{11} Hud / هود | الْقُرْآنُ الْكَرِيْمُ | الرعد / Ar-Ra’d {13} |
Tafsir Al-Qur’an Surat Yusuf يوسف (Nabi Yusuf) lengkap dengan tulisan arab latin, arti dan terjemah Bahasa Indonesia. Surah ke 12 Tafsir ayat Ke 101.
۞ رَبِّ قَدْ آتَيْتَنِي مِنَ الْمُلْكِ وَعَلَّمْتَنِي مِنْ تَأْوِيلِ الْأَحَادِيثِ ۚ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَنْتَ وَلِيِّي فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۖ تَوَفَّنِي مُسْلِمًا وَأَلْحِقْنِي بِالصَّالِحِينَ ﴿١٠١﴾
rabbi qad ātaitanī minal-mulki wa ‘allamtanī min ta`wīlil-aḥādīṡ, fāṭiras-samāwāti wal-arḍ, anta waliyyī fid-dun-yā wal-ākhirah, tawaffanī muslimaw wa al-ḥiqnī biṣ-ṣāliḥīn
QS. Yusuf [12] : 101
Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebagian kekuasaan dan telah mengajarkan kepadaku sebagian takwil mimpi. (Wahai Tuhan) pencipta langit dan bumi, Engkaulah pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan muslim dan gabungkanlah aku dengan orang yang saleh.”
Kemudian Yusuf berdoa kepada Rabb-nya, “Hai Rabb-ku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebagian dari kerajaan Mesir, dan Engkau telah mengajarkan kepadaku sebagian dari tafsir mimpi dan ilmu lainnya. Hai Pencipta langit dan bumi, Engkaulah yang mengurusi semua urusanku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku kepada-Mu dalam keadaan Muslim, dan gabungkanlah aku dengan hamba-hamba-Mu yang shalih, dari kalangan para Nabi yang berbakti dan orang-orang pilihan.”
Itulah doa Nabi Yusuf yang dipanjatkannya kepada Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى setelah limpahan nikmat Allah buatnya disempurnakan, yaitu di kala ia dapat berkumpul kembali dengan kedua orang tua dan saudara-saudaranya. Juga atas nikmat lainnya yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada dirinya, yaitu berupa kenabian dan kerajaan. Kemudian ia memohon kepada Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى agar nikmat yang telah dilimpahkan kepadanya di dunia ini terus berkelanjutan sampai ke hari akhirat, dan hendaknya Allah mewafatkannya dalam keadaan Islam. Demikianlah menurut Ad-Dahhak. Dan hendaknya Allah menghimpunkannya bersama-sama saudara-saudaranya dari kalangan para nabi dan para rasul, semoga salawat dan salam Allah terlimpahkan kepada mereka semua.
Doa ini barangkali dipanjatkan oleh Nabi Yusuf a.s. ketika ia sedang menjelang kewafatannya, seperti yang telah disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui Srti Aisyah r.a., bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ketika menjelang kewafatannya mengangkat jari telunjuknya seraya berdoa:
Ya Allah, (gabungkanlah diriku) bersama-sama teman-teman (ku) di (tempat) yang tertinggi (surga).
Doa ini diucapkannya sebanyak tiga kali.
Barangkali Yusuf a.s. pun meminta diwafatkan dalam keadaan Islam serta bergabung dengan orang-orang saleh apabila ajalnya telah tiba.
Bukan berarti dia meminta hal tersebut secara tanjiz (mohon diperkenankan), seperti doa seseorang kepada lawan bicaranya, “Semoga Allah mewafatkanmu dalam keadaan Islam,” dan seorang yang mengatakan dalam doanya, “Ya Allah, hidupkanlah kami dalam keadaan Islam, wafatkanlah kami dalam keadaan Islam, dan gabungkanlah kami dengan orang-orang saleh.”
Akan tetapi, dapat pula dikatakan bahwa Yusuf a.s. mendoa hal itu dengan permohonan tanjiz, dan hal ini diperbolehkan dalam syariat mereka. Demikianlah menurut Qatadah.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh.
Setelah Allah menghimpunkan semua anggota keluarganya dan membuatnya senang sehingga saat itu Yusuf dalam keadaan bergelimangan dengan kenikmatan duniawi, kerajaannya, dan semua perhiasannya, maka ia merindukan orang-orang saleh yang sebelumnya.
Ibnu Abbas mengatakan bahwa sebelum Yusuf a.s. tiada seorang nabi pun yang mengharapkan untuk diwafatkan.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Ibnu Jarir dan As-Saddi, dari Ibnu Abbas, bahwa Yusuf a.s. adalah nabi yang mula-mula mengatakan demikian dalam doanya. Hal ini dapat diartikan pula bahwa dialah orang yang mula-mula meminta diwafatkan dalam keadaan Islam. Perihalnya sama dengan Nabi Nuh a.s., dialah orang yang mula-mula mengatakan dalam doanya:
Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke dalam rumahku dengan beriman. (Nuh:28)
Dapat pula diartikan bahwa dialah (Yusuflah) orang yang mula-mula memohon diperkenankannya hal tersebut, inilah yang tersimpulkan dari pengertian lahiriah pendapat Qatadah, tetapi hal ini tidak diperbolehkan dalam syariat kita sekarang.
Imam Ahmad ibnu Hambal rahimahullah mengatakan:
telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Suhaib, dari Anas ibnu Malik yang mengatakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah bersabda: Jangan sekali-kali seseorang di antara kalian mengharapkan mati karena bahaya yang menimpanya. Jika tiada jalan lain baginya kecuali mengharapkan mati, hendaklah ia mengatakan, “Ya Allah, hidupkanlah saya selagi hidup lebih baik bagi saya. Dan wafatkanlah saya apabila wafat lebih baik bagi saya.”
Imam Bukhari dan Imam Muslim telah mengetengahkan hadis ini, yang menurut lafaz keduanya disebutkan seperti berikut:
Jangan sekali-kali seseorang di antara kalian mengharapkan mati karena bahaya (musibah) yang menimpanya, karena apabila dia orang yang berbuat baik, maka akan bertambah (kebaikannya), dan apabila dia orang yang buruk, maka mudah-mudahan ia bertobat. Tetapi hendaklah ia mengucapkan, “Ya Allah, hidupkanlah saya selagi hidup lebih baik bagi saya, dan wafatkanlah saya apabila wafat lebih baik bagi saya.”
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abul Mugirah, telah menceritakan kepada kami Mu’az ibnu Rifa’ah, telah menceritakan kepadaku Ali ibnu Yazid, dari Al-Qasim, dari Abu Umamah yang mengatakan, “Kami duduk di majelis Rasulullah, lalu beliau memberikan peringatan kepada kami dan melunakkan hati kami, maka menangislah Sa’d ibnu Abu Waqqas dengan tangisan yang lama seraya berkata, ‘Aduhai, seandainya saja diriku ini mati.’ Maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda: ‘Hai Sa’d, apakah di hadapanku engkau berharap kematian?’ Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengucapkan sabdanya ini sebanyak tiga kali, lalu beliau melanjutkan sabdanya, ‘Hai Sa’d, jika engkau diciptakan untuk surga, maka usiamu yang panjang dan amalmu yang baik itu adalah lebih baik bagi kamu’.”
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi’ah, telah menceritakan kepada kami Abu Yunus (yaitu Muslim ibnu Jubair), dari Abu Hurairah, dari Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang telah bersabda: Jangan sekali-kali seseorang di antara kalian mengharapkan mati karena musibah (bahaya) yang menimpanya, jangan pula ia mendoakannya sebelum maut datang sendiri kepadanya, terkecuali jika dia telah merasa yakin dengan amalnya. Karena sesungguhnya apabila seseorang di antara kalian mati, terputuslah amal perbuatannya. Dan sesungguhnya seorang mukmin itu tiada menambahkan pada amalnya kecuali hanya kebaikan.
Imam Ahmad meriwayatkannya secara munfarid.
Hal ini berlaku jika bahaya atau musibah ini hanya khusus menimpa dirinya. Jika musibah itu berupa Fitnah dalam agama, maka diperbolehkan memohon dimatikan. Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan oleh Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى dalam kisah-Nya yang menceritakan tentang para ahli sihir di saat Fir’aun hendak memurtadkan mereka dari agama mereka dan mengancam akan membunuh mereka, yaitu:
Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri (kepada-Mu). (Al A’raf:126)
Maryam juga berkata ketika ia merasakan akan melahirkan anak sambil bersandar pada pangkal pohon kurma:
Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang tidak berarti, lagi dilupakan. (Maryam:23)
Karena ia merasa yakin bahwa orang-orang pasti akan menuduh dirinya berbuat fahisyah (zina), karena ia belum bersuami, sedangkan ia telah mengandung dan melahirkan anak. Dan mereka memang mengatakan:
Kaumnya berkata, “Hai Maryam, sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang amat mungkar. Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina.” (Maryam:27-28)
Maka Allah menjadikan baginya jalan keluar dan keselamatan dari hal tersebut, yaitu dengan menjadikan bayinya dapat berbicara dalam usia ayunan, mengucapkan kata-kata berikut, “Sesungguhnya aku adalah hamba dan rasul Allah.” Kejadian ini merupakan suatu tanda kekuasaan Allah yang amat besar dan sebagai mukjizat yang jelas bagi Isa a.s.
Di dalam hadis Mu’az yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Turmuzi di dalam kisah mimpi —yaitu mengenai doa— antara lain disebutkan seperti berikut:
Apabila Engkau berkehendak menurunkan fitnah pada suatu kaum, maka cabutlah nyawaku kembali kepada-Mu dalam keadaan tidak terfitnah.
Imam Ahmad mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Salamah, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Muhammad, dari Amr ibnu Asim, dari Kasir ibnu Qatadah, dari Mahmud ibnu Labid secara marfu’ bahwa Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda: Ada dua hal yang dibenci oleh anak Adam, yaitu dia benci akan mati, padahal mati lebih baik bagi orang mukmin daripada terfitnah. Dan dia benci akan kekurangan harta, padahal kekurangan harta meringankan hisab.
Di saat fitnah melanda agama, diperbolehkan memohon untuk mati. Karena itulah ketika Khalifah Ali ibnu Abu Talib r.a. di akhir masa kekhalifahannya, yaitu ketika ia melihat bahwa kesatuan kaum muslim tidak dapat dipertahankan lagi dalam kepemimpinannya, dan perkaranya makin bertambah parah saja, maka ia berdoa seperti berikut:
Ya Allah, ambillah aku kembali kepada-Mu, sesungguhnya aku telah bosan kepada mereka, dan mereka pun bosan kepadaku.
Imam Bukhari rahimahullah mengatakan bahwa ketika fitnah itu terjadi menimpanya dan terjadi pula perselisihan antara dia (Ali r.a.) dengan Amir Khurrasan, maka Imam Ali berdoa: “Ya Allah, wafatkanlah aku kembali kepada-Mu.”
Di dalam hadis disebutkan:
Sesungguhnya seorang lelaki melewati sebuah kuburan —yakni di zaman Dajjal nanti— sedangkan ia benar-benar mengatakan, “Aduhai seandainya saja aku berada di tempatmu (yakni sudah mati)”
Lelaki itu mengatakan demikian karena banyaknya fitnah, gempa, huru hara, dan peristiwa-peristiwa yang menggemparkan di masa itu, hal tersebut merupakan fitnah yang melanda umat manusia.
Abu Ja’far ibnu Jarir mengatakan bahwa anak-anak Nabi Ya’qub yang telah melakukan perbuatan buruk terhadap Yusuf a.s. dimohonkan ampunan oleh ayah mereka. Maka Allah menerima tobat mereka, memaafkan mereka, dan mengampuni dosa-dosa mereka.
Pendapat ulama yang mengatakan bahwa Nabi Ya’qub memohonkan ampun kepada Allah buat mereka
Telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, telah menceritakan kepadaku Hajjaj, dari Saleh Al-Murri, dari Yazid Ar-Raqqasyi, dari Anas ibnu Malik yang mengatakan bahwa sesungguhnya Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى setelah menghimpunkan semua anggota keluarga Ya’qub a.s. di hadapan Ya’qub, maka Ya’qub mengajak putranya (Yusuf) menyendiri, lalu ia berbisik dengannya.
Sebagian putra lainnya berkata kepada sebagian yang lain, “Bukankah kalian telah mengetahui apa yang telah kalian kerjakan dan apa yang telah dialami oleh orang tua kita dan Yusuf sebagai akibatnya?” Mereka menjawab, “Ya.” Maka dikatakan, “Karena itulah kalian terpusatkan untuk meminta maaf dari keduanya, lalu bagaimana keadaan kalian dengan Tuhan kalian?”
Akhirnya mereka sepakat untuk menghadap kepada orang tua mereka (Nabi Ya’qub), lalu duduk di hadapannya, sedangkan Yusuf duduk di samping ayahnya. Mereka berkata, “Wahai ayah kami, sesungguhnya kami sengaja datang kepadamu karena suatu urusan yang belum pernah kami datang kepadamu karena sesuatu yang seperti ini, dan kami telah tertimpa suatu perkara yang belum pernah menimpa kami sebelumnya.” Kata-kata mereka membuat hati Nabi Ya’qub tergugah, sedangkan para nabi itu adalah orang-orang yang paling belas kasihan. Maka Nabi Ya’qub bertanya, “Apakah yang telah menimpa kalian, hai anak-anakku?”
Mereka menjawab, “Bukankah engkau telah mengetahui apa yang telah kami lakukan terhadapmu dan apa yang telah kami lakukan terhadap saudara kami Yusuf?” Nabi Ya’qub menjawab, “Ya.” Mereka berkata, “Bukankah kamu berdua telah memaafkan kami?” Nabi Ya’qub menjawab, “Ya.” Mereka berkata, “Sesungguhnya maafmu berdua tidak memberi manfaat sedikit pun kepada kami jika Allah tidak memaafkan kami.”
Nabi Ya’qub bertanya, “Lalu apakah yang kalian kehendaki dariku, hai anak-anakku?” Mereka berkata, “Kami menghendaki agar kamu mendoakan kami kepada Allah. Apabila wahyu dari Allah telah datang kepadamu yang menyatakan bahwa Dia memaafkan kami, maka barulah hati kami merasa senang dan tenteram. Jika tidak, maka tiada kesenangan bagi kami di dunia ini selamanya.”
Nabi Ya’qub bangkit, lalu menghadap ke arah kiblat, Yusuf bangkit pula berdiri di belakang ayahnya, sedangkan saudara-saudaranya berdiri di belakang keduanya dengan perasaan rendah diri dan khusyuk. Nabi Ya’qub berdoa, dan Nabi Yusuf mengamininya, tetapi permohonan ampun mereka masih belum diperkenankan selama dua puluh tahun.
Saleh Al-Murri mengatakan bahwa selama itu mereka selalu dicekam oleh rasa takut, dan setelah dua puluh tahun berlalu —yakni pada permulaan tahun yang kedua puluhnya— turunlah Malaikat Jibril a.s. kepada Nabi Ya’qub a.s.
Jibril a.s. berkata, “Sesungguhnya Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى telah mengutusku kepadamu untuk menyampaikan berita gembira, bahwa Dia telah memperkenankan doamu buat anak-anakmu. Allah telah memaafkan apa yang telah mereka kerjakan, dan Allah telah mengambil janji dari mereka bahwa mereka akan menjadi nabi sesudahmu.”
Asar ini mauquf, yakni hanya sampai kepada sahabat Anas, selain itu adalah Yazid Ar-Raqqasyi serta Saleh Al-Murri, kedua-duanya berpredikat sangat daif (lemah).
As-Saddi menyebutkan bahwa ketika Nabi Ya’qub menjelang kematiannya, ia berwasiat kepada Yusuf agar menguburkan jenazahnya di dekat kuburan Nabi Ibrahim dan Nabi Ishaq. Maka setelah Nabi Ya’qub wafat, jenazahnya dibalsam, lalu dikirimkan ke negeri Syam dan dikebumikan di dekat kuburan keduanya.
Tatkala Allah menyempurnakan karuniaNya bagi Yusuf berupa pengendalian kekuasaan di bumi, dan sebagian kera-jaan serta menentramkan pandangan matanya dengan berkumpul bersama kedua orang tuanya dan para saudaranya dan setelah per-olehan ilmu agung yang Allah berikan kepadanya, maka dia ber-kata untuk mengakui nikmat Allah sebagai bentuk kesyukuran dan ajakan agar tetap istiqamah di atas Islam, رَبِّ قَدْ آتَيْتَنِي مِنَ الْمُلْكِ “Ya Rabbku, Sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku seba-gian kerajaan”, lantaran dia memegang kendali dan pengaturan per-bendaharaan bumi (Mesir), serta menjadi menteri besar bagi raja وَعَلَّمْتَنِي مِنْ تَأْوِيلِ الْأَحَادِيثِ “dan Engkau telah mengajarkan kepadaku sebagian ta’bir mimpi”, berupa penakwilan makna kisah-kisah yang ada di kitab-kitab yang diturunkan (oleh Allah) dan penakwilan mimpi dan ilmu lainnya. فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَنْتَ وَلِيِّي فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ تَوَفَّنِي مُسْلِمًا “(Ya Rabb) Pencipta langit dan bumi. Engkaulah Pelindungku di dunia dan akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam”, maksudnya lestarikan akidah Islam pada diriku dan teguhkanlah hatiku di atasnya hingga Engkau mewafatkanku dalam keadaan berpegang teguh padanya. Permohonan ini bukanlah doa permintaan agar kematian dipercepat untuknya وألحقني بالصالحين “dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang shalih”, dari kalangan para nabi yang berbakti kepadaMu dan orang-orang yang terbaik lagi terpilih. Dan diantara pelajaran yang dapat diambil dari ayat ini adalah: Seyogyanya seorang hamba mendekatkan dirinya kepada Allah untuk kepentingan peneguhan imannya, dan mengaktifkan segala upaya sebab yang bisa mendatangkannya, memohon kepada Allah meraih husnul khatimah dan kesempurnaan nikmat, berda-sarkan perkataan Yusuf ‘alaihissalam, رَبِّ قَدْ آتَيْتَنِي مِنَ الْمُلْكِ وَعَلَّمْتَنِي مِنْ تَأْوِيلِ الْأَحَادِيثِ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَنْتَ وَلِيِّي فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ تَوَفَّنِي مُسْلِمًا وَأَلْحِقْنِي بِالصَّالِحِينَ “Ya Rabbku, Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebagian ta’bir mimpi. (Ya Rabb-ku) Pencipta langit dan bumi, Engkaulah Pelindungku di dunia dan akhi-rat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang shalih” (Yusuf: 101).
Nabi yusuf kemudian berdoa, tuhanku, sesungguhnya engkau telah menganugerahkan kepadaku sebagian kekuasaan yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya, dan engkau juga telah mengajarkan kepadaku sebagian takwil mimpi. Wahai tuhan pencipta langit dan bumi, engkaulah pelindungku yang selalu dekat denganku di dunia dan di akhirat, aku mohon kepada-Mu agar bila ajalku telah tiba, wafatkanlah aku dalam keadaan muslim, dan gabungkanlah aku di akhirat kelak dengan orang-orang yang saleh. Demikianlah kisah tentang nabi yusuf. Allah menceritakan kisah ini kepada nabi Muhammad agar menjadi pengajaran yang sangat berharga. Itulah sebagian berita gaib yang kami wahyukan kepadamu, wahai nabi Muhammad. Dengan wahyu itu engkau dapat mengetahui kisah tersebut, padahal engkau tidak berada di samping mereka, yakni saudarasaudara yusuf, ketika mereka bersepakat mengatur tipu muslihat untuk melemparkan nabi yusuf ke dalam sumur.
Yusuf Ayat 101 Arab-Latin, Terjemah Arti Yusuf Ayat 101, Makna Yusuf Ayat 101, Terjemahan Tafsir Yusuf Ayat 101, Yusuf Ayat 101 Bahasa Indonesia, Isi Kandungan Yusuf Ayat 101
Tafsir Surat Yusuf Ayat: 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | 21 | 22 | 23 | 24 | 25 | 26 | 27 | 28 | 29 | 30 | 31 | 32 | 33 | 34 | 35 | 36 | 37 | 38 | 39 | 40 | 41 | 42 | 43 | 44 | 45 | 46 | 47 | 48 | 49 | 50 | 51 | 52 | 53 | 54 | 55 | 56 | 57 | 58 | 59 | 60 | 61 | 62 | 63 | 64 | 65 | 66 | 67 | 68 | 69 | 70 | 71 | 72 | 73 | 74 | 75 | 76 | 77 | 78 | 79 | 80 | 81 | 82 | 83 | 84 | 85 | 86 | 87 | 88 | 89 | 90 | 91 | 92 | 93 | 94 | 95 | 96 | 97 | 98 | 99 | 100 | 101 | 102 | 103 | 104 | 105 | 106 | 107 | 108 | 109 | 110 | 111
Raih pahala amal jariyah dengan cara membagikan (share) konten ini kepada yang lainnya. Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه
"Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)