{21} Al-Anbiya / الأنبياء | الْقُرْآنُ الْكَرِيْمُ | المؤمنون / Al-Mu’minun {23} |
Tafsir Al-Qur’an Surat Al-Hajj الحج (Haji) lengkap dengan tulisan arab latin, arti dan terjemah Bahasa Indonesia. Surah ke 22 Tafsir ayat Ke 32.
ذَٰلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ ﴿٣٢﴾
żālika wa may yu’aẓẓim sya’ā`irallāhi fa innahā min taqwal-qulụb
QS. Al-Hajj [22] : 32
Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya hal itu timbul dari ketakwaan hati.
Itulah yang diperintahkan Allah, yaitu mentauhidkan-Nya dan memurnikan ibadah karena-Nya. Barangsiapa yang melaksanakan perintah Allah dan mengagungkan rambu-rambu agama, di antaranya amalan-amalan haji berikut tempat-tempat pelaksanaannya, dan sembelihan-sembelihan yang disembelih di sana, yaitu dengan menyembelihnya secara sempurna dan menyebut nama Allah saat menyembelihnya. Pengagungan ini merupakan perbuatan orang-orang yang memiliki hati yang bersifatkan dengan ketakwaan dan rasa takut kepada-Nya.
Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berfirman bahwa demikianlah,
Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah.
Yakni perintah-perintah-Nya:
maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.
yang antara lain ialah mengagungkan hewan hadyu dan hewan kurban, seperti apa yang dikatakan oleh Al-Hakam dari Miqsam, dari Ibnu Abbas, bahwa mengagungkan hewan hadyu dan hewan kurban ialah dengan cara menggemukkannya dan mengurusnya dengan pengurusan yang baik.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Hafs ibnu Ghayyas, dari Ibnu Abu Laila, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:
Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah.
Yaitu menggemukkan hewan hadyu, mengurusnya dengan baik, dan membesarkannya.
Abu Umamah telah meriwayatkan dari Sahl, “Kami dahulu menggemukkan hewan-hewan kurban di Madinah, dan semua kaum muslim melakukan hal yang sama.” Asar diriwayatkan oleh Imam Bukhari.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda:
Darah (dari) hewan (kurban) yang berbulu kelabu lebih disukai oleh Allah daripada darah dua hewan kurban yang berbulu hitam. Hadis riwayat Imam Ahmad dan Imam Ibnu Majah.
Para ulama mengatakan bahwa ‘afra artinya ‘berbulu putih, tetapi tidak cerah, yakni kelabu.’ Hewan kurban yang berbulu kelabu ini lebih baik daripada hewan kurban yang berbulu lainnya, sekalipun hewan kurban yang berbulu lain sudah dinilai cukup, karena berdasarkan apa yang telah disebutkan di dalam kitab Sahih Bukhari melalui sahabat Anas r.a., bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berkurban dengan dua ekor domba yang berbulu putih berbelang hitam lagi bertanduk.
Diriwayatkan dari Abu Sa’id, bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berkurban dengan seekor domba yang bertanduk, yang pada matanya terdapat belang hitam, begitu pula pada bagian mulutnya dan semua kakinya. Hadis diriwayatkan oleh ahlus sunan dan dinilai sahih oleh Imam Turmuzi.
Di dalam kitab Sunan Ibnu Majah disebutkan sebuah hadis melalui Abu Rafi’, bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berkurban dengan dua ekor domba yang besar-besar lagi gemuk-gemuk, bertanduk, berbulu putih, berbelang hitam, yang kedua-duanya telah dikebiri. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah dari Jabir, bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berkurban dengan dua ekor domba yang bertanduk, berbulu putih berbelang hitam, yang kedua-duanya telah dikebiri. Menurut suatu pendapat, kedua domba tersebut buah pelirnya dihancurkan dan tidak dipotong. Hanya Allah-lah yang lebih mengetahui.
Diriwayatkan dari Ali r.a. yang telah mengatakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memerintahkan kepada kami agar memeriksa dengan teliti kedua mata dan kedua telinga hewan kurban, dan kami tidak boleh menyembelih hewan kurban yang muqabalah, mudabarah, syarqa, dan kharqa.
Muqdbalah ialah hewan kurban yang bagian depan telinganya terpotong. Mudabarah ialah hewan kurban yang bagian belakang telinganya terpotong. Syarqa ialah hewan kurban yang telinganya terpotong secara memanjang. Demikianlah menurut penafsiran Imam Syafii dan Imam As-mu’i. Adapun kharqa ialah hewan kurban yang daun telinganya berlubang. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan ahlus sunan, dan dinilai sahih oleh Imam Turmuzi.
Mereka telah meriwayatkan pula melalui sahabat Ali r.a. yang mengatakan, “Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melarang kami mengurbankan hewan yang tanduk dan telinganya terpotong.” Sa’id ibnul Musayyab mengatakan bahwa kalau yang terpotong lebih dari separo, dinamakan ‘adb. Sebagian ahli lugah (bahasa) mengatakan, jika tanduk bagian atas terpotong dinamakan qasma, adapun ‘adb, maka yang terpotong adalah bagian bawahnya (yakni yang retak adalah bawahnya). Sedangkan kalau daun telinga ‘adb, artinya hewan yang daun telinganya sebagian terpotong.
Menurut pendapat Imam Syafii, berkurban dengan hewan-hewan tersebut dapat dinilai cukup, tetapi hukumnya makruh.
Imam Ahmad berpendapat bahwa mengurbankan hewan yang terpotong daun telinga dan tanduknya tidak boleh (tidak mencukupi), karena berdasarkan hadis di atas.
Imam Malik mengatakan, jika ada darah yang mengalir dari tanduknya yang terpotong, tidak cukup untuk dijadikan kurban. Tetapi jika tidak ada darah yang mengalir darinya, maka cukup untuk dijadikan kurban.
Diriwayatkan dari Al-Barra, bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah bersabda:
Ada empat macam hewan yang tidak boleh dipakai untuk kurban, yaitu: Hewan yang buta, yang jelas butanya, hewan yang sakit, yang jelas parah sakitnya, hewan yang pincang, yang jelas pincangnya, dan hewan yang patah tulang kakinya, tak dapat disembuhkan.
Hadis riwayat Imam Ahmad dan ahlus sunan, dinilai sahih oleh Imam Turmuzi.
Aib-aib ini mengurangi daging hewan yang bersangkutan, karena lemah dan tidak mampu mencukupi kebutuhan makannya, karena kambing-kambing yang sehat telah mendahuluinya merebut makanannya. Oleh sebab itu, hewan-hewan tersebut tidak boleh dijadikan kurban karena kurang mencukupi, menurut pendapat Imam Syafii dan imam-imam lainnya, sesuai dengan makna lahirilah hadis.
Pendapat kalangan mazhab Syafii berbeda pendapat sehubungan dengan ternak yang sakit ringan. Ada dua pendapat di kalangan mereka.
Abu Daud telah meriwayatkan melalui Atabah ibnu Abdus Sulami, bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melarang mengurbankan hewan yang kurus, hewan yang terpotong tanduk (telinganya), hewan yang buta matanya, hewan yang lemah, dan hewan yang pincang.
Aib atau cela yang telah disebutkan dalam hadis di atas menjadikan hewan tersebut tidak cukup untuk kurban. Tetapi jika aib atau cela tersebut terjadi sesudah hewan ditentukan untuk jadi kurban, maka tidak mengapa untuk dikurbankan. Hal ini menurut kalangan mazhab Syafii, berbeda dengan pendapat Imam Abu Hanifah.
Imam Ahmad telah meriwayatkan melalui Abu Sa’id yang telah menceritakan bahwa ia pernah membeli seekor domba untuk kurban, kemudian ada serigala yang menyerangnya dan sempat memakan sebagian dari pantatnya. Kemudian Abu Sa’id menanyakan hal tersebut kepada Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda: Kurbankanlah domba itu.
Karena itulah dalam hadis yang telah disebutkan di atas dikatakan bahwa Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memerintahkan kepada kami agar memeriksa mata dan telinga hewan yang hendak dikurbankan. Dengan kata lain, hendaknya hewan kurban itu harus gemuk, baik, dan berharga.
Seperti yang telah disebutkan di dalam riwayat Imam Ahmad dan Imam Abu Daud melalui Abdullah ibnu Umar yang mengatakan bahwa Umar pernah mendapat hadiah seekor unta yang terbaik (unggul) seharga tiga ratus dinar. Lalu Umar datang menghadap kepada Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya diberi hadiah seekor unta yang terbaik seharga tiga ratus dinar. Bolehkah saya menjualnya, lalu hasilnya saya belikan unta biasa buat kurban,” (dengan maksud agar dapat menghasilkan beberapa ekor unta). Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda:
Jangan, sembelihlah unta terbaik itu sebagai kurbanmu.
Ad-Dahhak telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa al-budn (hewan kurban) termasuk syiar Allah.
Muhammad ibnu Abu Musa mengatakan bahwa wuquf di Arafah, Muzdalifah, melempar jumrah, mencukur rambut, dan berkurban termasuk syiar-syiar Allah.
Ibnu Umar mengatakan bahwa syiar Allah yang paling besar ialah Baitullah.
Maksudnya, itu adalah hal-hal yang telah Kami kemukakan kepada kalian yang berupa pengagungan hal-hal yang patut dihormati dan sya’airNya. Yang dimaksud dengan sya’air, yakni simbol-simbol agama yang terlihat oleh mata.
– Termasuk di dalamnya, pelaksanaan manasik haji seluruhnya. Sebagaimana Allah جَلَّ جَلالُهُ berfirman,
إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ
“Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syi’ar-syi’ar Allah جَلَّ جَلالُهُ.” (Al-Baqarah: 158).
– Termasuk juga binatang-binatang kurban dan segala yang dipersembahkan kepada Baitullah. Telah berlalu, bahwa makna pengagungan terhadapnya, yaitu memuliakannya dan melaksanakannya serta menyempurnakan pelaksanaannya sebisa mungkin.
– Selain itu, hewan-hewan kurban (hadyu). Cara pengagungannya adalah dengan cara bertindak baik terhadapnya dan berusaha menggemukkannya serta hendaknya berujud sempurna ditinjau dari segala sisi. Pengagungan sya’arillah ini tumbuh dari ketakwaan hati. Orang yang mengagungkannya, yaitu orang yang telah membuktikan ketakwaan dan kebenaran imannya. Pasalnya, sikap mengagungkannya muncul dari pengaruh pengagungan kepada Allah جَلَّ جَلالُهُ dan pemuliaan kepadaNya.
Demikianlah perintah Allah agar seorang muslim menunaikan ibadah haji dengan landasan tauhid yang lurus. Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah dengan menyempurnakan manasik haji yang dilakukan pada tempat-tempat mengerjakannya dengan hati yang bersih, semata-mata mengharap keridaan-Nya, maka sesungguhnya hal itu, hanya akan terlaksana bila menunaikan ibadah haji timbul dari ketakwaan hati. 33. Bagi kamu yang sedang menunaikan ibadah haji padanya, yakni pada hewan hadyu yang disembelih sebagai pengganti (dam) pekerjaan wajib haji yang ditinggalkan; atau sebagai denda karena melanggar hal-hal yang terlarang mengerjakannya di dalam ibadah haji, ada beberapa manfaat yang bisa diambil seperti untuk dikendarai, diambil susunya, dan sebagainya, hingga waktu yang ditentukan, yakni hingga hari nahar, tanggal 10 zulhijah, kemudian tempat penyembelihannya adalah di sekitar baitul atiq, baitullah, di kawasan tanah haram.
Al-Hajj Ayat 32 Arab-Latin, Terjemah Arti Al-Hajj Ayat 32, Makna Al-Hajj Ayat 32, Terjemahan Tafsir Al-Hajj Ayat 32, Al-Hajj Ayat 32 Bahasa Indonesia, Isi Kandungan Al-Hajj Ayat 32
Tafsir Surat Al-Hajj Ayat: 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | 21 | 22 | 23 | 24 | 25 | 26 | 27 | 28 | 29 | 30 | 31 | 32 | 33 | 34 | 35 | 36 | 37 | 38 | 39 | 40 | 41 | 42 | 43 | 44 | 45 | 46 | 47 | 48 | 49 | 50 | 51 | 52 | 53 | 54 | 55 | 56 | 57 | 58 | 59 | 60 | 61 | 62 | 63 | 64 | 65 | 66 | 67 | 68 | 69 | 70 | 71 | 72 | 73 | 74 | 75 | 76 | 77 | 78
Raih pahala amal jariyah dengan cara membagikan (share) konten ini kepada yang lainnya. Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه
"Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)