{4} An-Nisa / النساء | الْقُرْآنُ الْكَرِيْمُ | الأنعام / Al-An’am {6} |
Tafsir Al-Qur’an Surat Al-Maidah المائدة (Jamuan (Hidangan Makanan)) lengkap dengan tulisan arab latin, arti dan terjemah Bahasa Indonesia. Surah ke 5 Tafsir ayat Ke 38.
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ ﴿٣٨﴾
was-sāriqu was-sāriqatu faqṭa’ū aidiyahumā jazā`am bimā kasabā nakālam minallāh, wallāhu ‘azīzun ḥakīm
QS. Al-Maidah [5] : 38
Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.
Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan potonglah (wahai para pemimpin) tangan mereka berdua berdasarkan hukum syariat, sebagai balasan atas mereka berdua yang telah mengambil harta manusia tanpa hak, dan dalam rangka memberi pelajaran kepada orang lain agar tidak melakukan seperti yang mereka berdua lakukan. Allah Maha Perkasa dalam kerajaan-Nya dan Maha Bijaksana dalam perintah dan larangan-Nya.
Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berfirman, memutuskan dan memerintahkan agar tangan pencuri laki-laki dan pencuri perempuan dipotong.
As-Sauri meriwayatkan dari Jabir ibnu Yazid Al-Ju’fi, dari Amir ibnu Syarahil Asy-Sya’bi. bahwa sahabat Ibnu Mas’ud di masa lalu membaca ayat ini dengan bacaan berikut:
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan kanan keduanya.
Tetapi qiraah ini dinilai syazzah (asing), sekalipun hukumnya menurut semua ulama sesuai dengan makna bacaan tersebut: tetapi bukan karena atas dalil bacaan itu, karena sesungguhnya dalil (memotong tangan kanan) diambil dari yang lain.
Dahulu di masa Jahiliah hukum potong tangan ini berlaku, kemudian disetujui oleh Islam dan ditambahkan kepadanya syarat-syarat lain, seperti yang akan kami sebutkan. Perihalnya sama dengan qisamah, diat, qirad, dan lain-lainnya yang syariat datang dengan menyetujuinya sesuai dengan apa adanya disertai dengan beberapa tambahan demi menyempurnakan kemaslahatan.
Menurut suatu pendapat, orang yang mula-mula mengadakan hukum potong tangan pada masa Jahiliah adalah kabilah Quraisy. Mereka memotong tangan seorang lelaki yang dikenal dengan nama Duwaik maula Bani Malih ibnu Amr, dari Khuza’ah, karena mencuri harta perbendaharaan Ka’bah. Menurut pendapat lain, yang mencurinya adalah suatu kaum, kemudian mereka meletakkan hasil curiannya di rumah Duwaik.
Sebagian kalangan ulama fiqih dari mazhab Zahiri mengatakan, “Apabila seseorang mencuri sesuatu, maka tangannya harus dipotong, tanpa memandang apakah yang dicurinya itu sedikit ataupun banyak,” karena berdasarkan kepada keumuman makna yang dikandung oleh firman-Nya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (Al Maidah:38)
Mereka tidak mempertimbangkan adanya nisab dan tidak pula tempat penyimpanan barang yang dicuri, bahkan mereka hanya memandang dari delik pencuriannya saja.
Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim telah meriwayatkan melalui jalur Abdul Mu-min, dari Najdah Al-Hanafi yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Abbas mengenai makna firman-Nya:
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
Apakah ayat ini mengandung makna khusus atau umum? Ibnu Abbas menjawab, “Ayat ini mengandung makna umum.”
Hal ini barangkali merupakan suatu kebetulan dari Ibnu Abbas yang bersesuaian dengan pendapat mereka (mazhab Zahiri), barangkali pula tidak demikian keadaannya, hanya Allah Yang Maha Mengetahui. Mereka berpegang kepada sebuah hadis yang disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui sahabat Abu Hurairah, bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah bersabda:
Semoga Allah melaknat pencuri, yang mencuri telur, maka tangannya dipotong, dan mencuri tali, maka tangannya dipotong.
Jumhur ulama mempertimbangkan adanya nisab dalam kasus pencurian, sekalipun mengenai kadarnya masih Diperselisihkan di kalangan mereka.
Masing-masing dari mazhab yang empat mempunyai pendapatnya sendiri.
Menurut Imam Malik ibnu Anas, nisab hukum potong tangan adalah tiga keping uang perak (dirham) murni. Apabila seseorang mencuri sesuatu yang nilainya mencapai tiga dirham atau lebih, maka tangannya harus dipotong. Imam Malik mengatakan, pendapatnya ini berdalilkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Nafi’, dari Ibnu Umar r.a.:
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melakukan hukum potong tangan dalam kasus pencurian sebuah tameng yang harganya tiga dirham.
Hadis diketengahkan oleh Syaikhain di dalam kitab Sahihain.
Imam Malik mengatakan bahwa Khalifah Usman r.a. pernah menjatuhkan hukum potong tangan terhadap kasus pencurian buah utrujjah (jeruk bali) yang harganya ditaksir tiga dirham. Asar ini —menurut Imam Malik-— merupakan asar yang paling disukainya mengenai hal tersebut.
Asar ini bersumberkan dari Khalifah Usman r.a. yang diriwayatkan oleh Imam Malik, dari Abdullah ibnu Abu Bakar, dari ayahnya, dari Amrah binti Abdur Rahman, bahwa di masa pemerintahan Khalifah Usman pernah ada seseorang mencuri buah utrujjah (jeruk bali). Maka Khalifah Usman memerintahkan agar barang yang dicuri itu ditaksir harganya. Ketika dilakukan penaksiran, ternyata harganya mencapai tiga dirham menurut harga lama, sedangkan menurut harga sekarang sama dengan dua belas dirham. Maka Khalifah Usman memotong tangan pelakunya.
Para pendukung Imam Malik mengatakan bahwa keputusan yang semisal telah terkenal dan tiada yang memprotesnya, permasalahannya sama dengan ijma’ sukuti.
Di dalam asar ini terkandung dalil yang menunjukkan adanya hukum potong tangan terhadap kasus pencurian buah, hal ini berbeda dengan pendapat kalangan mazhab Hanafi. Dan berdasarkan pertimbangan tiga dirham, berbeda pula dengan mereka (mazhab Hanafi), karena mereka menetapkan bahwa nisab-nya harus mencapai sepuluh dirham. Sedangkan menurut pertimbangan mazhab Syafii, jumlah yang harus dicapai adalah seperempat dinar.
Imam Syafii mengatakan bahwa hal yang dijadikan standar dalam menjatuhkan sanksi hukum potong tangan atas pencuri adalah seperempat dinar, atau uang atau barang yang seharga seperempat dinar hingga lebih.
Dalil yang dijadikan pegangan dalam hal ini ialah sebuah hadis yang diketengahkan oleh Syaikhan, yaitu Imam Bukhari dan Imam Muslim, melalui Az-Zuhri, dari Amrah, dari Aisyah r.a., bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah bersabda:
Tangan pencuri dipotong karena mencuri seperempat dinar (atau sesuatu yang senilai dengannya atau yang berupa barang yang senilai dengannya) hingga selebihnya.
Menurut riwayat Imam Muslim melalui jalur Abu Bakar ibnu Muhammad ibnu Amr ibnu Hazm, dari Amrah, dari Aisyah r.a. disebutkan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda:
Tangan pencuri tidaklah dipotong kecuali karena mencuri seperempat dinar hingga lebih.
Teman-teman kami mengatakan bahwa hadis ini merupakan penyelesaian dalam masalah yang bersangkutan, dan merupakan nas yang menyatakan seperempat dinar sebagai nisab-nya, bukan selainnya.
Mereka mengatakan, hadis yang menyebutkan perihal harga sebuah tameng —yang menurut taksiran seharga tiga dirham— pada kenyataannya tidak bertentangan dengan hadis ini, mengingat saat kejadiannya nilai satu dinar sama dengan dua belas dirham. Jika dikatakan tiga dirham, berarti sama dengan seperempat dinar. Dengan demikian, berarti keduanya dapat digabungkan melalui analisis ini.
Pendapat ini telah diriwayatkan dari Umar ibnul Khattab, Usman ibnu Affan dan Ali ibnu Abi Thalib. Hal yang sama telah dikatakan pula oleh Umar ibnu Abdul Aziz, Al-Lais ibnu Sa’d, Al-Auza’i, Imam Syafii dan semua muridnya, Ishaq ibnu Rahawaih menurut suatu riwayat darinya, dan Daud ibnu Ali Az-Zahiri.
Imam Ahmad ibnu Hambal berpendapat, begitu pula Ishaq ibnu Rahawaih dalam suatu riwayat yang bersumberkan darinya, bahwa masing-masing dari kedua pendapat yang mengatakan seperempat dinar dan tiga dirham mempunyai dalil syar’i-nya.. Maka barang siapa yang mencuri seharga salah satu dari keduanya atau yang senilai dengannya, dikenai hukum potong tangan, karena berdasarkan hadis Ibnu Umar dan hadis Aisyah r.a. Menurut suatu lafaz dari Imam Ahmad yang bersumberkan dari Siti Aisyah, Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda:
Lakukanlah hukum potong tangan karena seperempat dinar, dan jangan kalian lakukan hukum potong tangan karena (mencuri) sesuatu yang lebih rendah dari itu.
Dahulu nilai seperempat dinar adalah tiga dirham, karena satu dinar sama dengan dua belas dirham.
Menurut lafaz Imam Nasai disebutkan seperti berikut:
Tangan pencuri tidak boleh dipotong karena mencuri sesuatu yang harganya lebih rendah daripada harga sebuah tameng. Ketika ditanyakan kepada Siti Aisyah r.a. tentang harga sebuah tameng di masa lalu, ia menjawab, “Seperempat dinar.”
Semua dalil yang disebutkan di atas merupakan nas-nas yang menunjukkan tidak adanya syarat sepuluh dirham (bagi hukuman potong tangan untuk pencuri).
Adapun Imam Abu Hanifah dan semua muridnya —yaitu Abu Yusuf, Muhammad serta Zufar— , demikian pula Sufyan As-Sauri, sesungguhnya mereka berpendapat bahwa nisab kasus pencurian adalah sepuluh dirham mata uang asli, bukan mata uang palsu. Mereka mengatakan demikian dengan berdalilkan bahwa harga sebuah tameng ketika tangan seorang pencuri dipotong karena mencurinya di masa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ adalah sepuluh dirham.
Abu Bakar ibnu Abu Syaibah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair dan Abdul A’la, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq, dari Ayyub ibnu Musa, dari Ata, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa harga sebuah tameng di masa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ adalah sepuluh dirham.
Kemudian Ia mengatakan:
telah menceritakan kepada kami Abdul A’la, dari Muhammad ibnu Ishaq, dari Amr ibnu Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya yang telah menceritakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda: Tangan pencuri tidak boleh dipotong karena mencuri senilai lebih rendah daripada harga sebuah tameng. Dahulu harga sebuah tameng (perisai) adalah sepuluh dirham.
Mereka mengatakan bahwa Ibnu Abbas dan Abdullah ibnu Amr berbeda pendapat dengan Ibnu Umar tentang masalah harga perisai. Maka untuk tindakan preventifnya ialah mengambil pendapat mayoritas, karena masalah-masalah yang menyangkut hukuman had harus ditolak dengan hal-hal yang syubhat.
Sebagian ulama Salaf ada yang berpendapat bahwa tangan seorang pencuri dipotong karena mencuri sepuluh dirham atau satu dinar atau sesuatu yang harganya senilai dengan salah satu dari keduanya. Hal ini diriwayatkan dari Ali, Ibnu Mas’ud, Ibrahim An-Nakha’i, dan Abu Ja’far Al-Baqir.
Sebagian ulama Salaf mengatakan bahwa tangan pencuri tidak boleh dipotong kecuali karena mencuri lima dinar atau lima puluh dirham. Pendapat ini dinukil dari Sa’id ibnu Jubair.
Sedangkan jumhur ulama membantah pegangan dalil mazhab Zahiri yang bersandarkan kepada hadis Abu Hurairah r.a. yang mengatakan:
Dia mencuri sebuah telur, maka tangannya dipotong, dan dia mencuri seutas tali maka tangannya dipotong.
melalui jawaban-jawaban berikut, yaitu:
Pertama hadis tersebut telah di-mansukh oleh hadis Siti Aisyah. Tetapi sanggahan ini masih perlu dipertimbangkan, mengingat tarikh penanggalannya harus dijelaskan.
Kedua, makna lafaz al-baidah dapat diinterpretasikan dengan pengertian ‘topi besi”, sedangkan tali yang dimaksud ialah tali perahu. Demikianlah menurut alasan yang dikemukakan oleh Al-A’masy melalui riwayat Imam Bukhari dan lain-lainnya, dari Al-A’masy.
Ketiga, bahwa hal ini merupakan sarana yang menunjukkan pengertian bertahap dalam menangani kasus pencurian, yaitu dimulai dari sedikit sampai jumlah yang banyak, yang mengakibatkan pelakunya dikenai hukum potong tangan karena mencuri dalam jumlah sebanyak itu.
Dapat diinterpretasikan pula bahwa apa yang disebutkan di dalam hadis merupakan suatu berita tentang keadaan yang pernah terjadi di masa Jahiliah. Mengingat mereka menjatuhkan hukum potong tangan dalam kasus pencurian, baik sedikit maupun banyak, maka si pencuri melaknatnya karena dia menyerahkan tangannya yang mahal hanya karena sesuatu yang tidak berarti.
Kemudian orang-orang menjawab ucapan tersebut. Jawaban yang dikemukakan oleh Al-Qadi Abdul Wahhab Al-Maliki yaitu “manakala tangan dapat dipercaya, maka harganya mahal, dan manakala tangan berkhianat, maka harganya menjadi murah”.
Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa di dalam hukum tersebut (potong tangan) terkandung hikmah yang sempurna, maslahat, dan rahasia syariat yang besar. Karena sesungguhnya di dalam Bab ‘Tindak Pidana (Pelukaan)” sangatlah sesuai bila harga sebuah tangan dibesarkan hingga lima ratus dinar, dengan maksud agar terjaga keselamatannya, tidak ada yang berani melukainya. Sedangkan dalam Bab “Pencurian” sangatlah sesuai bila nisab yang diwajibkan hukum potong tangan adalah seperempat dinar, dengan maksud agar orang-orang tidak berani melakukan tindak pidana pencurian. Hal ini merupakan suatu hikmah yang sesungguhnya menurut pandangan orang-orang yang berakal. Karena itulah Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berfirman:
…(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.
Yakni sebagai pembalasan atas perbuatan jahat yang dilakukan oleh kedua tangannya yang berani mengambil harta orang lain secara tidak sah. Maka sangatlah sesuai bila kedua tangan yang dipakai sebagai sarana untuk tindak pidana pencurian itu dipotong.
…sebagai siksaan dari Allah.
Yaitu sebagai balasan dari Allah terhadap keduanya karena berani melakukan tindak pencurian.
…Dan Allah Mahaperkasa.
Yakni dalam pembalasan-Nya.
…lagi Mahabijaksana.
Yaitu dalam perintah dan larangan-Nya, serta dalam syariat dan takdirNya.
Tafsir Ayat:
Pencuri adalah orang yang mengambil harta orang lain yang terpelihara (berharga) secara sembunyi-sembunyi tanpa kerelaannya. Perbuatan itu termasuk dosa besar yang berakibat hukuman yang buruk yaitu potong tangan kanan, seperti yang ada pada bacaan (qira`ah) sebagian sahabat. Dan batasan tangan secara mutlak hanya sampai pada pergelangan tangan. Jika dia mencuri, maka tangannya dipotong di pergelangan lalu dicelup di minyak panas agar pembuluh darah menyempit dan darah terhenti.
Akan tetapi as-Sunnah meletakkan pembatasan terhadap keumuman ini dari beberapa segi. Di antaranya adalah keterjagaan, artinya, pencurian dilakukan terhadap harta yang terjaga dan keter-jagaan harta adalah sesuatu yang digunakan untuk melindunginya menurut kebiasaan yang berlaku. Seandainya dia mencuri harta yang tidak terjaga, maka dia tidak terkena hukuman potong tangan. Di antaranya lagi, adalah harta yang dicuri mencapai satu nishab, yaitu, seperempat dinar, atau tiga dirham atau sekurs (senilai) dengan salah satunya. Seandainya dia mencuri kurang dari itu, maka dia tidak terkena hukuman potong tangan. Bisa jadi ini diambil dari kata mencuri dan maknanya, karena kata mencuri berarti mengambil sesuatu dengan cara yang tidak menjaga diri darinya, hal itu jika harta tersebut terjaga, jika tidak, maka itu bukanlah pencurian secara syar’i.
Termasuk ke dalam hikmah adalah dibebaskannya hukum potong tangan karena mengambil sesuatu yang sedikit dan tidak berharga, karena penentuan memang diperlukan, maka penentuan syar’ilah yang dijadikan sebagai pentakhshish al-Qur`an.
Hikmah dari hukum potong tangan adalah demi menjaga dan melindungi harta dengan memotong tangan yang melakukan kejahatan kepadanya. Jika pencuri mengulangi perbuatannya, maka dipotong kaki kirinya, jika dia masih mengulangi, maka ada yang bilang dipotong tangan kirinya lalu kaki kanannya. Ada yang ber-pendapat dipenjara sampai mati.
FirmanNya, جَزَاءً بِمَا كَسَبَا “Sebagai pembalasan terhadap apa yang mereka kerjakan,” artinya, hukuman potong tangan itu adalah sebagai balasan bagi pencuri atas harta orang yang dicurinya.
نَكَالا مِنَ اللَّهِ “Dan sebagai siksaan dari Allah,” maksudnya, hu-kuman dan pelajaran bagi pencuri dan yang lain. Agar para pen-curi menjadi jera jika mereka tahu bahwa mereka akan dipotong jika mencuri.
وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ “Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana,” Mahaperkasa, maka Dia meletakkan hukuman dengan memotong tangan pencuri.
Bila pada ayat yang lalu dijelaskan tentang hukuman bagi orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya dan membuat kekacauan, maka pada ayat ini diterangkan tentang hukuman bagi pencuri. Setiap kejahatan pasti ada hukumannya. Adapun setiap orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, maka potonglah tangan keduanya sebagai balasan atas perbuatan buruk dan bertentangan dengan syariat yang mereka lakukan, dan hal itu juga sebagai siksaan dari Allah sesuai dengan peringatan-Nya. Sungguh dengan ketetapan dan peringatan ini, Allah mahaperkasa, mahabijaksana. Yang dijelaskan itu merupakan ketetapan Allah, tetapi barang siapa bertobat setelah melakukan kejahatan itu, menyesalinya, dan memperbaiki diri, serta berjanji untuk tidak mengulanginya, maka sesungguhnya Allah menerima tobatnya yang dilakukan dengan sepenuh hati. Sungguh, Allah maha pengampun, maha penyayang.
Al-Maidah Ayat 38 Arab-Latin, Terjemah Arti Al-Maidah Ayat 38, Makna Al-Maidah Ayat 38, Terjemahan Tafsir Al-Maidah Ayat 38, Al-Maidah Ayat 38 Bahasa Indonesia, Isi Kandungan Al-Maidah Ayat 38
Tafsir Surat Al-Maidah Ayat: 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | 21 | 22 | 23 | 24 | 25 | 26 | 27 | 28 | 29 | 30 | 31 | 32 | 33 | 34 | 35 | 36 | 37 | 38 | 39 | 40 | 41 | 42 | 43 | 44 | 45 | 46 | 47 | 48 | 49 | 50 | 51 | 52 | 53 | 54 | 55 | 56 | 57 | 58 | 59 | 60 | 61 | 62 | 63 | 64 | 65 | 66 | 67 | 68 | 69 | 70 | 71 | 72 | 73 | 74 | 75 | 76 | 77 | 78 | 79 | 80 | 81 | 82 | 83 | 84 | 85 | 86 | 87 | 88 | 89 | 90 | 91 | 92 | 93 | 94 | 95 | 96 | 97 | 98 | 99 | 100 | 101 | 102 | 103 | 104 | 105 | 106 | 107 | 108 | 109 | 110 | 111 | 112 | 113 | 114 | 115 | 116 | 117 | 118 | 119 | 120
Raih pahala amal jariyah dengan cara membagikan (share) konten ini kepada yang lainnya. Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه
"Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)