{7} Al-A’raf / الأعراف | الْقُرْآنُ الْكَرِيْمُ | التوبة / At-Taubah (Al-Bara’ah) {9} |
Tafsir Al-Qur’an Surat Al-Anfal الأنفال (Harta Rampasan Perang) lengkap dengan tulisan arab latin, arti dan terjemah Bahasa Indonesia. Surah ke 8 Tafsir ayat Ke 34.
وَمَا لَهُمْ أَلَّا يُعَذِّبَهُمُ اللَّهُ وَهُمْ يَصُدُّونَ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَا كَانُوا أَوْلِيَاءَهُ ۚ إِنْ أَوْلِيَاؤُهُ إِلَّا الْمُتَّقُونَ وَلَـٰكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ ﴿٣٤﴾
wa mā lahum allā yu’ażżibahumullāhu wa hum yaṣuddụna ‘anil-masjidil-ḥarāmi wa mā kānū auliyā`ah, in auliyā`uhū illal-muttaqụna wa lākinna akṡarahum lā ya’lamụn
QS. Al-Anfal [8] : 34
Dan mengapa Allah tidak menghukum mereka padahal mereka menghalang-halangi (orang) untuk (mendatangi) Masjidilharam dan mereka bukanlah orang-orang yang berhak menguasainya? Orang yang berhak menguasai(nya), hanyalah orang-orang yang bertakwa, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.
Bagaimana mereka tidak berhak mendapat azab Allah, padahal mereka menghalangi wali-wali-Nya dari orang-orang mukmin untuk thawaf di Ka’bah dan shalat di Masjidil Haram? Mereka bukanlah wali Allah, sesungguhnya wali Allah hanyalah mereka yang bertakwa kepada-Nya dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Akan tetapi, kebanyakan dari orang-orang kafir itu tidak mengetahui, sehingga mereka mengaku apa yang bukan hak mereka.
Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى memberitahukan bahwa mereka adalah orang yang layak untuk ditimpa azab oleh Allah, tetapi azab tidak ditimpakan kepada mereka berkat keberadaan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ di antara mereka. Karena itu, ketika Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pergi dari kalangan mereka, maka Allah menimpakan siksaan-Nya kepada mereka dalam Perang Badar, sehingga banyak di antara pendekar mereka yang gugur dan orang-orang hartawannya menjadi tahanan perang. Dan Allah memberikan petunjukNya kepada mereka untuk meminta ampun kepada-Nya dari segala dosa yang selama itu mereka kerjakan, yaitu kemusyrikan dan kerusakan.
Qatadah dan As-Saddi serta selain keduanya mengatakan bahwa kaum itu (orang-orang musyrik) tidak beristigfar. Seandainya mereka beristigfar, niscaya mereka tidak akan disiksa. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir. Dia mengatakan, seandainya di kalangan mereka tidak terdapat kaum duafa dari kalangan kaum mukmin yang senantiasa memohon ampun, niscaya siksaan Allah akan menimpa mereka tanpa dapat dielakkan lagi. Tetapi siksaan itu tertolak berkat keberadaan kaum duafa dari kalangan kaum mukmin. Seperti yang disebutkan oleh Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى dalam firman-Nya pada hari perjanjian Hudaibiyyah, yaitu:
Orang-orang yang kafir yang menghalang-halangi kalian dari (masuk) Masjidil Haram dan menghalangi hewan kurban sampai ke tempat (penyembelihan)nya. Dan kalau tidaklah karena laki-laki yang mukmin dan perempuan-perempuan yang mukmin yang tiada kalian ketahui, bahwa kalian akan membunuh mereka yang menyebabkan kalian ditimpa kesusahan tanpa pengetahuan kalian (tentulah Allah tidak akan menahan tangan kalian dari membinasakan mereka), supaya Allah memasukkan siapa yang dikehendakinya ke dalam rahmat-Nya. Sekiranya mereka tidak bercampur-baur, tentulah Kami akan mengazab orang-orang kafir di antara mereka dengan azab yang pedih. (Al Fath:25)
Ibnu Jarir mengatakan telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Ya’qub, dari Ja’far ibnu Abul Mugirah, dari Ibnu Abza, ketika “Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berada di Mekah, Allah menurunkan firman-Nya:
Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedangkan kamu berada di antara mereka.
Tetapi setelah Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berangkat ke Madinah, maka Allah menurunkan firman-Nya:
Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedangkan mereka meminta ampun.
Ibnu Jarir mengatakan, mereka adalah orang-orang lemah dari kalangan kaum muslim yang masih tertinggal di Mekah, dan mereka selalu beristigfar memohon ampun kepada Allah. Tetapi setelah mereka semua pergi meninggalkan Mekah, maka Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menurunkan firman-Nya: Mengapa Allah tidak mengazab mereka, padahal mereka menghalangi orang untuk (mendatangi) Masjidil Haram, dan mereka bukanlah orang-orang yang berhak menguasainya? (Al Anfaal:34) Maka Allah mengizinkan Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ untuk membuka kota Mekah, dan hal ini merupakan azab yang diancamkan kepada mereka.
Hal yang semisal dengan riwayat ini telah diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas, Abu Malik, Ad-Dahhak, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang.
Pendapat lain ada yang mengatakan bahwa ayat ini memansukh (merevisi) firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى yang mengatakan:
Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedangkan mereka meminta ampun.
Tetapi dengan maksud bahwa istigfar itu yang dilakukan oleh mereka (orang-orang kafir Mekah).
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Wadih, dari Al-Husain ibnu Waqid, dari Yazid An-Nahwi, dari Ikrimah dan Al-Hasan Al-Basri. Keduanya mengatakan sehubungan dengan firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى dalam surat Al-Anfal, yaitu:
Dan sekali-kali Allah tidak akan mengazab mereka, sedangkan kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedangkan mereka meminta ampun.
Lalu ayat ini di-mansukh oleh ayat berikutnya, yaitu:
Mengapa Allah tidak mengazab mereka sampai dengan firman-Nya: Maka rasakanlah azab disebabkan kekqfiran kalian. Akhirnya mereka diperangi di Mekah, dan mereka tertimpa kelaparan dan kesengsaraan.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim melalui hadis Abu Namilah Yahya ibnu Wadih.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabbah, telah menceritakan kepada kami Hajjaj ibnu Muhammad, dari Ibnu Juraij dan Usman ibnu Ata, dari Ata, dari Ibnul Abbas sesuai dengan makna Firman-Nya :
Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedangkan mereka meminta ampun.
Kemudian Allah mengecualikan orang-orang yang musyrik, melalui firman-Nya:
Mengapa Allah tidak mengazab mereka, padahal mereka menghalangi orang untuk (mendatangi) Masjidil Haram.
Adapun firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Mengapa Allah tidak mengazab mereka, padahal mereka menghalangi orang untuk (mendatangi) Masjidil Haram, dan mereka bukanlah orang-orang yang berhak menguasainya? (Orang-orang yang berhak menguasainya) hanyalah orang-orang yang bertakwa, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.
Maksudnya, mengapa Allah tidak mengazab mereka, sedangkan mereka menghalangi manusia untuk mendatangi Masjidil Haram? Mereka menghalang-halangi orang-orang mukmin, padahal orang-orang mukmin adalah orang-orang yang berhak menguasainya dengan mengerjakan salat dan tawaf di dalamnya. Untuk itulah maka dalam ayat berikut ini disebutkan:
…dan mereka bukanlah orang-orang yang berhak menguasainya.
Yakni orang-orang musyrik itu bukanlah ahli Masjidil Haram, sesungguhnya yang ahli Masjidil Haram hanyalah Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan para sahabatnya. Seperti juga yang disebutkan oleh Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى dalam ayat yang lain melalui firman-Nya:
Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjid Allah, sedangkan mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka kekal di dalam neraka. Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan salat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk (At Taubah:17-18)
tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil Haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. (Al Baqarah:217), hingga akhir ayat.
Sehubungan dengan tafsir ayat ini Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Ahmad (yaitu At Tabrani) telah menceritakan kepada kami Ja’far ibnu Ilyas ibnu Sadaqah Al-Masri, telah menceritakan kepada kami Na’im ibnu Hammad, telah menceritakan kepada Kami Nuh Ibnu Abu Maryam. dari Yahya ibnu Sa’id Al-Ansari, dari Anas ibnu Malik r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah ditanya, “Siapakah kekasih-kekasihmu?” Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjawab, “Semua orang yang bertakwa.” Lalu Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ membacakan firman-Nya:
Orang-orang yang berhak menguasainya hanyalah orang-orang yang bertakwa.
Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya mengatakan bahwa:
telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Asy-Syafi’i, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnul Hasan, telah menceritakan kepada kami Abu Huzaifah, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abdullah ibnu Khaisam. dari Ismail ibnu Ubaid ibnu Rifa’ah, dari ayahnya, dari kakeknya yang menceritakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengumpulkan kabilah Quraisy, lalu beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bertanya, “Apakah di antara kalian terdapat orang-orang selain dari kalangan kalian?” Mereka menjawab, “Di kalangan kami sekarang terdapat anak lelaki saudara perempuan kami, teman sepakta kami, dan maula kami.” Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda: Teman sepakta kami adalah sebagian dari kami, anak laki-laki saudara perempuan kami adalah sebagian dari kami, dan maula kami adalah sebagian dari kami, tetapi kekasih-kekasihku (orang-orang yang berhak kepadaku) di antara kalian adalah orang-orang yang bertakwa.
Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa hadis ini sahih, tetapi keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak mengetengahkannya.
Urwah, As-Saddi, dan Muhammad ibnu Ishaq mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
Orang-orang yang berhak menguasai(nya) hanyalah orang-orang yang bertakwa.
Mereka adalah Nabi Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan para sahabatnya.
Menurut Mujahid, mereka adalah kaum Mujahidin, siapa pun mereka adanya dan di mana pun mereka berada.
(34) Kemudian Allah berfirman, وَمَا لَهُمْ اَلَّا يُعَذِّبَهُمُ اللّٰهُ “Kenapa Allah tidak mengazab mereka”, yakni apa yang menghalangi mereka dari azab Allah, padahal mereka telah melakukan sebab-sebabnya? Yaitu menghalang-halangi manusia dari Masjidil Haram, lebih-lebih mereka menghalangi Nabi a dan para sahabat yang sebenarnya lebih layak dengannya daripada mereka. Oleh karena itu Dia berfir-man, وَمَا كَانُوْٓا “Dan mereka bukanlah”, yakni orang-orang musyrik itu اَوْلِيَاۤءَهٗۗ “orang-orang yang berhak menguasainya.” Ada kemung-kinan dhamir (kata ganti)nya kembali kepada Allah, yakni wali-wali Allah, ada kemungkinan ia kembali ke Masjidil Haram, yakni me-reka tidak lebih berhak terhadapnya daripada orang lain. اِنْ اَوْلِيَاۤؤُهٗٓ اِلَّا الْمُتَّقُوْنَ “Orang-orang yang berhak menguasai(nya), hanyalah orang-orang yang bertakwa.” Yaitu orang-orang yang beriman kepada Allah dan RasulNya, mengesakanNya dengan tauhid dan ibadah dan mengikhlaskan agama hanya untukNya. وَلٰكِنَّ اَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ “Te-tapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” Oleh karena itu mereka mengklaim perkara padahal orang lain lebih berhak terhadap per-kara tersebut daripada mereka.
Allah bukannya tidak akan menyiksa mereka, tetapi hanya menangguhkan, karena nabi Muhammad masih berada di tengah mereka dan juga karena masih ada yang beristigfar. Pada waktunya mereka tetap akan disiksa. Dan mengapa Allah tidak menghukum mereka padahal mereka wajar untuk disiksa, antara lain karena mereka menghalang-halangi orang secara terus-menerus untuk mendatangi masjidilharam guna beribadah dan menghormatinya. Mereka berdalih bahwa mereka adalah auliya’-Nya; pembina, pemelihara dan penguasanya, padahal mereka bukanlah auliya’, yakni orang-orang yang berhak menguasai, membina, dan memelihara-Nya’ sesungguhnya para auliya’, yakni orangorang yang berhak menguasai, membina, dan memelihara-Nya tidak lain hanyalah orang-orang yang bertakwa, yakni yang benar-benar telah mantap ketakwaan dalam jiwanya, bukan sekadar orang yang beriman, apalagi orang yang bergelimang dalam dosa. Demikian seharusnya, tetapi kebanyakan mereka, yakni kaum musyrik, tidak mengetahui siapa yang seharusnya membina dan memelihara masjid, sehingga menguasai sesuatu yang semestinya menjadi hak orang lain. Mereka pun tidak mau memahami agama dan mengerti kedudukan masjid itu di sisi Allah. Salah satu bukti ketidaklayakan mereka mengelola masjidilharam adalah seperti diuraikan pada ayat ini. Dan apa yang mereka anggap sebagai salat mereka yang seharusnya dilakukan dengan dengan penuh khusyuk, ketulusan, dan penghormatan kepada Allah, apalagi itu dilakukan di sekitar baitullah itu, tidak lain hanyalah siulan dan tepuk tangan. Maka kelak ketika azab telah jatuh, dikatakan kepada mereka, rasakanlah azab disebabkan sejak dahulu hingga kini kamu terus-menerus melakukan kekufuran. Terimalah kematian kamu di medan perang, agar kesyirikan itu menjauh dari masjidilharam, dan kematian itu tidak lain akibat kekufuran kamu.
Al-Anfal Ayat 34 Arab-Latin, Terjemah Arti Al-Anfal Ayat 34, Makna Al-Anfal Ayat 34, Terjemahan Tafsir Al-Anfal Ayat 34, Al-Anfal Ayat 34 Bahasa Indonesia, Isi Kandungan Al-Anfal Ayat 34
Tafsir Surat Al-Anfal Ayat: 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | 21 | 22 | 23 | 24 | 25 | 26 | 27 | 28 | 29 | 30 | 31 | 32 | 33 | 34 | 35 | 36 | 37 | 38 | 39 | 40 | 41 | 42 | 43 | 44 | 45 | 46 | 47 | 48 | 49 | 50 | 51 | 52 | 53 | 54 | 55 | 56 | 57 | 58 | 59 | 60 | 61 | 62 | 63 | 64 | 65 | 66 | 67 | 68 | 69 | 70 | 71 | 72 | 73 | 74 | 75
Raih pahala amal jariyah dengan cara membagikan (share) konten ini kepada yang lainnya. Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه
"Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)