{28} Al-Qashash / القصص | الْقُرْآنُ الْكَرِيْمُ | الروم / Ar-Rum {30} |
Tafsir Al-Qur’an Surat Al-‘Ankabut العنكبوت (Laba-Laba) lengkap dengan tulisan arab latin, arti dan terjemah Bahasa Indonesia. Surah ke 29 Tafsir ayat Ke 46.
۞ وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ ۖ وَقُولُوا آمَنَّا بِالَّذِي أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَأُنْزِلَ إِلَيْكُمْ وَإِلَـٰهُنَا وَإِلَـٰهُكُمْ وَاحِدٌ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ ﴿٤٦﴾
wa lā tujādilū ahlal-kitābi illā billatī hiya aḥsanu illallażīna ẓalamụ min-hum wa qụlū āmannā billażī unzila ilainā wa unzila ilaikum wa ilāhunā wa ilāhukum wāḥiduw wa naḥnu lahụ muslimụn
QS. Al-‘Ankabut [29] : 46
Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang baik, kecuali dengan orang-orang yang zalim di antara mereka, dan katakanlah, ”Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhan kamu satu; dan hanya kepada-Nya kami berserah diri.”
Janganlah kalian wahai orang-orang mukmin mendebat orang-orang Yahudi dan Nasrani kecuali dengan cara yang baik, perkataan yang lembut dan berdakwah kepada kebenaran dengan jalan paling mudah yang bisa menyampaikan kepada tujuan tersebut. Kecuali orang-orang yang menyimpang dari jalan kebenaran, menentang dan menyombongkan diri dan mereka mengumumkan perang terhadap kalian. Maka lawanlah mereka dengan pedang sehingga mereka beriman, atau membayar jizyah dengan tangan mereka sedangkan mereka dalam keadaan hina. Katakanlah: Kami beriman kepada Al Qur’an yang diturunkan kepada kami. Kami juga beriman kepada Taurat dan Injil yang telah diturunkan kepada kalian. Sembahan kami dan sembahan kalian adalah satu, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam Uluhiyah, Rububiyah dan Asma dan sifat-Nya. Hanya kepada-Nya kami tunduk dan merendahkan diri dengan ketaatan dalam apa yang Dia perintahkan kepada kami, dan apa yang Dia larang dari kami.
Qatadah dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan, bahwa ayat ini di-mansukh oleh ayatus saif {ayat pedang), maka tiada lagi perdebatan dengan mereka. Sesungguhnya jalan keluarnya hanyalah masuk Islam, atau membayar jizyah atau pedang (perang).
Ulama yang lain mengatakan, ayat ini tetap muhkam bagi orang yang hendak menyadarkan mereka agar mau masuk Islam, maka seseorang dituntut agar menggunakan cara yang lebih baik agar beroleh keberhasilan, sebagaimana yang disebutkan dalam firman-Nya:
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik. (An Nahl:125), hingga akhir ayat
Dan firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى ketika mengutus Musa dan Harun kepada Fir’aun:
Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut. (Taha: 44)
Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir, dia meriwayatkannya dari Ibnu Zaid.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka. (Al-‘Ankabut: 46)
Yaitu orang-orang yang menyimpang dari jalan kebenaran. Mereka buta, tidak dapat melihat bukti yang jelas dan ingkar serta sombong. Maka bilamana sudah sampai pada tingkatan tersebut, cara berdebat tidak dapat dipakai lagi, melainkan melalui jalan keras, dan mereka harus diperangi agar jera dan menjadi sadar.
Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى telah berfirman:
Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya Padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa. (Al Hadiid:25)
Jabir telah mengatakah bahwa kita diperintahkan oleh Allah agar memukul orang yang menentang Kitabullah dengan pedang.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka. (Al-‘Ankabut: 46) Yakni Ahlul Harb dan orang-orang dari kalangan Ahli Kitab yang tidak mau membayar jizyah.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
dan katakanlah, “Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu.” (Al-‘Ankabut: 46)
Maksudnya jika mereka memberitakan tentang hal yang tidak kita ketahui kebenarannya dan tidak pula kedustaannya. Dalam keadaan seperti ini kita tidak boleh tergesa-gesa mendustakannya, karena barangkali apa yang diberitakan oleh mereka itu benar. Tidak boleh pula kita membenarkannya karena barangkali hal itu batil. Akan tetapi kita diperintahkan untuk beriman kepadanya secara global, dengan syarat hendaknya berita tersebut berasal dari wahyu yang diturunkan, bukan yang telah diganti oleh mereka atau bukan pula yang berdasarkan takwil mereka.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Umar, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Mubarak, dari Yahya ibnu Abu Kasir, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah r.a. yang menceritakan bahwa dahulu orang-orang Ahli Kitab sering membaca kitab Taurat dengan bahasa Ibrani, lalu menafsirkannya dengan bahasa Arab kepada orang-orang Islam. Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda: Janganlah kalian membenarkan Ahli Kitab dan jangan pula mendustakannya, dan katakanlah oleh kalian, “Kami beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami dan apa yang diturunkan kepada kalian, Tuhan kami dan Tuhan kalian adalah Esa, dan hanya kepada-Nyalah kami berserah diri.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari secara munfarid (tunggal).
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Us’man ibnu Amr, telah menceritakan kepada kami Yunus, dari Az-Zuhri, telah menceritakan kepadaku Ibnu Abu Namilah Al-Ansari yang menceritakan bahwa ketika dia sedang duduk bersama Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, tiba-tiba datanglah seorang lelaki dari kalangan pemeluk agama Yahudi. Maka lelaki Yahudi itu bertanya, “Hai Muhammad, apakah jenazah ini berbicara?” Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjawab, “Hanya Allah yang mengetahui.” Orang Yahudi itu berkata, “Aku bersaksi bahwa jenazah ini berbicara.” Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda (kepada sahabatnya): Apabila Ahli Kitab berbicara kepadamu, janganlah kamu membenarkannya, jangan pula mendustakannya, tetapi katakanlah, “Kami beriman kepada Allah dan kitab-kitab-Nya serta rasul-rasul-Nya. Karena jika hal itu benar, berarti kalian tidak mendustakannya, dan jika hal itu batil, berarti kalian tidak membenarkannya.
Menurut hemat kami (penulis), Abu Namilah (perawi hadis di atas) adalah Imarah. Pendapat yang lain menyebut Ammar, dan menurut pendapat yang lainnya lagi Amr ibnu Mu’az ibnu Zararah Al-Ansari r.a.
Kemudian perlu diketahui bahwa kebanyakan dari apa yang mereka ceritakan adalah dusta dan buat-buatan, karena sesungguhnya telah terjadi perubahan, penggantian, dan penyimpangan terhadapnya, juga takwil, sehingga sedikit sekali yang masih asli. Kemudian kebanyakan dari yang asli pun sedikit mengandung faedah bagi kita, sekalipun benar sesuai dengan aslinya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abu Asim, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Sulaiman ibnu Amir, dari Imarah ibnu Umair, dari Hurayyis ibnu Zahir, dari Abdullah ibnu Mas’ud yang telah mengatakan, “Janganlah kalian menanyakan sesuatu kepada Ahli Kitab, karena sesungguhnya mereka tidak akan dapat memberi petunjuk kepada kalian, sebab mereka telah sesat. Hal itu berakibat kalian mendustakan perkara yang hak atau membenarkan perkara yang batil. Karena sesungguhnya tiada seorang pun dari kalangan Ahli Kitab, melainkan di dalam hatinya terdapat dorongan yang menyerunya untuk berpegang teguh kepada agamanya, sebagaimana dorongan (mencintai) harta.”
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Sa’d, telah menceritakan kepada kami Ibnu Syihab, dari Abdullah ibnu Abdullah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, “Mengapa kalian menanyakan sesuatu kepada Ahli Kitab? Padahal kitab kalian yang diturunkan kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ adalah kitab yang terbaru, kalian membacanya masih dalam keadaan hangat dan belum lama. Kitab kalian telah memberitahukan bahwa orang-orang Ahli Kitab itu telah mengubah, mengganti, dan menulis kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu mereka mengatakan bahwa kitab itu dari sisi Allah. Mereka lakukan demikian untuk menggantinya dengan imbalan keduniawian yang tiada artinya? Bukankah ilmu yang telah disampaikan kepada kalian melarang kalian bertanya kepada mereka (Ahli Kitab)? Demi Allah, kami belum pernah melihat seseorang dari mereka bertanya kepada kalian tentang apa yang diturunkan kepada kalian (Al-Qur’an).”
Imam Bukhari mengatakan —juga Abul Yaman—, telah menceritakan kepada kami Syu’aib, dari Az-Zuhri, telah menceritakan kepadaku Humaid ibnu Abdur Rahman, bahwa ia pernah mendengar Muawiyah berbicara kepada segolongan orang Quraisy di Madinah, lalu ia ditanya mengenai Ka’bul Ahbar. Maka Muawiyah menjawab, “Sekalipun Ka’bul Ahbar termasuk orang yang paling benar di antara mereka yang menceritakan berita dari Ahli Kitab, sekalipun kita percaya kepadanya, tetapi kita benar-benar masih menuduhnya dusta.”
Maksud perkataan Muawiyah ialah bahwa Ka’bul Ahbar tetap terjerumus ke dalam kedustaan tanpa sengaja karena ia menceritakan tentang lembaran-lembaran kitab yang ia berbaik prasangka terhadap kitab itu, padahal di dalamnya terdapat banyak hal yang maudu’ (buatan) dan kedustaan. Dikatakan demikian karena tiada dari kalangan mereka orang-orang yang hafal secara meyakinkan tentang kitab mereka, tidak sebagaimana di kalangan umat ini (umat Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ). Sekalipun demikian, di kalangan umat ini yang masih baru tetap saja banyak hadis buatan yang jumlahnya hanya diketahui oleh Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى dan orang-orang yang telah dikaruniai oleh-Nya tentang hadis-hadis itu, masing-masing diberiNya ilmu menurut kemampuannya.
Tafsir Ayat:
Allah جَلَّ جَلالُهُ melarang berdebat dengan ahli kitab jika dilakukan tanpa dilandasi pengetahuan yang mendalam dari pihak yang akan mendebat, atau tanpa landasan kaidah yang benar, dan hendaknya tidak mendebat (mereka) kecuali dengan cara yang terbaik, dengan akhlak yang mulia, santun, perkataan yang lembut dan berdakwah kepada kebenaran dan memperindah yang haq, dan dengan menolak kebatilan dan mematahkannya dengan cara yang paling mudah yang bisa mengantarkan kepadanya. Dan hendaknya niat atau tujuan dari perdebatan tidak hanya sekedar perdebatan, sikap ingin mengalahkan dan ingin menjadi yang teratas. Akan tetapi tujuannya adalah menjelaskan kebenaran dan memberikan petunjuk kepada manusia, إِلَّا “kecuali,” dengan orang zhalim di antara ahli kitab. Yaitu dengan tampaknya tujuan dan keadaannya bahwa dia sama sekali tidak mempunyai keinginan pada kebenaran. Ia berdebat hanya untuk membuat huru-hara dan menang-menangan. Tentu sama sekali tidak ada faidahnya mendebat orang seperti ini, karena tujuan dari perdebatan menjadi hilang.
وَقُولُوا آمَنَّا بِالَّذِي أُنزلَ إِلَيْنَا وَأُنزلَ إِلَيْكُمْ وَإِلَهُنَا وَإِلَهُكُمْ وَاحِدٌ “Dan katakanlah, ‘Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu, Tuhan (sembahan) kami dan Tuhanmu adalah satu.” Maksudnya, hendaklah perdebatan kalian dengan ahli kitab dilandasi dengan beriman kepada sesuatu yang diturunkan kepada kalian dan sesuatu yang diturunkan kepada mereka, dan beriman kepada Rasul kalian dan Rasul mereka, dan berdasarkan landasan bahwa sembahan itu satu. Dan hendaknya diskusi kalian dengan ahli kitab tidak dengan cara yang dapat melecehkan sedikit pun dari kitab-kitab suci, atau mencemarkan salah seorang Rasul, sebagaimana yang biasanya dilakukan oleh orang-orang jahil saat berdebat dengan lawan, ia mencemooh semua yang ada pada lawannya, baik yang haq maupun yang batil. Hal demikian adalah kezhaliman dan menyimpang dari yang wajib dan dari etika perdebatan. Karena sesungguhnya yang wajib adalah membantah kebatilan yang ada pada lawan dan menerima kebenaran yang ada padanya, tidak boleh menolak kebenaran karena perkataan lawan sekalipun dia adalah seorang kafir.
Dan juga, karena melandasi debat ahli kitab dengan cara di atas mengandung pengharusan terhadap mereka untuk mengakui al-Qur`an dan rasul yang membawanya (Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ). Sebab, apabila dia membicarakan prinsip-prinsip agama dan sesuatu yang telah disepakati oleh para nabi dan kitab-kitab suci samawi dan sudah disetujui oleh kedua belah pihak yang berdebat dan sudah dipastikan kebenarannya, di mana kitab-kitab sebelumnya dan para rasul bersama al-Qur`an dan Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ benar-benar telah menjelaskannya, membuktikannya dan mengabarkannya, maka hal itu mengharuskan mereka meyakini (dengan membenarkan) semua kitab-kitab suci samawi dan seluruh para rasul. Inilah di antara keistimewaan Islam.
Adapun kalau (malah) dikatakan, “Kami hanya beriman kepada sesuatu yang dijelaskan oleh kitab suci A saja, tanpa meyakini kitab suci B, padahal itu yang benar yang membenarkan kitab-kitab sebelumnya, maka sikap seperti ini adalah kezhaliman dan hawa nafsu. Sikap itu kembali kepada pernyataan pendustaan. Sebab, apabila dia mendustakan al-Qur`an yang membuktikan kebenaran dan yang membenarkan kitab Taurat yang sudah ada sebelumnya, maka sesungguhnya dia berarti mendustakan pernyataan yang telah dia klaim bahwa dia telah beriman kepadanya. Dan juga, karena setiap cara yang dapat membuktikan kenabian dari nabi yang mana saja, maka cara yang semisal dengannya dan yang lebih besar darinya dapat membuktikan kepada kenabian Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Dan setiap syubhat (pemikiran yang keliru) yang dijadikan dasar untuk mendiskreditkan kenabian Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, maka cara yang semisal dengannya atau yang lebih hebat darinya bisa diarahkan kepada kenabian dari nabi yang lain. Apabila telah terbukti kepalsuan syubhat tersebut pada nabi lainnya maka kepastian kepalsuannya pada kebenaran Nabi Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjadi lebih jelas lagi.
وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ “Dan hanya kepadaNya kami berserah diri.” Maksudnya, kami tunduk berserah diri kepada perintahNya. Siapa saja yang beriman kepadaNya, menjadikanNya sebagai sembahan dan beriman kepada seluruh kitab-kitabNya dan para RasulNya, serta tunduk kepada Allah dan mengikuti para RasulNya maka dialah orang yang berbahagia. Dan siapa saja yang menyimpang dari jalan ini, maka dialah orang yang sengsara.
Pada ayat sebelumnya Allah memberi umat islam petunjuk dalam menghadapi kaum musyrik mekah atau para penyembah berhala. Allah lalu menyusulinya dengan ayat ini, yang mengajarkan cara berdakwah kepada kaum yahudi dan nasrani. Dan janganlah kamu, wahai umat islam, berdebat demi menunjukkan kebenaran ajaran islam dengan ahli kitab, yakni yahudi dan nasrani yang mengingkari kerasulan nabi Muhammad, melainkan dengan cara yang lebih baik dibanding caramu menghadapi orang-orang musyrik yang tidak percaya tuhan. Kaum yahudi dan nasrani sejatinya percaya kepada tuhan dan ajaran yang dibawa oleh nabi musa dan isa sehingga lebih mudah bagimu untuk mengajak mereka kepada agama islam. Berdebatlah dengan cara yang lebih baik, kecuali dengan orang-orang yang zalim di antara mereka, yaitu orang-orang yang tetap membantah, membangkang, bahkan memusuhimu setelah menerima penjelasan-penjelasan yang kamu sampaikan dengan cara terbaik. Kamu bisa menunjukkan cara dan sikap yang lebih tegas kepada mereka itu, dan katakanlah kepada mereka, ‘kami telah beriman kepada kitab Al-Qur’an yang diturunkan kepada kami dan kitab-kitab yang diturunkan kepadamu, yakni taurat dan injil. Tuhan kami dan tuhan kamu sesungguhnya satu, yaitu Allah; dan hanya kepada-Nya kami senantiasa berserah diri. ’47. Dan sebagaimana kami telah menurunkan kitab-kitab kepada para rasul sebelum engkau, demikianlah kami juga turunkan kitab Al-Qur’an kepadamu. Oleh karena itu, orang-orang yang telah kami berikan kitab, yakni taurat dan injil, dan tidak menutupi kebenaran isinya, terutama informasi tentang nabi Muhammad, tentu mereka beriman kepadanya, yakni Al-Qur’an. Dan di antara mereka, yakni orang-orang kafir mekah, ada juga orang yang beriman kepadanya, Al-Qur’an. Dan hanya orang-orang kafir yang mengingkari ayat-ayat kami dan terus-menerus dalam kekafirannya.
Al-‘Ankabut Ayat 46 Arab-Latin, Terjemah Arti Al-‘Ankabut Ayat 46, Makna Al-‘Ankabut Ayat 46, Terjemahan Tafsir Al-‘Ankabut Ayat 46, Al-‘Ankabut Ayat 46 Bahasa Indonesia, Isi Kandungan Al-‘Ankabut Ayat 46
Tafsir Surat Al-‘Ankabut Ayat: 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | 21 | 22 | 23 | 24 | 25 | 26 | 27 | 28 | 29 | 30 | 31 | 32 | 33 | 34 | 35 | 36 | 37 | 38 | 39 | 40 | 41 | 42 | 43 | 44 | 45 | 46 | 47 | 48 | 49 | 50 | 51 | 52 | 53 | 54 | 55 | 56 | 57 | 58 | 59 | 60 | 61 | 62 | 63 | 64 | 65 | 66 | 67 | 68 | 69
Raih pahala amal jariyah dengan cara membagikan (share) konten ini kepada yang lainnya. Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه
"Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)