{4} An-Nisa / النساء | الْقُرْآنُ الْكَرِيْمُ | الأنعام / Al-An’am {6} |
Tafsir Al-Qur’an Surat Al-Maidah المائدة (Jamuan (Hidangan Makanan)) lengkap dengan tulisan arab latin, arti dan terjemah Bahasa Indonesia. Surah ke 5 Tafsir ayat Ke 5.
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ۖ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ ۖ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ ۗ وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ ﴿٥﴾
al-yauma uḥilla lakumuṭ-ṭayyibāt, wa ṭa’āmullażīna ụtul-kitāba ḥillul lakum wa ṭa’āmukum ḥillul lahum wal-muḥṣanātu minal-mu`mināti wal-muḥṣanātu minallażīna ụtul-kitāba ming qablikum iżā ātaitumụhunna ujụrahunna muḥṣinīna gaira musāfiḥīna wa lā muttakhiżī akhdān, wa may yakfur bil-īmāni fa qad ḥabiṭa ‘amaluhụ wa huwa fil-ākhirati minal-khāsirīn
QS. Al-Maidah [5] : 5
Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan bukan untuk menjadikan perempuan piaraan. Barangsiapa kafir setelah beriman, maka sungguh, sia-sia amal mereka, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.
Di antara sempurnanya nikmat Allah kepada kalian wahai orang-orang yang beriman adalah bahwa Dia menghalalkan makanan yang baik-baik bagi kalian. Adapun sembelihan orang-orang Yahudi dan Nasrani bila mereka menyembelihnya menurut syariat mereka adalah halal bagi kalian, dan sembelihan kalian juga halal bagi mereka. Dihalalkan pula untuk kalian wahai orang-orang mukmin menikahi wanita-wanita muhsan, yaitu wanita-wanita merdeka yang beriman yang jauh dari zina. Demikian pula halal menikahi wanita-wanita merdeka yang baik dari kalangan orang-orang Yahudi dan Nasrani bila kalian menunaikan mahar mereka kepada mereka, sementara kalian sendiri adalah orang-orang yang bersih dan jauh dari zina, dan tidak menyimpan kekasih-kekasih gelap serta kalian merasa aman dari pengaruh mereka. Barangsiapa yang ingkar kepada syariat-syariat iman maka amalnya telah batal, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang merugi.
Setelah Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menyebutkan hal-hal kotor yang diharamkan-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin, juga setelah menyebutkan hal-hal yang baik-baik yang dihalalkan untuk mereka, sesudah itu Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berfirman:
pada hari ini dihalalkan bagi kalian yang baik-baik.
Kemudian Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menyebutkan hukum sembelihan dua Ahli Kitab. Yaitu orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani, melalui firman-Nya:
Dan makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu dihalalkan bagi kalian.
Ibnu Abbas, Abu Umamah, Mujahid, Sa’id ibnu Jubair, Ikrimah, Ata, Al-Hasan, Mak-hul, Ibrahim An-Nakha’i, As-Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan mengatakan, yang dimaksud dengan makanan di sini adalah sembelihan mereka (orang-orang Ahli Kitab).
Masalah ini telah disepakati di kalangan para ulama, bahwa sesungguhnya sembelihan Ahli Kitab itu halal bagi kaum muslim, karena mereka pun mengharamkan sembelihan yang diperuntukkan bukan selain Allah dan dalam sembelihan mereka tidak disebutkan kecuali hanya nama Allah, sekalipun mereka berkeyakinan terhadap Allah hal-hal yang Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى Mahasuci lagi Mahaagung dari apa yang mereka katakan.
Telah disebutkan di dalam kitab sahih, dari Abdullah ibnu Mugaffal yang menceritakan bahwa dia memenuhi timba dengan lemak pada hari Perang Khaibar, lalu lemak itu ia bawa sendiri seraya berkata, “Pada hari ini aku tidak akan memberi seorang pun lemak ini.” Lalu ia menoleh dan ternyata ada Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang memandangnya seraya tersenyum.
Dari hadis ini ulama fiqih menyimpulkan, boleh mengambil makanan dan sejenisnya yang diperlukan dari kumpulan ganimah sebelum dibagikan, tetapi sebatas yang diperlukan secara wajar. Hal ini masalahnya jelas.
Tetapi ulama fiqih dari kalangan mazhab Hanafi, mazhab Syafii, dan mazhab Hambali menyimpulkan dalil dari hadis ini sebagai bantahan terhadap mazhab Maliki yang melarang memakan apa yang menurut keyakinan orang-orang Yahudi haram dari sembelihan mereka, seperti lemak dan lain-lainnya yang diharamkan atas mereka. Mazhab Maliki mengharamkan kaum muslim memakannya dengan berdalilkan firman-Nya:
Dan makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagi kalian.
Mereka (mazhab Maliki) mengatakan bahwa lemak dan sejenisnya bukan termasuk makanan mereka (Ahli Kitab). Sedangkan jumhur ulama membantah pendapat mereka (mazhab Maliki) dengan berdalilkan hadis di atas. Akan tetapi, hal ini masih perlu dipertimbangkan, mengingat masalahnya berkaitan dengan masalah ‘ain (barang), karena barangkali lemak tersebut merupakan lemak dari bagian yang diyakini oleh mereka (Ahli Kitab) halal, seperti lemak yang ada pada bagian punggung dan usus serta lain-lainnya.
Dalil lain yang lebih baik daripada ini ialah sebuah hadis yang disebutkan di dalam kitab sahih, bahwa penduduk Khaibar mengirimkan seekor kambing panggang kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, sedangkan mereka telah membubuhi racun pada kakinya. Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyukai kaki kambing, maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memakan sebagian darinya sekali suap. Tetapi kaki kambing itu memberitahukan kepada Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bahwa ia telah diracuni. Maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memuntahkannya kembali. Tetapi tak urung hal tersebut mempunyai pengaruh pada gigi seri dan urat nadi jantung beliau. Pada saat itu yang ikut makan bersama beliau adalah Bisyr ibnul Barra ibnu Ma’rur, tetapi ia tidak tertolong lagi dan meninggal dunia. Maka wanita Yahudi yang membubuhkan racun itu dibunuh. Ia bernama Zainab.
Segi pengambilan dalil dari hadis ini ialah bahwa Nabi Saw, dan orang yang menemaninya bertekad untuk memakan kiriman tersebut, tanpa bertanya apakah mereka membuang darinya hal-hal yang menurut keyakinan mereka diharamkan, berupa lemak atau tidak?
Di dalam hadis lain disebutkan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dijamu oleh seorang Yahudi yang menyuguhkan makanan kepadanya berupa roti yang terbuat dari tepung jewawut dan lemak.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan bahwa pernah dibacakan kepada Al-Abbas ibnul Walid ibnu Mazyad, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Syu’aib, telah menceritakan kepadaku An-Nu’man ibnul Munzir, dari Mak-hul yang mengatakan bahwa Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menurunkan firman-Nya:
Dan janganlah kalian memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. (Al An’am:121)
Kemudian Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى me-nasakh-nya karena belas kasihan kepada kaum muslim. Untuk itu Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berfirman:
Pada hari ini dihalalkan bagi kalian yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagi kalian.
Dengan demikian, ayat ini me-nasakh ayat tersebut dan makanan (sembelihan) orang-orang Ahli Kitab dihalalkan. Apa yang dikatakan oleh Mak-hul ini masih perlu dipertimbangkan. Karena sesungguhnya dibolehkan-Nya sembelihan Ahli Kitab bukan berarti memastikan bolehnya memakan sembelihan yang tidak disebutkan nama Allah atasnya, mengingat mereka (Ahli Kitab) selalu menyebut nama Allah atas sembelihan mereka, juga atas kurban-kurbannya, sedangkan mereka menganggap hal ini sebagai sesuatu yang ritual. Karena itulah dilarang memakan sembelihan selain mereka (Ahli Kitab) dari kalangan orang-orang musyrik dan orang-orang yang serupa dengan ahli musyrik. Mengingat ahli musyrik tidak menyebut nama Allah atas sembelihan mereka, bahkan dalam memakan daging yang biasa mereka makan tidak bergantung sama sekali kepada hasil sembelihan. Bahkan mereka biasa memakan bangkai, lain halnya dengan selain mereka dan orang-orang yang serupanya dari kalangan orang-orang Samirah dan Sabi-ah serta orang-orang yang mengakui dirinya memegang agama Nabi Ibrahim, Nabi Syis, dan nabi-nabi lainnya, menurut salah satu pendapat di antara dua pendapat yang dikatakan oleh para ulama. Lain pula halnya dengan sembelihan orang-orang Nasrani Arab, seperti Bani Taglab, Bani Tanukh, Bani Buhra, Bani Juzam, Bani Lukhm dan Bani Amilah, serta lain-lainnya yang serupa, sembelihan mereka tidak boleh dimakan, menurut jumhur ulama.
Abu Ja’far ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya’qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, dari Ayyub, dari Muhammad ibnu Ubaidah yang menceritakan bahwa sahabat Ali r.a. pernah mengatakan, “Janganlah kalian memakan sembelihan Bani Taglab, karena sesungguhnya mereka memegang agama Nasrani hanya kepada masalah meminum khamrnya saja.” Hal yang sama dikatakan oleh ulama Khalaf dan ulama Salaf yang bukan hanya seorang.
Sa’id ibnu Abu Arubah meriwayatkan dari Qatadah, dari Sa’id ibnul Musayyab dan Al-Hasan, bahwa keduanya berpandangan membolehkan memakan hasil sembelihan orang-orang Nasrani Bani Taglab.
Mengenai orang-orang Majusi, sekalipun dipungut jizyah dari mereka karena disamakan kedudukannya dengan Ahli Kitab, tetapi sesungguhnya hasil sembelihan mereka tidak boleh dimakan dan kaum wanita mereka tidak boleh dinikahi. Lain halnya dengan pendapat Abu Saur Ibrahim ibnu Khalid Al-Kalbi, salah seorang ulama fiqih pengikut mazhab Imam Syafii dan Imam Ahmad ibnu Hambal. Ketika Abu Saur mengatakan pendapatnya ini dan dikenal sebagai suatu pendapat darinya, maka ulama fiqih mendebatnya, sehingga Imam Ahmad yang dijuluki dengan sebutan Abu Saur —juga sama dengan namanya— mengatakan sehubungan dengan masalah sembelihan ahli Majusi, seakan-akan Ibrahim ibnu Khalid berpegang kepada keumuman makna hadis yang diriwayatkan secara mursal dari Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang mengatakan:
Perlakukanlah mereka (orang-orang Majusi) sama dengan perlakuan terhadap Ahli Kitab.
Akan tetapi. hadis dengan lafaz ini masih belum terbukti kekuatannya. mengingat yang terdapat di dalam kitab Sahih Bukhari dari Abdur Rahman ibnu Auf hanya disebutkan seperti berikut:
Bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memungut jizyah dari orang-orang Majusi tanah Hajar.
Sekiranya kesahihan hadis ini dapat dipertanggungjawabkan, maka pengertian umumnya di-takhsis oleh pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
Dan makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagi kalian.
Mafhum mukhalafah dari ayat ini jelas menunjukkan bahwa makanan atau sembelihan selain Ahli Kitab dari kalangan pemeluk agama lainnya tidak halal.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
dan makanan kalian dihalalkan (pula) bagi mereka.
Artinya, dihalalkan bagi kalian memberi mereka makan dari hasil sembelihan kalian. Hal ini bukan merupakan berita mengenai hukum untuk mereka, kecuali bila dipandang dari segi makna sebagai berita tentang apa yang pernah diperintahkan kepada mereka, yaitu harus memakan sembelihan yang disebutkan nama Allah atasnya, baik dari kalangan mereka sendiri ataupun dari kalangan agama lain.
Akan tetapi, makna yang pertama lebih kuat, yang mengatakan bahwa kalian diperbolehkan memberi mereka makan dari hasil sembelihan kalian, sebagaimana kalian pun boleh memakan hasil sembelihan mereka. Hal ini termasuk ke dalam Bab ‘Timbal Balik dan Saling Memberi”. Perihalnya sama dengan masalah ketika Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memberikan pakaiannya kepada Abdullah ibnu Ubai ibnu Abu Salul (seorang munafik militan) ketika mati, lalu baju Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dipakaikan kepadanya sebagai kain kafannya. Mereka mengatakan bahwa dahulu Abu Salul pernah memberi pakaian kepada Al-Abbas (paman Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) ketika tiba di Madinah dengan pakaiannya, maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ membalas kebaikannya itu dengan kebaikan lagi.
Mengenai sebuah hadis yang disebutkan di dalamnya hal berikut, yaitu:
Janganlah kamu berteman kecuali orang mukmin, dan janganlah memakan makananmu kecuali orang yang bertakwa.
Maka makna hadis ini diinterpretasikan sebagai anjuran dan sesuatu yang disunatkan, bukan perintah wajib.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Dan (dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatannya di antara wanita-wanita yang beriman.
Yakni dihalalkan untuk kalian menikahi wanita-wanita merdeka yang memelihara kehormatannya dari kalangan wanita-wanita yang beriman. Ayat ini merupakan pendahuluan bagi firman Selanjutnya, yaitu firman-Nya:
…dan wanita-wanita yang menjaga kehormatannya di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kalian.
Menurut suatu pendapat, yang dimaksud dengan al-muhsanat ialah wanita-wanita merdeka, bukan budak belian. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Mujahid, bahwa sesungguhnya yang dimaksud Mujahid dengan istilah muhsanat adalah wanita-wanita merdeka. Dengan demikian, berarti barangkali yang dimaksud oleh Ibnu Jarir ialah apa yang dia riwayatkan darinya (Mujahid). Dapat pula diinterpretasikan bahwa yang dimaksud dengan al-hurrah (wanita merdeka) ialah wanita yang menjaga kehormatannya, seperti yang disebutkan di dalam riwayat lainnya yang bersumber dari Mujahid. Hal ini merupakan pendapat jumhur ulama dan pendapat yang lebih mendekati kebenaran. Karena dengan pengertian demikian akan terhindarlah gabungan pengertian yang menunjukkan kepada wanita zimmi, sedangkan dia tidak memelihara kehormatannya. Sehingga keadaannya rusak sama sekali dan mengawininya berarti akan terjadi hal seperti yang disebut di dalam peribahasa “dapat kurma buruk dan takaran yang rusak”.
Menurut makna lahiriah ayat, makna yang dimaksud dengan muhsanat ialah wanita-wanita yang menjaga kehormatannya dari perbuatan zina. Sama halnya dengan makna yang terdapat pada ayat lain, yaitu firman-Nya:
sedangkan mereka pun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki sebagai piaraannya. (An Nisaa:25)
Kemudian para ulama dan ahli tafsir berselisih pendapat mengenai makna yang dimaksud dengan firman-Nya:
…dan wanita-wanita yang menjaga kehormatannya di antara orang-orang yang diberi Al-Kltab sebelum kalian.
Apakah yang dimaksud adalah mencakup semua wanita Ahli Kitab yang memelihara kehormatannya, baik yang merdeka ataupun budak? Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari kalangan ulama Salaf yang menafsirkan muhsanah dengan pengertian wanita yang memelihara kehormatannya.
Menurut pendapat lain, yang dimaksud dengan Ahli Kitab adalah wanita-wanita israiliyat, seperti yang dikatakan oleh mazhab Syafii.
Menurut pendapat yang lainnya lagi, yang dimaksud dengan wanita Ahli Kitab yang muhsanah ialah yang zimmi, bukan yang harbi, karena berdasarkan firman-Nya yang mengatakan:
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian. (At Taubah:29), hingga akhir ayat.
Sesungguhnya Ibnu Umar berpendapat, tidak boleh mengawini wanita Nasrani, dan ia mengatakan, “Aku tidak mengetahui suatu kemusyrikan yang lebih besar daripada wanita yang mengatakan bahwa Tuhannya adalah Isa. Sedangkan Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى telah berfirman:
‘Dan janganlah kalian nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman’ (Al Baqarah:221).”
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Hatim ibnu Sulaiman Al-Muaddib, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim ibnu Malik (yakni Al-Muzanni), telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Sami’, dari Abu Malik Al-Gifari, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa diturunkan firman-Nya: Dan janganlah kalian nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. (Al Baqarah:221) Maka orang-orang menahan dirinya dari mereka hingga turunlah ayat berikutnya dalam surat Al-Maidah, yaitu firman-Nya: dam wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kalian. (Al Maidah:5) Maka orang-orang mulai menikahi wanita-wanita Ahli Kitab.
Sesungguhnya ada segolongan di antara sahabat yang menikahi wanita-wanita Nasrani dan mereka memandangnya diperbolehkan karena berdasarkan firman-Nya:
…dan wanita-wanita yang memelihara kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kalian
Mereka menilai ayat ini mentakhsis pengertian yang terkandung di dalam ayat surat Al-Baqarah, yaitu firman-Nya: Dan janganlah kalian nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. (Al Baqarah:221) sekalipun bila dikatakan bahwa wanita kitabiyah termasuk ke dalam pengertian umum makna yang dikandungnya, bila tidak, berarti tidak ada pertentangan antara ayat ini dan ayat yang sebelumnya.
Orang-orang Ahli Kitab disebutkan secara terpisah dari orang-orang musyrik dalam berbagai tempat, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
Orang-orang kafir yakni Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata. (Al-Bayyinah: 1)
Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al-Kitab dan kepada orang-orang yang ummi, “Apakah kalian (mau) masuk Islam?” Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk. (Ali Imran:20), hingga akhir ayat.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
…bila kalian telah membayar maskawin mereka.
Yaitu maskawin mereka. Dengan kata lain, sebagaimana mereka menjaga kehormatannya, maka berikanlah kepada mereka maskawinnya dengan senang hati.
Jabir ibnu Abdullah, Amir Asy-Sya’bi, Ibrahim An-Nakha’i, dan Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa seorang lelaki bila menikahi seorang wanita, lalu wanita itu berbuat zina sebelum digaulinya, maka keduanya harus dipisahkan, dan pihak wanita diharuskan mengembalikan maskawin yang telah diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak laki-laki. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir, dari mereka.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
…dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.
Sebagaimana disyaratkan ihsan, yakni menjaga diri dari perbuatan zina pada pihak wanita, hal yang sama disyaratkan pula pada pihak laki-laki, yaitu hendaknya pihak laki-laki pun menjaga kehormatannya dari perbuatan zina. Karena itulah disebutkan ‘tidak dengan maksud berzina’ dengan kata musafihina yang artinya laki-laki tukang zina yang tidak pernah kapok melakukan maksiat dan tidak pernah menolak terhadap wanita yang datang kepadanya.
Tidak pula menjadikannya gundik-gundik, yakni para kekasih hidup bagaikan suami istri tanpa ikatan nikah. Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan di dalam surat An-Nisa. Karena itulah Imam Ahmad ibnu Hambal rahimahuliah berpendapat bahwa tidak sah menikahi wanita pelacur sebelum ia bertobat dari perbuatannya. Bilamana wanita itu masih tetap sebagai pelacur, tidak sah dikawini oleh lelaki yang menjaga kehormatannya. Dikatakan tidak sah pula menurut Imam Ahmad bila seorang lelaki pezina melakukan akad nikah kepada seorang wanita yang memelihara kehormatannya, sebelum lelaki yang bersangkutan bertobat dan menghentikan perbuatan zinanya, karena berdasarkan ayat ini. Juga berdasarkan sebuah hadis yang mengatakan:
Lelaki pezina yang telah dihukum dera tidak boleh kawin kecuali dengan orang (wanita) yang semisal dengannya (yakni pezina lagi).
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Harb, telah menceritakan kepada kami Abu Hilal, dari Qatadah, dari Al-Hasan yang telah menceritakan bahwa Umar ibnul Khattab r.a. pernah mengatakan, “Sesungguhnya aku berniat tidak akan membiarkan seseorang yang pernah berbuat zina dalam Islam menikahi wanita yang menjaga kehormatannya.” Maka Ubay ibnu Ka’b r.a. berkata kepadanya, “Wahai Amirul Mu’minin, syirik lebih besar (dosanya) daripada perbuatan itu, tetapi terkadang diterima bila ia bertobat.”
Hal ini akan dibahas secara rinci pada tafsir firman-Nya:
Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki yang musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin. (An Nuur:3)
Karena itulah dalam surat ini Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berfirman:
Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam), maka hapuslah amalannya, dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi
Tafsir Ayat:
Allah mengulang kembali penghalalan yang baik-baik untuk menegaskan nikmatNya dan untuk mengajak para hamba mensyukurinya dan memperbanyak dzikir kepadaNya, di mana Dia membolehkan apa yang mereka butuhkan, dan mereka dapat mengambil manfaat dari hal-hal yang baik.
وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ “Makanan orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu.” Maksudnya, sembelihan orang Yahudi dan Nasrani adalah halal bagimu wahai kaum Muslimin, bukan orang-orang kafir selain mereka di mana sembelihan mereka tidak halal bagi kaum Muslimin. Hal itu karena Ahli Kitab menisbatkan diri kepada Rasul-rasul dan kitab-kitab Allah dan para rasul semuanya telah menyepakati diharamkannya menyembelih untuk selain Allah, karena itu adalah syirik.
Orang-orang Yahudi dan Nasrani meyakini diharamkannya menyembelih untuk selain Allah, oleh karena itu sembelihan mereka dihalalkan sedang selain mereka tidak. Dan dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan makanan (dalam ayat ini) adalah sembelihan mereka, dan bahwa makanan yang bukan merupakan sembelihan seperti biji-bijian dan buah-buahan, Ahli Kitab tidak memiliki kekhususan padanya, bahkan ia dibolehkan walaupun itu juga makanan selain Ahli Kitab. Di samping itu, penisbatan makanan kepada mereka, menunjukkan bahwa ia adalah makanan dari hasil sembelihan mereka. Dan tidak bisa dikatakan bahwa penisbatan ini menunjukkan kepemilikan, dan bahwa yang dimaksud dengan makanan di sini adalah apa yang mereka miliki. Tidak demikian, karena ia tidak dibolehkan dengan cara mengambil secara tidak sah bahkan tidak pula dari kaum Muslimin.
وَطَعَامُكُمْ “Dan makananmu,” wahai kaum Muslimin, حِلٌّ لَهُمْ “halal pula bagi mereka,” maksudnya, halal bagimu untuk memberi-kannya kepada mereka.
وَ “Dan” dihalalkan untukmu, الْمُحْصَنَاتُ “wanita-wanita yang menjaga kehormatannya,” yaitu, wanita-wanita merdeka yang baik-baik (pandai menjaga diri), مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ “dari kalangan wanita-wanita merdeka yang beriman.” Dan wanita-wanita yang menjaga kehormatannya, وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ “dari orang-orang yang diberi al-Kitab sebelummu,” yaitu, Yahudi dan Nasrani. Ayat ini adalah takh-shish bagi Firman Allah جَلَّ جَلالُهُ,
وَلا تَنكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman.” (QS. Al-Baqarah: 221).
Mafhum dari ayat ini, bahwasanya wanita-wanita hamba sahaya yang beriman tidak boleh dinikahi oleh laki-laki merdeka dan memang demikian. Adapun wanita-wanita Ahli Kitab yang berstatus hamba sahaya, maka dalam keadaan apa pun mereka tidak boleh dinikahi oleh laki-laki merdeka secara mutlak berdasarkan Firman Allah جَلَّ جَلالُهُ,
مِن فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ
“Wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki.” (QS. An-Nisa`: 25).
Adapun wanita-wanita Muslimah, jika mereka berstatus sebagai hamba sahaya, maka seorang laki-laki Muslim merdeka tidak boleh menikahinya kecuali dengan dua syarat: Pertama, tidak mampu memberi belanja, dan kedua, takut terjatuh kepada perbuatan zina. Adapun wanita-wanita nakal yang tidak terjaga dari zina, maka tidak boleh menikahi mereka, baik mereka itu Muslimah atau Ahli Kitab, sampai mereka bertaubat, berdasarkan Firman Allah جَلَّ جَلالُهُ,
الزَّانِي لا يَنكِحُ إلا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَة
“Laki-laki pezina tidak menikahi kecuali wanita pezina atau wanita musyrik.” (QS. An-Nur: 3).
FirmanNya, إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ “Bila kamu telah membayar maskawin mereka,” maksudnya, Kami membolehkan kamu untuk me-nikahinya jika kamu telah membayarkan maharnya. Barangsiapa yang berniat tidak memberikan maskawinnya, maka wanita tersebut tidak halal baginya. Dan Allah memerintahkan agar memberikan mahar kepadanya jika dia dewasa dan berakal sehat serta, layak untuk menerima, jika tidak, maka suami memberikannya kepada walinya.
Dinisbatkannya maskawin kepada wanita, menunjukkan bahwa dia memiliki hak atas seluruh maskawinnya dan tidak seorang pun yang memiliki hak sedikit pun padanya, kecuali jika dia merelakan untuk suaminya atau walinya atau selainnya.
مُحْصِنِينَ “Dengan maksud menikahinya bukan dengan maksud berzina,” yakni, dalam keadaan kamu wahai suami, menikahi istrimu yang karenanya kamu menjaga kelaminmu dari wanita yang bukan istrimu. غَيْرَ مُسَافِحِينَ “Bukan dengan maksud berzina,” yakni berzina dengan siapa pun. وَلا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ “Dan tidak pula mengangkat gundik-gundik,” yakni berzina dengan kekasihnya. Para pezina di zaman jahiliyah, ada yang berzina dengan siapa pun, dia ini adalah pezina (ulung), di antara mereka ada yang berzina dengan kekasihnya. Maka Allah menyatakan bahwa hal itu menafikan akhlak iffah (terjaga dari zina) dan bahwa syarat menikah adalah hendaknya seorang laki-laki terjaga dari zina.
FirmanNya, وَمَنْ يَكْفُرْ بِالإيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ “Barangsiapa kafir kepada iman, maka terhapuslah amalannya.” Maksudnya, barangsiapa yang kafir kepada Allah, kitab-kitabNya, Rasul-rasulNya atau syariatNya yang wajib diimani, maka gugurlah amalnya, dengan catatan dia mati di atas kekufurannya. Sebagaimana FirmanNya,
وَمَن يَرْتَدِدْ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ
“Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat.” (QS. Al-Baqarah: 217).
وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ “Dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi,” yaitu, orang-orang yang merugi, diri mereka, harta mereka, dan keluarga mereka pada Hari Kiamat, dan mereka mendapatkan kesengsaraan abadi.
Ayat ini masih berkaitan dengan ayat yang lalu memberikan jawaban atas pertanyaan orang yang beriman tentang apa saja yang dihalalkan bagi mereka. Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan, yakni binatang halal yang disembelih ahli kitab itu halal bagimu selagi tidak bercampur dengan barang-barang yang haram, dan makananmu halal pula bagi mereka, maka kamu tidak berdosa memberikannya kepada mereka. Dan dihalalkan bagimu menikahi perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuanperempuan yang beriman dan halal pula menikahi perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, yaitu orang-orang yahudi dan nasrani, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, yakni melangsungkan akad nikah secara sah, tidak dengan maksud berzina dan bukan untuk menjadikan perempuan piaraan. Demikian Allah menetapkan hukum-hukum-Nya untuk dijadikan tuntunan bagi orang-orang yang beriman. Barang siapa kafir setelah beriman, maka sungguh, sia-sia amal mereka, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi. Setelah Allah menjelaskan hukum tentang makanan dan hewanhewan sembelihan yang dihalalkan dan menjelaskan ketentuan menyangkut wanita-wanita yang boleh dinikahi, pada ayat ini Allah menjelaskan hukum-hukum yang berkaitan dengan tata cara beribadah kepada Allah dimulai dengan salat sebagai ibadah yang paling mulia. Ayat ini memberikan petunjuk tentang persiapan yang harus dilakukan ketika hendak melakukan salat, yaitu cara menyucikan diri dengan berwudu, tayamum, dan mandi. Wahai orang-orang yang beriman! apabila kamu telah membulatkan hati hendak melaksanakan salat, sedangkan kamu saat itu dalam keadaan tidak suci atau berhadas kecil, maka berwudulah, yaitu dengan cara basuhlah wajahmu dengan air dari ujung tempat tumbuhnya rambut kepala sampai ke ujung dagu dan bagian antara kedua telinga, dan basuhlah tanganmu sampai ke siku, dan sapulah sedikit atau sebagian atau seluruh kepalamu dan basuhlah kedua kakimu sampai kedua mata kaki. Dan jika kamu dalam keadaan junub, yakni keluar mani karena bersetubuh atau karena sebab lain, maka mandilah, yakni basuhlah dengan air seluruh badanmu. Dan jika kamu sakit yang menghalangi kamu menggunakan air karena khawatir penyakitmu bertambah parah atau memperlambat kesembuhan kamu, atau kamu berada dalam perjalanan yang dibenarkan agama dan dalam jarak tertentu, atau kembali dari tempat buang air, yakni kakus, setelah selesai membuang hajat, atau menyentuh perempuan, yakni persentuhan dalam arti pertemuan dua alat kelamin yang berbeda atau dalam arti persentuhan kulit seorang laki-laki dan perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, tidak dapat menggunakannya, baik karena tidak ada, tidak cukup, atau karena sakit, maka bertayamumlah dengan debu yang baik, yakni debu yang bersih dan suci; yaitu dengan cara sapulah wajahmu dan tanganmu dengan debu itu. Allah yang mahakuasa tidak ingin menyulitkan kamu dan tidak menghendaki sedikit pun kesulitan bagimu dengan mengharuskan kamu berwudu ketika tidak ada air atau ketika dalam keadaan sakit yang dikhawatirkan kamu bertambah sakit apabila anggota badanmu terkena air, tetapi dia hendak membersihkan kamu, menyucikan kamu dari dosa maupun dari hadas, dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, dengan meringankan apa yang menyulitkan kamu agar kamu bersyukur atas nikmat yang dianugerahkan-Nya kepadamu.
Al-Maidah Ayat 5 Arab-Latin, Terjemah Arti Al-Maidah Ayat 5, Makna Al-Maidah Ayat 5, Terjemahan Tafsir Al-Maidah Ayat 5, Al-Maidah Ayat 5 Bahasa Indonesia, Isi Kandungan Al-Maidah Ayat 5
Tafsir Surat Al-Maidah Ayat: 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | 21 | 22 | 23 | 24 | 25 | 26 | 27 | 28 | 29 | 30 | 31 | 32 | 33 | 34 | 35 | 36 | 37 | 38 | 39 | 40 | 41 | 42 | 43 | 44 | 45 | 46 | 47 | 48 | 49 | 50 | 51 | 52 | 53 | 54 | 55 | 56 | 57 | 58 | 59 | 60 | 61 | 62 | 63 | 64 | 65 | 66 | 67 | 68 | 69 | 70 | 71 | 72 | 73 | 74 | 75 | 76 | 77 | 78 | 79 | 80 | 81 | 82 | 83 | 84 | 85 | 86 | 87 | 88 | 89 | 90 | 91 | 92 | 93 | 94 | 95 | 96 | 97 | 98 | 99 | 100 | 101 | 102 | 103 | 104 | 105 | 106 | 107 | 108 | 109 | 110 | 111 | 112 | 113 | 114 | 115 | 116 | 117 | 118 | 119 | 120
Raih pahala amal jariyah dengan cara membagikan (share) konten ini kepada yang lainnya. Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه
"Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)