{4} An-Nisa / النساء | الْقُرْآنُ الْكَرِيْمُ | الأنعام / Al-An’am {6} |
Tafsir Al-Qur’an Surat Al-Maidah المائدة (Jamuan (Hidangan Makanan)) lengkap dengan tulisan arab latin, arti dan terjemah Bahasa Indonesia. Surah ke 5 Tafsir ayat Ke 101.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِنْ تَسْأَلُوا عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْآنُ تُبْدَ لَكُمْ عَفَا اللَّهُ عَنْهَا ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ ﴿١٠١﴾
yā ayyuhallażīna āmanụ lā tas`alụ ‘an asy-yā`a in tubda lakum tasu`kum, wa in tas`alụ ‘an-hā ḥīna yunazzalul-qur`ānu tubda lakum, ‘afallāhu ‘an-hā, wallāhu gafụrun ḥalīm
QS. Al-Maidah [5] : 101
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu (justru) menyusahkan kamu. Jika kamu menanyakannya ketika Al-Qur’an sedang diturunkan, (niscaya) akan diterangkan kepadamu. Allah telah memaafkan (kamu) tentang hal itu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyantun.
Wahai orang-orang yang membenarkan Allah dan Rasul-Nya dan mengamalkan syariat-Nya, jangan bertanya tentang perkara-perkara agama di mana kalian tidak diperintahkan dengan sesuatun padanya. Seperti bertanya tentang hal-hal yang tidak terjadi atau hal-hal yang bisa mengakibatkan kesulitan dalam syariat yang bila di bebankan kepada kalian niscaya ia akan sangat memberatkan kalian. Namun bila kalian tetap bertanya tentangnya selama Rasul masih hidup dan saat Al Qur’an sedang turun, maka ia akan dijelaskan kepada kalian. Bisa jadi ia dibebankan kepada kalian dan kalian tidak mampu melaksanakannya, Allah mendiamkannya sebagai bentuk rahmatNya kepada hamba-hamba-Nya. Allah Maha Mengampuni hamba-hamba-Nya saat mereka bertaubat kepada-Nya, Penyantun kepada mereka sehingga tidak menyiksa mereka bila mereka kembali kepada-Nya.
Di dalam ayat ini terkandung pelajaran etika dari Allah kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin. Allah melarang mereka menanyakan banyak hal yang tiada berfaedah bagi mereka dalam mempertanyakan dan menyelidikinya. Karena sesungguhnya jika perkara-perkara yang dipertanyakan itu ditampakkan kepada mereka, barangkali hal itu akan menjelekkan diri mereka dan dirasakan amat berat oleh mereka mendengarnya. Seperti yang disebutkan di dalam sebuah hadis, bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda:
Semoga jangan ada seseorang menyampaikan kepadaku perihal sesuatu masalah dari orang lain, sesungguhnya aku suka bila aku menemui kalian dalam keadaan dada yang lapang.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Munzir ibnul Walid ibnu Abdur Rahman Al-Jarudi, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Musa ibnu Anas, dari Anas ibnu Malik yang menceritakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah mengemukakan suatu khotbah yang belum pernah kudengar hal yang semisal dengannya. Dalam khotbahnya itu antara lain beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda: Sekiranya kalian mengetahui seperti apa yang aku ketahui, niscaya kalian benar-benar sedikit tertawa dan benar-benar akan banyak menangis. Anas ibnu Malik melanjutkan kisahnya, “Lalu para sahabat Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menutupi wajahnya masing-masing, setelah itu terdengar suara isakan mereka. Kemudian ada seseorang lelaki berkata, ‘Siapakah ayahku?’ Maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjawab, ‘Si Fulan.” Lalu turunlah firman-Nya:
Janganlah kalian menanyakan (kepada nabi kalian) banyak hal.
Imam Bukhari telah meriwayatkannya bukan pada bab ini, begitu pula Imam Muslim, Imam Ahmad, Imam Turmuzi, dan Imam Nasai melalui berbagai jalur dari Syu’bah ibnul Hajjaj dengan lafaz yang sama.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Bisyr, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Sa’id, dari Qatadah, sehubungan dengan firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan (kepada nabi kalian) hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian niscaya menyusahkan kalian., hingga akhir ayat.
Bahwa telah menceritakan kepada kami Anas ibnu Malik, para sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ hingga beliau dihujani oleh pertanyaan mereka. Lalu Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ keluar menemui mereka di suatu hari, kemudian menaiki mimbarnya dan bersabda: Tidak sekali-kali kalian menanyakan kepadaku tentang sesuatu pada hari ini, melainkan aku pasti menjelaskannya kepada kalian. Maka semua sahabat Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ merasa takut kalau-kalau Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sedang menghadapi suatu perkara yang mengkhawatirkan. Maka tidak sekali-kali aku tolehkan wajahku ke arah kanan dan kiriku, melainkan kujumpai semua orang menutupi wajahnya dengan kain bajunya seraya menangis. Kemudian seseorang lelaki terlibat dalam suatu persengketaan, lalu dia diseru bukan dengan nama ayahnya, maka ia bertanya, “Wahai Nabi Allah, siapakah sebenarnya ayahku itu?” Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjawab, “Ayahmu adalah Huzafah.” Kemudian Umar bangkit dan mengatakan, “Kami rela Allah sebagai Tuhan kami, Islam sebagai agama kami, dan Muhammad sebagai utusan Allah,” seraya berlindung kepada Allah. Atau Umar mengatakan, “Aku berlindung kepada Allah dari kejahatan fitnah-fitnah.” Anas ibnu Malik melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda: Aku sama sekali belum pernah melihat suatu hal dalam kebaikan dan keburukan seperti hari ini, telah ditampakkan kepadaku surga dan neraka hingga aku melihat keduanya tergambarkan di arah tembok ini.
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya melalui jalur Sa’id.
Dan Ma’mar meriwayatkannya dari Az-Zuhri, dari Anas dengan lafaz yang semisal atau mendekatinya.
Az-Zuhri mengatakan bahwa Ummu Abdullah ibnu Huzafah mengatakan, “Aku belum pernah melihat seorang anak yang lebih menyakitkan orang tuanya selain kamu. Apakah kamu percaya bila ibumu telah melakukan suatu perbuatan seperti apa yang biasa dilakukan oleh orang-orang Jahiliah, lalu kamu mempermalukannya di mata umum?” Maka Abdullah ibnu Huzafah berkata, “Demi Allah, seandainya Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menisbatkan diriku dengan seorang budak berkulit hitam, niscaya aku mau menerimanya.”
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Al-Haris, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz, telah menceritakan kepada kami Qais, dari Abu Husain, dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ keluar dalam keadaan marah sehingga wajahnya kelihatan memerah, lalu beliau duduk di mimbar. Dan berdirilah seorang lelaki, lalu bertanya, “Di manakah ayahku?” Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjawab, “Di dalam neraka.” Lalu berdiri pula lelaki lain dan berkata, “Siapakah ayahku?” Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda, “Ayahmu Huzafah.” Kemudian berdirilah Umar —atau Umar bangkit— dan berkata, “Kami rela Allah sebagai Tuhan kami, Islam sebagai agama kami, Nabi Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ nabi kami, dan Al-Qur’an sebagai imam kami. Sesungguhnya kami, wahai Rasulullah, masih baru meninggalkan masa Jahiliah dan kemusyrikan, dan Allah-lah yang lebih mengetahui siapakah bapak-bapak kami.” Maka redalah kemarahan Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, lalu turun firman-Nya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan (kepada nabi kalian) hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian niscaya menyusahkan kalian., hingga akhir ayat.
Sanad hadis ini jayyid (baik), dan kisah ini diketengahkan secara mursal oleh bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf, antara lain Asbat, dari As-Saddi.
Disebutkan bahwa As-Saddi telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan (kepada nabi kalian) hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian niscaya menyusahkan kalian.
Bahwa pada suatu hari Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ marah, lalu berdiri dan berkhotbah, antara lain beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda: Bertanyalah kalian kepadaku, maka sesungguhnya tidak sekali-kali kalian menanyakan sesuatu kepadaku melainkan aku akan memberitahukannya kepada kalian. Maka majulah seorang lelaki Quraisy dari kalangan Bani’ Sahm yang dikenal dengan nama Abdullah ibnu Huzafah yang diragukan nasabnya. Ia bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah ayahku yang sebenarnya?” Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjawab, “Ayahmu adalah si Fulan,” lalu Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memanggilnya dengan sebutan ayahnya. Maka Umar ibnul Khattab maju ke hadapan Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, lalu mencium kaki Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan berkata, “Wahai Rasulullah, kami rela Allah sebagai Tuhan kami, engkau sebagai nabi kami, Islam sebagai agama kami, dan Al-Qur’an sebagai imam kami, maka maafkanlah kami, semoga Allah pun memaafkanmu.” Umar terus-menerus melakukan demikian hingga marah Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ reda. Dan pada hari itu juga Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda: Anak itu adalah milik firasy (ayah) dan bagi lelaki pezina tiada hak (pada anaknya).
Kemudian Imam Bukhari mengatakan:
telah menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnu Sahl, telah menceritakan kepada kami Abun Nadr, telah menceritakan kepada kami Abu Khaisamah, telah menceritakan kepada kami Abul Juwairiyah, dari Ibnu Abbas r.a. yang menceritakan bahwa pernah ada segolongan kaum yang bertanya kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dengan memperolok-olokkannya. Seseorang lelaki bertanya, “Siapakah ayahku?” Lelaki lainnya bertanya pula, “Untaku hilang, di manakah untaku?” Maka Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menurunkan ayat ini berkenaan dengan mereka:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan (kepada nabi kalian) hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian niscaya menyusahkan kalian., hingga akhir ayat.
Hadis diriwayatkan oleh Imam Bukhari secara munfarid.
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepadaku Zakaria ibnu Yahya ibnu Aban Al-Masri, telah menceritakan kepada kami Abu Zaid Abdul Aziz Abul Gamr, telah menceritakan kepada kami Ibnu Muti’ Mu’awiyah ibnu Yahya, dari Safwan ibnu Amr, telah menceritakan kepadaku Salim ibnu Amir yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abu Umamah Al-Bahili menceritakan hadis berikut: Bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berdiri di hadapan orang banyak, lalu bersabda, “Telah diwajibkan atas kalian melakukan ibadah haji.” Lalu berdirilah seseorang lelaki Badui dan bertanya, “Apakah untuk setiap tahun?” Suara lelaki Badui itu lebih keras daripada suara Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, cukup lama Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ diam saja dalam keadaan marah. Kemudian bersabda, “Siapakah orang yang bertanya tadi?” Lelaki Badui itu menjawab, “Saya.” Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda, “Celakalah kamu! Apakah yang menjadi kepercayaanmu jika kukatakan ya? Demi Allah, seandainya kukatakan ya, niscaya diwajibkan (tiap tahunnya), dan seandainya diwajibkan, niscaya kalian kafir (ingkar). Ingatlah, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian ialah karena dosa-dosa besar. Demi Allah, seandainya aku halalkan bagi kalian semua apa yang ada di bumi dan aku haramkan atas kalian sebagian darinya sebesar tempat khuf, niscaya kalian akan terjerumus ke dalamnya.” Maka pada saat itu Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menurunkan firman-Nya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan (kepada nabi kalian) hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian niscaya menyusahkan kalian., hingga akhir ayat.
Tetapi di dalam sanadnya terkandung kedaifan (kelemahan). Lahiriah makna ayat menunjukkan larangan menanyakan berbagai hal yang bila dijelaskan jawabannya akan membuat buruk si penanya. Hal yang lebih utama menghadapi hal-hal seperti itu ialah berpaling darinya dan membiarkannya, yakni jangan menanyakannya. Alangkah baiknya hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad yang menyebutkan bahwa:
telah menceritakan kepada kami Hajjaj, ia pernah mendengar Israil ibnu Yunus menceritakan dari Al-Walid ibnu Abu Hasyim maula Al-Hamdani, dari Zaid ibnu Za-id, dari Abdullah ibnu Mas’ud yang menceritakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah bersabda kepada para sahabatnya: Jangan ada seseorang menyampaikan sesuatu kepadaku dari orang lain, karena sesungguhnya aku suka bila keluar menemui kalian, sedangkan aku dalam keadaan berhati lapang.
Imam Abu Daud dan Imam Turmuzi telah meriwayatkannya melalui hadis Israil. Abu Daud mengatakan dari Al-Walid, sedangkan Imam Turmuzi mengatakan dari Israil, dari As-Saddi, dari Al-Walid ibnu Abu Hasyim dengan lafaz yang sama. Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa bila ditinjau dari segi ini, hadis berpredikat garib.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
…dan jika kalian menanyakannya di waktu Al-Qur’an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepada kalian.
Yakni jika kalian menanyakan hal-hal tersebut yang kalian dilarang menanyakannya di saat wahyu diturunkan kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, niscaya akan dijelaskan kepada kalian. Dan hal itu sangat mudah bagi Allah.
Kemudian Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berfirman:
Allah memaafkan (kalian) tentang hal-hal itu.
Yakni hal-hal yang kalian lakukan sebelum itu.
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.
Menurut pendapat lain, firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
…dan jika kalian menanyakannya di waktu Al-Qur’an sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepada kalian.
Maknanya ialah “Janganlah kalian menanyakan hal-hal yang kalian sengaja memulai mengajukannya, karena barangkali akan diturunkan wahyu disebabkan pertanyaan kalian itu yang di dalamnya terkandung peraturan yang memberatkan dan menyempitkan kalian”. Di dalam sebuah hadis telah disebutkan:
Orang muslim yang paling besar dosanya ialah seseorang yang menanyakan sesuatu yang tidak diharamkan, lalu menjadi diharamkan karena pertanyaannya itu.
Tetapi jika diturunkan wahyu Al-Qur’an mengenainya secara global, lalu kalian menanyakan penjelasannya, niscaya saat itu akan dijelaskan kepada kalian karena kalian sangat memerlukannya.
Allah memaafkan (kalian) tentang hal-hal itu.
Yakni hal-hal yang tidak disebutkan Allah di dalam kitab-Nya, maka hal tersebut termasuk yang dimaafkan. Karena itu, diamlah kalian sebagaimana Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ diam terhadapnya. Di dalam hadis sahih disebutkan dari Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah bersabda:
Biarkanlah aku dengan apa yang kutinggalkan untuk kalian, karena sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah binasa hanyalah karena mereka banyak bertanya dan sering bolak-balik kepada nabi-nabi mereka (yakni banyak merujuk).
Di dalam hadis sahih yang lain disebutkan pula:
Sesungguhnya Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى telah menetapkan hal-hal yang fardu, maka janganlah kalian menyia-nyiakannya, dan Dia telah menetapkan batasan-batasan, maka janganlah kalian melampauinya, dan Dia telah mengharamkan banyak hal, maka janganlah kalian melanggarnya. Dan Dia telah mendiamkan (tidak menjelaskan) banyak hal karena kasihan kepada kalian bukan karena lupa, maka janganlah kalian menanyakannya.
(101) Allah melarang hamba-hambaNya yang beriman bertanya tentang perkara-perkara yang jika dijelaskan justru membawa keburukan dan kesedihan bagi mereka. Hal itu seperti pertanyaan sebagian kaum Muslimin kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tentang bapak-bapak mereka dan tentang keadaan mereka di surga atau di neraka(1). Hal seperti ini seandainya dijelaskan kepada penanya tidak akan mendatangkan kebaikan. Juga seperti pertanyaan tentang perkara-perkara yang tidak terjadi, dan pertanyaan yang berakibat diturunkannya hukum-hukum yang berat dalam syariat yang menyusahkan umat. Juga seperti pertanyaan tentang sesuatu yang tidak berguna. Pertanyaan-pertanyaan ini dan yang semacamnya adalah dilarang. Adapun pertanyaan yang tidak berakibat apa pun dari yang telah disebutkan, maka ia diperintahkan. Sebagaimana Firman Allah,
فَسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ
“Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.” (Al-Anbiya`: 7).
وَاِنْ تَسْـَٔلُوْا عَنْهَا حِيْنَ يُنَزَّلُ الْقُرْاٰنُ تُبْدَ لَكُمْ “Dan jika kamu menanyakan di waktu al-Qur`an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepa-damu.” Maksudnya, jika pertanyaanmu itu pas pada momennya, ketika al-Qur`an diturunkan kepadamu, dan kamu bertanya tentang ayat yang musykil atau hukum yang samar bagimu pada waktu di mana turunnya wahyu dari langit adalah sesuatu yang memungkinkan, تُبْدَ لَكُم”niscaya akan diterangkan kepadamu”; dije-laskan dan dipaparkan kepadamu. Maka diamlah terhadap masalah yang Allah diam padanya.
عَفَا اللّٰهُ عَنْهَا “Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu.” Maksudnya, Allah diam karena memberi maaf kepada hamba-hamba-Nya, jadi semua yang Allah diamkan adalah termasuk yang Dia bolehkan dan maafkan.
وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ حَلِيْمٌ”Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyan-tun,” selalu memberi ampunan, dikenal dengan kebaikan dan ke-bijaksanaanNya. Carilah ampunan dan kebaikanNya. Mohonlah rahmat dan ridhaNya. (1) Sebagaimana dalam Shahih Muslim, no. 303 dari Anas y bahwa seorang laki-laki bertanya, “Ya Rasulullah, di mana bapakku?” Rasulullah menjawab, “Di neraka.” Manakala dia hendak beranjak, Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memanggilnya dan bersabda, “Sesungguhnya bapakku dan bapakmu di neraka.”
Wahai orang-orang yang beriman, yang membenarkan Allah dan rasul-Nya! janganlah kamu menanyakan kepada nabimu hal-hal yang jika diterangkan kepadamu justru menyusahkan dan berdampak buruk bagi kamu. Sebab dalam islam yang terpenting bukan bertanya, tetapi semangat untuk melaksanakan. Sebaliknya jika kamu bertanya kepada nabi tentang masalah-masalah itu ketika Al-Qur’an sedang diturunkan, niscaya jawabannya akan diterangkan kepadamu dengan sejelas-jelasnya. Allah telah memaafkan kamu tentang hal itu, menanyakan masalah-masalah yang sudah jelas bagi orang-orang beriman. Dan Allah maha pengampun kepada orang-orang yang menyadari kesalahannya dengan bertobat, dan maha penyantun kepada seluruh hamba-hamba-Nya. Wahai orang-orang beriman, sesungguhnya suatu kaum sebelum kamu, yaitu kaum yahudi umat nabi musa, sungguh telah memohon kepada nabi musa agar bisa melihat Allah dengan nyata, tetapi setelah permohonan itu dipenuhi, mereka tidak sanggup melihat-Nya dan pingsan. Kemudian mereka menjadi kafir setelah Allah memberikan bukti bahwa mereka tidak akan pernah sanggup melihat Allah.
Al-Maidah Ayat 101 Arab-Latin, Terjemah Arti Al-Maidah Ayat 101, Makna Al-Maidah Ayat 101, Terjemahan Tafsir Al-Maidah Ayat 101, Al-Maidah Ayat 101 Bahasa Indonesia, Isi Kandungan Al-Maidah Ayat 101
Tafsir Surat Al-Maidah Ayat: 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | 21 | 22 | 23 | 24 | 25 | 26 | 27 | 28 | 29 | 30 | 31 | 32 | 33 | 34 | 35 | 36 | 37 | 38 | 39 | 40 | 41 | 42 | 43 | 44 | 45 | 46 | 47 | 48 | 49 | 50 | 51 | 52 | 53 | 54 | 55 | 56 | 57 | 58 | 59 | 60 | 61 | 62 | 63 | 64 | 65 | 66 | 67 | 68 | 69 | 70 | 71 | 72 | 73 | 74 | 75 | 76 | 77 | 78 | 79 | 80 | 81 | 82 | 83 | 84 | 85 | 86 | 87 | 88 | 89 | 90 | 91 | 92 | 93 | 94 | 95 | 96 | 97 | 98 | 99 | 100 | 101 | 102 | 103 | 104 | 105 | 106 | 107 | 108 | 109 | 110 | 111 | 112 | 113 | 114 | 115 | 116 | 117 | 118 | 119 | 120
Raih pahala amal jariyah dengan cara membagikan (share) konten ini kepada yang lainnya. Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه
"Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)