{5} Al-Maidah / المائدة | الْقُرْآنُ الْكَرِيْمُ | الأعراف / Al-A’raf {7} |
Tafsir Al-Qur’an Surat Al-An’am الأنعام (Binatang Ternak) lengkap dengan tulisan arab latin, arti dan terjemah Bahasa Indonesia. Surah ke 6 Tafsir ayat Ke 103.
لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ ۖ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ ﴿١٠٣﴾
lā tudrikuhul-abṣāru wa huwa yudrikul-abṣār, wa huwal-laṭīful-khabīr
QS. Al-An’am [6] : 103
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu, dan Dialah Yang Mahahalus, Mahateliti.
Penglihatan manusia tidak melihat Allah di dunia. Adapun di akhirat, maka orang-orang mukmin melihat Rabb mereka tidak secara menyeluruh. Sebaliknya Allah melihat penglihatan manusia dan meliputinya. Dia mengetahui hakikatnya yang sebenarnya. Allah Mahalembut kepada wali-wali-Nya yang mengetahui hal-hal yang rumit, Maha Mengenal yang mengetahui bagian dalam dari segala sesuatu.
Firman Allah :
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata.
Sehubungan dengan makna ayat ini, ada beberapa pendapat di kalangan para imam dari kalangan ulama Salaf.
Menurut pendapat pertama, Allah tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata di dunia, sekalipun nanti di akhirat dapat dilihat. Demikianlah menurut apa yang disebutkan oleh banyak hadis mutawatir dari Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melalui berbagai jalur periwayatan yang telah ditetapkan di dalam kitab-kitab Sahih, kitab-kitab Musnad, dan kitab-kitab Sunnah.
Sehubungan dengan hal ini Masruq telah meriwayatkan dari Siti Aisyah yang mengatakan, “Barang siapa yang menduga bahwa Muhammad telah melihat Tuhannya, sesungguhnya ia telah berdusta.” Menurut riwayat lain ‘melihat Allah’, karena sesungguhnya Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى telah berfirman: Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala yang kelihatan. (Al An’am:103)
Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim, melalui hadis Abu Bakar ibnu Ayyasy, dari Asim ibnu Abun Nujud, dari Abud Duha, dari Masruq.
Hadis ini telah diriwayatkan pula oleh bukan hanya seorang, dari Masruq. Telah ditetapkan pula di dalam kitab Sahih dan kitab-kitab lainnya, dari Siti Aisyah melalui berbagai jalur periwayatan. Tetapi Ibnu Abbas berpendapat berbeda, menurut riwayat yang bersumberkan darinya, penglihatan ini bersifat mutlak (yakni di dunia dan akhirat). Menurut suatu riwayat yang bersumberkan darinya, Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah melihat Tuhannya dengan pandangan kalbunya sebanyak dua kali. Masalah ini disebutkan di dalam permulaan tafsir surat An-Najm, Insya Allah.
Ibnu Abu Hatim menuturkan bahwa Muhammad ibnu Muslim pernah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Ibrahim Ad-Dauraqi, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Mu’in, ia mengatakan bahwa ia pernah mendengar Isma’il ibnu Ulayyah mengatakan sehubungan dengan makna firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى: Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata. (Al-An?am: 103) Hal ini di dunia.
Pendapat lain mengatakan bahwa makna firman-Nya: Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata. (Al-An?am: 103) Yakni semua penglihatan mata. Hal ini telah di-takhsis oleh hadis yang menyatakan bahwa orang-orang mukmin kelak di akhirat dapat melihat Tuhannya.
Pendapat lain —yaitu dari kalangan Mu’tazilah— mengatakan sesuai dengan pemahaman mereka terhadap makna ayat ini, yaitu bahwa Allah tidak dapat dilihat, baik di dunia maupun di akhirat. Dengan demikian, mereka berpendapat berbeda dengan ahli sunnah wal jama’ah dalam masalah ini karena ketidakmengertian mereka kepada apa yang ditunjukkan oleh Kitabullah dan sunnah Rasulullah.
Adapun dalil dari Al-Qur’an ialah firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri, kepada Tuhannyalah mereka melihat. (Al Qiyaamah:22-23)
Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى telah berfirman pula, menceritakan perihal orang-orang kafir:
Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar tertutup dari (melihat) Tuhan mereka. (83:15)
Imam Syafii mengatakan bahwa hal ini menunjukkan bahwa orang-orang mukmin tidak terhalang untuk melihat Tuhan mereka Yang Mahasuci lagi Mahatinggi. Adapun mengenai dalil dari sunnah, maka banyak hadis mutawatir diriwayatkan dari Abu Sa’id, Abu Hurairah, Anas, Juraij, Suhaib, Bilal, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang dari kalangan sahabat, dari Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, semuanya menyebutkan bahwa orang-orang mukmin kelak di akhirat dapat melihat Allah di ‘Arasat (halaman-halaman surga) dan di taman-taman surga. Semoga Allah menjadikan kita dari golongan mereka berkat karunia dan kemuliaanNya, amin.
Menurut pendapat lain sehubungan dengan makna firman-Nya: Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata. (Al An’am:103) Yakni oleh rasio (akal). Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim, dari Ali ibnul Husain, dari Al-Fallas, dari Ibnu Mahdi, dari Abul Husain Yahya ibnul Husain qari’ ahli Mekah, bahwa dia telah mengatakan hal tersebut. Tetapi pendapat ini garib sekali, dan berbeda dengan makna lahiriah ayat. Seakan-akan dia berpandangan bahwa lafaz idrak di sini bermakna ru-yah.
Ulama lain mengatakan bahwa tidak ada pertentangan antara ketetapan melihat dan pe-nafi’-an idrak dan yang lebih khusus daripada ru-yah (melihat), karena sesungguhnya pengertian idrak (mencapai) tidak memastikan adanya pe-nafi-an hal yang lebih khusus dengan pe-nafi-an yang lebih umum.
Kemudian mereka berselisih pendapat mengenai pengertian pencapaian yang ditiadakan (yang di-nafi-kan), yakni bagaimana hakikatnya? Menurut suatu pendapat, yang di-nafi-kan adalah mengetahui hakikat-Nya, karena sesungguhnya tidak ada yang mengetahui-Nya selain Dia sendiri, sekalipun orang-orang mukmin dapat melihat-Nya. Perihalnya sama dengan orang yang melihat rembulan, sesungguhnya dia tidak dapat mengetahui hakikat, keadaan, dan materinya. Maka Tuhan Yang Mahabesar lebih utama daripada hal tersebut, dan hanya Dialah Yang memiliki perumpamaan Yang Mahatinggi.
Ibnu Ulayyah mengatakan bahwa pengertian tersebut (yakni mustahil mengetahui hakikat Allah) hanya terjadi di dunia. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Pendapat lainnya lagi mengatakan bahwa makna pengetahuan atau idrak lebih khusus daripada ru-yah (penglihatan), makna idrak sama dengan meliputi. Mereka mengatakan bahwa tidak adanya peliputan bukan berarti memastikan tidak adanya penglihatan, sebagaimana tidak adanya ilmu yang meliputi bukan berarti memastikan tidak adanya ilmu.
Firman Allah :
sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi-Nya. (Thaahaa:110)
Di dalam sebuah hadis sahih Muslim disebutkan:
Saya tidak dapat meliputi pujian kepada-Mu, pujian-Mu hanyalah seperti apa yang Engkau pujikan terhadap diri-Mu.
Hal ini tidaklah memastikan tidak adanya pujian kepada Dia. Maka demikian pula dalam masalah tersebut.
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala yang kelihatan. (Al An’am:103) Ibnu Abbas mengatakan bahwa makna ayat ialah penglihatan seseorang tidak dapat meliputi Kerajaan (Allah).
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar’ah, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Hammad ibnu Talhah Al-Qannad, telah menceritakan kepada kami Asbat, dari Sammak, dari Ikrimah, bahwa pernah ditanyakan kepadanya mengenai makna firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى: Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata. (Al An’am:103) Ikrimah berkata, “Tidakkah engkau melihat langit?” Si penanya menjawab, “Ya, tentu saja melihat.” Ikrimah berkata, “Apakah semuanya dapat terlihat?”
Sa’id ibnu Arubah telah meriwayatkan dari Qatadah sehubungan dengan makna firman-Nya: Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala yang kelihatan. (Al An’am:103) Bahwa Dia Mahabesar dari kemampuan penglihatan mata untuk dapat melihat-Nya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sa’d ibnu Abdullah ibnu Abdul Hakam, telah menceritakan kepada kami Khalid ibnu Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Abu Urfujah, dari Atiyyah Al-Aufi sehubungan dengan makna firman-Nya: Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri, kepada Tuhannyalah mereka melihat. (Al Qiyaamah:22-23) Atiyyah mengatakan bahwa mereka melihat Allah, tetapi pandangan mereka tidak dapat meliputi-Nya karena Kebesaran-Nya, sedangkan pandangan Allah meliputi mereka semuanya. Yang demikian itu disebutkan oleh firman-Nya: Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala yang kelihatan.
Ulama lainnya lagi mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini dengan mengetengahkan apa yang diriwayatkan oleh Imam Turmuzi di dalam kitab Jami-nya, Ibnu Abu Asim di dalam kitab Sunnah-nya, Ibnu Abu Hatim di dalam kitab Tafsir-nya, Ibnu Murdawaih di dalam kitab Tafsir-nya, dan Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadis Al-Hakam ibnu Aban yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ikrimah berkata, “Aku pernah mendengar Ibnu Abbas mengatakan, ‘Muhammad pernah melihat Tuhannya Yang Mahasuci lagi Mahatinggi.’ Maka aku berkata, ‘Bukankah Allah telah berfirman: Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala yang kelihatan. (Al An’am:103)?’ Ibnu Abbas berkata kepadaku, ‘Semoga engkau tidak beribu (yakni celakalah kamu). Yang demikian itu adalah nur-Nya yang juga merupakan nur-Nya. Apabila Allah menampakkan nur-Nya, maka tidak ada sesuatu pun yang dapat melihat-Nya’.” Menurut riwayat lain, tidak ada sesuatu pun yang dapat tegak karena-Nya. Imam Hakim mengatakan bahwa asar ini sahih dengan syarat Syaikhain (Bukhari dan Muslim), tetapi keduanya tidak mengetengahkannya.
Sesungguhnya Allah tidak pernah tidur, dan tidak layak bagi-Nya tidur, Dia merendahkan timbangan (amal) dan meninggikannya. Dilaporkan kepada-Nya amal perbuatan siang hari sebelum malam tiba, dan amal malam hari sebelum siang hari tiba. Hijab (penghalang)-Nya adalah nur (atau api), seandainya Dia membuka hijab~Nya, niscaya kesucian Zat-Nya akan membakar semua makhluk-Nya sepanjang penglihatan-Nya.
Di dalam kitab-kitab terdahulu disebutkan bahwa sesungguhnya Allah berfirman kepada Musa ketika Musa memohon agar dapat melihat-Nya, “Hai Musa, sesungguhnya tidak ada makhluk hidup pun yang melihatKu melainkan pasti mati, dan tidak ada benda mati pun (yang Aku menampakkan diri-Ku kepadanya) melainkan pasti hancur lebur.” Dan Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى telah berfirman:
Tatkala Tuhannya tampak bagi gunung itu, kejadian itu membuat gunung itu hancur lebur dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata, “Mahasuci Engkau, aku bertobat kepada Engkau, dan aku orang yang pertama-tama beriman.” (Al A’raf:143)
Yang di-nafi-kan (ditiadakan) oleh asar ini adalah idrak secara khusus, tetapi bukan berarti me-nafi-kan dapat melihat-Nya kelak di hari kiamat, kelak di hari kiamat Allah menampakkan diri-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin menurut apa yang dikehendaki-Nya. Adapun mengenai keagungan dan kebesaran-Nya, sesuai dengan Zat-Nya Yang Mahatinggi lagi Mahasuci serta Mahabersih, tidak dapat dicapai oleh pandangan mata. Karena itulah Ummul Mu’minin Siti Aisyah r.a. menetapkan adanya penglihatan (dapat melihat Allah) di akhirat dan me-nafi-kan (meniadakan)nya di dunia. Siti Aisyah mengatakan demikian dengan berdalilkan firman-Nya yang mengatakan:
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala yang kelihatan.
Hal yang di-nafi-kan oleh Siti Aisyah ialah pencapaian yang dengan kata lain melihat kebesaran dan keagungan Allah sesuai dengan keadaan Zat-Nya, karena sesungguhnya hal tersebut tidak mungkin bagi manusia, tidak mungkin bagi para malaikat, tidak mungkin pula bagi makhluk lainnya.
…sedangkan Dia dapat melihat segala yang kelihatan.
Artinya, Dia meliputi semuanya dan mengetahui seluk-beluknya, karena sesungguhnya semuanya itu adalah makhluk-Nya, seperti yang disebutkan di dalam ayat lain:
Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kalian lahirkan dan rahasiakan), dan Dia Mahahalus lagi Maha Mengetahui? (Al Mulk:14)
Adakalanya pengertian absar diungkapkan menunjukkan makna orang-orang yang melihat, seperti yang dikatakan oleh As-Saddi dalam takwil firman-Nya:
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala yang kelihatan.
Yakni tiada sesuatu pun yang dapat melihat-Nya, sedangkan Dia melihat semua makhluk.
Abul Aliyah telah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya:
dan Dialah Yang Mahahalus lagi Maha Mengetahui.
Yakni Mahahalus untuk mengeluarkannya lagi Maha Mengetahui tentang tempatnya, Wallahu A lam. Takwil ini sama pengertiannya dengan nasihat Luqman terhadap anaknya, seperti yang disitir oleh firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berikut:
(Luqman berkata), “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasnya). Sesungguhnya Allah Mahahalus lagi Maha Mengetahui.” (Luqman:16)
(103) لَا تُدْرِكُهُ الْاَبْصَارُ “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata,” karena kebesaran, keagungan dan kesempurnaanNya, mak-sudnya, mata penglihatan tidak bisa mengetahuiNya dari segala segi walaupun mata bisa melihatNya dan bergembira dengan melihat kepada wajahNya yang mulia. Penafian terhadap penge-tahuan tidak berarti menafikan penglihatan, justru ia menetapkan-nya dengan cara pemahaman (mafhum), karena ketika ayat tersebut menafikan “pengetahuan” (idrak) yang mana ia merupakan sifat “penglihatan” (ru’yah) yang paling khusus, maka hal itu menunjuk-kan bahwa “penglihatan” adalah tetap (tsabit) dan tidak dinafikan.
Seandainya ayat ini hendak menafikan “penglihatan” niscaya ia akan mengatakan, “Tidak dilihat oleh mata,” atau ucapan lain yang sejenis. Dari sini diketahui bahwa dalam ayat ini tidak terdapat dalil yang mendukung pendapat para pengingkar sifat Allah yang meniadakan kemungkinan melihat Allah di Akhirat. Justru ayat ini mengandung bantahan terhadap pendapat tersebut.
وَهُوَ يُدْرِكُ الْاَبْصَارَۚ “Sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu.” Maksudnya, Dia-lah yang ilmuNya meliputi lahir dan batin. Pen-dengaranNya meliputi seluruh suara yang samar dan yang jelas, dan penglihatanNya meliputi segala yang terlihat, baik kecil mau-pun yang besar.
Oleh karenanya, Dia berfirman, وَهُوَ اللَّطِيْفُ الْخَبِيْرُ “Dan Dia-lah Yang Mahahalus lagi Maha Mengetahui.” Maksudnya, ilmu dan penge-tahuanNya cermat dan teliti sehingga Dia mengetahui sesuatu yang rahasia, yang samar, yang tersembunyi dan yang tersimpan. Dan di antara kelembutan Allah adalah bahwa Dia membimbing hamba-Nya kepada kemaslahatan agamanya, mengantarkannya kepadanya dengan cara di mana hamba itu tidak merasa dan tidak berusaha padanya.
Dia mengantarkannya pada kebahagiaan abadi dan keberun-tungan yang kekal dari arah yang tidak diduga, bahkan Dia mentak-dirkan perkara-perkara yang tidak disukai dan dirasa sakit oleh hamba sehingga dia memohon kepadaNya agar menyembuhkan-nya. Hal tersebut karena Dia mengetahui bahwa agamaNya lebih baik dan bahwa kesempurnaan agamaNya bergantung kepada ujian tersebut. Mahasuci Allah Yang Mahalembut kepada apa yang Dia Kehendaki, Maha Penyayang kepada orang-orang Mukmin.
Untuk lebih menguatkan uraian sifat-sifat Allah seperti yang disebut sebelumnya, Allah lalu menyatakan bahwa dia tidak dapat dicapai dalam bentuk apa pun oleh penglihatan mata, sedang dia dapat menjangkau dan melihat dengan sejelas-jelasnya segala penglihatan itu, dan dialah yang mahahalus sehingga tidak dapat dilihat oleh makhluk, lagi mahateliti sehingga dapat melihat segala sesuatukemampuan penglihatan manusia amat terbatas seperti diisyaratkan oleh ayat sebelum ini. Namun demikian, manusia dianugerahi oleh Allah dengan mata batin. Ayat ini menegaskan bahwa sungguh, bukti-bukti yang nyata dan sangat jelas telah datang dari tuhanmu yang disampaikan melalui wahyu. Barang siapa melihat kebenaran itu dengan mata hatinya, maka manfaatnya bagi dirinya sendiri, bukan untuk orang lain, dan barang siapa buta mata batinnya dan tidak melihat kebenaran itu, maka dia sendiri-lah yang akan rugi, bukan orang lain. Dan aku, yakni nabi Muhammad, bukanlah penjaga-Mu, tetapi aku hanya sekadar menyampaikan nasihat.
Al-An’am Ayat 103 Arab-Latin, Terjemah Arti Al-An’am Ayat 103, Makna Al-An’am Ayat 103, Terjemahan Tafsir Al-An’am Ayat 103, Al-An’am Ayat 103 Bahasa Indonesia, Isi Kandungan Al-An’am Ayat 103
Tafsir Surat Al-An’am Ayat: 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | 21 | 22 | 23 | 24 | 25 | 26 | 27 | 28 | 29 | 30 | 31 | 32 | 33 | 34 | 35 | 36 | 37 | 38 | 39 | 40 | 41 | 42 | 43 | 44 | 45 | 46 | 47 | 48 | 49 | 50 | 51 | 52 | 53 | 54 | 55 | 56 | 57 | 58 | 59 | 60 | 61 | 62 | 63 | 64 | 65 | 66 | 67 | 68 | 69 | 70 | 71 | 72 | 73 | 74 | 75 | 76 | 77 | 78 | 79 | 80 | 81 | 82 | 83 | 84 | 85 | 86 | 87 | 88 | 89 | 90 | 91 | 92 | 93 | 94 | 95 | 96 | 97 | 98 | 99 | 100 | 101 | 102 | 103 | 104 | 105 | 106 | 107 | 108 | 109 | 110 | 111 | 112 | 113 | 114 | 115 | 116 | 117 | 118 | 119 | 120 | 121 | 122 | 123 | 124 | 125 | 126 | 127 | 128 | 129 | 130 | 131 | 132 | 133 | 134 | 135 | 136 | 137 | 138 | 139 | 140 | 141 | 142 | 143 | 144 | 145 | 146 | 147 | 148 | 149 | 150 | 151 | 152 | 153 | 154 | 155 | 156 | 157 | 158 | 159 | 160 | 161 | 162 | 163 | 164 | 165
Raih pahala amal jariyah dengan cara membagikan (share) konten ini kepada yang lainnya. Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه
"Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)