{4} An-Nisa / النساء | الْقُرْآنُ الْكَرِيْمُ | الأنعام / Al-An’am {6} |
Tafsir Al-Qur’an Surat Al-Maidah المائدة (Jamuan (Hidangan Makanan)) lengkap dengan tulisan arab latin, arti dan terjemah Bahasa Indonesia. Surah ke 5 Tafsir ayat Ke 2.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَائِدَ وَلَا آمِّينَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنْ رَبِّهِمْ وَرِضْوَانًا ۚ وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا ۚ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا ۘ وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ ﴿٢﴾
yā ayyuhallażīna āmanụ lā tuḥillụ sya’ā`irallāhi wa lasy-syahral-ḥarāma wa lal-hadya wa lal-qalā`ida wa lā āmmīnal-baital-ḥarāma yabtagụna faḍlam mir rabbihim wa riḍwānā, wa iżā ḥalaltum faṣṭādụ, wa lā yajrimannakum syana`ānu qaumin an ṣaddụkum ‘anil-masjidil-ḥarāmi an ta’tadụ, wa ta’āwanụ ‘alal-birri wat-taqwā wa lā ta’āwanụ ‘alal-iṡmi wal-‘udwāni wattaqullāh, innallāha syadīdul-‘iqāb
QS. Al-Maidah [5] : 2
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu melanggar syiar-syiar kesucian Allah, dan jangan (melanggar kehormatan) bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) hadyu (hewan-hewan kurban) dan qala’id (hewan-hewan kurban yang diberi tanda), dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitulharam; mereka mencari karunia dan keridaan Tuhannya. Tetapi apabila kamu telah menyelesaikan ihram, maka bolehlah kamu berburu. Jangan sampai kebencian(mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangimu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya.
Wahai orang-orang yang membenarkan Allah dan Rasul-Nya dan mengamalkan syariat-Nya, jangan melanggar batasan-batasan dan rambu-rambu Allah. Jangan membolehkan berperang di bulan-bulan haram, yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram dan Rajab dan hal ini berlaku di awal Islam. Jangan menghalalkan kehormatan hewan hadyu dan hewan yang sudah dikalungi darinya, di mana mereka meletakkan kalung, yaitu lilitan dari bulu kambing atau unta di leher hewan sebagai tanda bahwa hewan tersebut adalah hadyu,dan bahwa pembawanya ingin menunaikan ibadah haji. Jangan memerangi orang-orang yang mendatangi Baitullah Al Haram yang mencari dari karunia Allah yang bisa memperbaiki kehidupan mereka dan mengundang ridha Rabb mereka. Bila kalian telah bertahallul dari ihram kalian, maka berburu menjadi halal bagi kalian. Kebencianmu kepada suatu kaum hanya karena mereka pernah menghalang-halangimu dari Masjidil Haram (sebagaimana yang terjadi di Hudaibiyah) jangan membuatmu tidak berbuat adil terhadap mereka. Wahai orang-orang mukmin, hendaknya kalian saling tolong menolong di antara kalian dalam melaksanakan kebaikan dan takwa kepada Allah, dan jangan kalian saling tolong-menolong dalam dosa dan kemaksiatan serta pelanggaran terhadap hukum-hukum Allah. Jangan menyelisihi perintah Allah karena siksa-Nya keras.
Ibnu Abbas mengatakan, yang dimaksud dengan syiar-syiar Allah ialah manasik haji. Menurut Mujahid, Safa dan Marwah, serta hadyu dan budna termasuk syiar-syiar Allah.
Menurut pendapat lain, yang dimaksud dengan syiar-syiar Allah ialah semua yang diharamkan oleh Allah. Dengan kata lain, janganlah kalian menghalalkan hal-hal yang diharamkan oleh Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى Oleh karena itu, Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berfirman:
…dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram.
Makna yang dimaksud ialah harus menghormatinya dan mengakui keagungannya, dan meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh Allah melakukannya di masa-masa itu —misalnya memulai peperangan—dan lebih dikuatkan lagi melakukan hal-hal yang diharamkan. Seperti pengertian yang terkandung di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah, “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar.” (Al Baqarah:217)
Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى telah berfirman:
Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan. (At Taubah:36). hingga akhir ayat.
Di dalum kitab Sahih Bukhari disebutkan dari Abu Bakrah, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda dalam haji wada’:
Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana keadaannya di hari Allah menciptakan langit dan bumi, satu tahun adalah dua bilas bulan, empat bulan di antaranya adalah bulan haram (suci) tiga (di antaranya) berturut-turut, yaitu Zul Qa’dah, Zul Hijjah, dan Muharram serta Rajab Mudar jatuh di antara bulan Jumada dan bulan Sya’ban.
Hal ini menunjukkan berlangsungnya status haram bulan-bulan haram tersebut sampai dengan akhir waktu (hari kiamat), seperti yang dikatakan oleh mazhab sejumlah ulama Salaf.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. sehubungan dengan makna firman-Nya:
…dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram.
Janganlah kalian menghalalkan perang padanya.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Muqatil ibnu Hayyan dan Abdul Karim ibnu Malik Al-Jazari, dipilih oleh Ibnu Jarir.
Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa hal tersebut telah di-mansukh, dan boleh memulai peperangan dalam bulan-bulan haram. Mereka mengatakan demikian berpegang kepada firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى yang mengatakan:
Apabila sudah habis bulan-bulan haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kalian jumpai mereka. (At Taubah:5)
Makna yang dimaksud ialah empat bulan yang berlaku itu. Mereka mengatakan, tidak disebutkan adanya pengecualian antara bulan-bulan haram dan yang lainnya.
Imam Abu Ja’far meriwayatkan adanya kesepakatan perihal bahwa Allah membolehkan memerangi orang-orang musyrik dalam bulan-bulan haram maupun bulan-bulan lainnya. Abu Ja’far mengatakan bahwa mereka sepakat pula seandainya orang musyrik mengalungkan serat-serat pepohonan tanah suci pada lehernya atau kedua lengannya, maka hal tersebut bukan merupakan keamanan baginya dari pembunuhan, jika dia tidak terikat dengan perjanjian perlindungan atau keamanan dari kaum muslim. Masalah ini memerlukan pembahasan yang lebih luas dan lebih panjang, tetapi tempatnya bukan pada kitab ini.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
…jangan (mengganggu) binatang-binatang hadya dan binatang-binatang qolaid.
Maksudnya, janganlah kalian tidak ber-ihda (berkurban) untuk Baitullah, karena sesungguhnya hal tersebut mengandung makna mengagungkan syiar-syiar Allah, jangan pula kalian tidak memberinya kalungan sebagai tanda yang membedakannya dari ternak lainnya, agar hal ini diketahui bahwa ternak tersebut akan dikurbankan untuk Kabah. Dengan demikian, maka orang-orang tidak berani mengganggunya. Sekaligus mendorong orang yang melihatnya untuk melakukan hal yang semisal, karena sesungguhnya barang siapa yang menyerukan kepada jalan petunjuk, maka baginya pahala yang semisal dengan pahala orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka barang sedikit pun.
Untuk itulah ketika Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melakukan haji, terlebih dahulu beliau menginap di Zul Hulaifah, yaitu di lembah Aqiq. Keesokan harinya beliau menggilir semua istrinya yang saat itu ada sembilan orang. Kemudian beliau mandi dan memakai wewangian, lalu salat dua rakaat Sesudah itu beliau memberi tanda kepada ternak hadyunya dan mengalunginya dengan kalungan tanda, lalu ber-ihlal (berihram) untuk haji dan umrah. Saat itu ternak hadyu Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ terdiri atas ternak unta yang cukup banyak jumlahnya, mencapai enam puluh ekor, terdiri atas berbagai jenis dan warna yang semuanya baik. Selaras dengan apa yang disebutkan oleh Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى melalui firman-Nya:
Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati. (Al Hajj:32)
Menurut sebagian ulama Salaf, yang dimaksud dengan mengagung-kannya ialah memilihnya dari yang baik-baik dan yang gemuk-gemuk. Sahabat Ali ibnu Abu Talib r.a. mengatakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah memerintahkan kepada kami untuk memberikan tanda pada mata dan telinga (ternak hadyunya). Demikianlah menurut riwayat ahlus sunan.
Muqatil ibnu Hayyan mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan jangan (pula) binaiang-binaiang qalaid. (Al Maidah:2), Dengan kata lain, janganlah kalian mengganggunya. Disebutkan bahwa dahulu ahli Jahiliah bila keluar dari tanah airnya di luar bulan-bulan haram, mereka mengalungi dirinya dengan bulu domba dan bulu unta, dan orang-orang musyrik Tanah Suci mengalungi dirinya dengan serat-serat pepohonan Tanah Suci. Karena itu, mereka aman (tidak ada yang berani mengganggunya). Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Sa’id ibnu Sulaiman. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abbad ibnul Awwam, dari Sufyan ibnu Husain, dari Al-Hakam, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa telah di-mansukh dari surat Al-Maidah sebanyak dua ayat, yaitu ayat mengenai qalaid dan firman-Nya:
Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka puluskanlah (perkara itu) di antara mereka atau berpalinglah dari mereka.
Telah menceritakan kepada kami Al-Munzir ibnu Syazan, telah menceritakan kepada kami Zakaria ibnu Addi, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abu Addi, dari Ibnu Auf yang mengatakan, “Aku pernah bertanya kepada Al-Hasan (Al-Basri), ‘Apakah ada sesuatu yang di-mansukh dari Al-Maidah?’ Al-Hasan menjawab, ‘Tidak ada’.”
Ata mengatakan bahwa dahulu mereka mengalungi (dirinya) dengan akar tumbuh-tumbuhan Tanah Suci, karenanya mereka aman. Maka Allah melarang menebang (memotong) pepohonannya. Hal yang sama dikatakan oleh Mutarrif ibnu Abdullah.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
…dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keridaan dari Tuhannya.
Artinya, janganlah kalian menghalalkan perang terhadap orang-orang yang mengunjungi Baitullah yang suci dan barang siapa yang memasukinya aman. Jangan pula mengganggu orang yang mengunjunginya dengan tujuan mencari karunia Allah dan berharap mendapat rida-Nya. Jangan sekali-kali kalian mcnghalang-halanginya. jangan mencegahnya, jangan pula mengacaukannya.
Mujahid, Ata, Abul Aliyah, Mutarrif ibnu Abdullah. dan Abdullah ibnu Ubaid ibnu Umair, Ar-Rabi’ ibnu Anas, Muqatil ibnu Hayyan, dan Qatadah serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
…sedang mereka mencari karunia Allah.
Makna yang dimaksud ialah berdagang. Penafsiran ini sama dengan apa yang telah disebutkan sehubungan dengan firman-Nya:
Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhan kalian. (Al Baqarah:198)
Mengenai firman-Nya:
…dan keridaan (dari Tuhan kalian).
Menurut Ibnu Abbas, mereka mencari rida Allah melalui ibadah hajinya.
Ikrimah, As-Saddi, dan Ibnu Jarir menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Al-Hatm ibnu Hindun Al-Bakri, dia pernah menyerang ternak milik orang-orang Madinah (merampoknya), kemudian pada tahun berikutnya dia berumrah ke Baitullah. Maka sebagian sahabat bermaksud menghadangnya di tengah jalan yang menuju ke Baitullah. Lalu Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menurunkan firman-Nya:
…dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keridaan dari Tuhannya.
Ibnu Jarir meriwayatkan adanya kesepakatan bahwa orang musyrik boleh dibunuh jika ia tidak mempunyai jaminan keamanan, sekalipun dia bertujuan mengunjungi Baitullah yang suci atau Baitul Maadis. Hukum yang berkaitan dengan mereka (orang-orang musyrik) di-mansukh. Orang yang bertujuan ke Baitullah dengan maksud untuk melakukan ke-mulhid-an, kemusyrikan, dan kekufuran jelas harus dilarang. Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى telah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini. (At Taubah:28)
Karena itulah Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pada tahun sembilan Hijriah ketika mengangkat Abu Bakar As-Siddiq sebagai amir jamaah haji menugaskan Ali, sebagai ganti dari Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, untuk menyerukan di kalangan manusia agar Baitullah dibersihkan, dan sesudah tahun ini tidak boleh lagi ada orang musyrik melakukan haji, dan tidak boleh ada orang yang tawaf sambil telanjang bulat.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya:
…dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah.
Yaitu orang yang menuju ke Baitullah yang suci. Dahulu orang-orang muslim dan orang-orang musyrik sama-sama melakukan haji, dan Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى melarang orang-orang mukmin mencegah seseorang dari kalangan mukmin atau orang kafir untuk sampai kepadanya. Sesudah itu Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menurunkan lagi Firman-Nya, yaitu:
Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini. (At Taubah:28)
Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjidAllah. (At Taubah:17)
Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian. (At Taubah:18)
Maka sejak itu orang-orang musyrik diusir dari Masjidil Haram.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma’mar, dari Qatadah sehubungan dengan makna firman-Nya:
…dan jangan mengganggu binatang-binatang qalaid dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah.
Ayat ini telah di-mansukh. Dahulu seseorang di zaman Jahiliah apabila keluar dari rumahnya dengan maksud melakukan haji, mereka memakai kalung (qiladah, jamaknya qalaid) yang terbuat dari bagian pohon Tanah Suci, maka tiada seorang pun yang berani mengganggunya. Apabila ia pulang, ia memakai kalung dari (pintalan) bulu domba, maka tiada seorang pun yang berani mengganggunya. Pada masa itu orang musyrik tidak dihalang-halangi datang ke Baitullah. Sedangkan orang-orang muslim telah diperintahkan tidak boleh melakukan peperangan pada bulan-bulan haram, tidak boleh pula melakukannya di dekat Baitullah (Tanah Suci dalam waktu kapan pun). Kemudian hal ini di-mansukh oleh firman-Nya: maka bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kalian jumpai mereka. (At-Taubah 5)
Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa firman-Nya:
…dan jangan mengganggu binatang-binatang qalaid
Artinya, jika mereka (orang-orang musyrik) mengalungi dirinya dengan kalung yang terbuat dari sesuatu dari Tanah Suci, mereka harus diberi jaminan keamanan. Ibnu Jarir mengatakan bahwa orang-orang Arab masih tetap mencela orang yang berani melanggar ketentuan tersebut Salah seorang penyair mereka mengatakan:
Mengapa kamu membunuh dua orang yang menuju ke Tanah Suci, padahal kamu tidak boleh mengganggunya,
keduanya lewat memakai kalung dari serat kayu pohon Tanah Suci yang dipintal.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
…dan apabila kalian telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu.
Jika kalian telah selesai dari ihram dan sudah ber-tahallul, maka Kami perbolehkan kalian mengerjakan hal-hal yang tadinya kalian dilarang sewaktu ihram, seperti berburu. Hal ini merupakan perintah sesudah larangan. Menurut pendapat yang sahih lagi terbukti jeli dan mendalam, hukum mengenai hal ini dikembalikan kepada hukum semula sebelum ada larangan. Jika sebelum ada larangan hukumnya wajib, maka dikembalikan menjadi wajib. Jika sebelum ada larangan hukumnya sunat, maka dikembalikan menjadi sunat lagi, atau asalnya mubah, maka dikembalikan menjadi mubah. Menurut orang yang berpendapat bahwa hukum hal ini wajib, berarti pendapatnya itu bertentangan dengan banyak ayat lainnya. Mengenai pendapat orang yang mengatakan bahwa hukumnya adalah mubah (boleh), akhirnya dibantah oleh ayat lain. Sedangkan pendapat yang sesuai dengan dalil-dalil lainnya adalah pendapat yang kami sebutkan tadi, seperti yang dipilih oleh sebagian ulama Usul Fiqh.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Dan jangan sekali-kali kebencian (kalian) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kalian dari Masjidil Haram, mendorong kalian berbuat aniaya (kepada mereka).
Sebagian ulama qiraah membacanya as-saddukum, dengan harakat fat-hah pada alif-nya. Maknanya sudah jelas karena berasal dari an (masdariyah), yakni: Jangan sekali-kali kebencian kalian terhadap suatu kaum yang dahulunya pernah menghalang-halangi kalian untuk sampai ke Masjidil Haram yang terjadi pada tahun perjanjian Hudaibiyah mendorong kalian melanggar hukum Allah terhadap mereka.
Lalu kalian mengadakan balas dendam terhadap mereka secara aniaya dan permusuhan. Tetapi kalian harus tetap memutuskan apa yang diperintahkan oleh Allah kepada kalian, yaitu bersikap adil dalam perkara yang hak terhadap siapa pun.
Makna ayat ini sama dengan ayat lain yang pembahasannya akan diuraikan kemudian, yaitu firman-Nya:
Dan janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap sesuatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa, (Al Maidah:8)
Maksudnya, jangan sekali-kali kebencian terhadap suatu kaum mendorong kalian untuk meninggalkan norma-norma keadilan. Sesungguhnya keadilan itu wajib atas setiap orang terhadap siapa pun dalam segala keadaan. Salah seorang ulama Salaf mengatakan, “Selama kamu memperlakukan orang yang durhaka kepada Allah terhadap dirimu dengan perlakuan yang kamu landasi dengan taat kepada Allah dan selalu berlaku adil dalam menanganinya, niscaya langit dan bumi ini masih akan tetap tegak.”
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Sahl ibnu Affan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ja’far, dari Zaid ibnu Aslam yang menceritakan bahwa dahulu Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan para sahabatnya berada di Hudaibiyah ketika orang-orang musyrik menghalang-halangi mereka sampai ke Baitullah. Peristiwa tersebut terasa amat berat bagi mereka. Kemudian lewatlah kepada mereka sejumlah orang dari kalangan kaum musyrik —penduduk kawasan timur— dengan maksud akan melakukan umrah. Sahabat-sahabat Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berkata, “Kita halang-halangi mereka sebagaimana teman-teman mereka menghalang-halangi kita.” Lalu Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menurunkan ayat ini.
Asy-syana-an artinya kebencian, menurut Ibnu Abbas dan lain-lainnya berakar dari kata syana-iuhu asynau-hu syana-anan, semuanya di-harakat-i, wazan-nya sama dengan lafaz jamazan, darajah, raqalan yang berasal dari jamz, daraj, dan raql.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa di antara orang-orang Arab ada yang menghapuskan harakat alif-nya hingga disebutkan menjadi sya-nan. Akan tetapi, menurut saya tidak ada seorang pun yang saya ketahui memakai bacaan ini. Termasuk ke dalam bacaan ini perkataan seorang penyair mereka yang mengatakan:
Tiadalah kehidupan ini melainkan apa yang kamu sukai dan kamu senangi, sekalipun dalam menjalaninya dicela dan dikecam oleh orang yang tidak suka.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Dan Tolong- menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk saling menolong dalam berbuat kebaikan —yaitu kebajikan— dan meninggalkan hal-hal yang mungkar: hai ini dinamakan ketakwaan. Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى melarang mereka bantu-membantu dalam kebatilan serta tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan hal-hal yang diharamkan.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa dosa itu ialah meninggalkan apa yang diperintahkan oleh Allah untuk dikerjakan. Pelanggaran itu artinya melampaui apa yang digariskan oleh Allah dalam agama kalian, serta melupakan apa yang difardukan oleh Allah atas diri kalian dan atas diri orang lain.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim. telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Abu Bakar ibnu Anas, dari kakeknya (yaitu Anas ibnu Malik) yang menceritakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda: Tolonglah saudaramu, baik dalam keadaan berbuat aniaya atau dianiaya. Lalu ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, orang ini dapat kutolong jika ia dianiaya. Tetapi bagaimanakah menolongnya jika dia berbuat aniaya?” Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjawab: Kamu cegah dan kamu halang-halangi dia dari perbuatan aniaya, itulah cara menolongnya.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari secara munfarid melalui hadis Hasyim dengan sanad yang sama dan lafaz yang semisal.
Keduanya mengetengahkan hadis ini melalui jalur Sabit, dari Anas yang menceritakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah bersabda:
“Tolonglah saudaramu, baik dia berbuat aniaya ataupun dianiaya.” Ditanyakan, “Wahai Rasulullah, orang ini dapat aku tolong bila dalam keadaan teraniaya, tetapi bagaimana menolongnya jika dia berbuat aniaya?” Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjawab, “Kamu cegah dia dari perbuatan aniaya, itulah cara kamu menolongnya.”
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Sa’id, dari Al-A’masy, dari Yahya ibnu Wassab, dari seorang lelaki sahabat Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang mengatakan: Orang mukmin yang bergaul dengan manusia dan bersabar dalam menghadapi gangguan mereka lebih besar pahalanya daripada orang mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar dalam menghadapi gangguan mereka.
Imam Ahmad meriwayatkannya pula di dalam kitab Musnad Abdullah ibnu Umar, telah menceritakan kepada kami Hajjaj, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Al-A’masy, dari Yahya ibnu Wassab, dari seorang syekh sahabat Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang mengatakan:
Orang mukmin yang bergaul dengan manusia dan sabar terhadap gangguan mereka lebih besar pahalanya daripada orang mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar terhadap gangguan mereka.
Imam Turmuzi meriwayatkan hal yang serupa melalui hadis Syu’bah, dan Ibnu Majah meriwayatkannya melalui jalur Ishaq ibnu Yusuf, keduanya dari Al-A’masy dengan lafaz yang sama.
Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Abdullah ibnu Muhammad Abu Syaibah Al-Kuti. telah menceritakan kepada kami Bakr ibnu Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Isa ibnul Mukhtar, dari Ibnu Abu Laila. dari Fudail ibnu Amr, dari Abu Wa-il, dari Abdullah yang menceritakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda: Orang yang menunjukkan (orang lain) kepada perbuatan yang baik, sama (pahalanya) dengan pelaku kebaikan itu.
Kemudian Al-Bazzar mengatakan bahwa kami tidak mengetahuinya meriwayatkan hadis kecuali dalam sanad ini.
Menurut kami, hadis ini mempunyai syahid (bukti) dalam kitab sahih, yaitu:
Barang siapa yang mengajak ke jalan petunjuk, baginya pahala semisal dengan semua pahala orang-orang yang mengikutinya sampai hari kiamat, hal tersebut tanpa mengurangi pahala mereka barang sedikit pun. Dan barang siapa yang mengajak kepada kesesalan, baginya dosa yang semisal dengan semua dosa orang-orang yang mengikutinya sampai hari kiamat: hal tersebut tanpa mengurangi dosa-dosa mereka barang sedikit pun.
Abul Qasim At-Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Ishaq ibnu Ibrahim ibnu Zuraiq Al-Himsi, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Anu ibnul Haris, dari Abdullah ibnu Salim, dari -Az-Zubaidi yang mengatakan, “Abbas ibnu Yunus pernah mengatakan bahwa Abul Hasan Namran ibnu Sakhr pernah menceritakan kepadanya bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah bersabda: ‘Barang siapa yang berjalan bersama orang yang zalim untuk membantunya, sedangkan dia mengetahui kezalimannya, maka sesungguhnya dia telah keluar dari Islam’.’
Tafsir Ayat:
Firman Allah جَلَّ جَلالُهُ,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syiar-syiar Allah,” maksudnya apa-apa yang diharamkanNya (baca: bulan-bulan dan tanah haram) di mana Allah telah memerintahkanmu agar mengagungkannya dan tidak melanggarnya. Larangan ini meliputi larangan melakukannya dan meyakini kehalalannya. Ia meliputi larangan melakukan perbuatan buruk dan meyakini bolehnya. Termasuk dalam hal ini adalah perkara-perkara yang diharamkan pada waktu ihram dan perkara-perkara yang diharamkan di daerah Haram.
Termasuk pula apa yang dinyatakan dengan FirmanNya, وَلا الشَّهْرَ الْحَرَامَ “Dan janganlah melanggar kehormatan bulan-bulan Haram.” Maksudnya, janganlah kamu menodainya dengan melakukan peperangan dan kezhaliman yang bermacam-macam di dalamnya sebagaimana Firman Allah,
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan Haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At-Taubah: 36).
Jumhur ulama berpendapat bahwa larangan berperang di bulan-bulan haram adalah mansukh dengan Firman Allah,
فَإِذَا انسَلَخَ الأشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدتُّمُوهُمْ
“Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka.” (QS. At-Taubah: 5).
Dan ayat-ayat lain yang bersifat umum yang kandungannya adalah perintah untuk memerangi orang-orang kafir secara mutlak dan ancaman bagi yang tidak berpartisipasi dalam memerangi mereka dan (didukung lagi oleh kenyataan) bahwa Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memerangi penduduk Tha`if di bulan Dzulqa’dah, dan ia adalah salah satu bulan Haram.
Ulama yang lain berpendapat bahwa berperang di bulan Haram tidak mansukh berdasarkan ayat ini dan lainnya yang padanya terdapat larangan secara khusus, dan dalil-dalil yang umum tersebut, mereka sinkronkan dengan makna khusus tersebut. Mereka ber-pendapat, bahwa dalil-dalil yang mutlak harus ditafsirkan dengan dalil-dalil yang muqayyad.
Sebagian ulama meletakkan perincian, mereka berkata, “Tidak boleh memulai perang di bulan-bulan Haram. Adapun melanjutkannya jika ia telah dimulai sebelumnya maka itu boleh. Pendapat ini menafsirkan perang Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ terhadap penduduk Tha`if, karena peperangan melawan mereka telah dimulai di Hunain dan itu terjadi di bulan Syawal (yang belum masuk bulan haram).”
Semua itu berlaku untuk peperangan yang tidak bertujuan untuk membela diri. Adapun jika kaum Muslimin membela diri karena orang-orang kafir yang memulai, maka kaum Muslimin boleh memerangi mereka untuk membela diri di bulan-bulan Haram atau selainnya berdasarkan ijma’ para ulama.
FirmanNya, وَلا الْهَدْيَ وَلا الْقَلائِدَ “Jangan mengganggu binatang-binatang hadyu dan qala`id.” Maksudnya, janganlah kamu menghalalkan binatang hadyu yang digiring ke Baitullah pada pelaksanaan ibadah haji atau umrah atau selainnya, baik itu unta ataupun yang lain. Janganlah kamu menghalang-halanginya untuk sampai di tempat penyembelihannya. Janganlah kamu mengambilnya dengan mencurinya atau lainnya. Janganlah kamu menyianyiakannya atau membebaninya di luar batas kemampuannya karena dikhawatirkan ia mati sebelum tiba di tempat penyembelihannya. Akan tetapi hormatilah ia dan hormati pula orang-orang yang datang membawanya. وَلا الْقَلائِدَ “(Jangan mengganggu) binatang qala`id.” Qala`id adalah salah satu macam hadyu yang khusus, yaitu, hadyu yang dilingkari kalung tali yang disematkan di lehernya untuk menampakkan syiar-syiar Allah, mendorong orang-orang untuk mengikuti dan mengajarkan sunnah kepada mereka agar diketahui bahwa ia adalah hadyu dan supaya ia dimuliakan. Karena itu, mem-beri kalung kepada binatang hadyu adalah termasuk syiar-syiar yang disunnahkan.
وَلا آمِّينَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ “Jangan mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah.” Yaitu mereka yang memang bermaksud mendatanginya.
يَبْتَغُونَ فَضْلا مِنْ رَبِّهِمْ وَرِضْوَانًا “Sedang mereka mencari karunia dan keridhaan dari Tuhannya.” Maksudnya barangsiapa mendatangi Baitullah al-Haram, sementara tujuannya adalah perniagaan dan pekerjaan yang dibolehkan, atau tujuannya adalah mencari ridha Allah dengan haji, umrah, thawaf, shalat dan ibadah-ibadahnya yang lain, maka janganlah kamu menghinakan dan menimpakan keburukan kepada-nya, akan tetapi muliakanlah dia dan hormatilah orang-orang yang datang berkunjung ke rumah Rabbmu.
Termasuk dalam perintah ini adalah menjamin (terciptanya) keamanan di jalan-jalan yang menghubungkan ke Baitullah, menjadikan orang-orang yang mendatanginya merasa tenang dan lega tanpa kekhawatiran terhadap diri mereka dari pembunuhan dan yang lebih kecil dari pembunuhan, tanpa takut terhadap harta mereka dari perampokan, pemalakan, dan lain-lain. Ayat ini dikhususkan oleh Firman Allah,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini.” (QS. At-Taubah: 28).
Orang musyrik tidak diberi kesempatan untuk masuk daerah Ha-ram. Pengkhususan larangan untuk tidak mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah demi mencari ridha dan karunia Allah dalam ayat ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang mendatangi-nya untuk melakukan penyimpangan dengan melakukan kemak-siatan, maka menghalangi orang yang tujuannya seperti itu agar tidak membuat kerusakan di Baitullah adalah termasuk kesem-purnaan penghormatan kepada Baitullah al-Haram, sebagaimana Firman Allah,
وَمَن يُرِدْ فِيهِ بِإِلْحَادٍ بِظُلْمٍ نُذِقْهُ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ
“Dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zhalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebagian siksa yang pedih.” (QS. Al-Hajj: 25).
Ketika Allah melarang mereka berburu pada waktu ihram, Allah (berikutnya) berfirman, وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا “Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah kamu berburu.” Maksudnya, jika kamu telah menyelesaikan haji dan umrah dengan bertahallul dari keduanya (dan kamu telah keluar dari daerah Haram), maka halal untukmu berburu. Keharaman menjadi hilang. Dan perintah yang datang sesudah larangan hukumnya dikembalikan kepada hukum sebelum larangan itu ada.
وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا “Dan janganlah sekali-kali kebencianmu kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangimu dari Masjidil haram mendorongmu berbuat aniaya kepada mereka.” Maksudnya, kebencian suatu kaum, permusuhan, dan kezhaliman mereka terhadap kalian, di mana mereka menghalang-halangimu dari Masjidil Haram jangan sampai mendorongmu untuk berbuat semena-mena kepada mereka untuk balas dendam. Seorang hamba harus senantiasa berpijak kepada perintah Allah dan menempuh jalan keadilan, walaupun dia dijahati atau dizhalimi atau dianiaya. Dia tidak boleh (misalnya) berdusta kepada orang berdusta kepadanya, atau mengkhianati orang yang mengkhianatinya.
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى “Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa.” Maksudnya, hendaknya sebagian darimu membantu sebagian yang lain dalam kebajikan. Kebajikan adalah nama yang mengumpulkan segala perbuatan, baik lahir maupun batin, baik hak Allah maupun hak manusia yang dicintai dan diridhai oleh Allah. Dan takwa di sini adalah nama yang mengumpulkan sikap meninggalkan segala perbuatan-perbuatan lahir dan batin yang dibenci oleh Allah dan RasulNya. Setiap perbuatan baik yang diperintahkan untuk dikerjakan atau setiap perbuatan buruk yang diperintahkan untuk dijauhi, maka seorang hamba diperintahkan untuk melaksanakannya sendiri dan dengan bantuan dari orang lain dari kalangan saudara-saudaranya yang beriman, baik dengan ucapan atau perbuatan yang memacu dan mendorong kepadanya.
وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ “Dan janganlah kamu saling tolong menolong dalam perbutan dosa,” yaitu, saling mendorong melakukan kemaksiatan, di mana pelakunya memikul beban berat dosa. وَالْعُدْوَانِ “Dan pelanggaran,” yaitu pelanggaran terhadap manusia pada darah, harta, dan kehormatan mereka. Seorang hamba wajib menghentikan diri dari segala kemaksiatan dan kezhaliman lalu membantu orang lain untuk meninggalkannya.
وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ “Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksaNya.” Ialah, atas orang yang bermaksiat kepadaNya dan berani melanggar perkara-perkara yang diharamkannya. Karena itu berhati-hatilah terhadap perkara-perkara yang diharamkan agar hukumanNya tidak menimpa kalian di dunia dan akhirat.
Ayat berikut berisi hukum-hukum Allah yang berkaitan dengan tata cara pelaksanaan ibadah haji. Wahai orang-orang yang beriman! janganlah kamu melanggar syiar-syiar kesucian Allah, yakni segala amalan yang dilakukan dalam melaksanakan ibadah haji seperti tata cara melakukan tawaf dan sa’i, serta tempat-tempat mengerjakannya, seperti kakbah, safa, dan marwah, jangan engkau melanggarnya dengan berburu ketika dalam keadaan ihram dan jangan pula melanggar kehormatan bulanbulan haram, yaitu bulan zulkaidah, zulhijah, muharram, dan rajab, janganlah pula engkau melanggar kehormatannya dengan berperang pada bulan itu kecuali untuk membela diri ketika diserang. Jangan pula mengganggu hadyu, yaitu hewan-hewan kurban yang dihadiahkan kepada kakbah untuk mendekatkan diri kepada Allah, hewan-hewan itu disembelih di tanah haram dan dihadiahkan dagingnya kepada fakir miskin, dan qala’id, hewan-hewan kurban yang diberi tanda, dikalungi dengan tali sebagai tanda yang menunjukkan bahwa hewan itu telah dipersiapkan untuk dikurbankan dan dihadiahkan, dan jangan pula mengganggu orang-orang yang mengunjungi baitulharam, untuk melaksanakan ibadah haji atau umrah, mereka mencari karunia berupa keuntungan duniawi, dan keridaan yang berupa ganjaran dari tuhannya. Akan tetapi, apabila kamu telah menyelesaikan ihram, maka bolehlah kamu berburu apabila kamu mau. Jangan sampai kebencian sebagian kamu kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangimu dari mengunjungi masjidilharam, mendorongmu berbuat melampaui batas kepada mereka dengan cara membunuh mereka atau melakukan kejahatan kepada mereka. Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan, melakukan yang diperintahkan Allah, dan takwa, takut kepada larangannya, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa, melakukan maksiat dan permusuhan, sebab yang demikian itu melanggar hukum-hukum Allah. Bertakwalah kepada Allah, takut kepada Allah dengan melakukan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya, karena sungguh Allah sangat berat siksaan-Nya kepada orang-orang yang tidak taat kepada-Nyapada ayat yang lalu telah dijelaskan beberapa perbuatan yang diharamkan. Ayat ini menguraikan lebih terperinci makanan-makanan yang diharamkan. Ada sepuluh jenis makanan yang diharamkan, semuanya berasal dari hewan. Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah yang keluar dari tubuh, sebagaimana tersebut dalam surah alan’a’m/6: 145, daging babi, dan daging hewan yang disembelih bukan atas nama Allah, demikian pula diharamkan daging hewan yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih. Hewan yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas adalah halal hukumnya kalau sempat disembelih sebelum mati. Dan diharamkan pula hewan yang disembelih untuk berhala. Dan diharamkan pula mengundi nasib dengan anak panah. Orang arab jahiliah menggunakan anak panah untuk menentukan apakah mereka akan melakukan suatu perbuatan atau tidak. Mereka mengambil tiga buah anak panah yang belum memakai bulu, masing-masing anak panah itu ditulis dengan kata-kata lakukan, jangan lakukan, dan anak panah yang ketiga tidak ditulis apa-apa. Semua anak panah itu diletakkan dalam sebuah tempat dan disimpan dalam kakbah. Bila mereka hendak melakukan suatu perbuatan, maka mereka meminta agar juru kunci kakbah mengambil salah satu dari tiga anak panah itu. Mereka melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan sesuai dengan bunyi kalimat yang tertulis dalam anak panah yang diambilnya. Kalau yang terambil anak panah yang tidak ada tulisannya, maka undian diulangi sekali lagi. Janganlah melakukan yang demikian itu karena itu suatu perbuatan fasik. Pada hari ini, yaitu pada waktu haji wada’, haji terakhir yang dilakukan oleh nabi Muhammad, orang-orang kafir telah putus asa untuk mengalahkan agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-ku. Pada hari ini telah aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah aku cukupkan nikmat-ku bagimu, dan telah aku ridai islam sebagai agamamu. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa, dibolehkan memakan makanan yang diharamkan oleh ayat ini karena lapar, bukan karena ingin berbuat dosa, maka sungguh, Allah maha pengampun, maha penyayang.
Al-Maidah Ayat 2 Arab-Latin, Terjemah Arti Al-Maidah Ayat 2, Makna Al-Maidah Ayat 2, Terjemahan Tafsir Al-Maidah Ayat 2, Al-Maidah Ayat 2 Bahasa Indonesia, Isi Kandungan Al-Maidah Ayat 2
Tafsir Surat Al-Maidah Ayat: 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | 21 | 22 | 23 | 24 | 25 | 26 | 27 | 28 | 29 | 30 | 31 | 32 | 33 | 34 | 35 | 36 | 37 | 38 | 39 | 40 | 41 | 42 | 43 | 44 | 45 | 46 | 47 | 48 | 49 | 50 | 51 | 52 | 53 | 54 | 55 | 56 | 57 | 58 | 59 | 60 | 61 | 62 | 63 | 64 | 65 | 66 | 67 | 68 | 69 | 70 | 71 | 72 | 73 | 74 | 75 | 76 | 77 | 78 | 79 | 80 | 81 | 82 | 83 | 84 | 85 | 86 | 87 | 88 | 89 | 90 | 91 | 92 | 93 | 94 | 95 | 96 | 97 | 98 | 99 | 100 | 101 | 102 | 103 | 104 | 105 | 106 | 107 | 108 | 109 | 110 | 111 | 112 | 113 | 114 | 115 | 116 | 117 | 118 | 119 | 120
Raih pahala amal jariyah dengan cara membagikan (share) konten ini kepada yang lainnya. Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه
"Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)