{4} An-Nisa / النساء | الْقُرْآنُ الْكَرِيْمُ | الأنعام / Al-An’am {6} |
Tafsir Al-Qur’an Surat Al-Maidah المائدة (Jamuan (Hidangan Makanan)) lengkap dengan tulisan arab latin, arti dan terjemah Bahasa Indonesia. Surah ke 5 Tafsir ayat Ke 33.
إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلَافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ۚ ذَٰلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا ۖ وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ ﴿٣٣﴾
innamā jazā`ullażīna yuḥāribụnallāha wa rasụlahụ wa yas’auna fil-arḍi fasādan ay yuqattalū au yuṣallabū au tuqaṭṭa’a aidīhim wa arjuluhum min khilāfin au yunfau minal-arḍ, żālika lahum khizyun fid-dun-yā wa lahum fil-ākhirati ‘ażābun ‘aẓīm
QS. Al-Maidah [5] : 33
Hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di bumi hanyalah dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau diasingkan dari tempat kediamannya. Yang demikian itu kehinaan bagi mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat azab yang besar.
Sesungguhnya balasan orang-orang yang memerangi Allah, memproklamirkan permusuhan kepada-Nya, melanggar hukum-hukum agama-Nya dan hukum-hukum Rasul-Nya, membuat kerusakan di muka bumi dengan membunuh manusia dan merampas harta adalah hendaknya mereka dibunuh, atau disalib dengan dibunuh (yaitu diikat diatas kayu) atau tangan kanannya dipotong dengan tangan kirinya, atau diasingkan dari negerinya dan dipenjara di pengasingan sampai terlihat taubatnya. Balasan yang Allah siapkan untuk orang-orang yang memerangi ini merupakan kehinaan bagi mereka di dunia, dan dikahirat mereka mendapatkan siksa yang keras bila mereka tidak bertaubat.
Al-muharabah artinya “berlawanan dan bertentangan”. Makna kalimat ini dapat ditunjukkan kepada pengertian “kafir, membegal jalan, dan meneror keamanan di jalan”. Demikian pula membuat kerusakan di muka bumi mempunyai pengertian yang banyak mencakup berbagai aneka kejahatan. Sehingga banyak dari kalangan ulama Salaf —yang antara lain ialah Sa’id ibnul Musayyab— mengatakan bahwa sesungguhnya menggenggam (menguasai) dirham dan dinar termasuk perbuatan menimbulkan kerusakan di muka bumi. Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى telah berfirman:
Dan apabila ia berpaling (dari mukamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang-binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan. (Al Baqarah:205)
Kemudian sebagian dari mereka (ulama Salaf) ada yang mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang musyrik.
Sama halnya dengan apa yang telah dikatakan oleh Ibnu Jarir, bahwa telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Wadih, telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Waqid, dari Yazid, dari Ikrimah dan Al-Hasan Al-Basri, keduanya telah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya. (Al Maidah:33) sampai dengan firman-Nya: bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al Maidah:34), diturunkan berkenaan dengan orang-orang musyrik. Barang siapa dari mereka yang bertobat sebelum kalian sempat menangkapnya, maka tiada jalan bagi kalian untuk menghukumnya. Tetapi ayat ini sama sekali tidak mengecualikan seorang muslim pun dari hukuman had jika ia melakukan pembunuhan atau mengadakan kerusakan di muka bumi, atau memerangi Allah dan Rasul-Nya, kemudian bergabung dengan orang-orang kafir sebelum kalian sempat menangkapnya. Hal tersebut tidak melindunginya dari hukuman had apabila dia memang melakukannya.
Imam Abu Daud dan Imam Nasai meriwayatkan melalui jalur Ikrimah, dari Ibnu Abbas, yaitu mengenai firman-Nya:
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi.
Ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang musyrik. Dan siapa pun dari mereka yang telah bertobat sebelum kalian sempat menangkapnya, hal tersebut tidak dapat melindunginya dari hukuman had atas perbuatan yang telah dilakukannya.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi. (Al Maidah:33), hingga akhir ayat, Dikatakan bahwa ada segolongan kaum dari kalangan Ahli Kitab yang antara mereka dan Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ terdapat perjanjian perdamaian, lalu mereka melanggar perjanjian itu dan membuat kerusakan di muka bumi. Maka Allah menyuruh Rasul-Nya memilih antara membunuh mereka atau memotong tangan dan kaki mereka secara bersilang jika suka. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
Syu’bah telah meriwayatkan dari Mansur. dari Hilal ibnu Yusaf. dari Mus’ab ibnu Sa’d, dari ayahnya yang telah mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan golongan Haruriyah, yaitu firman-Nya:
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi.
Demikianlah Riwayat menurut Ibnu Ibnu Mardawaih
Tetapi pendapat yang benar ialah yang mengatakan bahwa ayat ini mengandung makna umum mencakup orang-orang musyrik dan lain-lainnya yang melakukan perbuatan-perbuatan tersebut. Seperti yang telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim:
melalui hadis Abu Qilabah yang bernama asli Abdullah ibnu Zaid Al-Jurmi Al-Basri, dari Anas ibnu Malik, bahwa ada segolongan kaum dari Bani Ukal yang jumlahnya delapan orang, mereka datang kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, lalu berbaiat (berjanji setia) kepadanya untuk membela Islam, lalu mereka membuat kemah di Madinah. Setelah itu mereka terkena suatu penyakit, lalu mengadu kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sakit yang mereka alami itu. Kemudian Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda: Maukah kalian keluar bersama penggembala kami berikut unta ternaknya. lalu kalian berobat dengan meminum air seni dan air susu ternak itu. Mereka menjawab, “Tentu saja kami mau.” Lalu mereka keluar (berangkat menuju tempat penggembalaan ternak), kemudian meminum air seni serta air susu ternak itu. Tetapi setelah mereka sehat, penggembala itu mereka bunuh, sedangkan ternak untanya dilepasbebaskan. Ketika berita itu sampai kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, beliau mengirimkan sejumlah orang untuk mengejar mereka. Akhirnya mereka tertangkap, lalu dihadapkan kepada Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memerintahkan agar tangan dan kaki mereka dipotong, matanya ditusuk, kemudian dijemur di panas matahari hingga mati. Demikianlah menurut lafaz Imam Muslim.
Menurut suatu lafaz oleh keduanya (Bukhari dan Muslim) disebutkan dari Ukal atau Arinah, dan menurut lafaz yang lain disebutkan bahwa mereka dilemparkan di padang pasir, lalu mereka meminta minum, tetapi tidak diberi minum (hingga mati). Menurut suatu lafaz oleh Imam Muslim, Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak mengobati mereka lagi (melainkan pendarahannya dibiarkan hingga mati).
Sedangkan menurut apa yang ada pada Imam Bukhari disebutkan bahwa Abu Qilabah mengatakan, “Mereka adalah orang-orang yang telah mencuri, membunuh, dan kafir sesudah imannya serta memerangi Allah dan Rasul-Nya.”
Imam Muslim meriwayatkannya pula melalui jalur Hasyim, dari Abdul Aziz ibnu Suhaib dan Humaid, dari Anas, lalu ia mengetengahkan hadis yang semisal. Dalam lafaz riwayat ini disebutkan bahwa mereka terlebih dahulu murtad.
Keduanya (Bukhari dan Muslim) telah mengetengahkannya melalui riwayat Qatadah, dari Anas dengan lafaz yang semisal.
Sa’id telah meriwayatkan dari Qatadah, bahwa mereka dari Ukal dan Arinah.
Imam Muslim telah meriwayatkan melalui jalur Sulaiman At-Taimi, dari Anas yang telah menceritakan bahwa sesungguhnya Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mencongkel mata mereka, karena mereka telah mencongkel mata si penggembala itu.
Imam Muslim telah meriwayatkan pula melalui hadis Mu’awiyah ibnu Qurrah, dari Anas yang telah menceritakan bahwa datang kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ segolongan orang dari Bani Arinah, lalu mereka masuk Islam dan menyatakan baiatnya kepada Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, sedangkan saat itu di Madinah sedang mewabah sejenis penyakit yang dinamai Al-Mum, yaitu sama dengan penyakit Birsam. Kemudian Imam Muslim mengetengahkan kisah mereka dan di dalamnya ditambahkan bahwa ternak unta itu digembalakan oleh seorang pemuda dari kalangan Ansar yang berusia hampir dua puluh tahun, lalu Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melepaskan mereka, kemudian Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengirimkan pula seorang mata-mata untuk mengawasi gerak-gerik mereka. Semua yang telah disebutkan di atas menurut lafaz Imam Muslim.
Hammad ibnu Salamah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Qatadah dan Sabit Al-Bannani serta Humaid At-Tawil, dari Anas ibnu Malik, bahwa sejumlah orang dari kabilah Arinah datang ke Madinah, lalu mereka terserang penyakit yang sedang melanda Madinah. Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengirimkan mereka ke tempat penggembalaan ternak unta hasil zakat, dan beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memerintahkan kepada mereka untuk meminum air seni dan air susu ternak unta itu (sebagai obatnya).
Lalu mereka melakukannya dan ternyata mereka sehat kembali, tetapi sesudah itu mereka murtad dari Islam dan membunuh si penggembala itu, lalu menggiring ternak untanya. Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengirimkan suatu pasukan untuk mengejar mereka. Akhirnya mereka tertangkap dan dihadapkan kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ,lalu tangan dan kaki mereka dipotong secara bersilang dan mata mereka dicongkel (dibutakan), setelah itu tubuh mereka dijemur di padang pasir.
Anas r.a. mengatakan, “Sesungguhnya aku melihat seseorang dari mereka menjilat-jilat tanah dengan mulutnya karena kehausan, hingga akhirnya mereka semua mati. Dan turunlah firman-Nya:
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya, hingga akhir ayat”
Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Imam Nasai serta Ibnu Murdawaih telah meriwayatkannya pula, dan inilah lafaznya. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih.
Ibnu Murdawaih telah meriwayatkannya melalui berbagai jalur yang cukup banyak dari Anas Ibnu Malik, antara lain melalui dua jalur dari Salam ibnus Sahba, dari Sabit, dari Anas ibnu Malik. Salam mengatakan bahwa ia tidak pernah menyesal karena hadis yang pernah ditanyakan oleh Al-Hajjaj. Al-Hajjaj berkata kepadanya.”Ceritakanlah kepadaku tentang hukuman yang paling keras yang pernah dilakukan oleh Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ”Lalu ia menjawab,”Pernah datang kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ suatu kaum dari kabilah Arinah yang tinggal di Bahrain. Lalu mereka mengadu kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tentang penyakit yang dirasakan oleh perut mereka. Saat itu warna tubuh mereka telah menguning dan perut mereka kembung. Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memerintahkan mereka agar datang ke tempat penggembalaan ternak unta sedekah (zakat) untuk meminum air seni dan air susunya. Setelah kesehatan mereka telah pulih dan perut mereka telah kempes seperti sediakala, tiba-tiba mereka menyerang si penggembala dan membunuhnya serta membawa lari ternak untanya. Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengirimkan sejumlah pasukan untuk mengejar mereka, lalu tangan dan kaki mereka dipotong serta mata mereka dibutakan, kemudian dilemparkan di tengah padang pasir hingga mati.”
Dinyatakan bahwa Al-Hajjaj, apabila naik ke atas mimbarnya acapkali mengatakan, “Sesungguhnya Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah memotong tangan dan kaki suatu kaum, kemudian melemparkan tubuh mereka ke padang pasir hingga mati, karena mereka merampok sejumlah ternak unta.” Dan tersebutlah bahwa Al-Hajjaj sering berdalilkan hadis ini terhadap orang-orang.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Sahl, telah menceritakan kepada kami Al-Walid —yakni Ibnu Muslim—, telah menceritakan kepadaku Sa’id, dari Qatadah, dari Anas yang telah menceritakan bahwa mereka berjumlah empat orang dari kabilah Arinah dan tiga orang dari kabilah Ukal. Ketika mereka telah ditangkap dan dihadapkan ke pengadilan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, maka tangan dan kaki mereka dipotong serta mata mereka dibutakan (dicongkel) tanpa diobati lagi. lalu mereka dibiarkan memakan batu-batu kerikil di padang pasir. Sehubungan dengan peristiwa ini turunlah firman-Nya: Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya. (Al Maidah:33), hingga akhir ayat
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Harb Al-Mausuli, telah menceritakan kepada kami Abu Mas’ud —yakni Abdur Rahman ibnul Hasan Az-Zujaj—, telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id —yakni Al-Baqqal— dari Anas ibnu Malik yang telah mengatakan bahwa ada segolongan orang dari kabilah Arinah datang kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dalam keadaan kepayahan, warna tubuh mereka telah menguning, dan perut mereka kembung. Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memerintahkan kepada mereka agar tinggal di tempat ternak unta digembalakan untuk meminum air seni dan air susunya.
Lalu mereka melakukannya hingga warna tubuh mereka kembali seperti sediakala, perut mereka kempes, dan tubuh mereka segar dan gemuk kembali. Tetapi mereka membunuh penggembala ternak unta itu dan menggiring ternak untanya. Maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengirimkan sejumlah pasukan untuk mengejar mereka. Akhirnya mereka tertangkap, lalu dihadapkan kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, sebagian dari mereka dihukum mati, sebagian dicongkel matanya, sedangkan sebagian yang lain dipotong tangan dan kakinya. Kemudian turunlah ayat berikut:
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya., hingga akhir ayat.
Abu Ja’far ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Ali ibnu Sahl, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai’ah, dari Yazid ibnu Abu Habib, bahwa Abdul Malik ibnu Marwan pernah berkirim surat kepada Anas untuk menanyakan tentang makna ayat ini. Maka Anas membalas suratnya yang isinya memberitakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan segolongan orang dari kabilah Arinah dan dari Bajilah. Anas mengatakan bahwa mereka murtad dari Islam dan membunuh si penggembala serta menggiring untanya, membegal di jalanan, dan memperkosa wanita.
Abu Ja’far mengatakan bahwa telah menceritakan kepadaku Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb. telah menceritakan kepadaku Amr ibnul Haris. dari Sa’id ibnu Abu Hilal, dari Abuz Zanad, dari Abdullah ibnu Ubaidillah. dari Abdullah ibnu Umar atau Amr — ragu dari pihak Yunus — .dari Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengenai kisah orang-orang Arinah ini dan diturunkan berkenaan dengan mereka ayat muharabah.
Abu Daud dan Imam Nasai meriwayatkannya melalui jalur Abuz Zanad yang di dalam sanadnya disebutkan dari Ibnu Umar tanpa ragu.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Khalaf, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Hammad, dari Amr ibnu Hasyim, dari Musa ibnu Ubaidah, dari Muhammad ibnu Ibrahim, dari Jarir. Disebutkan bahwa telah datang kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ suatu kaum dari kabilah Arinah tanpa memakai alas kaki lagi dalam keadaan sakit. Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memerintahkan mereka agar berobat. Setelah mereka sehat kembali dan kuat seperti semula, mereka membunuh penggembala unta, lalu kabur dengan membawa ternak untanya dengan tujuan tempat tinggal kaumnya. Jarir melanjutkan kisahnya.”Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengutusku bersama sejumlah orang dari kaum muslim, hingga kami dapat mengejar mereka, sesudah mereka hampir tiba di tempat tinggal kaumnya. Kemudian kami hadapkan mereka kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, lalu tangan dan kaki mereka dipotong secara bersilang, serta mata mereka dicongkel. Mereka minta air karena kehausan, tetapi Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjawabnya dengan kalimat, ‘Api, hingga mereka mati.” Jarir melanjutkan kisahnya, “Setelah itu Allah tidak senang akan hukuman mencongkel mata, lalu Dia menurunkan firman-Nya:
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya, hingga akhir ayat.”
Hadis ini garib, di dalam sanadnya terdapat Ar-Rabzi yang daif. Tetapi di dalam matan hadisnya terkandung keterangan yang lebih, yaitu disebutkannya nama pemimpin dari sariyyah (pasukan) kaum muslim yang mengejar para pemberontak itu, yaitu Jarir ibnu Abdullah Al-Bajali.
Dalam hadis yang lalu dari kitab Sahih Muslim telah disebutkan bahwa sariyyah ini berjumlah dua puluh orang pasukan berkuda, semuanya dari kalangan Ansar.
Adapun mengenai kalimat yang mengatakan bahwa Allah tidak menyukai hukuman mencongkel mata, lalu Allah menurunkan ayat ini, sesungguhnya predikat kalimat ini munkar (tidak dapat diterima), karena dalam hadis yang lalu dari Sahih Muslim telah disebutkan bahwa orang-orang Arinah itu telah mencongkel mata si penggembala, maka apa yang diberlakukan terhadap mereka merupakan hukum qisas.
Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari Ibrahim ibnu Muhammad Al-Aslami, dari Saleh maula At-Tauamah, dari Abu Hurairah yang telah menceritakan bahwa pernah datang sejumlah lelaki dari Bani Fazzarah yang kelihatan kurus sekali, maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memerintahkan mereka untuk tinggal di tempat penggembalaan ternak untanya. Lalu mereka meminum air susu dan air seninya hingga sehat, kemudian mereka pun pergi ke tempat penggembalaannya, setelah itu mereka mencuri ternak unta tersebut. Lalu mereka dikejar dan dihadapkan kepada Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memotong tangan dan kaki mereka, sedangkan mata mereka dicongkel.
Abu Hurairah melanjutkan kisahnya, bahwa berkenaan dengan merekalah ayat ini diturunkan, yakni firman-Nya: Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya. (Al Maidah:33) Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ membiarkan hukuman mencongkel mata sesudah itu.
Kisah mengenai orang-orang Arinah ini telah diriwayatkan melalui hadis sahabat Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, antara lain Jabir, Aisyah, dan lain-lainnya. Al-Hafiz Al-Jalil Abu Bakar ibnu Murdawaih telah menyusun jalur-jalur hadis ini melalui berbagai periwayatan yang cukup banyak.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ali ibnul Hasan ibnu Syaqiq yang mengatakan bahwa ayahnya pernah berkata, “Aku pernah mendengar Abu Hamzah bercerita, dari Abdul Karim yang ditanya mengenai masalah air seni unta. Maka Abdul Karim menjawab, ‘Telah menceritakan kepadaku Sa’id ibnu Jubair mengenai kisah muharibin (para pemberontak).’ Sa’id ibnu Jubair mengatakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ kedatangan sejumlah orang, lalu mereka berkata, ‘Kami berbaiat kepadamu untuk masuk Islam.’ Maka mereka menyatakan baiatnya kepada Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, padahal mereka dusta, dan bukan Islam yang mereka kehendaki. Kemudian mereka berkata, ‘Sesungguhnya kami terserang penyakit di Madinah ini.’ Maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda: Ternak unta ini datang dan pergi kepada kalian, maka minumlah dari air seni dan air susunya. Ketika mereka dalam keadaan demikian, tiba-tiba datanglah seseorang meminta tolong kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. lalu berkata, ‘Mereka telah membunuh penggembala ternak unta dan membawa kabur ternak untanya.’ Lalu Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengeluarkan perintahnya dan menyerukan kepada para sahabatnya: Hai pasukan berkuda Allah, berangkatlah! Maka mereka menaiki kudanya masing-masing tanpa menunggu-nunggu yang lainnya, sedangkan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sendiri mengendarai kudanya di belakang mereka. Pasukan kaum muslim terus mencari dan mengejar mereka hingga mereka memasuki daerah yang aman bagi mereka. Lalu para sahabat Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ kembali (ke Madinah) dengan membawa tawanan sebagian dari mereka. Mereka menghadapkan para tawanan itu kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, lalu turunlah firman-Nya:
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya. hingga akhir ayat
Dan tersebutlah bahwa hukuman pembuangan yang dialami oleh mereka ialah di tempat yang aman bagi mereka, tetapi jauh dari negeri tempat tinggalnya dan jauh dari negeri tempat tinggal kaum muslim. Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menghukum mati sebagian dari mereka, lalu disalib, dipotong (tangan dan kakinya), dan ditusuk matanya.”
Sa’id ibnu Jubair mengatakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak pernah melakukan hukuman cincang, baik sebelum ataupun sesudahnya, melainkan hanya kali itu saja. Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melarang muslah melalui sabdanya, “Janganlah kalian melakukan hukuman cincang.” Sa’id ibnu Jubair mengatakan bahwa Anas mengucapkan kalimat tersebut, hanya saja dia mengatakan bahwa Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ membakar mereka sesudah mereka mati.
Ibnu Jarir mengatakan, sebagian di antara mereka ada yang mengatakan bahwa para pemberontak itu dari Bani Salim, dan sebagiannya dari Arinah serta sejumlah orang dari Bajilah.
Para imam berselisih pendapat mengenai hukum orang-orang Arinah itu, apakah mansukh atau muhkam. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa hukum itu telah di-mansukh oleh ayat ini, dan mereka menduga bahwa di dalam ayat ini terkandung teguran terhadap Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, sama halnya dengan teguran yang terkandung di dalam firman-Nya:
Semoga Allah memaafkanmu. Mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang)? (At Taubah:43)
Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa hukum ini di-mansukh oleh larangan Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang menyatakan tidak boleh me-muslah (menghukum cincang), tetapi pendapat ini masih perlu dipertimbangkan, kemudian orang yang mengatakannya dituntut untuk menjelaskan keterbelakangan nasikh yang didakwakannya itu dari mansukh-nya.
Sebagian dari mereka ada yang mengatakan bahwa hukum ini terjadi sebelum diturunkan hukum-hukum mengenai had. Muhammad Ibnu Sirin mengatakan bahwa pendapat ini perlu dipertimbangkan, mengingat kisah kejadiannya terbelakang. Di dalam riwayat Jarir ibnu Abdullah mengenai kisah mereka disebutkan hal yang menunjukkan keterbelakangannya, karena Jarir ibnu Abdullah masuk Islam sesudah surat Al-Maidah diturunkan.
Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak membutakan mata mereka, melainkan hanya berniat akan melakukan hal tersebut, tetapi keburu diturunkan ayat Al-Qur’an yang menjelaskan hukum para pemberontak. Pendapat ini pun masih perlu dipertimbangkan, karena dalam hadis yang telah muttafaq di atas disebutkan bahwa Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ membutakan mata mereka.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Sahl, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim yang telah menceritakan bahwa ia pernah membicarakan dengan Al-Lais ibnu Sa’d mengenai hukuman membutakan mata yang dilakukan oleh Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ terhadap mereka dan membiarkan mereka tanpa mengobatinya hingga mati semua. Maka Al-Lais ibnu Sa’d mengatakan, “Aku pernah mendengar Muhammad ibnu Ajlan mengatakan bahwa ayat ini diturunkan kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sebagai teguran terhadapnya dalam peristiwa itu, dan mengajarkan kepadanya cara menjatuhkan hukum terhadap orang-orang yang semisal dengan mereka, yaitu dihukum mati, dipotong anggota tubuhnya, dan diasingkan. Setelah peristiwa itu Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak melakukan hukuman membutakan mata lagi terhadap yang lainnya.”
Al-Walid ibnu Muslim mengatakan, “Lalu pendapat ini dikemukakan kepada Abu Amr, yakni Al-Auza’i. Maka Al-Auza’i menyanggah pendapat yang mengatakan bahwa ayat ini diturunkan sebagai teguran kepada Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan ia mengatakan bahwa bahkan sanksi itu ditetapkan sebagai hukuman terhadap orang-orang tersebut secara khusus, kemudian diturunkan ayat ini yang menjelaskan hukuman terhadap orang-orang selain mereka yang melakukan pemberontakan sesudahnya, dan hukuman membutakan mata dihapuskan.”
Jumhur ulama telah menyimpulkan dari keumuman makna ayat ini, bahwa hukum muharabah yang dilakukan di kota-kota besar dan di jalan-jalan penghubung sama saja, karena berdasarkan firman-Nya:
Dan membuat kerusakan di muka bumi…
Demikianlah menurut mazhab Imam Malik, Al-Auza’i, Al-Lais ibnu Sa’d, Asy-Syafii. dan Ahmad ibnu Hambal. Sehingga Imam Malik mengatakan —sehubungan dengan seseorang yang diculik, lalu ditipu dimasukkan ke dalam sebuah rumah, kemudian dibunuh dan semua barangnya dirampok— bahwa hal ini dimasukkan ke dalam kategori muharabah. Maka darahnya diberikan kepada sultan, bukan kepada wali si terbunuh. Untuk itu, tidak dianggap pemaafan dari pihak wali si terbunuh dalam menggugurkan hukuman mati terhadap pelakunya.
Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya mengatakan bahwa muharabah hanya dilakukan di jalan-jalan yang sepi. Jika dilakukan di dalam kota, maka bukan muharabah, karena si teraniaya dapat meminta tolong kepada orang lain. Lain halnya jika dilakukan di tengah jalan, jauh dari orang-orang yang dimintai tolong dan dari orang yang mau membantunya.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
…hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya).
Ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini mengenai hukuman mengangkat senjata terhadap golongan Islam dan melakukan teror di tengah jalan, kemudian dapat ditangkap dan dihadapkan ke pengadilan, maka imam kaum muslim boleh memilih salah satu di antara hukuman-hukuman berikut, yaitu jika ia suka boleh menghukum mati, menghukum salib, boleh pula menghukum potong tangan dan kaki secara bersilang.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Sa’id ibnul Musayyab, Mujahid, Ata, Al-Hasan Al-Basri, Ibrahim An-Nakha’i, dan Ad-Dhahhak. Semuanya itu diriwayatkan oleh Abu Ja’far ibnu Jarir. Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Malik ibnu Anas.
Sandaran pendapat ini berdasarkan analisis nahwu yang menyatakan bahwa lahiriah au menunjukkan makna takhyir, sama halnya dengan hal-hal lainnya yang semisal di dalam Al-Qur’an, seperti dalam masalah denda berburu, yaitu firman-Nya:
maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kalian sebagai hadya yang dibawa sampai ke Ka’bah, atau (dendanya) membayar kifarat dengan memberi makan orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu. (Al Maidah:95)
Juga seperti dalam firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى mengenai kifarat fidyah, yaitu:
Jika ada di antara kalian yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah. yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban. (Al Baqarah:196)
Dan seperti dalam firman-Nya mengenai kifarat sumpah, yaitu:
ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. (Al Maidah:89)
Semuanya ini menunjukkan makna takhyir (pilihan), maka demikian pula makna di dalam ayat ini
Jumhur ulama mengatakan bahwa ayat ini (Al Maidah:33) penerapan hukumnya melihat keadaan-keadaan yang terjadi, seperti yang dikatakan oleh Abu Abdullah Asy-Syafii, bahwa telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Abu Yahya, dari Saleh Maula At-Tauamah, dari Ibnu Abbas yang telah mengatakan sehubungan dengan masalah pembegal jalan apabila membunuh, merampok harta, maka hukumannya adalah dibunuh dan disalib. Apabila mereka membunuh tanpa merampok harta, maka hukumannya ialah dibunuh tanpa disalib. Apabila mereka hanya merampok harta tanpa membunuh, maka mereka tidak dihukum mati, melainkan hanya dipotong tangan dan kakinya secara bersilang. Apabila mereka hanya membuat orang-orang takut melewati jalan tanpa merampok, maka hukumannya hanya diasingkan dari negeri tempat tinggalnya.
Ibnu Abu Syaibah telah meriwayatkan dari Abdur Rahim ibnu Sulaiman, dari Hajjaj. dari Atiyyah. dari Ibnu Abbas hal yang semisal: dan telah diriwayatkan hal yang semisal dari Abu Mijlaz, Sa’id ibnu Jubair, Ibrahim An-Nakha’i. Al-Hasan. Qatadah, As-Saddi, dan Ata Al-Khurrasani.
Hal yang sama telah dikatakan pula oleh bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf dan para imam.
Mereka berselisih pendapat, apakah hukuman salib dilakukan dalam keadaan si terpidana masih hidup, lalu dibiarkan hingga mati tanpa diberi makan dan minum, atau dibunuh dengan tombak dan senjata lainnya, ataukah dibunuh terlebih dahulu, kemudian disalib, sebagai pelajaran dan peringatan buat yang lainnya dari kalangan orang-orang yang gemar membuat kerusakan di muka bumi (pemberontak). Apakah masa penyalibannya tiga hari, lalu diturunkan, ataukah dibiarkan sampai nanahnya keluar mengalir dari tubuhnya. Sehubungan dengan masalah ini semuanya masih terdapat perbedaan pendapat, hal ini akan diterangkan pada bagian tersendiri. Hanya kepada Allah sajalah kami percaya dan hanya kepada-Nyalah kami bertawakal.
Perincian hukuman ini diperkuat dengan adanya sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir di dalam kitab Tafsir-nya, jika sanadnya sahih.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Ali Ibnu Sahl, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim, dari Ibnu Lahiah dari Yazid ibnu Abu Habib, bahwa Abdul Malik ibnu Marwan berkirim surat kepada Anas ibnu Malik menanyakan kepadanya tentang makna ayat ini (Al-Maidah 33). Maka Anas ibnu Malik menjawab suratnya yang di dalamnya disebutkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan segolongan orang dari Bani Arinah, mereka dari Bajilah. Anas r.a melanjutkan kisahnya, “Lalu mereka murtad dari Islam dan membunuh penggembala ternak unta serta menggiring untanya, kemudian mengadakan teror di tengah jalan dengan membegal (merampok) dan memperkosa.” Anas ibnu Malik melanjutkan kisahnya, “Lalu Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bertanya kepada Malaikat Jibril a.s. mengenai hukum orang yang memberontak. Maka Malaikat Jibril menjawab, ‘Barang siapa yang mencuri (merampok) harta dan meneror di jalanan, maka potonglah tangannya karena mencuri, dan potonglah kakinya karena perbuatan terornya. Barang siapa yang membunuh, maka bunuh pulalah dia, dan barang siapa yang membunuh dan melakukan teror serta memperkosa, maka saliblah dia’.”
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
…atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya).
Sebagian dari mereka mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah “pelakunya dikejar hingga tertangkap, lalu dijatuhi hukuman had, atau ia lari dari negeri Islam”. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir, dari Ibnu Abbas, Anas ibnu Malik, Sa’id ibnu Jubair, Ad-Dahhak, Ar-Rabi’ ibnu Anas, Az-Zuhri, Al-Lais ibnu Sa’d, dan Malik ibnu Anas.
Sedangkan yang lainnya mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah “pelakunya dibuang dari negeri tempat tinggalnya ke negeri lain, atau hubungan muamalah dengannya diputuskan sama sekali oleh sultan atau wakilnya, tidak boleh ada seorang pun yang bermuamalah dengannya.”
Menurut Asy-Sya’bi, makna yang dimaksud ialah “dipecat dari semua pekerjaannya”, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Hubairah.
Ata Al-Khurrasani mengatakan, pelakunya dipenjara dari satu penjara ke penjara yang lainnya selama beberapa tahun, tetapi tidak dikeluarkan dari negeri Islam.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Sa’id ibnu Jubair, Abusy Sya’sa, Al-Hasan, Az-Zuhri, Ad-Dahhak, dan Muqatil ibnu Hayyan. Disebutkan bahwa pelakunya diasingkan, tetapi tidak dikeluarkan dari negeri Islam.
Ulama lainnya mengatakan, yang dimaksud dengan pengasingan atau an-nafyu ialah dipenjara. Demikianlah menurut pendapat Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya.
Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud istilah an-nafyu dalam ayat ini ialah diasingkan dari suatu negeri ke negeri lain dan dipenjara di dalamnya.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.
Yakni apa yang telah Kusebutkan mengenai dibunuhnya mereka dan disalibnya mereka serta tangan dan kaki mereka dipotong secara bersilang, serta dibuangnya mereka dari negeri tempat tinggalnya, hal tersebut merupakan kehinaan bagi mereka di mata manusia dalam kehidupan dunia ini, di samping azab besar yang telah disediakan oleh Allah buat mereka di hari kiamat nanti.
Pengertian ini memperkuat pendapat orang yang mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang mus
Tafsir Ayat:
Orang-orang yang memerangi Allah dan RasulNya adalah orang-orang yang memaklumkan sikap permusuhan secara terbuka, mereka membuat kerusakan di muka bumi dengan kekufuran, pembunuhan, perampasan harta, dan meneror keamanan jalan. Yang masyhur adalah bahwa ayat ini berbicara tentang hukum para pembegal yang menghadang manusia di desa-desa dan daerah-daerah terpencil lalu mereka merampas harta, menakut-nakuti dan membunuh, akibatnya orang-orang menjadi takut untuk melewati jalan di mana mereka berada, maka jalan pun terputus karena itu. Maka Allah menyampaikan bahwa hukuman bagi mereka pada saat had ditegakkan (ditimpakan) atas mereka, adalah salah satu dari hukuman-hukuman tersebut.
Para ulama tafsir berselisih pendapat apakah hukum dalam ayat ini berdasar kepada pilihan, dalam arti, pemimpin atau wakilnya menghukum para pembegal dengan hukuman yang sesuai dengan kemaslahatan yang dipandangnya dengan memilih satu dari hukuman-hukuman dalam ayat ini, dan inilah zahir ayat, atau hukuman mereka berdasarkan kepada kejahatan mereka, di mana masing-masing kejahatan memiliki hukuman yang sesuai dengannya sebagaimana hal itu ditunjukkan oleh ayat dengan hikmah dan kesesuaiannya dengan hikmah Allah, bahwa jika mereka membunuh dan mengambil harta, maka membunuh dan menyalib mereka adalah keharusan, supaya mereka dikenal dan menjadi hina, dan orang-orang selain mereka tidak berani melakukan seperti yang mereka lakukan. Jika mereka membunuh tanpa mengambil harta, maka mereka hanya dibunuh saja (qishash). Jika mereka mengambil harta tanpa membunuh, maka tangan dan kaki mereka harus dipotong secara berselang-seling; tangan kanan dan kaki kiri. Jika mereka membuat ketakutan tanpa membunuh dan mengambil harta, maka mereka dibuang dari negeri mereka, mereka tidak diizinkan berlindung di suatu tempat dalam negeri (kaum Muslimin) sampai terlihat taubatnya.
Ini adalah pendapat Ibnu Abbas dan banyak imam, sekali pun terdapat perbedaan di antara mereka dalam beberapa perincian.
ذَلِكَ “Hal itu,” yakni hukuman tersebut, لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا “sebagai suatu penghinaan untuk mereka di dunia,” yakni sebagai cacat dan aib. وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ “Dan di akhirat mereka memperoleh siksaan yang besar.”
Ini menunjukkan bahwa pembegalan termasuk dosa terbesar, penyebab aib di dunia dan azab akhirat dan bahwa pelakunya adalah orang yang memerangi Allah dan RasulNya. Jika telah diketahui besarnya kadar dosa ini, maka diketahui bahwa membersihkan bumi dari para perusak, menjamin keamanan jalan dan fasilitas umum dari pembunuhan, perampasan harta dan peneror orang-orang yang aman adalah termasuk kebaikan yang besar dan ketaatan yang mulia dan bahwa itu adalah perbaikan di muka bumi, sebagaimana kebalikannya adalah kerusakan di muka bumi.
Pada ayat ini Allah menjelaskan hukuman bagi perampok dan pengganggu keamanan umum, yang acap kali juga disertai pembunuhan. Dalam kaitan ini ditetapkan bahwa hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya, yaitu orang-orang yang tidak berdosa dan tidak bersalah, dan membuat kerusakan di bumi, balasannya tidak ada lain hanyalah dibunuh bila membunuh atau disalib bila membunuh dan mengambil harta, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang bila mengambil harta, tetapi tidak membunuh, atau diasingkan dari tempat kediamannya bila hanya menakut-nakuti. Ketetapan hukuman yang demikian itu merupakan kehinaan bagi mereka di dunia yang disebabkan perilaku mereka, dan di akhirat mereka pasti akan mendapat azab yang besarketetapan hukuman ini berlaku bagi seluruh manusia, kecuali bagi orang-orang yang bertobat, menyesali perbuatannya, dan tidak lagi mengulanginya sebelum kamu dapat menguasai mereka; maka ketahuilah bahwa orang yang seperti ini layak diberi ampunan, karena sesungguhnya Allah itu maha pengampun, maha penyayang.
Al-Maidah Ayat 33 Arab-Latin, Terjemah Arti Al-Maidah Ayat 33, Makna Al-Maidah Ayat 33, Terjemahan Tafsir Al-Maidah Ayat 33, Al-Maidah Ayat 33 Bahasa Indonesia, Isi Kandungan Al-Maidah Ayat 33
Tafsir Surat Al-Maidah Ayat: 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | 21 | 22 | 23 | 24 | 25 | 26 | 27 | 28 | 29 | 30 | 31 | 32 | 33 | 34 | 35 | 36 | 37 | 38 | 39 | 40 | 41 | 42 | 43 | 44 | 45 | 46 | 47 | 48 | 49 | 50 | 51 | 52 | 53 | 54 | 55 | 56 | 57 | 58 | 59 | 60 | 61 | 62 | 63 | 64 | 65 | 66 | 67 | 68 | 69 | 70 | 71 | 72 | 73 | 74 | 75 | 76 | 77 | 78 | 79 | 80 | 81 | 82 | 83 | 84 | 85 | 86 | 87 | 88 | 89 | 90 | 91 | 92 | 93 | 94 | 95 | 96 | 97 | 98 | 99 | 100 | 101 | 102 | 103 | 104 | 105 | 106 | 107 | 108 | 109 | 110 | 111 | 112 | 113 | 114 | 115 | 116 | 117 | 118 | 119 | 120
Raih pahala amal jariyah dengan cara membagikan (share) konten ini kepada yang lainnya. Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه
"Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)