{23} Al-Mu’minun / المؤمنون | الْقُرْآنُ الْكَرِيْمُ | الفرقان / Al-Furqan {25} |
Tafsir Al-Qur’an Surat An-Nur النور (Cahaya) lengkap dengan tulisan arab latin, arti dan terjemah Bahasa Indonesia. Surah ke 24 Tafsir ayat Ke 31.
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴿٣١﴾
wa qul lil-mu`mināti yagḍuḍna min abṣārihinna wa yaḥfaẓna furụjahunna wa lā yubdīna zīnatahunna illā mā ẓahara min-hā walyaḍribna bikhumurihinna ‘alā juyụbihinna wa lā yubdīna zīnatahunna illā libu’ụlatihinna au ābā`ihinna au ābā`i bu’ụlatihinna au abnā`ihinna au abnā`i bu’ụlatihinna au ikhwānihinna au banī ikhwānihinna au banī akhawātihinna au nisā`ihinna au mā malakat aimānuhunna awittābi’īna gairi ulil-irbati minar-rijāli awiṭ-ṭiflillażīna lam yaẓ-harụ ‘alā ‘aurātin-nisā`i wa lā yaḍribna bi`arjulihinna liyu’lama mā yukhfīna min zīnatihinn, wa tụbū ilallāhi jamī’an ayyuhal-mu`minụna la’allakum tufliḥụn
QS. An-Nur [24] : 31
Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau para perempuan (sesama Islam) mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.
Katakanlah kepada para wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya dari aurat yang tidak halal baginya. Menjaga kemaluannya dari perkara yang diharamkan oleh Allah. Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kepada para lelaki, bahkan mereka harus berusaha untuk menyembunyikannya, kecuali yang biasa Nampak dari pakaian yang dipakainya, bila hal itu tidak akan menimbulkan fitnah karenanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudungnya (menjulurkan jilbabnya) ke atas belahan pakaian yang ada di dadanya bagian atas dan menutup mukanya sebagai kesempurnaannya. Dan janganlah mereka (kaum wanita) menampakkan perhiasannya yang tersembunyi kecuali hanya kepada suami mereka saja, karena suami boleh melihat dari para istrinya yang tidak boleh dilihat oleh orang lain. Dan dibolehkan para wanita terlihat sebagian dari anggota badannya, misalnya muka, leher, kedua tangan, lengan oleh bapak, mertua, anak, anak tiri, saudara, anak saudara, anak saudari, dan seluruh para wanita muslimah (bukan wanita kafir), hamba sahayanya, dan kepada para lelaki yang sudah tidak ada keinginan (syahwat) dan kebutuhan kepada wanita. Misalnya orang yang lemah akalnya, yakni seseorang yang keinginan syahwatnya hanya kepada makan dan minum saja, kepada para anak kecil yang masih belum mengetahui tentang aurat wanita dan juga belum mempunyai syahwat dengan aurat wanita. Janganlah para wanita menginjakkan kakinya dengan keras ketika lewat di depan para lelaki agar bisa terdengar suara perhiasan yang disembunyikannya, misalnya perhiasan berupa gelang kaki atau semisalnya. Bertaubatlah wahai orang-orang yang beriman untuk selalu taat kepada Allah di dalam sifat-sifat yang baik dan akhlak yang mulia yang diperintahkan kepada kalian. Dan tinggalkanlah akhak dan sifat buruk orang jahiliyah dengan harapan kalian akan mendapatkan keuntungan di dunia maupun di akhirat.
Ini adalah perintah dari Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى, ditujukan kepada kaum wanita mukmin, sebagai pembelaan Allah buat suami-suami mereka yang terdiri dari hamba-hamba-Nya yang beriman, serta untuk membedakan wanita-wanita yang beriman dari ciri khas wanita Jahiliah dan perbuatan wanita-wanita musyrik.
Disebutkan bahwa latar belakang turunnya ayat ini seperti yang disebutkan oleh Muqatil ibnu Hayyan, telah sampai kepada kami bahwa Jabir ibnu Abdullah Al-Ansari pernah menceritakan bahwa Asma binti Marsad mempunyai warung di perkampungan Bani Harisah, maka kaum wanita mondar-mandir memasuki warungnya tanpa memakai kain sarung sehingga perhiasan gelang kaki mereka kelihatan dan dada mereka serta rambut depan mereka kelihatan. Maka berkatalah Asma, “Alangkah buruknya pakaian ini.” Maka Allah menurunkan firman-Nya: Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya.” (An Nuur:31), hingga akhir ayat.
Adapun firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya.” (An Nuur:31)
Yakni dari apa yang diharamkan oleh Allah bagi mereka, yaitu memandang kepada selain suami mereka. Karena itulah kebanyakan ulama berpendapat bahwa wanita tidak boleh memandang lelaki lain yang bukan mahramnya, baik dengan pandangan berahi ataupun tidak, secara prinsip.
Sebagian besar dari mereka berdalilkan kepada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Imam Turmuzi melalui hadis Az-Zuhri dari Nabhan maula Ummu Salamah yang menceritakan kepadanya bahwa Ummu Salamah pernah bercerita kepadanya bahwa pada suatu hari dia dan Maimunah berada di hadapan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Ummu Salamah melanjutkan kisahnya, “Ketika kami dalam keadaan demikian, tiba-tiba datanglah Ibnu Ummi Maktum. Ibnu Ummi Maktum masuk menemui Rasulullah. Kejadian ini sesudah Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memerintahkan kepada kami agar berhijab. Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda:
‘Berhijablah kamu berdua darinya!’
Maka saya (Ummu Salamah) bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bukankah dia buta tidak dapat melihat kami dan tidak pula mengetahui kami?’ maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda:
‘Apakah kamu berdua juga buta? Bukankah kamu berdua dapat melihatnya?’.”
Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih.
Ulama lainnya berpendapat bahwa kaum wanita diperbolehkan memandang lelaki lain tanpa berahi. Seperti yang disebutkan di dalam kitab sahih, bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyaksikan orang-orang Habsyah sedang memainkan atraksi dengan tombak mereka di hari raya di dalam masjid, sedangkan Aisyah Ummul Mu’minin menyaksikan pertunjukan mereka dari balik tubuh Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, dan Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menutupinya dari pandangan mereka hingga Aisyah bosan, lalu pulang.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
dan memelihara kemaluannya. (An Nuur:31)
Sa’id ibnu Jubair mengatakan, maksudnya yaitu memelihara kemaluannya dari perbuatan keji.
Menurut Qatadah dan Sufyan, dari perbuatan yang tidak dihalalkan baginya.
Sedangkan menurut Muqatil, dari perbuatan zina.
Abul Aliyah mengatakan bahwa semua ayat Al-Qur’an yang menyebutkan perintah memelihara kemaluan maksudnya adalah memeliharanya dari perbuatan zina, kecuali ayat ini yang mengatakan: dan memelihara kemaluannya. (An Nuur:31) Yang dimaksud ialah agar jangan sampai kelihatan oleh seorang pun.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya. (An Nuur:31)
Yaitu janganlah mereka menampakkan sesuatu dari perhiasannya kepada lelaki lain, kecuali apa yang tidak bisa disembunyikan.
Menurut Ibnu Mas’ud, hal yang dimaksud adalah seperti kain selendang dan pakaiannya, yakni sesuai dengan pakaian tradisi kaum wanita Arab yang menutupi seluruh tubuhnya, sedangkan bagian bawah pakaian yang kelihatan tidaklah berdosa baginya bila menampakkannya, sebab bagian ini tidak dapat disembunyikan. Hal yang sama berlaku pula pada pakaian wanita lainnya yang bagian bawah kainnya kelihatan karena tidak dapat ditutupi. Pendapat yang sama dikatakan oleh Al-Hasan, Ibnu Sirin, Abul Jauza, Ibrahim An-Nakha’i dan lain-lainnya.
Al-A’masy telah meriwayatkan dari Sa’id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya, (An Nuur:31) Yakni wajahnya, kedua telapak tangannya, dan cincinnya.
Pendapat ini dapat dijadikan tafsir terhadap pengertian perhiasan yang dilarang bagi kaum wanita menampakkannya, seperti apa yang dikatakan oleh Abu Ishaq As-Subai’i, dari Abul Ahwas, dari Abdullah sehubungan dengan makna firman-Nya: dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya. (An Nuur:31) Yaitu anting-anting, kalung, gelang tangan, dan gelang kaki.
Menurut riwayat lain yang bersumber dari Ibnu Mas’ud dalam sanad yang sama, perhiasan itu ada dua macam, yaitu perhiasan yang tidak boleh diperlihatkan kecuali hanya kepada suami, seperti cincin dan gelang. Dan perhiasan yang boleh terlihat oleh lelaki lain, yaitu bagian luar dari pakaiannya.
Az-Zuhri mengatakan bahwa tidak boleh ditampakkan kepada mereka yang disebutkan nama-namanya oleh Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى selain gelang, kerudung dan anting-anting tanpa membukanya. Adapun bagi orang lain secara umum, maka tidak boleh ada yang tampak dari perhiasannya kecuali hanya cincin.
Malik telah meriwayatkan dari Az-Zuhri sehubungan dengan makna firman-Nya: kecuali yang (biasa) tampak darinya. (An Nuur:31) Yakni cincin dan gelang kaki.
Dapat pula dikatakan bahwa Ibnu Abbas dan para pengikutnya bermaksud dengan tafsir firman-Nya yang mengatakan, “Kecuali apa yang biasa tampak darinya,” adalah wajah dan kedua telapak tangan.
Pendapat inilah yang terkenal di kalangan jumhur ulama. Hal ini diperkuat oleh sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud di dalam kitab sunannya, bahwa telah menceritakan kepada kami Ya’qub ibnu Ka’b Al-Intaki dan Muammal ibnul Fadl Al-Harrani, keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Al-Walid, dari Sa’id ibnu Basyir, dari Qatadah, dari Khalid ibnu Duraik, dari Aisyah r.a., bahwa Asma binti Abu Bakar masuk ke dalam rumah Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dengan memakai pakaian yang tipis (cekak) Maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memalingkan muka darinya seraya bersabda:
Hai Asma, sesungguhnya wanita itu apabila telah berusia balig, tidak boleh ada yang terlihat dari tubuhnya kecuali hanya ini. Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda demikian seraya mengisyaratkan ke arah wajah dan kedua telapak tangannya.
Akan tetapi, Abu Daud dan Abu Hatim Ar-Razi mengatakan bahwa hadis ini mursal karena Khalid ibnu Duraik belum pernah mendengar dari Siti Aisyah r.a.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya. (An Nuur:31)
Yakni kain kerudung yang panjang agar dapat menutupi dada dan bagian sekitarnya, agar berbeda dengan pakaian wanita Jahiliah. Karena sesungguhnya wanita Jahiliah tidak berpakaian seperti ini, bahkan seseorang dari mereka lewat di hadapan laki-laki dengan membusungkan dadanya tanpa ditutupi oleh sehelai kain pun. Adakalanya pula menampakkan lehernya dan rambut yang ada di dekat telinganya serta anting-antingnya. Maka Allah memerintahkan kepada wanita yang beriman agar menutupi seluruh tubuhnya, seperti yang disebutkan oleh Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى dalam ayat yang lain melalui firman-Nya:
Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. (Al Ahzab:59)
Dan dalam ayat berikut ini Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berfirman:
Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudungnya ke dadanya. (An Nuur:31)
Al-khumur adalah bentuk jamak dari khimar, artinya kain kerudung yang dipakai untuk menutupi kepala, dikenal pula dengan sebutan muqani’.
Sa’id ibnu Jubair telah mengatakan sehubungan dengan makna firmannya: Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudungnya ke dadanya. (An Nuur:31) Maksudnya, menutupi bagian leher dan dadanya, maka tidak boleh ada sesuatu pun dari bagian tersebut yang tampak.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Syabib, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Yunus, dari ibnu Syihab, dari Urwah, dari Aisysah r.a. yang mengatakan, “Semoga Allah merahmati kaum wanita Muhajirin pertama. Ketika Allah menurunkan firman-Nya: ‘Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudungnya ke dadanya.’ (An Nuur:31) maka mereka membelah kain sarinya, lalu mereka jadikan sebagai kerudung.”
Imam Bukhari mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Na’im, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Nafi’, dari Al-Hasan ibnu Muslim, dari Safiyyah binti Syaibah, bahwa Aisyah r.a. pernah mengatakan bahwa ketika ayat ini diturunkan, yaitu firman-Nya: Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudungnya ke dadanya. (Ah-Nur: 31) Maka mereka melepaskan kain sarungnya, lalu mereka robek dari pinggirnya, kemudian robekan itu mereka jadikan kain kerudung (pada saat itu juga).
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdullah ibnu Yunus, telah menceritakan kepadaku Az-Zunji ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Usman ibnu Khaisam, dari Safiyyah binti Syaibah yang menceritakan, “Ketika kami sedang berada di rumah Aisyah, dan kami memperbincangkan tentang wanita Quraisy serta keutamaan mereka, maka Siti Aisyah berkata, “Sesungguhnya kaum wanita Quraisy memang mempunyai suatu keutamaan, dan sesungguhnya demi Allah, aku belum pernah melihat wanita yang lebih utama daripada wanita Ansar dalam hal keimanan dan kepercayaannya kepada kitabullah dan wahyu yang diturunkan. Sesungguhnya ketika diturunkan firman-Nya: Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudungnya ke dadanya. (An Nuur:31) Maka kaum lelaki mereka berbalik kepada kaum wanitanya seraya membacakan kepada mereka apa yang baru diturunkan oleh Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى Seorang lelaki dari mereka membacakannya kepada istrinya, anak perempuannya, saudara perempuannya, dan kaum kerabatnya yang wanita. Sehingga tiada seorang wanita pun melainkan bangkit melepaskan kain sarinya, lalu dipakainya sebagai kerudung karena membenarkan dan iman kepada wahyu dari Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى yang baru diturunkan. Sehingga mereka di belakang Rasulullah memakai kerudung semua, seakan-akan pada kepala mereka terdapat burung gagak’.”
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, bahwa Qurrah ibnu Abdur Rahman pernah menceritakan kepadanya dari Ibnu Syihab, dari Urwah, dari Aisyah yang mengatakan bahwa semoga Allah merahmati kaum wanita Muhajirin pertama, ketika Allah menurunkan firman-Nya: Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudungnya ke dadanya. (An Nuur:31) Maka mereka membelah kain sari mereka, lalu mereka jadikan sebagi kerudungnya. Abu Daud telah meriwayatkannya melalui hadis Ibnu Wahb dengan sanad yang sama.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka. (An Nuur:31)
Ba’lun yang bentuk jamaknya adalah bu’ul artinya suami.
atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara-saudara perempuan mereka. (An Nuur:31)
Mereka yang disebutkan di atas adalah mahram wanita, mereka diperbolehkan memperlihatkan perhiasannya kepada orang-orang tersebut, tetapi bukan dengan cara tabarrujj.
Ibnul Munzir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, telah menceritakan kepada kami Daud, dari Asy-Sya’bu, dari Ikrimah sehubungan dengan makna ayat ini, yaitu firman-Nya: dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka atau ayah suami mereka. (An Nuur:31), hingga akhir ayat. Lalu ia berkata bahwa Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى tidak menyebutkan paman dari pihak ayah, tidak pula paman dari pihak ibu, karena keduanya dinisbatkan kepada anak keduanya. Untuk itu seorang wanita tidak boleh meletakkan kain kerudungnya di hadapan pamannya, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu. Demikian itu karena dikhawatirkan keduanya akan menggambarkan keadaannya kepada anak-anak keduanya.
Adapun terhadap suami, sesungguhnya hal tersebut hanyalah untuk suaminya. Karena itu, seorang wanita dianjurkan merias dan mempercantik dirinya di hadapan suaminya, yang hal seperti itu tidak boleh dilakukannya di hadapan lelaki lain.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
atau wanita-wanita Islam. (An Nuur:31)
Yakni seorang wanita diperbolehkan menampakkan perhiasannya kepada wanita muslimat, bukan wanita kafir Ummi agar mereka tidak menceritakan keadaan kaum wanita muslimat kepada kaum laki-laki mereka. Perbuatan ini sekalipun dilarang terhadap semua wanita, hanya terhadap wanita kafir zimmi lebih berat larangannya, mengingat tiada suatu norma pun yang melarang mereka untuk menceritakan hal tersebut. Adapun wanita muslimah, sesungguhnya ia mengetahui bahwa perbuatan menceritakan perihal wanita lain (kepada lelaki) adalah haram sehingga ia menahan dirinya dari melakukan hal tersebut. Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah bersabda:
Janganlah seorang wanita menceritakan (menggambarkan) keadaan wanita lain kepada suaminya, (hingga) seakan-akan suaminya memandang ke arahnya.
Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim di dalam kitab sahihnya masing-masing melalui Ibnu Mas’ud.
Sa’id ibnu Mansur telah meriwayatkan di dalam kitab sunannya, telah menceritakan kepada kami Isma’il ibnu Ayyasy, dari Hisyam ibnul Gazi, dari Ubadah ibnu Nissi, dari ayahnya, dari Al-Haris ibnu Qais, bahwa Khalifah Umar menulis surat kepada Abu Ubaidah yang isinya sebagai berikut: Amma Ba’du, sesungguhnya telah sampai berita kepadaku yang mengatakan bahwa sebagian dari kaum wanita muslimat sering memasuki tempat mandi sauna bersama wanita-wanita musyrik, dan hal itu terjadi di daerah wewenangmu. Maka tidak dihalalkan bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari kemudian memperlihatkan auratnya kepada wanita lain kecuali wanita yang seagama dengannya.
Mujahid telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: atau wanita-wanita Islam. (An Nuur:31) Yakni kaum wanita muslimat, bukan kaum wanita musyrik. Wanita muslimat tidak diperbolehkan memperlihatkan auratnya di hadapan wanita musyrik.
Abdullah telah meriwayatkan di dalam kitab tafsirnya dari Al-Kalbi, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: atau wanita-wanita Islam. (An Nuur:31) Yaitu kaum wanita muslimat, wanita muslimat tidak boleh menampakkan perhiasannya kepada wanita Yahudi, juga kepada wanita Nasrani. Perhiasan yang dimaksud ialah bagian leher, anting-anting, bagian yang ditutupi oleh kain kerudung, dan anggota lainnya yang tidak halal dilihat kecuali hanya oleh mahramnya.
Sa’id telah meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Lais, dari Mujahid yang mengatakan bahwa wanita muslimat tidak boleh menanggalkan kain kerudungnya di hadapan wanita musyrik, karena Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى telah berfirman: atau wanita-wanita Islam. (An-N ur:31) Sedangkan wanita musyrik bukan termasuk mereka.
Telah diriwayatkan dari Makhul dan Ubadah ibnu Nissi, bahwa keduanya telah menghukumi makruh bila ada wanita Nasrani, wanita Yahudi, dan wanita Majusi menyambut wanita muslimat.
Adapun mengenai apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Abu Umair, telah menceritakan kepada kami Damrah, bahwa Ata telah meriwayatkan dari ayahnya yang mengatakan bahwa ketika Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tiba di Baitul Maqdis, maka yang menyambut kedatangan istri-istri Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ adalah wanita-wanita Yahudi dan Nasrani. Riwayat ini jika sahih, maka ditakwilkan karena keadaan darurat, atau dianggap sebagai suatu pekerjaan, kemudian dalam peristiwa tersebut tidak ada aurat yang terbuka, dan hal itu merupakan suatu keharusan yang tidak dapat dielakkan. Hanya Allah Yang Maha Mengetahui.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
atau budak-budak yang mereka miliki. (An Nuur:31)
Ibnu Jarir mengatakan, yang dimaksud adalah budak perempuan yang musyrik. Dalam kasus ini wanita muslimat diperbolehkan memperlihatkan perhiasannya kepada budak-budak perempuannya, sekalipun mereka musyrik, karena mereka adalah budaknya. Demikianlah menurut pendapat yang dianut oleh Sa’id ibnul Musayyab.
Tetapi menurut kebanyakan ulama, bahkan wanita muslimat diperbolehkan memperlihatkan perhiasannya kepada budak-budaknya, baik yang laki-laki maupun yang perempuan. Mereka mengatakan demikian dengan berdalilkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud yang mengatakan:
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Abu Jami’ Salim ibnu Dinar, dari Sabit, dari Anas, bahwa Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ datang kepada Fatimah dengan membawa seorang budak laki-laki yang telah diberikan kepadanya. Sedangkan saat itu Fatimah memakai pakaian yang apabila digunakan untuk menutupi kepalanya, maka bagian kedua kakinya tidak tertutupi semua, dan apabila digunakan untuk menutupi kedua kakinya, maka bagian kepalanya tidak tertutupi. Ketika Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melihat keadaan Fatimah kebingungan, maka beliau bersabda: Sesungguhnya tidak mengapa bagimu (berpakaian seperti itu) karena yang datang hanyalah ayahmu dan budakmu.
Al-Hafiz ibnu Asakir menyebutkan di dalam kitab tarikhnya mengenai biografi Khudaij Al-Himsi maula Mu’awiyah, bahwa Abdullah ibnu Mas’adah Al-Fazzari adalah seorang budak yang berkulit sangat hitam, dia adalah seorang budak yang dihadiahkan oleh Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ kepada putrinya Siti Fatimah, lalu Siti Fatimah memeliharanya dan memerdekakannya. Kemudian sesudah itu ia melakukan perang tanding dengan Mu’awiyah dalam Perang Siffin, dia adalah orang yang paling keras dalam membela Ali ibnu Abu Talib r.a.
Imam Ahmad meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Uyaynah, dari Az-Zuhri, dari Nabhan, dari Ummu Salamah yang mengatakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda: Apabila salah seorang di antara kamu (hai kaum wanita) mempunyai budak yang mukatab, dan dia mempunyai kemampuan untuk melunasi transaksi kitabahnya, maka hendaklah kamu berhijab darinya.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
atau pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita). (An Nuur:31)
Yakni seperti orang-orang sewaan dan para pelayan yang tidak sepadan. Selain dari itu akal mereka kurang dan lemah, tiada keinginan terhadap wanita pada diri mereka dan tidak pula berselera terhadap wanita.
Ibnu Abbas mengatakan, yang dimaksud adalah lelaki dungu yang tidak mempunyai nafsu syahwat.
Mujahid mengatakan bahwa yang dimaksud adalah lelaki yang tolol.
Sedangkan menurut Ikrimah, yang dimaksud adalah laki-laki banci yang kemaluannya tidak dapat berereksi. Hal yang sama dikatakan oleh bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf.
Di dalam kitab sahih disebutkan melalui hadis Az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah, bahwa dahulu ada seorang lelaki banci yang biasa masuk menemui istri Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan mereka menganggapnya termasuk orang lelaki yang tidak mempunyai keinginan terhadap wanita. Pada suatu hari Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ masuk ke dalam rumahnya, sedangkan lelaki tersebut sedang menggambarkan perihal seorang wanita. Lelaki itu mengatakan bahwa wanita tersebut apabila datang, maka melangkah dengan langkah yang lemah gemulai, dan apabila pergi, ia melangkah dengan lemah gemulai disertai dengan goyangan pantatnya. Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda:
Bukankah kulihat orang ini mengetahui apa yang ada di sini? Jangan biarkan orang ini masuk menemui kalian!
Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengusir lelaki itu, kemudian lelaki itu tinggal di padang sahara, ia masuk (ke dalam kota) setiap hari Jumat untuk mengemis meminta makanan.
Imam Ahmad meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Zainab binti Abu Salamah, dari Ummu Salamah yang mengatakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ masuk ke dalam rumahnya, sedangkan saat itu di hadapan Ummu Salamah terdapat seorang lelaki banci, juga Abdullah ibnu Abu Umayyah (saudara laki-laki Ummu Salamah). Lelaki banci itu berkata, “Hai Abdullah, jika Allah memberikan kemenangan kepadamu atas negeri (kota) Taif besok, maka boyonglah anak perempuan Gailan. Karena sesungguhnya dia bila datang menghadap melangkah dengan langkah yang lemah gemulai, dan bila pergi, ia melangkah dengan lemah gemulai disertai dengan goyangan pantatnya.” Perkataannya itu terdengar oleh Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ maka beliau bersabda kepada Ummu Salamah:
Jangan biarkan orang ini masuk menemuimu!
hadis ini diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim di dalam kitab Sahihain, melalui hadis Hisyam ibnu ‘Urwah.
Imam Ahmad mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma’mar dari Az-Zuhri, dari Urwah ibnuz Zubair, dari Aisyah r.a. yang telah menceritakan: Dahulu ada seorang waria biasa menemui istri-istri Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan mereka menganggapnya termasuk orang-orang yang tidak mempunyai keinginan kepada wanita. Kemudian Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ masuk sedang waria itu berada pada salah seorang dari istri-istrinya sedang menceritakan perihal seorang wanita seraya mengatakan, “Bahwa sesungguhnya dia kalau datang seakan-akan datang dengan memperlihatkan empat anggota tubuhnya dan bila pergi seakan-akan pergi dengan memperlihatkan kedelapan anggota tubuhnya.” Maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda:
Ingatlah, menurutku orang ini mengetahui apa yang ada di sana, jangan biarkan orang ini masuk menemuimu lagi!
Maka mereka menghalanginya (untuk masuk).
Imam Muslim, Imam Abu Daud, dan Imam Nasai meriwayatkannya melalui Abdur Razzaq dengan sanad yang sama dari Ummu Salamah:
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. (An Nuur:31)
Yakni anak-anak kecil mereka yang masih belum mengerti keadaan wanita dan aurat mereka seperti perkataannya yang lemah lembut lagi merdu, lenggak-lenggoknya dalam berjalan, gerak-gerik, dan sikapnya. Apabila anak lelaki kecil masih belum memahami hal tersebut, maka ia boleh masuk menemui wanita.
Adapun jika seorang anak lelaki menginjak masa pubernya atau dekat usia pubernya yang telah mengenal hal tersebut dan ia dapat membedakan wanita yang jelek dan wanita yang cantik, maka tidak diperkenankan lagi baginya masuk menemui wanita (lain).
Di dalam kitab Sahihain telah disebutkan sebuah hadis dari Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang telah bersabda:
“Janganlah kalian masuk menemui wanita.” Dikatakan, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapatmu tentang (masuk menemui) saudara ipar?” Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjawab, “(Masuk menemui) saudara ipar artinya maut.”
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Dan janganlah mereka memukulkan kakinya. (An Nuur:31), hingga akhir ayat.
Di masa Jahiliah bila seorang wanita berjalan di jalan, sedangkan ia memakai gelang kaki, jika tidak ada laki-laki yang melihat dirinya, ia memukul-mukulkan kakinya ke tanah sehingga kaum lelaki mendengar suara keroncongan gelangnya (dengan maksud menarik perhatian mereka). Maka Allah melarang kaum wanita mukmin melakukan hal semacam itu. Demikian pula halnya bila seseorang wanita memakai perhiasan lainnya yang tidak kelihatan, bila digerakkan akan menimbulkan suara dan dapat menarik perhatian lawan jenisnya, hal ini pun termasuk ke dalam apa yang dilarang oleh Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى dalam firman-Nya: Dan janganlah mereka memukulkan kakinya. (An Nuur:31), hingga akhir ayat.
Termasuk ke dalam apa yang dilarang ialah memakai parfum bila keluar rumah, sebab kaum laki-laki akan mencium baunya.
Abu Isa At-Tirmizi mengatakan:
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa’id Al-Qattan, dari Sabit ibnu Imarah Al-Hanafi, dari Ganim ibnu Qais, dari Abu Musa r.a., dari Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang telah bersabda: Setiap mata ada zinanya. Seorang wanita bila memakai wewangian, lalu melewati suatu majelis, maka dia (akan memperoleh dosa) anu dan anu. Yakni dosa zina mata.
Dalam bab yang sama telah diriwayatkan hadis yang sama melalui Abu Hurairah. Hadis ini hasan sahih. Imam Abu Daud dan Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis Sabit ibnu Imarah dengan sanad yang sama.
Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Kasir, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Asim ibnu Ubaidillah, dari Ubaid maula Abu Rahm, dari Abu Hurairah r.a. yang menceritakan bahwa ia bersua dengan seorang wanita yang terendus darinya bau parfum yang wangi, sedangkan kepangan rambutnya menjulur kelihatan. Maka Abu Hurairah berkata kepadanya, “Hai Umayyah, tersia-sialah amalmu, bukankah kamu baru datang dari masjid?” Umayyah menjawab, “Ya.” Abu Hurairah bertanya, “Apakah engkau memakai wewangian?” Umayyah menjawab, “Ya.” Abu Hurairah berkata bahwa ia pernah mendengar kekasihnya, yaitu Abul Qasim صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (nama julukan Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) telah bersabda: Allah tidak akan menerima salah seorang wanita yang memakai wewangian dalam masjid ini sebelum ia kembali, lalu mandi seperti mandi jinabahnya (untuk membersihkan wewangian yang menempel di tubuhnya).
Imam Turmuzi meriwayatkannya pula melalui hadis Musa ibnu Ubaidah, dari Ayyub ibnu Khalid, dari Maimunah binti Sa’d, bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda: Wanita yang berdandan secara mencolok bukan untuk suaminya, perihalnya sama dengan kegelapan di hari kiamat, tiada nur (cahaya) baginya.
Termasuk ke dalam bab ini disebutkan bahwa mereka (kaum wanita) dilarang berjalan di tengah jalan, karena hal seperti ini mengandung pengertian tabarruj (memamerkan diri atau mengundang perhatian lawan jenis).
Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami At-Taglabi. telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz (yakni Ibnu Muhammad), dari Ibnu Abul Yaman,dari Syaddad ibnu Abu Amr ibnu Hammas, dari ayahnya, dari Hamzah ibnu Abu Usaid Al-Ansari, dari ayahnya, bahwa ia pernah mendengar Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ saat beliau berada di luar masjid, sedangkan kaum lelaki dan kaum wanita bercampur di jalanan. Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda kepada kaum wanita: Minggirlah kalian (hai kaum wanita), karena sesungguhnya tidak diperkenankan bagi kalian menutupi tengah jalan, kalian harus mengambil sisi jalan (trotoar). Setelah itu pinggiran jalan dipakai untuk jalan wanita, sehingga kain mereka menyentuh tembok karena dekatnya mereka dengan tembok yang ada di sisi jalan.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kalian beruntung. (An Nuur:31)
Artinya, kerjakanlah segala sesuatu yang telah Aku perintahkan kepada kalian, yaitu dengan menghiasi diri dengan sifat-sifat yang terpuji dan akhlak-akhlak yang mulia ini. Tinggalkanlah tradisi masa lalu di zaman Jahiliyah, yaitu dengan meninggalkan sifat dan akhlaknya yang rendah, karena sesungguhnya keberuntungan yang paling prima berada dalam jalan mengerjakan segala sesuatu yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya,dan meninggalkan segala sesuatu yang dilarang oleh keduanya. Hanya kepada Allah sajalah kita memohon pertolongan.
Setelah memerintahkan kaum Mukminin untuk me-nundukkan pandangan dan menjaga kemaluan mereka, Allah pun memerintahkan para wanita Mukminah dengannya. Allah ber-firman, {وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ}”Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya’,” dari melihat aurat-aurat dan lelaki dengan penuh syahwat dan pandangan lain yang terlarang. {وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ} “Dan menjaga kemaluannya,” dari (ke-sempatan) untuk dapat menyetubuhinya, menyentuh dan melihat yang diharamkan kepadanya. {وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ}”Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya,” seperti pakaian yang indah, perhiasan-perhiasan dan seluruh tubuhnya termasuk dalam pengertian per-hiasan (zinah). Manakala baju luar harus mereka kenakan, maka Allah berfirman, {إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا}”kecuali yang (biasa) nampak darinya,” baju luar yang biasa dipakai, selama tidak memicu munculnya fitnah. {وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ}”Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya,” demikian ini agar lebih sempurna dalam me-nutupi.
Ini menunjukkan bahwa perhiasan yang haram untuk ditam-pakkan adalah mencakup seluruh tubuh wanita sebagaimana yang telah kami katakan sebelumnya.
Kemudian Allah mengulang kembali larangan menampakkan perhiasan, guna mengecualikan sebagiannya. Firman Allah, {إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ}”kecuali kepada suami mereka,” terhadap para suami mereka {أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ} “atau ayah mereka, atau ayah suami mereka,” yang mencakup bapak itu sendiri, kakek dan seterusnya {أو أبنائهن أو أبناء بعولتهن} “atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka,” termasuk anak laki-lakinya atau anak-anak suaminya dan seterus-nya dari keturunan mereka {أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ} “atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara lelaki mereka,” saudara kandung, atau saudara seayah atau seibu, {أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ} “atau putra-putra saudari perempuan mereka, atau wanita-wanita mereka,” maksudnya boleh bagi para wanita untuk melihat kepada wanita yang lain secara mutlak. Dimungkinkan juga idhafah (penyandaran) ‘wanita mereka’ menunjukkan pengertian jenis wanita tertentu, yaitu wanita Muslimah yang berasal dari jenis kalian. Di dalam-nya, terdapat dalil bagi ulama yang berpendapat: “Sesungguhnya (aurat) seorang wanita Muslimah tidak boleh dilihat oleh wanita dzimmiyah (non Muslim).
{أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ}”Atau budak-budak yang mereka miliki,” se-hingga dibolehkan bagi budak lelaki (bila seluruh jiwanya milik seorang wanita), untuk melihat kepada tuan wanitanya selama wanita tersebut memilikinya secara keseluruhan. Namun, bila ke-pemilikannya hilang atau hanya sebagian saja, maka dia tidak di-perbolehkan untuk melihatnya. ﮋ {أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الإرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ}”Atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita),” maksudnya [atau] orang-orang yang mengikuti kalian, bergantung kepada kalian, baik dari kaum lelaki yang tidak mem-punyai gejolak nafsu terhadap syahwat ini, semisal orang gila yang tidak sadar dengan apa yang terjadi, atau lelaki impoten yang sudah tidak mempunyai birahi lagi, baik pada kemaluan ataupun hatinya, semua jenis lelaki ini tidak dilarang untuk dilihat. {أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ}”Atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita,” maksudnya, anak-anak yang belum memasuki usia tamyiz (kurang dari tujuh tahunan. Pent.), mereka boleh melihat para wanita. Allah mengemukakan illatnya bahwa mereka لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ “belum mengerti tentang aurat wanita,” maksudnya belum mengerti tentang aurat wanita, dan belum muncul nafsu syahwat pada mereka. Jadi, ini menunjukkan bahwa seorang wanita harus menutup auratnya dari pandangan seorang anak yang sudah memasuki usia tamyiz, karena ia telah memahami aurat wanita.
{وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ}”Dan janganlah mereka me-mukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan,” maksudnya janganlah mereka menghentakkan kaki mereka ke tanah agar perhiasan-perhiasan yang ada di kaki mereka bersuara semisal gelang kaki dan sejenisnya, hingga diketahui perhiasannya disebabkannya sehingga menjadi media menuju fitnah.
Dapat dipetik dari ayat ini dan ayat lain yang serupa, kaidah Sadd al-Wasa`il (keharusan menutup akses kepada kejelekan). Se-sungguhnya sebuah perkara yang mubah, akan tetapi dapat meng-hantarkan kepada perbuatan haram atau ditakutkan akan terjadi perbuatan yang dilarang, maka perkara tersebut terlarang. Meng-hentakkan kaki ke tanah, pada asalnya boleh, namun lantaran ia menjadi jalan tersibaknya perhiasan, maka ia dilarang.
Usai memerintahkan sekumpulan perintah yang baik dan mewasiatkan wasiat-wasiat yang indah, sudah tentu akan terjadi kelalaian dalam pelaksanaannya dari seorang Mukmin dalam masalah itu, maka Allah memerintahkan mereka untuk bertaubat. Allah berfirman, {وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ} “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang beriman,” [karena seorang Mukmin, keimanannya mengajak kepada taubat]. Kemudian Allah mengaitkan kebahagiaan dengannya. Allah berfirman, {لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ} “Supaya kamu beruntung,” sehingga tidak ada jalan menuju kebe-runtungan kecuali dengan taubat, yaitu, kembali dari hal-hal yang dibenci oleh Allah, baik lahir atau yang batin menuju perkara-per-kara yang Dia cintai, baik secara lahir maupun batin. Keterangan ini menandakan bahwa setiap Mukmin membutuhkan taubat, lan-taran Allah telah mengarahkan pembicaraan kepada seluruh kaum Mukminin. Dalam ayat ini (juga) termuat anjuran untuk berbuat ikhlas dalam bertaubat pada FirmanNya, {وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ} “maka ber-taubatlah kamu sekalian kepada Allah,” maksudnya bukan untuk tujuan selain wajahNya, berupa keselamatan dari gangguan-gangguan keduniaan, riya`, sum`ah, atau orientasi-orientasi rusak lain.
Dan katakanlah pula, wahai nabi Muhammad, kepada para perempuan yang beriman dengan mantap, agar mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya dari yang haram, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa terlihat darinya menurut kebiasaan dan sulit untuk mereka sembunyikan, seperti baju luar, wajah, dan telapak tangan. Dan hendaklah mereka menutupkan jilbab atau kain kerudung ke kepala, leher, dan dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya atau auratnya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami me-reka, termasuk cucu, cicit, dan seterusnya, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau para perempuan mereka sesama muslim, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan laki-laki tua yang tidak lagi mempunyai keinginan dan syahwat kepada perempuan, atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman dari segala dosa, khususnya pandangan terlarang, agar kamu beruntung dan mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat. 32. Setelah uraian tersebut, datanglah perintah untuk menikah sebagai salah satu cara memelihara kesucian nasab. Dan nikahkanlah, yaitu bantulah supaya bisa menikah, orang-orang yang masih membujang di antara kamu agar mereka dapat hidup tenang dan terhindar dari zina serta perbuatan haram lainnya, dan bantulah juga orang-orang yang layak menikah dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah mahaluas pemberian-Nya; tidak akan berkurang khazanah-Nya seberapa banyak pun dia memberi hamba-Nya keka-yaan, lagi maha mengetahui.
An-Nur Ayat 31 Arab-Latin, Terjemah Arti An-Nur Ayat 31, Makna An-Nur Ayat 31, Terjemahan Tafsir An-Nur Ayat 31, An-Nur Ayat 31 Bahasa Indonesia, Isi Kandungan An-Nur Ayat 31
Tafsir Surat An-Nur Ayat: 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | 21 | 22 | 23 | 24 | 25 | 26 | 27 | 28 | 29 | 30 | 31 | 32 | 33 | 34 | 35 | 36 | 37 | 38 | 39 | 40 | 41 | 42 | 43 | 44 | 45 | 46 | 47 | 48 | 49 | 50 | 51 | 52 | 53 | 54 | 55 | 56 | 57 | 58 | 59 | 60 | 61 | 62 | 63 | 64
Raih pahala amal jariyah dengan cara membagikan (share) konten ini kepada yang lainnya. Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه
"Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)