{23} Al-Mu’minun / المؤمنون | الْقُرْآنُ الْكَرِيْمُ | الفرقان / Al-Furqan {25} |
Tafsir Al-Qur’an Surat An-Nur النور (Cahaya) lengkap dengan tulisan arab latin, arti dan terjemah Bahasa Indonesia. Surah ke 24 Tafsir ayat Ke 61.
لَيْسَ عَلَى الْأَعْمَىٰ حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ وَلَا عَلَىٰ أَنْفُسِكُمْ أَنْ تَأْكُلُوا مِنْ بُيُوتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ آبَائِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أُمَّهَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ إِخْوَانِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخَوَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَعْمَامِكُمْ أَوْ بُيُوتِ عَمَّاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخْوَالِكُمْ أَوْ بُيُوتِ خَالَاتِكُمْ أَوْ مَا مَلَكْتُمْ مَفَاتِحَهُ أَوْ صَدِيقِكُمْ ۚ لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَأْكُلُوا جَمِيعًا أَوْ أَشْتَاتًا ۚ فَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوتًا فَسَلِّمُوا عَلَىٰ أَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُبَارَكَةً طَيِّبَةً ۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ ﴿٦١﴾
laisa ‘alal-a’mā ḥarajuw wa lā ‘alal-a’raji ḥarajuw wa lā ‘alal-marīḍi ḥarajuw wa lā ‘alā anfusikum an ta`kulụ mim buyụtikum au buyụti ābā`ikum au buyụti ummahātikum au buyụti ikhwānikum au buyụti akhawātikum au buyụti a’māmikum au buyụti ‘ammātikum au buyụti akhwālikum au buyụti khālātikum au mā malaktum mafātiḥahū au ṣadīqikum, laisa ‘alaikum junāḥun an ta`kulụ jamī’an au asytātā, fa iżā dakhaltum buyụtan fa sallimụ ‘alā anfusikum taḥiyyatam min ‘indillāhi mubārakatan ṭayyibah, każālika yubayyinullāhu lakumul-āyāti la’allakum ta’qilụn
QS. An-Nur [24] : 61
Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu, makan (bersama-sama mereka) di rumah kamu atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudara-saudaramu yang perempuan, di rumah saudara-saudara bapakmu yang laki-laki, di rumah saudara-saudara bapakmu yang perempuan, di rumah saudara-saudara ibumu yang laki-laki, di rumah saudara-saudara ibumu yang perempuan, (di rumah) yang kamu miliki kuncinya atau (di rumah) kawan-kawanmu. Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendiri-sendiri. Apabila kamu memasuki rumah-rumah hendaklah kamu memberi salam (kepada penghuninya, yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, dengan salam yang penuh berkah dan baik dari sisi Allah. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat(-Nya) bagimu, agar kamu mengerti.
Tidaklah berdosa bagi orang-orang yang mempunyai udzur diantaranya buta, pincang dan sakit meninggalkan perkara-perkara wajib yang tidak mampu mereka kerjakan. Misalnya jihad dan semisalnya yang membutuhkan penglihatan, kesempurnaan dan kesehatan. Dan tidaklah berdosa kalian wahai orang-orang yang beriman untuk makan di dalam rumah di mana istri dan keluarga kalian ada di sana. Hal ini mencakup rumah anak-anak kalian, rumah bapak-bapak kalian, rumah ibu-ibu kalian, saudara-saudara kalian, saudari-saudari kalian, paman dan bibi kalian dari keluarga bapak maupun ibu, atau rumah yang dipasrahkan atas seizin pemiliknya kepada kalian untuk dijaga saat ia pergi. Atau rumah teman-teman kalian. Dibolehkan kalian makan bersama-sama atau sendiri-sendiri. Ketika kalian masuk ke dalam rumah, hendaknya mengucapkan salam dengan salam Islam, baik rumahnya berpenghuni maupun tidak. Dan salam itu berbunyi: Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh atau Assalamu’alaina wa’ala I’baadillahish shaalihin. Jika tidak menemukan seorang pun, maka salam ini tetap disyariatkan oleh Allah. Tahiyyah (salam) ini penuh dengan berkah, menumbuhkan kasih saying, kecintaan, perkataan yang baik dan menyenangkan orang yang mendengar. Penjelasan yang seperti ini telah Allah jelaskan kepada kalian sebagai rambu-rambu dalam agama dan ayat-ayat-Nya, agar kalian memikirkan dan mengamalkannya.
Ulama tafsir berbeda pendapat tentang makna yang menjadi penyebab bagi terhapusnya dosa dari orang yang buta, orang yang pincang, dan orang yang sakit dalam ayat ini.
Ata Al-Khurrasani dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan masalah jihad. Mereka mengkategorikan ayat ini sama dengan apa yang terdapat di dalam surat Al-Fath yang menerangkan dengan jelas masalah jihad. Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa tiada dosa atas mereka dalam meninggalkan kewajiban berjihad karena kondisi mereka yang lemah dan tidak mampu. Semakna pula dengan apa yang disebutkan di dalam surat At-Taubah melalui firman-Nya:
Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, atas orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tiada jalan sedikit pun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata, “Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawa kalian!” (At Taubah:91-92)
sampai dengan firman-Nya:
lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan. (At Taubah:92)
Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud dalam ayat ini ialah pada mulanya mereka merasa keberatan bila makan bersama orang yang buta. Karena orang buta tidak dapat melihat makanan dan lauk-pauk yang ada dalam hidangan, dan barangkali orang lain (yang tidak buta) mendahuluinya dalam menyantap hidangan yang disuguhkan. Tidak pula bersama orang yang pincang, sebab orang yang pincang tidak dapat duduk dengan baik sehingga teman-teman sekedudukannya menjauh darinya. Tidak pula orang yang sedang sakit, sebab orang yang sedang sakit tidak dapat menyantap hidangan dengan sempurna sebagaimana yang lainnya. Maka dari itu mereka tidak mau makan bersama orang-orang tersebut, agar mereka tidak berbuat aniaya terhadap orang-orang itu. Kemudian Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menurunkan ayat ini sebagai kemurahan dari-Nya dalam masalah ini. Demikianlah menurut pendapat yang dikemukakan oleh Sa’id ibnu Jubair dan Miqsam.
Ad-Dahhak mengatakan bahwa dahulu sebelum Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ diutus, mereka merasa keberatan bila makan bersama-sama orang-orang itu karena merasa jijik dan enggan serta menghindari agar orang-orang itu tidak tersinggung. Lalu Allah menurunkan ayat ini (sesudah Islam datang).
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma’mar, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: Tiada halangan bagi orang buta. (An Nuur:61), hingga akhir ayat. Dahulu seseorang pergi membawa seorang yang tuna netra, atau seorang yang pincang atau seorang yang sakit, ke rumah ayahnya atau rumah saudara laki-lakinya atau rumah saudara perempuannya atau rumah saudara perempuan ayahnya atau rumah saudara perempuan ibunya. Sedangkan orang-orang yang sakit merasa keberatan dengan hal tersebut. Mereka mengatakan bahwa sesungguhnya orang-orang mengajak mereka ke rumah keluarga mereka sendiri (yakni mau mengajak hanya ke rumah keluarganya sendiri), lalu turunlah ayat ini sebagai rukhsah buat mereka.
As-Saddi mengatakan bahwa seseorang masuk ke dalam rumah ayahnya atau saudara lelakinya atau anak lelakinya, lalu istri pemilik rumah menyuguhkan makanan kepadanya, tetapi ia tidak mau makan karena pemilik rumah tidak ada di tempat. Maka Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berfirman: Tidak ada halangan bagi orang buta. (An Nuur:61), hingga akhir ayat.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
dan tidak pula bagi diri kalian sendiri, makan (bersama-sama mereka) di rumah kalian sendiri. (An Nuur:61)
Sesungguhnya makan di rumah sendiri disebutkan dalam ayat ini tiada lain agar di- ‘ataf-kan kepadanya lafaz lain yang disebutkan sesudahnya supaya mempunyai hukum yang sama dengannya. Termasuk pula ke dalam pengertian rumah sendiri ialah rumah anak, sekalipun tidak disebutkan dalam nas ayat ini (tetapi pengertiannya tersirat di dalamnya). Karena itu, ada sebagian ulama yang menjadikan ayat ini sebagai dalil yang menunjukkan bahwa harta milik anak sama dengan harta milik ayahnya. Di dalam kitab musnad dan kitab sunan telah disebutkan sebuah hadis yang diriwayatkan melalui berbagai jalur dari Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, bahwa beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda:
Engkau dan hartamu adalah milik ayahmu.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
atau rumah bapak-bapak kalian, atau rumah ibu-ibu kalian. (An Nuur:61)
sampai dengan firman-Nya:
atau di rumah yang kalian miliki kuncinya. (An Nuur:61)
Makna ayat ini sudah jelas, dan ada sebagian ulama yang mewajibkan memberi nafkah kepada kaum kerabat, sebagian dari mereka kepada sebagian yang lain. Seperti yang ada pada mazhab Imam Abu Hanifah dan mazhab Imam Ahmad ibnu Hambal menurut pendapat yang terkenal dari keduanya.
Mengenai makna firman-Nya:
atau di rumah yang kalian miliki kuncinya. (An Nuur:61)
Menurut Sa’id ibnu Jubair dan As-Saddi, yang dimaksud adalah pelayan seseorang. Diperbolehkan baginya memakan sebagian dari makanan yang disimpan oleh tuannya dengan cara yang makruf.
Az-Zuhri telah meriwayatkan dari Urwah, dari Aisyah r.a. yang telah mengatakan bahwa dahulu kaum muslim berangkat berjihad bersama Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Maka mereka menyerahkan kunci-kunci rumah mereka kepada orang-orang kepercayaannya masing-masing. Dan mereka mengatakan, “Kami halalkan bagi kalian memakan apa yang kalian perlukan.” Sedangkan orang-orang kepercayaan mereka mengatakan, “Sesungguhnya tidak halal bagi kami memakan makanan mereka, karena sesungguhnya mereka memberikan izinnya kepada kami tidak berdasarkan keikhlasan hati, dan sesungguhnya kami ini adalah orang-orang yang dipercaya untuk memegang amanat.” Maka Allah menurunkan firman-Nya: atau di rumah-rumah yang kalian miliki kuncinya. (An-Nur. 61)
Adapun firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
atau di rumah kawan-kawan kalian. (An Nuur:61)
Yakni rumah teman-teman kalian dan rumah sahabat-sahabat kalian, maka tiada dosa bagi kalian bila makan dari apa yang ada padanya, jika kalian mengetahui bahwa hal tersebut tidak memberatkan pemilik rumah dan para pemilik rumah merelakannya.
Qatadah mengatakan, “Apabila kamu memasuki rumah temanmu, maka tidak ada halangan bagimu bila makan di dalamnya tanpa seizin temanmu.”
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Tidak ada halangan bagi kalian makan bersama-sama mereka atau sendirian. (An Nuur:61)
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa ketika Allah menurunkan firman-Nya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil. (An Nisaa:29)
Maka kaum muslim berkata, “Sesungguhnya Allah telah melarang kita saling memakan harta sesama kita dengan cara yang batil, sedangkan makanan adalah harta yang paling utama. Karena itu, tidak halal bagi seseorang di antara kita makan di rumah orang lain.” Maka orang-orang menahan dirinya dari hal tersebut, lalu Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menurunkan firman-Nya: Tidak ada halangan bagi orang buta. (An Nuur:61) sampai dengan firman-Nya: atau di rumah kawan-kawan kalian.(An Nuur:61)
Dahulu mereka merasa enggan dan berdosa bila makan sendirian, melainkan bila ditemani oleh orang lain, kemudian Allah memberikan kemurahan (dispensasi) bagi mereka dalam hal tersebut melalui firman-Nya: Tidak ada halangan bagi kalian makan bersama-sama atau sendirian. (An Nuur:61)
Qatadah mengatakan bahwa sebagian orang dari Bani Kinanah sejak masa Jahiliah menganggap sebagai suatu perbuatan yang hina bila seseorang dari mereka makan sendirian, sehingga seseorang dari mereka terpaksa masih terus menggiring unta gembalaannya dalam keadaan lapar hingga bersua dengan seseorang yang mau makan dan minum bersamanya. Lalu Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menurunkan firman-Nya (sesudah masa Islam), yaitu: Tidak ada halangan bagi kalian makan bersama-sama mereka atau sendirian. (An Nuur:61)
Ini merupakan suatu kemurahan dari Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى yang mengizinkan seseorang makan sendirian atau secara berjamaah, sekalipun makan dengan berjamaah lebih berkah dan lebih utama. Seperti yang telah disebutkan di dalam riwayat Imam Ahmad:
telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Abdu Rabbih, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim, dari Wahsyi ibnu Harb, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa pernah ada seorang lelaki berkata kepada Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, “Sesungguhnya kami makan, tetapi tidak pernah merasa kenyang.” Maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda: Barangkali kalian makan sendiri-sendiri, makanlah dengan berjamaah dan sebutlah nama Allah (sebelumnya), niscaya kalian akan diberkati dalam makanan kalian.
Ibnu Majah telah meriwayatkan pula melalui hadis Amr ibnu Dinar-Al-Qahramani, dari Salim, dari ayahnya, dari Umar, dari Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang telah bersabda:
Makanlah bersama-sama, janganlah kalian makan sendiri-sendiri, karena sesungguhnya keberkatan itu ada bersama jamaah.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Maka apabila kalian memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini), hendaklah kalian memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada diri kalian sendiri. (An Nuur:61)
Sa’id ibnu Jubair, Al-Hasan Al-Basri, Qatadah, dan Az-Zuhri telah mengatakan, hendaklah sebagian dari kalian memberi salam kepada sebagian yang lain. Ibnu Juraij mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abuz Zubair yang pernah mendengar Jabir ibnu Abdullah berkata, “Apabila kamu masuk ke dalam rumah keluargamu, ucapkanlah salam kepada mereka dengan ucapan salam penghormatan yang diberkati lagi baik di sisi Allah.” Abuz Zubair mengatakan, “Menurut hemat saya, maksud Jabir tiada lain mewajibkan hal tersebut.”
Ibnu Juraij mengatakan, telah menceritakan kepadanya Ziyad, dari Ibnu Tawus yang mengatakan, “Apabila seseorang diantar”, kalian memasuki rumahnya, hendaklah ia mengucapkan salam.” Ibnu Juraij mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ata, “Apakah wajib bagiku bila keluar dari rumah, lalu memasukinya lagi, mengucapkan salam kepada mereka?” Ata menjawab, “Saya tidak mengharuskannya kepada seseorang, tetapi hal itu lebih aku sukai dan saya tidak pernah mengabaikannya terkecuali bila saya lupa.”
Mujahid mengatakan, “Apabila kamu memasuki masjid, ucapkanlah salam kepada Rasulullah, dan apabila kamu masuk ke rumah keluargamu, ucapkanlah salam kepada mereka, dan apabila kamu masuk ke dalam suatu rumah yang tidak ada penghuninya, ucapkanlah salam berikut, ‘Semoga kesejahteraan terlimpahkan kepada kita dan juga kepada hamba-hamba Allah yang saleh’.”
As-Sauri telah meriwayatkan dari Abdul Karim Al-Jazari, dari Mujahid, “Apabila kamu masuk ke dalam suatu rumah yang tidak ada orang di dalamnya, maka ucapkanlah salam berikut, ‘Dengan menyebut nama Allah, dan segala puji bagi Allah. Semoga kesejahteraan terlimpahkan kepada kita dari Tuhan kita, semoga kesejahteraan terlimpah-kan kepada kita dan juga kepada hamba-hamba Allah yang saleh’.'”
Qatadah mengatakan,”Apabila kamu masuk ke dalam rumah keluargamu, maka ucapkanlah salam kepada mereka. Dan apabila kamu memasuki suatu rumah yang tidak ada orang di dalamnya, maka ucapkanlah, ‘Semoga kesejahteraan terlimpahkan kepada kita dan juga kepada hamba-hamba Allah yang saleh,’ karena sesungguhnya dia diperintahkan untuk mengucapkan salam tersebut.” Dan telah menceritakan kepada kami Qatadah, bahwa para malaikat menjawab salamnya itu.
Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Uwaid ibnu Abu Imran Al-Juni, dari ayahnya, dari Anas yang mengatakan bahwa Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah berwasiat kepadanya (yakni memerintahkan kepadanya untuk mengamalkan) lima pekerti. Beliau bersabda: Hai Anas, kerjakanlah wudu dengan sempurna, niscaya umurmu akan bertambah, dan ucapkanlah salam kepada orang yang engkau jumpai dari kalangan umatku, niscaya bertambah banyaklah kebaikan-kebaikanmu, dan apabila engkau memasuki rumahmu, ucapkanlah salam kepada keluargamu, niscaya menjadi banyaklah kebaikan rumahmu, dan kerjakanlah salat duha, karena sesungguhnya salat duha adalah salatnya orang-orang yang suka bertobat di masa sebelummu. Hai Anas, kasihanilah anak kecil dan hormatilah orang dewasa, niscaya engkau termasuk teman-temanku kelak di hari kiamat.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
sebenar-benarnya salam yang dari sisi Allah yang diberkati lagi baik. (An Nuur:61)
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Daud ibnul Husain, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa ia pernah mengatakan, “Tiada lain tasyahhud itu diambil dari Kitabullah. Saya telah mendengar Allah berfirman: Maka apabila kalian memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini), hendaklah kalian memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada diri kalian sendiri, sebenar-benarnya salam yang dari sisi Allah yang diberi berkat lagi baik’ (An Nuur:61).” Bacaan tasyahhud dalam salat ialah,
“Semua salam penghormatan dan semua salawat adalah milik Allah. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Semoga salam terlimpahkan kepadamu, wahai Nabi, begitu pula rahmat Allah dan semua berkah-Nya. Semoga salam terlimpahkan kepada kita dan juga kepada hamba-hamba Allah yang saleh,”
kemudian hendaklah ia berdoa untuk dirinya sendiri, selanjutnya salam.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim melalui hadis Ibnu Ishaq. Tetapi menurut apa yang terdapat di dalam kitab Sahih Muslim dari Ibnu Abbas, dari Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berbeda dengan riwayat ini, hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kalian, agar kalian memahaminya. (An Nuur:61)
Setelah menyebutkan semua yang terkandung di dalam surat ini berupa hukum-hukum yang muhkam dan syariat-syariat yang kokoh dan pasti, lalu Allah mengingatkan hamba-hamba-Nya, bahwa Dia menjelaskan kepada hamba-hamba-Nya ayat-ayat yang terang lagi gamblang agar mereka merenungkan dan memikirkannya, mudah-mudahan mereka dapat memahaminya.
Allah جَلَّ جَلالُهُ mengabarkan tentang kenikmatan yang di-karuniakan kepada hambaNya. Dia tidak menjadikan atas mereka dalam agama ini sesuatu yang memberatkan, bahkan telah memu-dahkannya dengan semaksimal mungkin. Dia berfirman, {لَيْسَ عَلَى الأعْمَى حَرَجٌ وَلا عَلَى الأعْرَجِ حَرَجٌ وَلا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ} “Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit,” maksud-nya tidak ada dosa bagi mereka meninggalkan perkara-perkara yang wajib yang bergantung pada salah satu dari sebab-sebab di atas. Hal itu seperti berjihad dan ibadah serupa lainnya yang ter-gantung pada penglihatan orang yang buta, kenormalan orang cacat dan kesehatan orang yang sakit. Untuk tujuan makna umum ini yang telah kami sebutkan, Allah menyebutkan keterangan ini secara mutlak, tidak mengikatnya sebagaimana Allah mengikat FirmanNya, {لَيْسَ عَلَى الأعْمَى حَرَجٌ وَلا عَلَى الأعْرَجِ حَرَجٌ وَلا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ} “Dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri,” dosa {أَنْ تَأْكُلُوا مِنْ بُيُوتِكُمْ} “untuk makan (bersama-sama mereka) di rumah kamu sendiri,” yaitu rumah anak-anak kalian. Hal ini senada dengan hadits shahih yang tsabit,
أَنْتَ وَمَالُكَ لِأَبِيْكَ.
“Kamu dan hartamu adalah milik bapakmu.”
Dan dengan hadits yang lain,
إِنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلْتُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ. وَإِنَّ أَوْلَادَكُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ.
“Sesungguhnya sebaik-baik yang kamu makan adalah dari jerih pa-yahmu, dan sesungguhnya anak-anakmu adalah dari jerih payahmu.”
Bukan yang dimaksudkan dari Firman Allah, {مِنْ بُيُوتِكُمْ} “dari rumah-rumah kamu,” rumah orang itu sendiri. Karena hal ini termasuk menyampaikan sesuatu yang sudah diketahui, yang tidaklah patut ada dalam Firman Allah, dan karena merupakan bentuk peniadaan dosa dari sesuatu yang diperkirakan timbulnya suatu dosa dari mereka yang telah disebutkan.
Adapun rumah seseorang itu sendiri, tidak ada anggapan ke-liru sedikit pun tentangnya. {أَوْ بُيُوتِ آبَائِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أُمَّهَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ إِخْوَانِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخَوَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَعْمَامِكُمْ أَوْ بُيُوتِ عَمَّاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخْوَالِكُمْ أَوْ بُيُوتِ خَالاتِكُمْ} “atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudaramu yang perempuan, di rumah saudara bapakmu yang laki-laki, di rumah saudara bapakmu yang perem-puan, di rumah saudara ibumu yang laki-laki, di rumah saudara ibumu yang perempuan.” Mereka adalah orang-orang yang telah diketahui. {أَوْ مَا مَلَكْتُمْ مَفَاتِحَهُ} “Atau di rumah yang kamu miliki kuncinya,” maksudnya rumah-rumah yang kalian urusi, baik disebabkan per-wakilan, pemberian wewenang atau hak lainnya.
Adapun penafsiran ini dengan para budak, tidaklah tepat. Karena dua alasan: Pertama, (kepemilikan terhadap) seorang budak tidaklah dikatakan, “Kamu memiliki kunci-kuncinya.” Bahkan di-katakan, “Apa-apa yang kalian miliki, apa-apa yang dimiliki tangan-mu.” Karena mereka memilikinya secara utuh, tidak hanya sekedar kuncinya. Yang Kedua, bahwa rumah-rumah para budak tidak terlepas dari rumah orang itu sendiri (tuannya). Karena seorang budak dan sesuatu yang dimilikinya merupakan milik tuannya. Sehingga tidak ada alasan untuk menepiskan halangan darinya.
{أَوْ صَدِيقِكُمْ} “Atau di rumah kawan-kawanmu,” kesempitan yang dihilangkan adalah berupa makan di rumah-rumah ini. Semua itu berlaku bila tanpa izin. Hikmah yang terkandung telah jelas melalui redaksi ayat ini. Orang-orang yang disebutkan itu, berda-sarkan kebiasaan dan adat memiliki toleransi besar tentang masa-lah makan di rumah-rumah mereka, disebabkan adanya tali keke-rabatan yang dekat, wewenang yang sempurna, atau hubungan persahabatan.
Kalau seandainya salah satu dari mereka ditakdirkan tidak punya toleransi, bakhil dalam masalah makan di rumahnya, maka tidak boleh makan di rumahnya dan kesempitan (dosa) pun belum hilang, dengan mempertimbangkan hikmah dan norma yang ada.
Dan FirmanNya, {لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَأْكُلُوا جَمِيعًا أَوْ أَشْتَاتًا} “Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian.” Setiap cara itu boleh, seluruh penghuni rumah itu boleh makan berbarengan atau mereka makan sendiri-sendiri. Hal ini hanya untuk menghilangkan rasa kesalahan, bukan untuk menafikan keutamaan. Jika tidak demikian, maka cara yang paling utama adalah berkumpul bersama ketika makan. {فَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوتًا} “Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini),” kata nakirah (indefinite) pada susunan kalimat syarat, berarti mencakup rumah seseorang dan rumah lainnya, baik di rumah tersebut ada penghuninya atau tidak.
Maka bila seorang memasukinya, {فَسَلِّمُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ} “hendaklah kamu memberi salam (kepada penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri,” hendaknya sebagian kalian mengucapkan salam terhadap sebagian lainnya. Karena kaum Muslimin itu se-akan-akan pribadi yang satu, dalam rasa saling cinta, kasih sayang dan saling menolong, jadi, mengucap salam diperintahkan ketika akan masuk ke rumah orang lain, tanpa ada perbedaan antara rumah satu dengan lainnya. Sementara hukum meminta izin ada perincian pada hukum-hukumnya seperti pada penjelasan yang lalu.
Kemudian Allah memuji ucapan salam ini dengan FirmanNya, {تَحِيَّةً مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُبَارَكَةً طَيِّبَةً} “Salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik,” maksudnya ungkapan salam dengan mengucap “assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh” atau “as-salamu ‘alaina wa’ala ibadillahish shalihin” ketika kalian memasuki rumah {تَحِيَّةً مِنْ عِنْدِ اللَّهِ} “salam yang ditetapkan dari sisi Allah,” mak-sudnya Allah telah mensyariatkannya buat kalian, dan Allah men-jadikan salam sebagai ungkapan selamat bagi kalian {مُبَارَكَةً} “penuh berkah,” karena mencakup keselamatan dari kekurangan dan raihan rahmat, berkah, perkembangan dan pertambahan {طَيِّبَةً} “yang baik,” karena salam ini berasal dari kalimat yang baik yang dicintai Allah, yang mengandung keramahan jiwa dan rasa sayang kepada orang yang menerima salam, dan melahirkan kecintaan.
Sesudah menerangkan hukum-hukum yang mulia ini bagi kita, Allah berfirman, {طَيِّبَةً} “Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat(Nya) bagimu,” yang menunjukkan kepada hukum-hukum syar’iNya dan hikmah-hikmahNya {طَيِّبَةً} “agar kamu memahaminya,” tentang hukum tersebut. Kalian mema-haminya dan mencernanya dengan hati kalian, supaya kalian men-jadi pemilik akal dan hati yang matang.
Sesungguhnya mengenali hukum syar’iNya dengan benar akan menumbuhkan akal dan mengembangkan pikiran. Dikarena-kan nilai-nilainya merupakan nilai-nilai yang paling mulia dan adab-adabnya adalah adab yang sangat luhur, dan lantaran bentuk balasan itu berasal dari amalan sejenis, maka seseorang yang meng-gunakan akalnya untuk memikirkan Rabbnya dan merenungi ayat-ayat yang mana Allah menyerukan kepadanya, niscaya Allah akan menambahkan kemampuannya.
Pada ayat-ayat ini, terdapat dalil tentang kaidah umum universal yaitu bahwa kebiasaan dan adat dapat mengkhususkan lafazh-lafazh, sebagaimana pengkhususan satu lafazh dengan lafazh lain. Pada asalnya, seseorang dilarang untuk mengambil makanan orang lain, sementara Allah membolehkan makan di rumah-rumah mereka berdasarkan norma kebiasaan dan adat. Setiap masalah ini tergantung dengan izin pemiliknya, bila diketahui dia memberikan izinnya, baik melalui kata-kata atau kebiasaan setempat, maka boleh melakukannya.
Di dalamnya terdapat dalil bahwa seorang bapak boleh meng-ambil dan memiliki harta anaknya, selama tidak mengganggunya. Karena Allah menamakan rumah si anak sebagai rumah buat se-seorang.
Ayat-ayat ini (juga) memuat dalil bahwa pemegang kewe-nangan dalam rumah seseorang semisal istri, saudara perempuan dan orang-orang yang semisal dengan mereka, boleh makan ber-dasarkan hukum kebiasaan dan memberi makan para peminta berdasarkan kebiasaan pula.
Juga mengandung dalil atas bolehnya bergabung dalam masalah makan, baik mereka makan bersama atau secara terpisah. Walaupun hal itu mengakibatkan sebagian mereka makan lebih banyak daripada yang lainnya.
Usai memberi kemudahan kepada perempuan tua dalam hal berpakaian, pada ayat ini Allah menjalankan prinsip kemudahan kepada orang yang memiliki halangan tertentu. Tidak ada halangan, yakni tidak ada dosa dan tidak pula menjadi kemaksiatan bagi orang buta, tidak pula bagi orang pincang, tidak pula bagi orang sakit, dan tidak pula bagi dirimu untuk makan bersama mereka di rumah kamu atau di rumah bapak-bapak kamu, di rumah ibu-ibu kamu, di rumah saudara-saudara kamu yang laki-laki, di rumah saudara-saudara kamu yang perempuan, di rumah saudara-saudara bapak kamu yang laki-laki, di rumah saudara-saudara bapak kamu yang perempuan, di rumah saudara-saudara ibu kamu yang laki-laki, di rumah saudara-saudara ibu kamu yang perempuan, demikian juga di rumah yang kamu miliki atau dititipi kuncinya, atau di rumah kawan-kawan kamu, karena seorang kawan tentu tidak berkeberatan menjamu kawannya. Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendiri-sendiri. Apabila kamu memasuki rumah-rumah hendak-lah kamu memberi salam kepada penghuninya, yang itu berarti kamu memberi salam kepada dirimu sendiri, dengan salam yang penuh berkah dan baik dari sisi Allah, bukan seperti salam pada masa jahiliah. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya bagimu agar kamu mengerti, menghayati, dan mengamalkannya dengan baik. 62. Setelah menjelaskan izin dan etika pertemuan, kini Allah meng-uraikan etika perpisahan. Orang mukmin sejati adalah orang yang ber-iman kepada Allah dan rasul-Nya, yaitu nabi Muhammad, dan apabila mereka berada bersama-sama dengan beliau dalam suatu urusan bersama, mereka tidak meninggalkan beliau sebelum meminta izin kepadanya lalu diizinkan olehnya. Sesungguhnya orang-orang yang meminta izin kepadamu, wahai nabi Muhammad, dalam urusan penting, mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman kepada Allah dan rasul-Nya. Maka apabila mereka meminta izin kepadamu karena suatu keperluan, berilah izin kepada siapa yang engkau kehendaki di antara mereka dan tidak mengapa jika engkau tidak memberi izin sesuai maslahat yang engkau perhitungkan, dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah atas kepergian mereka. Sungguh, Allah maha pengampun kepada orang-orang yang engkau mintakan ampunan untuknya, maha penyayang kepada mereka yang engkau mintakan rahmat untuknya. Demikian mulia kedudukan nabi sehingga para sahabat harus meminta izin apabila hendak meninggalkan majelis beliau.
An-Nur Ayat 61 Arab-Latin, Terjemah Arti An-Nur Ayat 61, Makna An-Nur Ayat 61, Terjemahan Tafsir An-Nur Ayat 61, An-Nur Ayat 61 Bahasa Indonesia, Isi Kandungan An-Nur Ayat 61
Tafsir Surat An-Nur Ayat: 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | 21 | 22 | 23 | 24 | 25 | 26 | 27 | 28 | 29 | 30 | 31 | 32 | 33 | 34 | 35 | 36 | 37 | 38 | 39 | 40 | 41 | 42 | 43 | 44 | 45 | 46 | 47 | 48 | 49 | 50 | 51 | 52 | 53 | 54 | 55 | 56 | 57 | 58 | 59 | 60 | 61 | 62 | 63 | 64
Raih pahala amal jariyah dengan cara membagikan (share) konten ini kepada yang lainnya. Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه
"Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)