{4} An-Nisa / النساء | الْقُرْآنُ الْكَرِيْمُ | الأنعام / Al-An’am {6} |
Tafsir Al-Qur’an Surat Al-Maidah المائدة (Jamuan (Hidangan Makanan)) lengkap dengan tulisan arab latin, arti dan terjemah Bahasa Indonesia. Surah ke 5 Tafsir ayat Ke 6.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ ۚ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَـٰكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ ﴿٦﴾
yā ayyuhallażīna āmanū iżā qumtum ilaṣ-ṣalāti fagsilụ wujụhakum wa aidiyakum ilal-marāfiqi wamsaḥụ biru`ụsikum wa arjulakum ilal-ka’baīn, wa ing kuntum junuban faṭṭahharụ, wa ing kuntum marḍā au ‘alā safarin au jā`a aḥadum mingkum minal-gā`iṭi au lāmastumun-nisā`a fa lam tajidụ mā`an fa tayammamụ ṣa’īdan ṭayyiban famsaḥụ biwujụhikum wa aidīkum min-h, mā yurīdullāhu liyaj’ala ‘alaikum min ḥarajiw wa lākiy yurīdu liyuṭahhirakum wa liyutimma ni’matahụ ‘alaikum la’allakum tasykurụn
QS. Al-Maidah [5] : 6
Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur.
Wahai orang-orang yang beriman, bila kalian hendak mendirikan shalat sementara kalian tidak dalam keadaan bersuci, maka basuhlah wajah kalian dan tangan kalian sampai siku (siku adalah pertemuan antara bahu dan lengan). Usaplah kepala kalian dan basuhlah kedua kaki kalian sampai kedua mata kaki, (yaitu dua tulang menonjol pertemuan antara telapak kaki dengan betis). Bila kalian sedang dalam keadaan hadats besar maka bersucilah darinya dengan mandi sebelum shalat. Bila kalian sedang sakit atau sedang dalam perjalanan dalam keadaan sehat, atau seseorang dari kalian selesai buang hajat, atau melakukan hubungan suami istri lalu kalian tidak mendapatkan air maka pukulkanlah telapak tangan kalian ke permukaan bumi dan usaplah dengannya wajah dan kedua tangan kalian. Dalam urusan bersuci ini Allah tidak ingin mempersulit kalian, sebaliknya Dia mensyariatkan tayamum untuk memberi kemudahan kepada kalian dan sebagai rahmat-Nya kepada kalian, karena Dia menjadikannya sebagai pengganti bersuci dengan air. Diizinkannya tayamum termasuk kesempurnaan nikmat yang patut untuk disyukuri dengan menaati Pemberinya dalam perintah dan larangan-Nya.
Kebanyakan ulama Salaf mengatakan sehubungan dengan firman-Nya:
Apabila kalian hendak mengerjakan salat.
Maksudnya, ketika kalian sedang dalam keadaan berhadas. Sedangkan ulama lainnya mengatakan, apabila kalian bangun dari tidur hendak mengerjakan salat. Kedua makna tersebut berdekatan. Ulama lainnya lagi mengatakan bahwa bahkan makna yang dimaksud lebih umum daripada semua itu. Ayat ini memerintahkan berwudu di saat hendak mengerjakan salat, tetapi bagi orang yang berhadas hukumnya wajib, sedangkan bagi orang yang masih suci hukumnya sunat.
Barangkali ada yang mengatakan bahwa perintah berwudu untuk setiap salat hukumnya wajib pada masa permulaan Islam, kemudian di-mansukh.
Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Alqamah ibnu Marsad, dari Sulaiman ibnu Buraidah, dari ayahnya yang menceritakan bahwa dahulu Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ selalu wudu setiap hendak mengerjakan salat. Pada hari kemenangan atas kota Mekah, beliau melakukan wudu dan mengusap sepasang khuff-nya serta melakukan beberapa salat hanya dengan sekali wudu. Maka Umar berkata kepadanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau telah melakukan suatu hal yang belum pernah engkau lakukan sebelumnya.” Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjawab: Sesungguhnya aku melakukannya dengan sengaja, hai Umar.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Ahlus Sunan melalui hadis Sufyan AS-Sauri, dari Alqamah ibnu Marsad. Sedangkan di dalam kitab Sunan Ibnu Majah disebutkan dari Sufyan ibnu Muharib ibnu Disar sebagai ganti dari Alqamah ibnu Marsad, kedua-duanya dari Sulaiman ibnu Buraidah dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dari Ismail ibnu Taubah, dari Ziyad Al-Buka-i.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya’qub, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Ibnu Ishaq, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Yahya ibnu Hibban Al-Ansari, dari Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Umar. Muhammad ibnu Yahya ibnu Hibban Al-Ansari bertanya, “Bagaimanakah menurutmu tentang wudu yang dilakukan oleh Abdullah ibnu Umar pada setiap salatnya, baik dalam keadaan suci ataupun tidak, dari manakah sumbernya?” Ubaidillah ibnu Abdullah menjawab bahwa Asma binti Zaid ibnul Khattab pernah menceritakan kepadanya bahwa Abdullah ibnu Hanzalah ibnul Gasil pernah menceritakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah memerintahkan berwudu untuk setiap salat, baik dalam keadaan suci ataupun tidak. Ketika hal ini terasa berat olehnya, maka beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memerintahkan bersiwak di saat akan mengerjakan salat dan menghapuskan kewajiban wudu lagi, kecuali karena berhadas. Tetapi Abdullah merasa dirinya mempunyai kekuatan untuk melakukan wudu setiap salat, dia selalu melakukannya hingga meninggal dunia.
Demikian pula yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dari Muhammad ibnu Auf Al-Himti, dari Ahmad ibnu Khalid Az-Zahabi,
Muhammad ibnu Ishaq, dari Muhammad ibnu Yahya ibnu Hibban dari Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Umar.
Kemudian Imam Abu Daud mengatakan bahwa Ibrahim ibnu Sa’d meriwayatkannya dari Muhammad ibnu Ishaq, lalu disebutkan bahwa Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Umar mengisahkan hadis yang sama seperti apa yang disebutkan pada riwayat Imam Ahmad di atas.
Walau bagaimanapun juga sanad hadis ini sahih, dan Ibnu Ishaq menerangkan di dalamnya bahwa dia telah menceritakan hadis ini berdasarkan pendengarannya dari Muhammad ibnu Yahya ibnu Hibban, sehingga lenyaplah kekhawatiran adanya pemalsuan.
Tetapi Al-Hafiz ibnu Asakir mengatakan bahwa Salamah ibnul Fadl dan Ali ibnu Mujahid meriwayatkannya dari Ibnu Ishaq, dari Muhammad ibnu Talhah ibnu Yazid ibnu Rukanah, dari Muhammad ibnu Yahya ibnu Hibban dengan lafaz yang sama.
Dalam perbuatan Ibnu Umar dan perbuatannya dalam melakukan wudu dengan baik untuk setiap salatnya secara terus-menerus terkandung pengertian yang menunjukkan sunatnya hal tersebut, seperti yang dikatakan oleh mazhab jumhur ulama.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Zakaria ibnu Yahya ibnu Abu Zaidah, telah menceritakan kepada kami Azhar, dari Ibnu Aun, dari Ibnu Sirin, bahwa para khalifah selalu melakukan wudu untuk setiap salat.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja’far, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, ia pernah mendengar dari Mas’ud ibnu Ali Asy-Syaibani yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ikrimah mengatakan bahwa sahabat Ali r.a. selalu melakukan wudunya untuk setiap salat, lalu ia membaca firman-Nya, Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan salat. hingga akhir ayat.
Telah menceritakan kepada kami Ibnul Musanna, telah menceritakan kepadaku Wahb ibnu Jarir, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Abdul Malik ibnu Maisarah, dari An-Nizal ibnu Sabrah yang mengatakan bahwa ia pernah melihat sahabat Ali salat Lohor, lalu orang-orang (para makmum yang telah menyelesaikan salatnya bersama Ali r.a) duduk di Rahbah. Kemudian didatangkan air kepada Khalifah Ali. Maka Ali r.a. membasuh wajah dan kedua tangannya, kemudian mengusap kepala dan kedua kakinya (dengan air wudu itu). Lalu ia berkata, “Inilah cara wudu bagi orang yang tidak berhadas.”
Telah menceritakan kepadaku Ya’qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Hasyim, dari Mugirah, dari Ibrahim, bahwa Khalifah Ali menakar makanan dari tempat penyimpanannya, lalu melakukan wudu dengan cara yang singkat, dan ia mengatakan, “Inilah cara wudu orang yang tidak berhadas.”
Jalur-jalur periwayatan asar ini berpredikat jayyid dari sahabat Ali r.a., sebagian darinya menguatkan sebagian yang lain.
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Addi, dari Humaid, dari Anas yang menceritakan bahwa Khalifah Umar ibnu Khattab pernah melakukan suatu wudu agak singkat, lalu ia mengatakan, “Inilah cara wudu bagi orang yang tidak berhadas.” Sanad asar ini sahih.
Muhammad ibnu Sirin mengatakan bahwa dahulu para khalifah sering melakukan wudu untuk setiap salatnya.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr ibnu Amir Al-Ansari, ia pernah mendengar Anas ibnu Malik mengatakan bahwa dahulu Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sering melakukan wudu pada setiap kali salatnya. Lalu Amr ibnu Amir Al-Ansari bertanya, “Bagaimana dengan wudu kalian, apakah yang kalian (para sahabat) lakukan?” Anas ibnu Malik r.a. menjawab, “Kami (para sahabat) melakukan semua salat hanya dengan sekali wudu selagi kami tidak berhadas.”
Imam Bukhari meriwayatkannya —begitu pula Ahlus Sunan— melalui berbagai jalur dari Amr ibnu Amir dengan lafaz yang sama.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id Al-Bagdadi, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Mansur, dari Harim, dari Abdur Rahman ibnu Ziyad Al-Afriqi, dari Abu Atif, dari Ibnu Umar yang menceritakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah bersabda: Barang siapa yang melakukan wudu dalam keadaan suci, maka dicatatkan baginya sepuluh pahala kebaikan.
Ibnu Jarir mengatakan, segolongan ulama menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan sebagai pemberitahuan dari Allah yang menyatakan bahwa wudu tidaklah wajib kecuali bila hendak mengerjakan salat saja, adapun pekerjaan-pekerjaan lainnya, tidak. Demikian itu karena Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ apabila berhadas, beliau menghentikan kerjanya secara keseluruhan sebelum berwudu lagi.
Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Mu’awiyah ibnu Hisyam, dari Sufyan, dari Jabir, dari Abdullah ibnu Abu Bakar ibnu Amr ibnu Hazm, dari Abdullah ibnu Alqamah ibnu Waqqas, dari ayahnya yang menceritakan bahwa dahulu Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ apabila sedang buang air kecil, lalu kami ajak bicara, beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak mau berbicara dengan kami, dan bila kami ucapkan salam penghormatan kepadanya, beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak mau menjawabnya, hingga turunlah ayat rukhsah, yaitu firman-Nya yang mengatakan:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan salat., hingga akhir ayat.
Imam Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Ismail, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Abdullah ibnu Abu Mulaikah, dari Abdullah ibnu Abbas, bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ baru saja keluar dari buang air (kakus), lalu disuguhkan kepadanya makanan dan mereka (para sahabat) menawarkan, “Maukah kami datangkan untukmu air untuk wudu?” Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjawab melalui sabdanya: Sesungguhnya aku diperintahkan untuk wudu hanya bila aku hendak mengerjakan salat.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Turmuzi dari Ahmad ibnu Mani’, juga oleh Imam Nasai, dari Ziyad ibnu Ayyub, dari Ismail (yakni Ibnu Ulayyah) dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan.
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Sufyan ibnu Uyaynah, dari Amr ibnu Dinar, dari Sa’id ibnu Hu-wairis, dari Ibnu Abbas yang menceritakan, “Ketika kami berada di rumah Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memasuki kakus dan kembali lagi, lalu dihidangkan makanan untuknya, dan dikatakan, ‘Wahai Rasulullah, apakah engkau hendak wudu lebih dahulu?’ Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjawab melalui sabdanya: Aku bukan akan melakukan salat yang karenanya aku harus wudu.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
…maka basuhlah muka kalian.
Segolongan ulama menjadikan ayat berikut ini, yaitu firman-Nya: apabila kalian hendak mengerjakan salat, maka basuhlah muka kalian. (Al Maidah:6), sebagai dalil bagi mereka yang menyatakan wajib berniat dalam wudu. Karena penjabaran makna firman-Nya:
Apabila kalian hendak mengerjakan salat, maka basuhlah muka kalian., Yakni demi hendak mengerjakan salat. Seperti pengertian dalam kata-kata orang-orang Arab, “Apabila kamu melihat amir, berdirilah” yakni untuk menghormatinya.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan sebuah hadis yang mengatakan:
Sesungguhnya semua amal perbuatan itu berdasarkan niat, dan sesungguhnya setiap orang akan memperoleh apa yang diniatkannya.
Sebelum membasuh muka disunatkan menyebut asma Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى sebagai permulaan wudunya, karena berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan melalui berbagai jalur yang jayyid dari sejumlah sahabat, dari Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, bahwa Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda:
Tidak ada wudu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah atasnya.
Disunatkan pula membasuh kedua telapak tangannya sebelum memasukkan keduanya ke dalam wadah. Hal ini lebih dikukuhkan lagi kesunatannya bila baru bangun dari tidur, karena berdasarkan sebuah hadis di dalam kitab Sahihain dari Abu Hurairah r.a yang mengatakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah bersabda:
Apabila seseorang di antara kalian bangun dari tidur, janganlah ia memasukkan tangannya ke dalam wadah (air) sebelum membasuhnya sebanyak tiga kali. Karena sesungguhnya seseorang di antara kalian tidak mengetahui di manakah tangannya berada semalam.
Batas muka menurut ulama fiqih ialah dimulai dari tempat tumbuhnya rambut —dalam hal ini tidak dianggap adanya kebotakan, tidak pula pitak (belang di kepala)— sampai dengan batas terakhir dari rambut janggut, menurut ukuran panjangnya.’ Dimulai dari telinga sampai dengan telinga lagi menurut ukuran lebarnya. Sehubungan dengan bagian terbelahnya rambut pada kedua sisi kening dan bagian tumbuhnya rambut yang lembut, apakah termasuk kepala atau muka —dan sehubungan dengan janggut yang panjangnya melebihi batas— ada dua pendapat.
Salah satu di antaranya mengatakan bahwa wajib meratakan air padanya karena bagian ini termasuk bagian muka. Diriwayatkan di dalam sebuah hadis bahwa Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melihat seorang lelaki yang menutupi rambut janggutnya, maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda kepadanya:
Bukalah penutup itu, karena sesungguhnya janggut termasuk wajah.
Mujahid mengatakan bahwa janggut termasuk muka (wajah), tidakkah kamu pernah mendengar perkataan orang Arab sehubungan dengan anak laki-laki remaja yang tumbuh janggutnya, mereka mengatakannya, ‘Telah tampak roman mukanya.”
Orang yang berwudu disunatkan menyela-nyelai rambut janggutnya jika tebal.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Amir ibnu Hamzah, dari Syaqiq yang mengatakan bahwa ia pernah melihat Khalifah Usman berwudu, ternyata Khalifah Usman menyela-nyelai rambut janggutnya sebanyak tiga kali ketika membasuh mukanya. Kemudian ia berkata: Aku pernah melihat Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melakukan apa yang baru kalian lihat aku melakukannya.
Imam Turmuzi dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melalui hadis Abdur Razzaq, dan Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih, dan dinilai hasan oleh Imam Bukhari.
Imam Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Taubah Ar-Rabi’ ibnu Nafi’, telah menceritakan kepada kami Abul Malih, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Zauran, dari Anas ibnu Malik, bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ apabila hendak melakukan wudu terlebih dahulu mengambil air sepenuh telapak tangannya, kemudian beliau masukkan ke dalam dagunya, lalu menyela-nyelai janggutnya dengan air itu. Dan bersabda: Beginilah cara yang diperintahkan oleh Tuhanku.
Hadis diriwayatkan secara munfarid oleh Imam Abu Daud.
Hadis ini diriwayatkan pula melalui jalur lain dari sahabat Anas. Imam Baihaqi mengatakan bahwa kami telah meriwayatkan sehubungan dengan masalah menyela-nyelai janggut sebuah hadis dari Ammar dan Siti Aisyah serta Ummu Salamah, dari Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Kemudian dari Ali dan lain-lainnya. Kami meriwayatkan pula sehubungan dengan rukhsah meninggalkannya dari Ibnu Umar dan Al-Hasan ibnu Ali. Kemudian dari An-Nakha’i dan segolongan dari kalangan tabi’in.
Di dalam berbagai kitab sahih disebutkan dari Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melalui berbagai jalur —juga dalam kitab-kitab lainnya— bahwa Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ apabila hendak melakukan wudu terlebih dahulu berkumur dan ber-intinsyaq (membersihkan lubang hidungnya). Para ulama berselisih pendapat mengenai masalah ini, apakah keduanya wajib dalam wudu dan mandi, seperti yang dikatakan oleh mazhab Imam Ahmad ibnu Hambal, atau keduanya sunat seperti yang dikatakan oleh mazhab Syafii dan mazhab Maliki, karena berdasarkan kepada hadis yang diriwayatkan oleh Ashabus Sunan dan dinilai sahih oleh Ibnu Khuzaimah, dari Rifa’ah ibnu Rafi’ Az-Zurqi, bahwa Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda kepada orang yang melakukan salatnya tidak baik:
Berwudulah seperti apa yang diperintahkan oleh Allah kepadamu!
Atau keduanya diwajibkan dalam mandi, tidak dalam wudu, seperti yang dikatakan oleh mazhab Abu Hanifah, atau yang diwajibkan hanya istinsyaq, bukan berkumur, seperti yang disebutkan dalam suatu riwayat dari Imam Ahmad, karena berdasarkan kepada sebuah hadis di dalam kitab Sahihain yang menyebutkan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah bersabda:
Barang siapa yang berwudu, maka hendaklah ia ber-istinsyaq.
Menurut riwayat yang lain disebutkan:
Apabila seseorang di antara kalian berwudu, maka hendaklah ia memasukkan air ke dalam kedua lubang hidungnya, kemudian ber-istinsar-lah.
Yang dimaksud dengan istinsar ialah menyedot air dengan hidung dengan sedotan yang kuat.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Salamah Al-Khuza’i, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Bilal, dari Zaid ibnu Aslam, dari Ata ibnu Yasar, dari Ibnu Abbas, bahwa ia melakukan wudu, lalu membasuh wajahnya, kemudian menciduk air dan menggunakannya untuk berkumur dan ber-istinsar. Lalu menciduk air lagi dan ia gunakan seperti ini, yakni menuangkannya pada telapak tangannya yang lain, kemudian ia gunakan untuk membasuh wajahnya. Setelah itu ia mengambil air lagi dan ia gunakan untuk membasuh tangan kanannya, lalu mengambil seciduk air lagi, kemudian ia gunakan untuk membasuh tangan kirinya. Sesudah itu ia mengusap kepalanya, lalu mengambil seciduk air, kemudian ia tuangkan sedikit demi sedikit pada kaki kanannya hingga mencucinya bersih. Setelah itu ia mengambil seciduk air lagi, lalu ia gunakan untuk membasuh kaki kirinya. Sesudah itu ia mengatakan, “Beginilah cara wudu yang pernah kulihat Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melakukannya.”
Imam Bukhari meriwayatkannya dari Muhammad ibnu Abdur Rahim, dari Abu Salamah Mansur ibnu Salamah Al-Khuza’i dengan lafaz yang sama.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
…dan kedua tangan kalian sampai siku.
Yakni berikut sikunya. Perihalnya sama dengan makna yang ada dalam firman-Nya:
dan jangan kalian makan harta mereka bersama harta kalian. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu adalah dosa besar. (An Nisaa:2)
Orang yang berwudu disunatkan membasuh kedua tangannya dengan memulainya dari lengan hingga kedua hastanya ikut terbasuh. Hal ini berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim:
melalui hadis Na’im Al-Mujammar, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah bersabda: Sesungguhnya umatku kelak dipanggil pada hari kiamat dalam keadaan bercahaya pada anggota-anggota wudunya karena bekas air wudu (mereka). Karena itu, barang siapa di antara kalian mampu memanjangkan cahayanya, hendaklah ia melakukannya.
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan:
dari Qatadah, dari Khalaf ibnu Khalifah, dari Abu Malik Al-Asyja’i, dari Abu Hazim, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar orang yang dikasihinya (yakni Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) bersabda: Perhiasan orang mukmin kelak sampai sebatas yang dicapai oleh air wudunya.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
…dan sapulah kepala kalian.
Para ulama berselisih pendapat mengenai makna huruf ba dalam ayat ini, apakah lil ilsaq yang merupakan pendapat terkuat, atau lit tab’id, tetapi pendapat ini masih perlu dipertimbangkan, karena ada dua pendapat mengenainya. Tetapi ulama usul ada yang mengatakan bahwa makna ayat ini mujmal (global), maka untuk keterangannya merujuk kepada sunnah.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan:
melalui jalur Malik, dari Amr ibnu Yahya Al-Mazini, dari ayahnya, bahwa seorang lelaki bertanya kepada Abdullah ibnu Zaid ibnu Asim, yaitu kakek Amr ibnu Yahya, salah seorang sahabat Nabi Saw,, “Apakah engkau dapat memperagakan kepadaku cara wudu Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ?” Abdullah ibnu Zaid menjawab, “Ya.” Lalu ia meminta air wudu, kemudian ia menuangkan air kepada kedua tangannya, lalu ia membasuh kedua tangannya sebanyak dua kali dan berkumur serta ber-istinsyaq sebanyak tiga kali. Sesudah itu ia membasuh wajahnya tiga kali, dan membasuh kedua tangannya sampai kedua sikunya dua kali. Selanjutnya ia mengusap kepalanya dengan kedua telapak tangannya, yaitu dengan mengusapkan kedua telapak tangannya ke arah depan, kemudian ke arah belakang kepala, Ia memulai usapannya dari bagian depan kepalanya, lalu diusapkan ke arah belakang sampai batas tengkuknya, kemudian mengembalikan kedua telapak tangannya ke arah semula, sesudah itu ia membasuh kedua kakinya.
Di dalam hadis Abdu Khair, dari Ali, mengenai gambaran wudu Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ disebutkan hal yang semisal.
Imam Abu Daud meriwayatkan dari Mu’awiyah dan Al-Miqdad ibnu Ma’di Kariba mengenai gambaran wudu Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dengan keterangan yang semisal.
Di dalam hadis-hadis di atas terkandung dalil bagi orang yang berpendapat wajib menyempurnakan usapan hingga merata ke seluruh bagian kepala, seperti yang dikatakan oleh mazhab Imam Malik dan Imam Ahmad ibnu Hambal, terlebih lagi menurut pendapat orang yang menduga bahwa hadis-hadis ini merupakan keterangan dari apa yang disebutkan secara global di dalam Al-Qur’an.
Mazhab Hanafi berpendapat wajib mengusap seperempat bagian kepala, yaitu sampai dengan batas ubun-ubun. Sedangkan menurut pendapat mazhab kami (Imam Syafii), sesungguhnya yang diwajibkan dalam masalah mengusap kepala ini hanyalah sebatas apa yang dinamakan mengusap menurut terminologi bahasa. Hal ini tidak mempunyai batasan tertentu, bahkan seandainya seseorang mengusap sebagian dari rambut kepalanya, hal ini sudah mencukupi.
Tetapi kedua belah pihak berhujan dengan hadis Al-Mugirah ibnu Syu’bah yang menceritakan,
“Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memisahkan diri, dan aku pun ikut memisahkan diri bersamanya. Setelah beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ selesai dari menunaikan hajarnya, beliau bersabda, ‘Apakah kamu membawa air?’ Maka aku memberikan kepadanya air untuk wudu, lalu beliau membasuh kedua telapak tangan dan wajahnya, kemudian bermaksud menyingsingkan lengan bajunya, tetapi lengan bajunya sempit, akhirnya kedua tangannya dikeluarkannya dari bawah kain jubahnya dan baju jubahnya disampirkannya ke atas kedua sisi pundaknya. Lalu beliau membasuh kedua tangan dan mengusap ubun-ubunnya serta mengusap pula serban (yang dipakai)nya dan sepasang khuff-nya.”
Kelanjutan hadis ini disebutkan dengan panjang lebar di dalam kitab Sahih Muslim dan kitab-kitab hadis lainnya.
Para pengikut Imam Ahmad mengatakan kepada mereka bahwa sesungguhnya Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ terbatas hanya mengusap pada ubun-ubunnya, karena beliau menyempurnakan pengusapannya pada bagian kepala lainnya di atas kain serbannya. Kami sependapat dengan pengertian ini dan memang demikianlah kejadiannya, seperti yang disebut oleh banyak hadis lain. Disebutkan bahwa beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengusap pada kain serbannya, juga pada sepasang khuff-nya. Pengertian inilah yang lebih utama, dan tiada dalil bagi kalian yang membolehkan mengusap hanya sebatas ubun-ubun atau sebagian dari kepala tanpa menyempurnakannya dengan mengusap pada bagian luar kain serban.
Kemudian mereka berselisih pendapat mengenai masalah sunat mengulang usapan kepala sampai tiga kali, seperti yang dikatakan oleh pendapat yang terkenal di kalangan mazhab Syafii. Akan tetapi, menurut mazhab Imam Ahmad ibnu Hambal dan para pengikutnya, yang disunatkan hanyalah sekali usapan saja. Sehubungan dengan masalah ini, ada dua pendapat di kalangan mereka.
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma’mar, dari Az-Zuhri, dari Ata ibnu Yazid Al-Laisi, dari Hamran ibnu Aban yang mengatakan bahwa ia pernah melihat Usman ibnu Affan melakukan wudunya. Ia memulainya dengan menuangkan air pada kedua telapak tangannya, lalu membasuhnya sebanyak tiga kali, kemudian berkumur dan ber-intinsyaq. Setelah itu ia membasuh wajahnya sebanyak tiga kali, membasuh tangannya yang kanan sampai siku sebanyak tiga kali, dan membasuh tangan kiri dengan basuhan yang semisal. Setelah itu ia mengusap kepalanya, lalu membasuh kaki kanannya sebanyak tiga kali dan kaki kirinya sebanyak tiga kali pula, sama dengan basuhan yang pertama. Kemudian ia mengatakan bahwa ta telah melihat Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melakukan wudu seperti wudu yang diperagakannya. Sesudah itu Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda: Barang siapa melakukan wudu seperti wuduku ini, lalu ia salat dua rakaat tanpa mengalami hadas pada keduanya, niscaya diampuni baginya semua dosanya yang terdahulu.
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya di dalam kitab Sahihain melalui jalur Az-Zuhri dengan sanad yang sama dan lafaz yang semisal.
Di dalam kitab Sunan Abu Daud disebutkan melalui riwayat Abdullah ibnu Ubaidillah ibnu Abu Mulaikah, dari Usman, tentang gambaran wudu yang disebut di dalamnya bahwa ia mengusap kepalanya hanya sekali.
Hal yang sama disebutkannya pula melalui riwayat Abdu Khair, dari Ali r.a. dengan lafaz yang semisal.
Sedangkan orang-orang yang menyunatkan mengulangi usapan atas kepala berpegang kepada pengertian umum hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya, dari Usman r.a., bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melakukan (basuhan dan usapan) wudunya masing-masing sebanyak tiga kati.
Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Ad-Dahhak ibnu Makhlad, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Wardan, telah menceritakan kepadaku Abu Salamah ibnu Abdur Rahman, telah menceritakan kepadaku Hamran yang mengatakan bahwa ia pernah melihat Usman ibnu Affan melakukan wudu. Kemudian ia menyebut hadis yang semisal (dengan hadis di atas), tanpa menyebut berkumur dan istinsyaq. Hamran menyebutkan di dalamnya bahwa kemudian Usman mengusap kepalanya sebanyak tiga kali dan membasuh kedua kakinya sebanyak tiga kali pula. Setelah itu ia berkata, “Aku pernah melihat Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melakukan wudu seperti ini, lalu beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda: ‘Barang siapa yang berwudu seperti ini, sudah cukuplah baginya’.”
Hadis ini diriwayatkan secara munfarid oleh Imam Abu Daud. Kemudian Abu Daud mengatakan bahwa hadis-hadis Usman di dalam kitab-kitab sahih menunjukkan bahwa dia mengusap kepalanya hanya sekali.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
…dan (basuh) kaki kalian sampai kedua mata kaki.
Lafaz arjulakum dibaca nasab karena di-‘ataf-kan kepada firman-Nya:
…maka basuhlah muka kalian dan tangan kalian.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar’ah, telah menceritakan kepada kami Abu Salamah, telah menceritakan kepada kami Wuhaib, dari Khalid, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa Ibnu Abbas membaca firman-Nya:
…dan (basuh) kaki kalian.
Ia mengatakan bahwa makna ayat ini dikembalikan kepada membasuh.
Diriwayatkan dari Abdullah ibnu Mas’ud, Urwah, Ata, Ikrimah, Al-Hasan, Mujahid, Ibrahim, Ad-Dahhak, As-Saddi, Muqatil ibnu Hayyan, Az-Zuhri, dan Ibrahim At-Taiini hal yang semisal.
Qiraah ini jelas, maknanya menunjukkan wajib membasuh, seperti apa yang dikatakan oleh ulama Salaf. Berangkat dari pengertian ini ada sebagian orang yang berpendapat wajib tertib dalam wudu, seperti yang dikatakan oleh mazhab jumhur ulama. Lain halnya dengan Imam Abu Hanifah, ia berpendapat berbeda karena ia tidak mensyaratkan adanya tertib ini. Karena itu, seandainya seseorang membasuh kedua kakinya terlebih dahulu, lalu mengusap kepala, dan membasuh kedua tangan, kemudian membasuh wajah, menurutnya sudah cukup, karena ayat ini memerintahkan agar anggota-anggota tersebut dibasuh, dan huruf wawu bukan menunjukkan makna tertib.
Jumhur ulama dalam membantah pendapat ini mengemukakan suatu pembahasan menurut caranya masing-masing. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa ayat ini menunjukkan wajib memulai basuhan pada bagian wajah saat hendak mengerjakan salat, karena perintahnya memakai huruf fa yang menunjukkan makna ta’qib pengertiannya identik dengan tertib (yakni berurutan). Tidak ada seorang pun yang mengatakan wajib membasuh muka pada permulaannya, kemudian tidak wajib tertib pada basuhan berikutnya. Bahkan hanya ada dua pendapat, salah satunya mengatakan wajib tertib seperti yang disebutkan oleh ayat, dan pendapat lainnya mengatakan tidak wajib tertib secara mutlak. Padahal makna ayat menunjukkan wajib memulai basuhan pada bagian muka, diwajibkan tertib pada berikutnya menurut kesepakatan ulama, mengingat tidak ada bedanya.
Di antara mereka ada yang berpendapat, “Kami tidak menerima bahwa huruf wawu tidak menunjukkan kepada pengertian tertib, bahkan huruf wawu memang menunjukkan pengertian te
Tafsir Ayat:
Ini adalah ayat yang agung yang mengandung hukum-hukum yang banyak. Kami sebutkan apa yang dimudahkan oleh Allah.
Pertama: Apa-apa yang disebut ini, melaksanakannya dan menjalankannya termasuk konsekuensi dari iman di mana ia tidak sempurna kecuali dengannya, karena Allah membukanya dengan FirmanNya, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا “Wahai orang-orang yang beriman …” sampai akhir ayat. Maksudnya, ‘Wahai orang-orang yang beriman, lakukanlah apa yang telah Kami syariatkan kepadamu yang merupakan tuntutan imanmu.”
Kedua: Perintah menegakkan shalat berdasarkan Firman Allah, إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ “Apabila kamu hendak mengerjakan shalat.”
Ketiga: Perintah berniat untuk shalat berdasarkan Firman Allah, إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ “Apabila kamu hendak mengerjakan shalat,” artinya, bermaksud dan berniat shalat.
Keempat: Disyaratkan bersuci untuk sahnya shalat, karena Allah memerintahkannya saat hendak menunaikannya, dan pada dasarnya perintah itu menunjukkan wajib.
Kelima: Bersuci tidak wajib dengan masuknya waktu, akan tetapi wajib saat hendak shalat.
Keenam: Semua yang dinamakan shalat, baik fardhu, sunnah, fardhu kifayah dan shalat jenazah, disyaratkan bersuci untuknya, bahkan sekalipun hanya sekedar sujud menurut banyak ulama, seperti sujud tilawah dan sujud syukur.
Ketujuh: Perintah membasuh wajah. Ialah, apa yang digunakan untuk berhadapan; panjangnya dari tempat tumbuhnya rambut yang biasa sampai bawah jenggot dan janggut, dan lebarnya adalah antara kedua telinga. Termasuk di dalamnya berkumur dan memasukkan air ke dalam hidung berdasarkan as-Sunnah, termasuk di dalamnya rambut yang ada di wajah. Jika ia tipis, maka air harus sampai ke kulit yang ada di bawahnya. Jika ia tebal, maka cukup membasuh yang terlihat saja.
Kedelapan: Perintah membasuh kedua tangan dan bahwa batasannya adalah kedua siku. Dan إِلَى seperti yang dikatakan oleh mayoritas ahli tafsir adalah bermakna “مَعَ” (bersama), seperti Firman Allah جَلَّ جَلالُهُ,
وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَى أَمْوَالِكُمْ
“Dan janganlah kamu memakan harta mereka bersama hartamu.” (QS. An-Nisa`: 2).
Juga karena yang wajib tidak terlaksana secara sempurna kecuali dengan membasuh seluruh siku.
Kesembilan: Perintah mengusap kepala.
Kesepuluh: Bahwa mengusap seluruh kepala itu wajib karena ‘ba’ di sini tidak menunjukkan arti sebagian, akan tetapi ia berfungsi untuk menunjukkan arti menempel (kesatuan) dan bahwa meng-usap dilakukan secara menyeluruh.
Kesebelas: Dalam mengusap, cukup mengusap bagaimanapun caranya, dengan kedua tangannya atau satu tangan atau kain atau kayu dan sebagainya, karena Allah menyebutkan mengusap secara mutlak tanpa memberinya batasan dengan cara tertentu, maka hal itu menunjukkan kemutlakannya.
Kedua belas: Yang wajib adalah mengusap, seandainya dia membasuh kepala tanpa mengusapkan tangannya di atasnya, maka itu tidak cukup, karena dia belum melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Allah.
Ketiga belas: Perintah membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki. Penjelasannya sama dengan penjelasan pada kedua tangan.
Keempat belas: Ini adalah bantahan atas orang-orang Rafidhah (syi’ah) yang menyalahkan bacaan jumhur ulama yang membaca, (أَرْجُلَكُمْ) dengan lam yang dinashab dengan fathah. Dan bahwa tidak boleh mengusap kedua kaki jika keduanya telanjang.
Kelima belas: Di dalamnya terdapat isyarat adanya syariat mengusap khuffain berdasarkan kepada bacaan, (أَرْجُلِكُمْ) dengan lam yang dibaca jar (dengan kasrah). Masing-masing bacaan menunjukkan makna tersendiri. Menurut bacaan nashab maka kedua kaki diba-suh, jika keduanya telanjang, dan menurut bacaan jar maka kedua kaki diusap jika keduanya tertutup oleh khuffain.
Keenam belas: Perintah berwudhu dengan urut (tartib) karena Allah menyebutkannya secara urut, di mana Allah menyisipkan anggota yang diusap -yaitu kepala- di antara dua anggota yang dibasuh, dan tidak ada faidah lain dari itu, selain berurutan.
Ketujuh belas: Berwudhu dengan urut khusus untuk empat anggota yang disebutkan dalam ayat ini. Adapun urutan berkumur, memasukkan air ke hidung dan wajah, atau antara tangan dan kaki kanan atau kiri, maka hal itu tidak wajib. Akan tetapi disunnahkah mendahulukan berkumur dan memasukkan air ke dalam hidung sebelum membasuh wajah dan mendahulukan yang kanan di atas yang kiri untuk tangan dan kaki, dan mendahulukan mengusap kepala sebelum mengusap telinga.
Kedelapan belas: Perintah memperbarui wudhu setiap shalat agar gambaran pengulangan apa yang diperintahkan menjadi terwujud.
Kesembilan belas: Perintah mandi karena junub.
Kedua puluh: Kewajiban memandikan seluruh badan, karena Allah menyandarkan mandi kepada badan, tanpa mengkhususkan sebagian dari yang lain.
Kedua puluh satu: Perintah membasuh rambut luar dan dalam ketika mandi junub.
Kedua puluh dua: Bahwa hadats kecil masuk ke dalam hadats besar. Barangsiapa dalam keadaan hadats besar dan kecil sekaligus, maka cukup baginya untuk berniat dan meratakan air ke seluruh tubuh (mandi junub tanpa wudhu) karena Allah tidak menyinggung selain mandi tanpa menyinggung bahwa dia wajib mengulang wudhu.
Kedua puluh tiga: Junub digunakan untuk orang yang keluar maninya, baik dalam keadaan terjaga atau bermimpi atau dia melakukan persetubuhan walaupun tidak mengeluarkan mani.
Kedua puluh empat: Barangsiapa yang ingat bahwa dirinya bermimpi tetapi tidak melihat adanya bekas cairan (mani) maka dia tidak wajib mandi karena junubnya tidak terbukti.
Kedua puluh lima: Mengingat nikmat Allah kepada hamba-hambaNya dengan disyariatkannya tayamum.
Kedua puluh enam: Di antara sebab dibolehkannya tayamum adalah adanya penyakit yang menghalangi penggunaan air, maka dia boleh bertayamum.
Kedua puluh tujuh: Di antara sebab dibolehkannya tayamum adalah musafir (sedang dalam perjalanan jauh), dan selesai dari buang air kecil dan besar, pada saat tidak ada air. Sakit membolehkan tayamum walaupun air ada karena adanya mudarat dalam penggunaannya. Dan yang lain membolehkan tayamum pada waktu air tidak ada walaupun dalam keadaan mukim.
Kedua puluh delapan: Apa yang keluar dari dua lubang (kemaluan); depan dan belakang, membatalkan wudhu.
Kedua puluh sembilan: Ayat ini dipakai sebagai dalil oleh pendapat yang menyatakan bahwa yang membatalkan wudhu hanya dua perkara ini, maka wudhu tidak batal dengan menyentuh kemaluan dan tidak pula dengan yang lain.
Ketiga puluh: Disunnahkannya memakai bahasa kinayah (kiasan) dalam hal di mana pengungkapannya secara apa adanya menimbulkan perasaan jijik (vulgar) berdasarkan Firman Allah أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ “Atau kembali dari tempat buang hajat.”
Ketiga puluh satu: Menyentuh wanita dengan syahwat dan kenikmatan, membatalkan wudhu.
Ketiga puluh dua: Disyaratkannya tidak adanya air untuk keabsahan tayamum.
Ketiga puluh tiga: Tayamum batal dengan adanya air walaupun dalam keadaan shalat, karena Allah membolehkannya dengan syarat tidak ada air.
Ketiga puluh empat: Jika waktu shalat telah tiba, sementara dia tidak mempunyai air, maka dia wajib mencari di tempat tinggalnya dan di sekitarnya, karena tidak dikatakan tidak ada air bagi yang tidak mencari.
Ketiga puluh lima: Barangsiapa mendapatkan air yang hanya cukup untuk bersuci pada sebagian anggotanya, maka dia wajib memakainya dan bertayamum untuk sisanya.
Ketiga puluh enam: Air yang berubah dengan sesuatu yang suci didahulukan daripada tayamum. Artinya air itu menjadi suci dan menyucikan karena air yang berubah dengan sesuatu yang suci adalah tetap air, maka ia termasuk ke dalam Firman Allah, فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً “Lalu kamu tidak memperoleh air.”
Ketiga puluh tujuh: Harus ada niat dalam tayamum berdasar-kan FirmanNya, فَتَيَمَّمُوا “Maka bertayamumlah,” artinya, sengajalah (niatkanlah).
Ketiga puluh delapan: Tayamum cukup dengan semua yang ada di permukaan bumi, baik itu debu atau lainnya. Berdasarkan hal ini maka FirmanNya, فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ “Maka usaplah wajahmu dan tanganmu dengan tanah itu,” bisa jadi menunjukkan kebiasaan, yakni biasanya apa yang ada di muka bumi itu memiliki debu yang bisa diusapkan dan menempel pada wajah dan kedua tangan, dan bisa pula hal itu sebagai bimbingan kepada yang lebih utama yakni jika memungkinkan memakai tanah yang ada debunya, maka itu lebih baik.
Ketiga puluh sembilan: Tidak sah tayamum dengan debu yang najis, karena ia bukan sesuatu yang baik, akan tetapi buruk.
Keempat puluh: Yang diusap dalam tayamum hanyalah wajah dan kedua tangan saja, bukan yang lainnya.
Keempat puluh satu: FirmanNya, فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ “Maka usaplah wajahmu,” menunjukkan, bahwa ia mencakup seluruh wajah, ia harus diusap semuanya. Hanya saja tidak perlu memasukkan debu ke mulut dan hidung serta kulit di bawah bulu-bulu walaupun bulu-bulu itu tipis.
Keempat puluh dua: Kedua tangan hanya diusap sampai pergelangan saja karena kata tangan secara mutlak itu hanya untuk sampai pergelangan. Seandainya mengusap kedua tangan harus sampai ke siku, maka Allah akan menetapkan batasannya seperti dalam wudhu.
Keempat puluh tiga: Ayat ini berlaku umum, tayamum diperbolehkan untuk semua hadats, hadats besar dan hadats kecil bahkan najis yang ada di badan, karena Allah menjadikannya sebagai ganti bagi bersuci dengan air dan menyebutkan ayat secara mutlak tanpa menetapkan batasan. Dan mungkin saja dikatakan bahwa najisnya badan tidak termasuk ke dalam hukum tayamum, karena konteks ayat berlaku pada hadats. Dan ini adalah pendapat jumhur.
Keempat puluh empat: Anggota tayamum dari hadats besar dan kecil adalah sama, yaitu, wajah dan kedua tangan saja.
Keempat puluh lima: Seandainya ada orang yang dalam kondisi hadats besar dan kecil lalu dia berniat dengan tayamumnya meng-angkat keduanya, maka hal itu dibolehkan (dan cukup) berdasarkan kepada ayat yang bersifat umum dan mutlak.
Keempat puluh enam: Bahwa mengusap boleh dengan apa saja; dengan tangannya atau lainnya, karena Allah berfirman, فَامْسَحُوا “Maka usaplah,” tanpa menyebutkan dengan apa mengusapnya, maka hal itu menunjukkan dibolehkannya mengusap dengan apa pun.
Keempat puluh tujuh: Dalam bertayamum disyaratkan berurutan (tertib) sebagaimana hal itu juga disyaratkan dalam wudhu, karena Allah memulai dengan mengusap wajah sebelum mengusap kedua tangan.
Keempat puluh delapan: Allah meletakkan hukum-hukum bagi kita dan dalam hal itu Dia tidak menjadikannya sulit, susah dan sempit, akan tetapi ia adalah rahmat dariNya untuk hamba-hambaNya untuk menyucikan mereka dan menyempurnakan nikmatNya kepada mereka.
Keempat puluh sembilan: Menyucikan lahir dengan air dan debu adalah penyempurna bagi kesucian batin dengan tauhid dan taubat yang benar.
Kelima puluh: Walaupun bersuci dengan tayamum secara lahir dan dari yang nampak tidak mengandung kebersihan dan kesuci-an, akan tetapi ia merupakan bersuci secara maknawi yang tumbuh dari menjalankan perintah Allah.
Kelima puluh satu: Hendaknya seorang hamba merenungkan hikmah dan rahasia yang dikandung oleh syariat Allah dalam thaharah dan yang lain, demi menambah ilmu dan pengetahuannya, demi menambah syukur dan cintanya kepada Allah, yang telah meletakkan syariat baginya, yang mengantarkannya ke derajat yang tinggi.
Setelah Allah menjelaskan hukum tentang makanan dan hewanhewan sembelihan yang dihalalkan dan menjelaskan ketentuan menyangkut wanita-wanita yang boleh dinikahi, pada ayat ini Allah menjelaskan hukum-hukum yang berkaitan dengan tata cara beribadah kepada Allah dimulai dengan salat sebagai ibadah yang paling mulia. Ayat ini memberikan petunjuk tentang persiapan yang harus dilakukan ketika hendak melakukan salat, yaitu cara menyucikan diri dengan berwudu, tayamum, dan mandi. Wahai orang-orang yang beriman! apabila kamu telah membulatkan hati hendak melaksanakan salat, sedangkan kamu saat itu dalam keadaan tidak suci atau berhadas kecil, maka berwudulah, yaitu dengan cara basuhlah wajahmu dengan air dari ujung tempat tumbuhnya rambut kepala sampai ke ujung dagu dan bagian antara kedua telinga, dan basuhlah tanganmu sampai ke siku, dan sapulah sedikit atau sebagian atau seluruh kepalamu dan basuhlah kedua kakimu sampai kedua mata kaki. Dan jika kamu dalam keadaan junub, yakni keluar mani karena bersetubuh atau karena sebab lain, maka mandilah, yakni basuhlah dengan air seluruh badanmu. Dan jika kamu sakit yang menghalangi kamu menggunakan air karena khawatir penyakitmu bertambah parah atau memperlambat kesembuhan kamu, atau kamu berada dalam perjalanan yang dibenarkan agama dan dalam jarak tertentu, atau kembali dari tempat buang air, yakni kakus, setelah selesai membuang hajat, atau menyentuh perempuan, yakni persentuhan dalam arti pertemuan dua alat kelamin yang berbeda atau dalam arti persentuhan kulit seorang laki-laki dan perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, tidak dapat menggunakannya, baik karena tidak ada, tidak cukup, atau karena sakit, maka bertayamumlah dengan debu yang baik, yakni debu yang bersih dan suci; yaitu dengan cara sapulah wajahmu dan tanganmu dengan debu itu. Allah yang mahakuasa tidak ingin menyulitkan kamu dan tidak menghendaki sedikit pun kesulitan bagimu dengan mengharuskan kamu berwudu ketika tidak ada air atau ketika dalam keadaan sakit yang dikhawatirkan kamu bertambah sakit apabila anggota badanmu terkena air, tetapi dia hendak membersihkan kamu, menyucikan kamu dari dosa maupun dari hadas, dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, dengan meringankan apa yang menyulitkan kamu agar kamu bersyukur atas nikmat yang dianugerahkan-Nya kepadamutuntunan tersebut di atas merupakan bagian dari nikmat Allah yang harus disyukuri sekaligus merupakan perjanjian yang harus ditaati sebagaimana tersebut pada permulaan surat ini. Dan ingatlah akan karunia Allah kepadamu, berupa tuntunan agama dan nikmat-Nya yang bermacam-macam yang dianugerahkan kepadamu dan perjanjiannya yang telah diikatkan dengan kamu, yakni perjanjian yang diambil melalui rasulullah berupa ketaatan kepada Allah, baik dalam hal yang mudah maupun yang sulit, dan perjanjian-perjanjian lain yang diikatkan dengan kamu ketika kamu mengatakan, kami dengar, yakni kami mengetahui dan memahami perjanjian itu, dan kami taati semua yang dinyatakan dalam perjanjian itu, baik berupa perintah maupun larangan. Dan bertakwalah kepada Allah, janganlah kamu melanggar perjanjian itu, sungguh, Allah maha mengetahui segala isi hati setiap makhluk-Nya.
Al-Maidah Ayat 6 Arab-Latin, Terjemah Arti Al-Maidah Ayat 6, Makna Al-Maidah Ayat 6, Terjemahan Tafsir Al-Maidah Ayat 6, Al-Maidah Ayat 6 Bahasa Indonesia, Isi Kandungan Al-Maidah Ayat 6
Tafsir Surat Al-Maidah Ayat: 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | 21 | 22 | 23 | 24 | 25 | 26 | 27 | 28 | 29 | 30 | 31 | 32 | 33 | 34 | 35 | 36 | 37 | 38 | 39 | 40 | 41 | 42 | 43 | 44 | 45 | 46 | 47 | 48 | 49 | 50 | 51 | 52 | 53 | 54 | 55 | 56 | 57 | 58 | 59 | 60 | 61 | 62 | 63 | 64 | 65 | 66 | 67 | 68 | 69 | 70 | 71 | 72 | 73 | 74 | 75 | 76 | 77 | 78 | 79 | 80 | 81 | 82 | 83 | 84 | 85 | 86 | 87 | 88 | 89 | 90 | 91 | 92 | 93 | 94 | 95 | 96 | 97 | 98 | 99 | 100 | 101 | 102 | 103 | 104 | 105 | 106 | 107 | 108 | 109 | 110 | 111 | 112 | 113 | 114 | 115 | 116 | 117 | 118 | 119 | 120
Raih pahala amal jariyah dengan cara membagikan (share) konten ini kepada yang lainnya. Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه
"Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)