wanita lain. Dan jika kamu bersikap baik dan memperbaiki pergaulan de-ngan istrimu dan memelihara dirimu dari nusyuz, sikap acuh tak acuh, dan sikap-sikap lain yang menimbulkan dosa, maka sungguh, Allah ma-hateliti dan maha mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan dan memberimu balasan yang lebih baik. Pada ayat ini Allah mengingatkan kepada mereka yang ingin berpoligami. Dan kamu, wahai para suami, tidak akan dapat berlaku adil yang mutlak dan sempurna dengan menyamakan cinta, kasih sayang, dan pemberian nafkah batin di antara istri-istri-Mu, karena keadilan itu merupakan suatu hal yang sulit diwujudkan dan bahkan di luar batas kemampuan kamu, walaupun kamu dengan sungguhsungguh sangat ingin berbuat demikian. Karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung kepada perempuan-perempuan yang kamu cintai dan kamu ingin nikahi, sehingga kamu membiarkan istri yang lain terkatung-katung, seakan-akan mereka bukan istrimu, dan bukan istri yang sudah kamu ceraikan. Dan jika kamu mengadakan perbaikan atas kesalahan dan perbuatan dosa yang telah kamu lakukan sebelumnya dan selalu memelihara diri dari kecurangan, maka sungguh, Allah maha pengampun atas dosa-dosa yang kamu lakukan, maha penyayang dengan memberikan rahmat kepadamu.
An-Nisa Ayat 128 Arab-Latin, Terjemah Arti An-Nisa Ayat 128, Makna An-Nisa Ayat 128, Terjemahan Tafsir An-Nisa Ayat 128, An-Nisa Ayat 128 Bahasa Indonesia, Isi Kandungan An-Nisa Ayat 128
Tafsir Surat An-Nisa Ayat: 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | 21 | 22 | 23 | 24 | 25 | 26 | 27 | 28 | 29 | 30 | 31 | 32 | 33 | 34 | 35 | 36 | 37 | 38 | 39 | 40 | 41 | 42 | 43 | 44 | 45 | 46 | 47 | 48 | 49 | 50 | 51 | 52 | 53 | 54 | 55 | 56 | 57 | 58 | 59 | 60 | 61 | 62 | 63 | 64 | 65 | 66 | 67 | 68 | 69 | 70 | 71 | 72 | 73 | 74 | 75 | 76 | 77 | 78 | 79 | 80 | 81 | 82 | 83 | 84 | 85 | 86 | 87 | 88 | 89 | 90 | 91 | 92 | 93 | 94 | 95 | 96 | 97 | 98 | 99 | 100 | 101 | 102 | 103 | 104 | 105 | 106 | 107 | 108 | 109 | 110 | 111 | 112 | 113 | 114 | 115 | 116 | 117 | 118 | 119 | 120 | 121 | 122 | 123 | 124 | 125 | 126 | 127 | 128 | 129 | 130 | 131 | 132 | 133 | 134 | 135 | 136 | 137 | 138 | 139 | 140 | 141 | 142 | 143 | 144 | 145 | 146 | 147 | 148 | 149 | 150 | 151 | 152 | 153 | 154 | 155 | 156 | 157 | 158 | 159 | 160 | 161 | 162 | 163 | 164 | 165 | 166 | 167 | 168 | 169 | 170 | 171 | 172 | 173 | 174 | 175 | 176
Raih pahala amal jariyah dengan cara membagikan (share) konten ini kepada yang lainnya. Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه
"Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)