{8} Al-Anfal / الأنفال | الْقُرْآنُ الْكَرِيْمُ | يونس / Yunus {10} |
Tafsir Al-Qur’an Surat At-Taubah التوبة (Pengampunan) lengkap dengan tulisan arab latin, arti dan terjemah Bahasa Indonesia. Surah ke 9 Tafsir ayat Ke 84.
وَلَا تُصَلِّ عَلَىٰ أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلَا تَقُمْ عَلَىٰ قَبْرِهِ ۖ إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ ﴿٨٤﴾
wa lā tuṣalli ‘alā aḥadim min-hum māta abadaw wa lā taqum ‘alā qabrih, innahum kafarụ billāhi wa rasụlihī wa mātụ wa hum fāsiqụn
QS. At-Taubah [9] : 84
Dan janganlah engkau (Muhammad) melaksanakan shalat untuk seseorang yang mati di antara mereka (orang-orang munafik), selama-lamanya dan janganlah engkau berdiri (mendoakan) di atas kuburnya. Sesungguhnya mereka ingkar kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.
Janganlah pernah engkau (wahai Rasul) menyalatkan jenazah seorang pun yang mati dari orang-orang munafik selamanya. Dan jangan pernah engkau berdiri di kuburannya untuk mendoakannya. Karena mereka adalah orang-orang yang kufur terhadap Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik. Hukum ini umum berlaku bagi siapa saja yang diketahui kemunafikannya.
Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى memerintahkan kepada Rasul-Nya agar berlepas diri dari orang-orang munafik, jangan menyalatkan jenazah seorang pun dari mereka yang mati, dan janganlah berdiri di kuburnya untuk memohonkan ampun baginya atau berdoa untuknya, karena sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mereka mati dalam kekafirannya.
Hal ini merupakan hukum yang bersifat umum berlaku terhadap setiap orang yang telah dikenal kemunafikannya, sekalipun penyebab turunnya ayat ini berkenaan dengan Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul, pemimpin orang-orang munafik.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ubaid ibnu Isma’il, dari Abu Usamah, dari Ubaidillah, dari Nafi’, dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa ketika Abdulah ibnu Ubay mati, maka anaknya yang juga bernama Abdullah datang menghadap Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan meminta baju gamis Rasul صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ untuk dipakai sebagai kain kafan ayahnya. Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memberikan baju gamisnya kepada Abdullah. Kemudian Abdullah meminta kepada Rasul صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ untuk menyalatkan jenazah ayahnya. Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bangkit untuk menyalatkannya. Tetapi Umar bangkit pula dan menarik baju Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ seraya berkata, “Wahai Rasulullah, apakah engkau akan menyalatkan jenazahnya, padahal Tuhanmu telah melarangmu menyalatkannya?” Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda: Sesungguhnya Allah hanya memberiku pilihan. Dia telah berfirman “Kamu mohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja). Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampun kepada mereka.” Dan aku akan melakukannya lebih dari tujuh puluh kali. Umar berkata, “Dia orang munafik.” Tetapi Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tetap menyalatkannya. Maka Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menurunkan ayat ini, yaitu firman-Nya:
Dan janganlah kamu sekali-kali menyalatkan (jenazah) seorang pun yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri di kuburnya.
Kemudian Imam Bukhari meriwayatkannya dari Ibrahim ibnul Munzir, dari Anas ibnu Iyad, dari Ubaidillah (yakni Ibnu Umar Al-Umari) dengan sanad yang sama. Antara lain disebutkan bahwa Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tetap menyalatkannya, maka kami (para sahabat) ikut salat bersamanya, lalu Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menurunkan firman-Nya:
Dan janganlah kamu sekali-kali menyalatkan (jenazah) seorang pun yang mati di antara mereka., hingga akhir ayat.
Imam Ahmad telah meriwayatkan hal yang semisal dengan hadis ini melalui hadis Umar ibnul Khattab juga. Untuk itu, Imam Ahmad mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Ya’qub, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Ibnu Ishaq, telah menceritakan kepadaku Az-Zuhri, dari Ubaidillah ibnu Abdullah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Umar ibnul Khattab r.a. mengatakan, “Ketika Abdullah ibnu Ubay mati, Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ diundang untuk ikut menyalatkan jenazahnya. Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bangkit untuk menyalatkannya. Ketika beliau berdiri di hadapan jenazah itu dengan maksud akan menyalatkannya, maka aku (Umar) berpindah tempat hingga aku berdiri di depan dadanya, lalu aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah engkau akan menyalatkan musuh Allah —si Abdullah ibnu Ubay— ini yang telah melakukan hasutan pada hari anu dan hari anu?’ seraya menyebutkan bilangan hari-hari yang telah dilakukannya. Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ hanya tersenyum, hingga ketika aku mendesaknya terus, maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda, ‘Minggirlah dariku, hai Umar. Sesungguhnya aku disuruh memilih, maka aku memilih. Allah telah berfirman kepadaku: Kamu mohonkan ampun bagi mereka. (At Taubah:80), hingga akhir ayat. Seandainya aku mengetahui bahwa jika aku melakukannya lebih dari tujuh puluh kali, lalu mendapat ampunan, niscaya aku akan menambahkannya.’ Kemudian Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyalatkannya, berjalan mengiringi jenazahnya, dan berdiri di kuburnya hingga selesai dari pengebumiannya. Umar berkata, ‘Saya sendiri merasa aneh mengapa kali ini saya berani berbuat demikian kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Hanya Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui. Tetapi tidak lama kemudian turunlah ayat berikut,’ yaitu firman-Nya: Dan janganlah kamu sekali-kali menyalatkan (jenazah) seorang-pun yang mati di antara mereka. (At Taubah:84), hingga akhir ayat. Sesudah itu Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak pernah lagi menyalatkan jenazah orang munafik, tidak pula berdiri di kuburnya hingga beliau wafat.”
Imam Bukhari meriwayatkannya dari Yahya ibnu Bukair, dari Al-Lais, dari Aqil, dari Az-Zuhri dengan sanad yang sama, lalu disebutkan hal yang semisal. Antara lain disebutkan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda, “Minggirlah dariku, hai Umar.” Ketika Umar mendesaknya terus, maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda: Sesungguhnya aku disuruh memilih, maka aku memilih. Dan seandainya aku mengetahui bahwa bila aku memohonkan ampun baginya lebih dari tujuh puluh kali diampuni baginya, niscaya aku akan menambahkannya. Lalu Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyalatkannya. Setelah itu beliau pergi, dan tidak lama kemudian turunlah dua ayat dari surat Al-Bara’ah (At-Taubah) yang dimulai dari firman-Nya: Dan janganlah kamu sekali-kali menyalatkan (jenazah) seorang pun yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri di kuburnya. (At Taubah:84), hingga akhir ayat berikutnya. Umar berkata, “Sesudah itu saya merasa heran mengapa saya begitu berani terhadap Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, padahal Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ jelas lebih mengetahui.”
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ubaid, telah menceritakan kepada kami Abdul Malik, dari Ibnuz Zubair, dari Jabir yang menceritakan bahwa ketika Abdullah ibnu Ubay meninggal dunia, maka anaknya datang menghadap kepada Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau jika tidak mendatanginya, maka kami tetap akan merasa kecewa karenanya.” Maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ datang dan menjumpai jenazahnya telah dimasukkan ke dalam liang kuburnya. Rasul صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda, “Mengapa kalian tidak mengundangku sebelum kalian memasukkannya ke dalam liang kubur?” Lalu jenazahnya dikeluarkan dari liang kubur, dan Rasul صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ meludahinya dari bagian atas hingga telapak kakinya, lalu memakaikan baju gamis yang dipakainya kepada jenazah itu.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Usman, telah menceritakan kepada kami Ibnu Uyaynah, dari Amr yang telah mendengar Jabir ibnu Abdullah menceritakanJiadis berikut, bahwa Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ datang kepada jenazah Abdullah ibnu Ubay sesudah dimasukkan ke dalam kuburnya. Beliau memerintahkan agar dikeluarkan, maka jenazah itu dikeluarkan. Kemudian Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ meletakkannya di atas kedua lututnya dan meludahinya serta memakaikan baju gamisnya kepada jenazah itu.
Imam Abu Bakar Ahmad ibnu Amr ibnu Abdul Khaliq Al-Bazzar dalam kitab Musnad-nya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Yahya, telah menceritakan kepada kami Mujalid, telah menceritakan kepada kami Amir. telah menceritakan kepada kami Jabir. Dan telah menceritakan kepada kami Yusuf ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Migra Ad-Dausi, telah menceritakan kepada kami Mujalid, dari Asy-Sya’bi, dari Jabir yang mengatakan bahwa ketika pemimpin orang-orang munafik mati —menurut Yahya ibnu Sa’id disebutkan— di Madinah, sebelumnya ia berwasiat minta disalatkan oleh Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Maka anaknya datang menghadap Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan berkata, “Sesungguhnya ayahku telah berwasiat bahwa ia minta agar dikafani dengan baju gamismu.” Teks ini ada pada hadis yang diriwayatkan oleh Abdur Rahman ibnu Migra. Yahya dalam hadisnya mengatakan.”Lalu Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyalatkannya dan memakaikan baju gamisnya kepada jenazah itu.” Lalu Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menurunkan firman-Nya: Dan janganlah kamu sekali-kali menyalatkan (jenazah) seorang pun yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri di kuburnya. (At Taubah:84)
Dalam riwayatnya Abdur Rahman menambahkan bahwa Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menanggalkan baju gamisnya, kemudian memberikannya kepada anak pemimpin munafik itu, lalu beliau berangkat dan menyalatkannya serta berdiri di kuburnya. Setelah beliau pergi dari tempat itu, datanglah Malaikat Jibril menyampaikan firman-Nya: Dan janganlah kamu sekali-kali menyalatkan (jenazah) seorang pun yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri di kuburnya. (At Taubah:84)
Sanad hadis ini tidak ada masalah, hadis yang sebelumnya menjadi syahid yang menguatkannya.
Qatadah mengatakan bahwa Abdullah ibnu Ubay ketika sedang sakit keras mengirimkan utusannya kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ untuk mengundangnya. Ketika Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ masuk menemuinya, maka Nabi Saw bersabda, “Cintamu kepada agama Yahudi membinasakan dirimu.” Abdullah ibnu Ubay berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mengundangmu untuk memohonkan ampun bagiku, dan aku tidak mengundangmu untuk menegurku.” Kemudian Abdullah meminta kepada Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ agar baju gamis Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ diberikan kepadanya untuk ia pakai sebagai kain kafan. Lalu Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memberikannya. Setelah Abdullah ibnu Ubay mati, Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyalatkannya dan berdiri di kuburnya (mendoakannya). Maka Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menurunkan firman-Nya:
Dan janganlah kamu sekali-kali menyalatkan (jenazah) seorang pun yang mati di antara mereka., hingga akhir ayat.
Sebagian ulama Salaf menyebutkan, “Sesungguhnya Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mau memberikan baju gamisnya kepada Abdullah ibnu Ubay karena Abdullah ibnu Ubay pernah memberikan baju gamisnya kepada Al-Abbas —paman Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ— di saat datang ke Madinah. Saat itu Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mencari baju gamis yang sesuai dengan ukuran tubuh pamannya, tetapi tidak menemukannya kecuali pakaian Abdullah ibnu Ubay, karena Abdullah ibnu Ubay sama tinggi dan besarnya dengan Al-Abbas. Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melakukan hal itu sebagai balas jasa kepadanya. Sesudah itu —yakni sesudah turunnya ayat ini— Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak lagi menyalatkan jenazah seorang pun dari orang-orang munafik yang mati, tidak pula berdiri di kuburnya.”
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya’qub, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari ayahnya, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Abu Qatadah, dari ayahnya yang menceritakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ apabila diundang untuk menghadiri jenazah, terlebih dahulu menanyakan tentangnya. Jika orang-orang menyebutnya dengan sebutan memuji karena baik, maka beliau bangkit dan mau menyalatkannya. Tetapi jika keadaan jenazah itu adalah sebaliknya, maka beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ hanya bersabda, “Itu terserah kalian,” dan beliau tidak mau menyalatkannya.
Disebutkan bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab tidak mau menyalatkan jenazah orang yang tidak dikenalnya, kecuali bila Huzaifah ibnul Yaman mau menyalatkannya, maka barulah ia mau menyalatkannya, karena Huzaifah ibnul Yaman mengetahui satu per satu dari orang-orang munafik itu, Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah menceritakan hal itu kepadanya. Oleh sebab itu, Huzaifah ibnul Yaman diberi julukan sebagai pemegang rahasia yang tidak diketahui oleh sahabat lainnya.
Abu Ubaid di dalam Kitabul Garib mengatakan sehubungan dengan hadis Umar, bahwa ia pernah hendak menyalatkan jenazah seorang lelaki, tetapi Huzaifah menjentiknya seakan-akan bermaksud mencegahnya supaya jangan menyalatkan jenazah orang itu. Kemudian diriwayatkan dari sebagian ulama bahwa istilah al-mirz yang disebutkan dalam hadis ini ialah menjentik dengan ujung jari.
Setelah Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى melarang menyalatkan jenazah orang-orang munafik dan berdiri di kubur mereka untuk memohonkan ampun bagi mereka, maka perbuatan seperti itu terhadap orang-orang mukmin merupakan amal taqarrub yang paling besar, yakni melakukan kebalikannya, dan pelakunya akan mendapat pahala yang berlimpah, seperti yang disebutkan di dalam kitab-kitab Sahih dan kitab-kitab hadis yang lainnya melalui hadis Abu Hurairah r.a. yang menyebutkan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda:
Barang siapa yang menyaksikan jenazah hingga menyalatkannya, maka baginya pahala satu qirat, dan barang siapa yang menyaksikannya hingga mengebumikannya, maka baginya pahala dua qirat. Ketika ditanyakan, “Apakah dua qirat itu?” Maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda, “Yang paling kecil di antara keduanya besarnya sama dengan Bukit Uhud.”
Adapun mengenai berdiri di kubur orang mukmin yang meninggal dunia. maka Imam Abu Daud menyebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Ibrahim Ibnu Musa Ar-Razi telah menceritakan kepada kami Hisyam, dari Abdullah ibnu Buhair, dari Hani’ (yaitu Abu Sa’id Al-Bariri maula Usman ibnu Affan) dari Usman ibnu Affan yang mengatakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ apabila telah selesai dari mengebumikan jenazah, maka beliau berdiri di kuburannya dan bersabda:
Mohonkanlah ampun bagi saudara kalian, dan mintakanlah keteguhan buatnya, karena sesungguhnya sekarang ia akan ditanyai.
Hadis diriwayatkan secara munfarid oleh Imam Abu Daud.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: وَلَا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا “Dan jangan-lah kamu sekali-kali menshalatkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka”, orang-orang munafik. وَلَا تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ “Dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya,” setelah dikubur untuk mendoakan-nya, karena doa dan berdiri di atas kubur mereka adalah syafa’at darinya kepada mereka, sementara tak berguna lagi syafa’at bagi mereka. إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ “Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan RasulNya dan mereka mati dalam keadaan fasik.” Barangsiapa yang kafir dan mati di atas kekufuran, maka syafa’at pemberi syafa’at tidak berguna baginya. Di dalam hal tersebut ter-dapat pelajaran bagi selain mereka, dan hardikan serta peringatan bagi mereka. Begitulah, siapa pun yang diketahui bahwa dia adalah kafir dan munafik, maka dia tidak dishalatkan (ketika mati). Di dalam ayat ini terdapat dalil disyariatkannya shalat jenazah atas orang-orang yang beriman dan berdiri di atas kubur mereka untuk mendoakan mereka, sebagaimana Nabi a melakukan hal itu kepada orang-orang yang beriman, karena pembatasan larangan pada orang-orang munafik menunjukkan bahwa hal itu dibolehkan untuk orang-orang yang beriman.
Dan juga jika kelak mereka meninggal dunia, maka janganlah engkau, wahai nabi Muhammad, melaksanakan salat jenazah untuk seseorang yang mati di antara mereka, orang-orang munafik, selama-lamanya dan janganlah engkau mengantar jenazahnya serta berdiri untuk mendoakan di atas kuburnya yang berarti memohon rahmat dan ampunan, padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada Allah dan rasul-Nya, baik melalui ucapan maupun tindakan, dan tidak sempat bertobat sehingga mereka mati dalam keadaan fasik, yaitu keluar dari ketaatan kepada Allah, baik lahir maupun batin, makanya mereka tidak layak disalatkan dan didoakan. Ayat ini menjadi landasan hukum haramnya mendoakan seseorang yang mati dalam keadaan kafir. (lihat: surah at-taubah/9: 113). Setelah Allah melarang untuk menyalatkan kaum munafik, kemudian dia mengingatkan agar juga tidak terpedaya oleh kekayaan mereka. Dan janganlah engkau, wahai nabi Muhammad dan juga kaum mukmin, kagum terhadap harta mereka sebanyak apa pun dan juga anak-anak mereka. Sesungguhnya dengan itu, yakni harta dan anak-anak tersebut, Allah hendak menyiksa mereka di dunia sehingga berani menyombongkan diri dengan menolak kebenaran dan agar dalam keadaan bergelimang harta itu juga nyawa mereka melayang, sedang mereka mati dalam keadaan kafir.
At-Taubah Ayat 84 Arab-Latin, Terjemah Arti At-Taubah Ayat 84, Makna At-Taubah Ayat 84, Terjemahan Tafsir At-Taubah Ayat 84, At-Taubah Ayat 84 Bahasa Indonesia, Isi Kandungan At-Taubah Ayat 84
Tafsir Surat At-Taubah Ayat: 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | 21 | 22 | 23 | 24 | 25 | 26 | 27 | 28 | 29 | 30 | 31 | 32 | 33 | 34 | 35 | 36 | 37 | 38 | 39 | 40 | 41 | 42 | 43 | 44 | 45 | 46 | 47 | 48 | 49 | 50 | 51 | 52 | 53 | 54 | 55 | 56 | 57 | 58 | 59 | 60 | 61 | 62 | 63 | 64 | 65 | 66 | 67 | 68 | 69 | 70 | 71 | 72 | 73 | 74 | 75 | 76 | 77 | 78 | 79 | 80 | 81 | 82 | 83 | 84 | 85 | 86 | 87 | 88 | 89 | 90 | 91 | 92 | 93 | 94 | 95 | 96 | 97 | 98 | 99 | 100 | 101 | 102 | 103 | 104 | 105 | 106 | 107 | 108 | 109 | 110 | 111 | 112 | 113 | 114 | 115 | 116 | 117 | 118 | 119 | 120 | 121 | 122 | 123 | 124 | 125 | 126 | 127 | 128 | 129
Raih pahala amal jariyah dengan cara membagikan (share) konten ini kepada yang lainnya. Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه
"Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)