{11} Hud / هود | الْقُرْآنُ الْكَرِيْمُ | الرعد / Ar-Ra’d {13} |
Tafsir Al-Qur’an Surat Yusuf يوسف (Nabi Yusuf) lengkap dengan tulisan arab latin, arti dan terjemah Bahasa Indonesia. Surah ke 12 Tafsir ayat Ke 23.
وَرَاوَدَتْهُ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا عَنْ نَفْسِهِ وَغَلَّقَتِ الْأَبْوَابَ وَقَالَتْ هَيْتَ لَكَ ۚ قَالَ مَعَاذَ اللَّهِ ۖ إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ ۖ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ ﴿٢٣﴾
wa rāwadat-hullatī huwa fī baitihā ‘an nafsihī wa gallaqatil-abwāba wa qālat haita lak, qāla ma’āżallāhi innahụ rabbī aḥsana maṡwāy, innahụ lā yufliḥuẓ-ẓālimụn
QS. Yusuf [12] : 23
Dan perempuan yang dia (Yusuf) tinggal di rumahnya menggoda dirinya. Dan dia menutup pintu-pintu, lalu berkata, “Marilah mendekat kepadaku.” Yusuf berkata, “Aku berlindung kepada Allah, sungguh, tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.” Sesungguhnya orang yang zalim itu tidak akan beruntung.
Istri pembesar Mesir (yang Yusuf tinggal di rumahnya) itu memanggil Yusuf dengan lemah lembut agar dia menemuinya, karena rasa cintanya yang besar kepada Yusuf dan ketampanannya. Kemudian dia menutup dan mengunci pintu-pintu, lalu berkata, “Marilah mendekat kepadaku.” Yusuf berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari apa yang engkau inginkan, aku tidak ingin mengkhianati tuanku yang telah memperlakukanku dengan baik dan memuliakanku. Aku tidak ingin berkhianat dengan berbuat yang tidak baik kepada keluarganya. Sesungguhnya orang-orang zalim itu tidak akan beruntung dengan berbuat apa yang tidak semestinya.”
Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menceritakan perihal istri Aziz yang Yusuf tinggal di dalam rumahnya di Mesir. Suaminya telah berpesan kepadanya agar memperlakukan dan melayani Yusuf dengan baik. Maka pada suatu hari istri Aziz merayu Yusuf, yakni menggodanya untuk melakukan perbuatan mesum, karena istri Aziz sangat cinta kepada Yusuf, sebab Yusuf telah menjadi seorang lelaki yang sangat tampan dan berwibawa. Hal inilah yang mendorongnya untuk mempercantik dirinya buat Yusuf, lalu ia menutup semua pintu rumah yang Yusuf ada di dalamnya, kemudian ia mengajak Yusuf untuk berbuat mesum.
…dan ia berkata, “Marilah ke sini.”
Yusuf menolak ajakan itu dengan tolakan yang keras, dan ia mengatakan:
Yusuf berkata.”Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.”
Mereka menyebut kata Rabb untuk tuan dan orang besar di kalangan mereka. Dengan kata lain, maksudnya adalah ‘sesungguhnya suamimu adalah tuanku, dia telah memperlakukan diriku dengan perlakuan yang baik dan menempatkan diriku pada kedudukan yang baik, maka aku tidak akan membalas kebaikan ini dengan melakukan perbuatan keji (zina) terhadap istrinya’.
Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan beruntung.
Demikianlah menurut tafsir yang dikemukakan oleh Mujahid, As-Saddi, Muhammad ibnu Ishaq, dan lain-lainnya.
Ulama qiraat berbeda pendapat sehubungan dengan bacaan firman-Nya:
Marilah ke sini.
Kebanyakan ulama membacanya dengan harakat fathah pada huruf ha, yaitu haita. Ibnu Abbas, Mujahid, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa makna haita lak ialah si wanita itu mengajaknya untuk berbuat mesum.
Ali ibnu Abu Talhah dan Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Marilah ke sini.
Yakni kemarilah kamu.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Zur ibnu Hubaisy, Ikrimah, Al-Hasan, dan Qatadah. Amr ibnu Ubaid telah meriwayatkan dari Al-Hasan, bahwa lafaz haita lak adalah bahasa Siryani yang artinya ‘kemarilah ke sini’.
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Marilah ke sini. Lafaz ini berasal dari bahasa Qibti yang artinya ‘marilah ke sini’. Mujahid mengatakan bahwa haita lak adalah bahasa Arab yang maksudnya ialah ajakan.
Imam Bukhari mengatakan bahwa Ikrimah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Marilah ke sini. Yakni ‘kemarilah kamu’ memakai bahasa Haurani.
Demikianlah menurut Imam Bukhari secara mu’allaq.
Tetapi disebutkan secara isnad oleh Ja’far ibnu Jarir yang mengatakan bahwa telah menceritakan kepadaku Ahmad ibnu Sahi Al-Wasiti, telah menceritakan kepada kami Qurrah ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami An-Nadr ibnu Ali Al-Jazari, dari Ikrimah maula Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Marilah ke sini. Maksudnya, hai kamu, kemarilah ke sini’. Ikrimah mengatakan bahwa kata-kata ini memakai bahasa Haurani.
Abu Ubaid Al-Qasim ibnu Salam mengatakan bahwa Imam Kisai’ pernah meriwayatkan qiraat ayat ini, yakni firman-Nya: Marilah ke sini. Lalu ia mengatakan bahwa kata-kata ini berasal dari penduduk Hauran yang biasa dipakai oleh penduduk Hijaz, artinya ‘kemarilah’.
Abu Ubaidah mengatakan bahwa ia pernah menanyakan kepada seorang syekh (guru) yang alim dari kalangan penduduk Hauran, dan ternyata ia menjawab bahwa kata-kata itu berasal dari bahasa mereka yang biasa mereka pakai.
Sedangkan sebagian ulama membacanya “هِئتُ لَكَ”yang artinya ‘aku telah bersiap-siap untukmu’, berasal dari kata hi-tu lil amri, yakni aku telah bersiap-siap mengerjakan urusan itu, bentuk mudari ‘-nya ialah ahi-u, dan bentuk masdar-nya ialah hi-atan. Di antara ulama yang meriwayatkan qiraat ini ialah Ibnu Abbas, Abu Abdur Rahman As-Sulami, Abu Wail, Ikrimah, dan Qatadah, semuanya menafsirkannya dengan makna ‘aku telah bersiap-siap untukmu’.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa Abu Amr dan Al-Kisai membantah qiraat ini.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami As-Sauri, dari Al-A’masy, dari Abu Wail yang mengatakan bahwa Ibnu Mas’ud mengatakan setelah mendengar para ahli qurra membaca, bahwa ia mendengar qiraat mereka berdekatan. Maka bacalah menurut apa yang diajarkan kepada kalian, dan janganlah kalian bertengkar dan berselisih pendapat, sesungguhnya makna lafaz ini hanyalah seperti perkataan kalian, “Kemarilah, kesinilah.” Kemudian Abdullah ibnu Mas’ud membacakan firman-Nya: Marilah ke sini. Perawi bertanya, “Wahai Abu Abdur Rahman, sesungguhnya orang-orang membacanya haitu.” Abdullah ibnu Mas’ud menjawab, “Aku lebih suka membacanya seperti apa yang diajarkan kepadaku.”
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ibnu Waki’, telah menceritakan kepada kami Ibnu Uyaynah, dari Mansur, dari Abu Wail yang mengatakan bahwa Abdullah ibnu Mas’ud membacanya dengan bacaan haita laka. Maka Masruq bertanya kepadanya, “Sesungguhnya orang-orang membacanya haitu laka.” Maka Ibnu Mas’ud menjawab, “Biarkanlah aku, sesungguhnya aku lebih suka membacanya seperti apa yang diajarkan kepadaku.”
Ibnu Jarir mengatakan pula bahwa telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Adam ibnu Abu Iyas, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Syaqiq, dari Ibnu Mas’ud, bahwa ia membacanya haita. Sedangkan ulama lainnya membacanya haitu.
Abu Ubaid Ma’mar ibnul Musanna mengatakan bahwa lafaz haita tidak di-tasniyah-kan, tidak di-jamak-kan, dan tidak di-muannas-kan, melainkan dapat dipakai semuanya dalam satu bentuk. Untuk itu dikatakan haita laka, haita lakum, haita lakuma, haita lakunna, dan haita lahunna.
#Catatan :
Kebanyakan ahli tafsir berpendapat bahwa kata “rabbi” berarti tuan rumah. Dengan kata lain, maksudnya adalah ‘sesungguhnya suamimu adalah tuanku, dia telah memperlakukan diriku dengan perlakuan yang baik dan menempatkan diriku pada kedudukan yang baik, maka aku tidak akan membalas kebaikan ini dengan melakukan perbuatan keji (zina) terhadap istrinya’.
Meskipun dalam bahasa Arab kata “rabb” dapat diartikan demikian, namun ada dua hal yang harus dipertimbangkan :
Pertama :
Tidak mungkin seorang nabi menahan diri dari melakukan sebuah dosa dengan alasan takut kepada seseorang atau demi membalas budi kepada seseorang yang telah memperlakukannya dengan baik.
Kedua :
Tak ada satu ayat pun di dalam Al Quran dimana seorang nabi menyebut seseorang selain daripada Allah dengan sebutan “rabbku”
diringkas dari http://www.tafheem.net/
Cobaan yang besar ini lebih dahsyat bagi Yusuf ‘alaihissalam daripada cobaan yang dilakukan saudara-saudaranya serta lebih berat dalam bersabar untuk menghadapinya. Pahalanya pun lebih besar, karena merupakan kesabaran yang bersifat ikthiyari (pilihan), padahal banyak faktor yang bisa menyeretnya untuk melakukan hal itu. Lalu dia lebih mengutamakan kecintaan kepada Allah جَلَّ جَلالُهُ daripada fitnah itu. Sementara cobaan yang dihadapi dari saudara-saudaranya, kesabarannya bersifat idthirari (terpaksa) sebagaimana berbagai macam penyakit dan peristiwa yang tidak mengenakkan yang menimpa seseorang tanpa bisa mengelak. Tidak ada tempat berkelit kecuali dengan bersabar dalam menghadapinya, suka atau tidak.
Hal itu, karena Yusuf ‘alaihissalam ‘alaihissalam tinggal di rumah al-Aziz dalam keadaan terhormat. Ia memiliki ketampanan, kesempurnaan dan daya pikat yang mengakibatkan, رَاوَدَتْهُ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا عَنْ نَفْسِهِ “wanita (Zulaikha) yang Yusuf ‘alaihissalam tinggal di rumahnya menggoda Yusuf ‘alaihissalam untuk menundukkan dirinya (kepadanya)”, maksudnya Yusuf ‘alaihissalam adalah budaknya, berada di bawah pengaturannya sementara tempat tinggal keduanya sama, hingga menjadi mudah untuk menjalankan perbuatan buruk tanpa disadari atau diketahui orang-orang. وَ “Dan”, tingkat beratnya musibah semakin bertambah dengan غَلَّقَتِ الأبْوَابَ “dia menutup pintu-pintu” sehingga tempat menjadi benar-benar kosong, dan mereka berdua merasa aman dari kehadiran seseorang kepada mereka berdua karena pintu-pintu sudah terkunci. Sang wanita memintanya untuk menggaulinya, sembari berkata,وَقَالَتْ هَيْتَ لَكَ “Marilah ke sini”, lakukan perbuatan yang dibenci ini, marilah kemari! Ditambah lagi, ia orang asing (di sana), rasa malu orang seperti dirinya tidak seperti rasa malu yang muncul ketika ia berada di kampung halamannya sendiri dan di tengah orang-orang yang mengenalnya. Ia bagai tawanan di tangan wanita tersebut. Sedang-kan wanita itu adalah majikannya. Pada diri wanita itu terpancar kecantikan yang berpotensi untuk menyeret Yusuf ‘alaihissalam menuju perbuatan itu. Yusuf ‘alaihissalam sendiri seorang pemuda lajang, yang diancam wanita itu dengan hukuman penjara atau siksa yang pedih bila tidak menyambut apa yang diperintahkan majikan perempuannya.
Lalu dia mampu bersabar untuk tidak bermaksiat kepada Allah جَلَّ جَلالُهُ meskipun ada rangsangan kuat untuk melakukannya. Karena dia telah berkeinginan melakukannya dengan si wanita itu, lalu dia menyingkirkan hasrat tersebut karena Allah جَلَّ جَلالُهُ. Ia lebih mengutamakan ridha Allah جَلَّ جَلالُهُ daripada keinginan pribadi yang kerap memerintahkan kepada perkara yang buruk. Ia telah melihat petunjuk Rabbnya berupa ilmu dan iman yang menumbuhkan sikap menghindari perbuatan yang diharamkan Allah جَلَّ جَلالُهُ, yang mewajibkannya mengambil jarak dan menahan diri dari maksiat yang besar ini. Dan قَالَ مَعَاذَ اللَّهِ “dia berkata, ‘Aku berlindung kepada Allah جَلَّ جَلالُهُ’, maksudnya aku berlindung kepada Allah جَلَّ جَلالُهُ dari perbuatan yang buruk ini. Karena itu termasuk tindakan yang membuat Allah جَلَّ جَلالُهُ murka dan menjauhkan diriku dariNya. Itu adalah sebuah bentuk pengkhianatanku terhadap hak kehormatan majikan (lelakiku) yang telah memuliakan keberadaanku, maka tidak sepantasnya aku membalasnya dengan memperlakukan istrinya dengan balasan yang sangat jelek. Itu bentuk perbuatan aniaya yang paling besar, dan orang yang berbuat kezhaliman tidak akan pernah jaya.
Ringkasnya, Allah جَلَّ جَلالُهُ menyusun berbagai penghalang baginya dari perbuatan itu yaitu ketakwaan kepada Allah جَلَّ جَلالُهُ, memperhatikan hak majikan yang telah memuliakannya, memelihara diri dari tindakan aniaya yang mana pelakunya tidak akan selamat. Demikian pula anugerah yang Allah جَلَّ جَلالُهُ berikan kepadanya berupa petunjuk iman yang menuntut munculnya ketaatan untuk mengerjakan perintah-perintah dan menghindari larangan-larangan.
Inti dari itu semua, Allah جَلَّ جَلالُهُ telah memalingkannya dari keburukan dan perbuatan yang keji itu. Karena ia tergolong hamba-hambaNya yang ikhlas kepadaNya dalam beribadah, dan Allah جَلَّ جَلالُهُ sudah mengikhlaskan hati mereka, memilih dan mengistimewakan mereka bagi diriNya, mencurahkan kepada mereka beraneka kenikmatan dan menyelamatkan mereka dari berbagai keburukan. Dengan itu semua, mereka menjadi insan-insan pilihanNya.
Setelah diuraikan tentang karunia Allah kepada nabi yusuf berupa ilmu pengetahuan dan kenabian ketika dewasa, ayat berikut ini menjelaskan sisi lain yang dialami nabi yusuf, yaitu godaan istri al-aziz. Dan perempuan (istri al-aziz) yang dia (nabi yusuf ) tinggal di rumahnya menggoda dirinya. Dan serta merta dia pun masuk ke kamar nabi yusuf kemudian menutup pintu-pintu kamar, lalu berkata kepada nabi yusuf, marilah mendekat kepadaku. Kemudian nabi yusuf berkata seraya memohon, aku berlindung kepada Allah dari tindakan keji, bagaimana mungkin aku menuruti ajakanmu, sungguh, tuanku al-aziz telah memperlakukan aku dengan baik, memberiku tempat, kedudukan, serta memberiku kepercayaan, maka sedikit pun aku tidak akan mengkhianati kepercayaannya. Sesungguhnya orang yang membalas kebaikan dengan kejahatan adalah termasuk golongan orang zalim, dan orang yang zalim itu tidak akan beruntung. Dan sungguh, perempuan itu telah berkehendak kepadanya, yakni nabi yusuf untuk melayani nafsu birahinya. Dan nabi yusuf pun berkehendak kepadanya, sekiranya dia tidak melihat tanda dari tuhannya, niscaya dia akan terjatuh dalam perbuatan maksiat. Demikianlah, kami kuatkan keimanannya sehingga kami palingkan darinya perilaku keburukan dan kekejian. Sungguh, dia’nabi yusuf’termasuk hamba kami yang terpilih untuk mengemban risalah Allah dan selalu taat kepada perintah-Nya.
Yusuf Ayat 23 Arab-Latin, Terjemah Arti Yusuf Ayat 23, Makna Yusuf Ayat 23, Terjemahan Tafsir Yusuf Ayat 23, Yusuf Ayat 23 Bahasa Indonesia, Isi Kandungan Yusuf Ayat 23
Tafsir Surat Yusuf Ayat: 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | 21 | 22 | 23 | 24 | 25 | 26 | 27 | 28 | 29 | 30 | 31 | 32 | 33 | 34 | 35 | 36 | 37 | 38 | 39 | 40 | 41 | 42 | 43 | 44 | 45 | 46 | 47 | 48 | 49 | 50 | 51 | 52 | 53 | 54 | 55 | 56 | 57 | 58 | 59 | 60 | 61 | 62 | 63 | 64 | 65 | 66 | 67 | 68 | 69 | 70 | 71 | 72 | 73 | 74 | 75 | 76 | 77 | 78 | 79 | 80 | 81 | 82 | 83 | 84 | 85 | 86 | 87 | 88 | 89 | 90 | 91 | 92 | 93 | 94 | 95 | 96 | 97 | 98 | 99 | 100 | 101 | 102 | 103 | 104 | 105 | 106 | 107 | 108 | 109 | 110 | 111
Raih pahala amal jariyah dengan cara membagikan (share) konten ini kepada yang lainnya. Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه
"Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)