{32} As-Sajdah / السجدة | الْقُرْآنُ الْكَرِيْمُ | سبإ / Saba {34} |
Tafsir Al-Qur’an Surat Al-Ahzab الأحزاب (Golongan-Golongan Yang Bersekutu) lengkap dengan tulisan arab latin, arti dan terjemah Bahasa Indonesia. Surah ke 33 Tafsir ayat Ke 5.
ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ ۚ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ ۚ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَـٰكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ ۚ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا ﴿٥﴾
ud’ụhum li`ābā`ihim huwa aqsaṭu ‘indallāh, fa il lam ta’lamū ābā`ahum fa ikhwānukum fid-dīni wa mawālīkum, wa laisa ‘alaikum junāḥun fīmā akhṭa`tum bihī wa lākim mā ta’ammadat qulụbukum, wa kānallāhu gafụrar raḥīmā
QS. Al-Ahzab [33] : 5
Panggillah mereka (anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang adil di sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu jika kamu khilaf tentang itu, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
Nasabkanlah anak-anak angkat kalian itu kepada bapak-bapak mereka, hal itu lebih lurus dan lebih adil di sisi Allah. Bila kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka yang sebenarnya, maka dalam kondisi itu panggillah mereka dengan dasar persaudaraan agama yang terjadi antara kalian, karena mereka adalah saudara-saudara kalian dan mawali-mawali kalian. Tiada dosa atas kalian atas kesalahan yang kalian lakukan tanpa kesengajaan, akan tetapi Allah akan menyiksa bila kalian sengaja melakukan hal itu. Allah Maha Pengampun bagi siapa yang salah, Maha Penyayang bagi siapa yang bertaubat dari dosanya.
Dalam pendahuluan ini sebelum mengemukakan maksud yang dikehendaki, Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى mengemukakan suatu perkara yang telah dimaklumi oleh pancaindra. Yaitu bahwa sebagaimana tidak mungkin bagi seseorang memiliki dua buah hati dalam rongganya, maka tidak mungkin pula istri yang di-zihar oleh seseorang melalui ucapannya, “Engkau bagiku seperti punggung ibuku,” sebagai ibunya. Tidak mungkin pula terjadi seorang anak angkat menjadi anak kandung seseorang yang mengambilnya sebagai anak angkat. Untuk itu Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berfirman:
Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah. (Al Ahzab:5)
Ini adalah perintah yang me-mansukh apa yang biasa berlaku di masa permulaan Islam yang membolehkan memanggil anak angkat sebagai anak sendiri. Melalui ayat ini Allah memerintahkan kepada mereka agar mengembalikan nisbat anak-anak angkat kepada bapaknya masing-masing yang sesungguhnya. Ketentuan ini merupakan suatu keadilan dan tindakan yang bajik.
Imam Bukhari rahimahullah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma’la ibnu Asad, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnul Mukhtar, dari Musa ibnu Uqbah yang mengatakan bahwa telah menceritakan kepadaku Salim, dari Abdullah ibnu Umar yang mengatakan bahwa sesungguhnya kami terbiasa memanggil Zaid ibnu Harisah maula Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dengan sebutan Zaid anak Muhammad, sehingga turunlah firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى yang mengatakan: Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah. (Al Ahzab:5)
Imam Muslim, Imam Turmuzi, dan Imam Nasai mengetengahkannya melalui berbagai jalur dari Musa ibnu Uqbah dengan sanad yang sama.
Dahulu mereka memperlakukan anak-anak angkat sebagaimana mereka memperlakukan anak-anak kandung sendiri dalam semua keadaan, misalnya dalam keadaan menyendiri disamakan dengan mahram dan lain sebagainya. Karena itulah Sahlah binti Suhail (istri Abu Huzaifah r.a.) bertanya, “Wahai Rasulullah, kami terbiasa memanggil Salim sebagai anak sendiri, sedangkan Allah telah menurunkan wahyu yang menjelaskan hukumnya, sesungguhnya dia terbiasa masuk menemuiku, dan sesungguhnya saya mempunyai perasaan bahwa Abu Huzaifah merasa tidak enak dengan kebebasannya menemuiku itu.” Maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda menjawabnya:
Susuilah dia, maka engkau menjadi mahramnya!
Setelah adanya pe-nasikh-an hukum ini, maka Allah membolehkan seseorang mengawini bekas istri anak angkatnya, Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengawini Zainab binti Jahsy yang telah diceraikan oleh Zaid ibnu Harisah r.a.
Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berfirman:
supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya dari istrinya. (Al Ahzab:37)
Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى telah berfirman di dalam surat An-Nisa tentang mahram:
(dan diharamkan bagimu) mengawini istri-istri anak kandungmu. (An Nisaa:23)
Sebagai pengecualian dari istri anak angkat, karena anak angkat bukan berasal dari sulbi orang yang bersangkutan. Adapun mengenai anak persusuan (rada’), ia didudukkan sebagaimana anak sulbi menurut hukum syara’ melalui hadis Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang termaktub di dalam kitab Sahihain yang mengatakan:
Jadikanlah mahram karena persusuan sebagaimana kemahraman yang terjadi karena nasab (keturunan).
Pengakuan terhadap anak orang lain yang diakui sebagai anak karena memuliakannya atau karena sayang, hal ini bukan termasuk hal yang dilarang oleh ayat ini karena berdasarkan apa yang disebutkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ahlus Sunan kecuali Imam Turmuzi melalui hadis Sufyan As-Sauri, dari Salamah ibnu Kahil, dari Al-Hasan Al Urani, dari Ibnu Abbas r.a. yang menceritakan bahwa kami persilakan anak-anak kecil dari kalangan Bani Abdul Muttalib menemui Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dengan membawa dupa-dupa kami dari Jama’ (Arafah). Dupa-dupa tersebut mengotori paha-paha kami, maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda,
“Hai Anakku, janganlah kamu buang-buang dupa itu sebelum mentari terbit.”
Abu Ubaidah dan lain-lainnya mengatakan bahwa bunayya merupakan bentuk tasgir dari Ibnun. Hal ini jelas penunjukkan dalilnya, dan peristiwa ini terjadi pada haji wada’ tahun sepuluh hijriah.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka. (Al Ahzab:5)
Berkenaan dengan Zaid ibnu Harisah r.a. Dia telah gugur dalam Perang Mu’tah pada tahun delapan Hijriah.
Juga di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan melalui hadis Abu Uwwanah Al-Waddah ibnu Abdullah Al-Yasykuri, dari Al-Ja’d Abu Usman Al-Basri, dari Anas ibnu Malik r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah memanggilnya dengan sebutan, “Hai Anakku.”
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Abu Daud dan Imam Turmuzi.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. (Al Ahzab:5)
Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى memerintahkan agar mengembalikan nisbat anak-anak angkat kepada bapaknya masing-masing yang sesungguhnya, jika bapak-bapak mereka diketahui. Jika ternyata bapak-bapak mereka (anak-anak angkat itu) tidak diketahui, maka mereka adalah saudara-saudara seagama dan maula-maula kalian, yakni sebagai pengganti dari nisbat nasab mereka yang tidak diketahui.
Ada suatu kasus yang terjadi sehubungan dengan masalah ini, yaitu berkenaan dengan kembalinya Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dari Mekah seusai menunaikan umrah qada, lalu mereka diikuti oleh anak perempuan Hamzah r.a. yang menyeru, “Hai Paman, hai Paman, aku ikut!” Maka Ali r.a. menggendongnya dan berkata kepada Fatimah r.a., “Peliharalah anak pamanmu ini,” lalu Fatimah menggendongnya.
Maka bertengkarlah memperebutkannya Zaid dan Ja’far r.a. mempermasalahkan siapa yang berhak memeliharanya di antara mereka. Masing-masing pihak mengemukakan alasannya.
Ali r.a. berkata, “Aku lebih berhak karena dia adalah anak pamanku.” Zaid mengatakan, “Dia adalah anak saudaraku.” Ja’far mengatakan, “Dia anak perempuan pamanku dan bibinya menjadi istriku,” yakni Asma binti Umais. Maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memutuskan bahwa anak perempuan Hamzah r.a. harus berada di bawah asuhan bibinya, dan Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda:
Bibi sama kedudukannya dengan ibu. Kemudian Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda kepada Ali: Engkau termasuk keluargaku, dan aku termasuk keluargamu. Kepada Ja’far r.a. Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda: Rupa dan akhlakmu menyerupaiku. Dan kepada Zaid ibnu Harisah, Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda: Engkau adalah saudara kami dan maula kami.
Di dalam hadis ini tersimpulkan banyak hukum yang terbaik ialah bahwa Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memutuskan perkara yang hak dan membuat masing-masing dari pihak yang bersengketa merasa puas.
Beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda kepada Zaid ibnu Harisah r.a.: Engkau adalah saudara kami dan maula kami. Semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya: maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. (Al Ahzab:5)
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya’qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, dari Uyaynah ibnu Abdur Rahman, dari ayahnya yang menceritakan bahwa Abu Bakar r.a. pernah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. (Al Ahzab:5) “Aku termasuk orang yang tidak diketahui bapaknya, maka aku termasuk saudara-saudara seagama kalian.” Ayahku (si perawi yakni Abdur Rahman) mengatakan, “Demi Allah, sesungguhnya aku merasa yakin seandainya Abu Bakar mengetahui bahwa ayahnya adalah keledai, niscaya dia menisbatkan dirinya kepada keledai itu.”
Di dalam sebuah hadis disebutkan:
Tiada seorang lelaki pun yang menisbatkan dirinya kepada bukan ayahnya sendiri, sedangkan dia mengetahuinya, melainkan ia kafir.
Ini merupakan kecaman dan peringatan yang keras ditujukan terhadap orang yang melepaskan dirinya dari nasabnya yang telah dimaklumi. Karena itu Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menyebutkan dalam firman-Nya: Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. (Al Ahzab:5)
Kemudian dalam firman selanjutnya disebutkan:
Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya. (Al Ahzab:5)
Apabila kalian menisbatkan sebagian dari mereka bukan kepada ayah yang sebenarnya karena keliru sesudah berijtihad dan berusaha sebisamu, maka sesungguhnya Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menghapuskan dosa kekeliruan itu, sebagaimana yang ditunjukkan oleh-Nya melalui firman-Nya yang memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya agar dalam doanya mereka mengucapkan:
Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. (Al Baqarah:286)
Di dalam hadis sahih Muslim disebutkan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda:
Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berfirman (menjawab doa tersebut), “Kami luluskan.”
Di dalam kitab Sahih Bukhari disebutkan melalui Amr ibnul As r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda:
Apabila seorang hakim berijtihad dan ternyata benar, maka dia memperoleh dua pahala. Dan apabila ia berijtihad dan ternyata keliru, maka baginya satu pahala.
Di dalam hadis lain disebutkan:
Sesungguhnya Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى telah memaafkan dari umatku perbuatan keliru, lupa, dan melakukan perbuatan yang dipaksakan kepada mereka.
Dan firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى dalam surat ini:
Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al Ahzab:5)
Yakni sesungguhnya yang dinilai dosa itu ialah melakukan perbuatan yang batil dengan sengaja, sebagaimana yang disebutkan pula oleh firman-Nya dalam ayat yang lain, yaitu:
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah). (Al Maidah:89), hingga akhir ayat.
Di dalam hadis terdahulu telah disebutkan:
Tiada seorang pun yang menisbatkan dirinya bukan kepada bapaknya sendiri, sedangkan dia mengetahuinya, melainkan ia telah kafir.
Di dalam suatu ayat Al-Qur’an yang telah di-mansukh pernah disebutkan:
bahwa sesungguhnya merupakan suatu kekufuran bagi kalian jika kalian membenci bapak-bapak kalian.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma’mar, dari Az-Zuhri, dari Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Atabah ibnu Mas’ud, dari Ibnu Abbas, dari Umar r.a. yang mengatakan, “Sesungguhnya Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى mengutus Muhammad dengan sebenarnya dan menurunkan kepadanya Al-Qur’an, dan termasuk di antara ayat Al-Qur’an ialah ayat yang mengenai hukum rajam. Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memberlakukan hukum rajam, dan kami pun melakukannya pula sesudahnya.” Kemudian Umar r.a. mengatakan, “Dahulu kami sering membaca ayat ini (yang telah di-mansukh),” yaitu: Janganlah kalian membenci bapak-bapak kalian, karena sesungguhnya merupakan suatu kekufuran bagi kalian bila kalian membenci bapak-bapak kalian sendiri. Dan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda: Janganlah kalian menyanjung-nyanjung diriku sebagaimana Isa putra Maryam disanjung-sanjung (oleh kaum Nasrani), karena sesungguhnya aku ini hanyalah hamba Allah, maka sebutlah oleh kalian, “Hamba Allah dan rasul-Nya.”
Adakalanya Ma’mar (si perawi) mengatakan, “Sebagaimana kaum Nasrani menyanjung-nyanjung Isa Putra Maryam.”
Dalam hadis lain disebutkan:
Ada tiga perkara bagi manusia merupakan kekufuran, yaitu mencela nasab (keturunan), melakukan niyahah (tangisan ala Jahiliah) karena ditinggal mati, dan meminta hujan kepada bintang-bintang.
Kemudian Allah menegaskan kepada mereka untuk meninggalkan kondisi yang pertama yang mengandung perkataan batil, seraya berfirman, ادْعُوهُمْ “Panggillah mereka,” maksudnya, anak-anak angkat itu, لآبَائِهِمْ “dengan memakai nama bapak-bapak mereka,” yang memperanakkan mereka, هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ “itulah yang lebih adil pada sisi Allah,” maksudnya, yang lebih adil, lebih lurus dan lebih berpetunjuk. فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ “Dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka,” yang sebenarnya, فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ “maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu,” maksudnya, mereka adalah saudara-saudara kalian dalam agama Allah dan maula-maula kalian. Maka panggillah mereka dengan sebutan persaudaraan keimanan yang tulus dan maula-maula atas dasar itu. Jadi, meninggalkan seruan dengan menyebut nama orang yang menjadikan mereka anak angkat adalah keniscayaan, tidak boleh dilakukan. Sedangkan memanggil mereka dengan menyertakan nama bapak kandung mereka, jika diketahui, maka hendaknya mereka melakukan demikian. Dan jika mereka tidak mengetahuinya maka cukuplah memanggil mereka (dengan nama) yang telah dikenal pada mereka, yaitu saudara seagama dan hubungan maula. Maka jangan kalian mengira bahwa kondisi di mana kalian tidak mengetahui bapak kandung mereka menjadi alasan bagi kalian untuk memanggil mereka dengan nama orang yang menjadikan mereka anak angkat; sebab sesuatu yang dilarang tidak akan gugur disebabkan hal tersebut.
وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ “Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya” seperti secara tidak sengaja lidah salah seorang kalian memanggil mereka dengan nama orang yang menjadikannya sebagai anak angkat. Hal seperti ini tidak ada sanksi hukumnya; atau dia mengetahui ayahnya secara zahir lalu dia memanggilnya dengan menyertakan namanya, padahal sesungguhnya secara batin dia bukan bapaknya, maka tidak ada dosa baginya dalam hal seperti itu apabila terjadi karena khilaf (dan tidak sengaja). وَلَكِنْ “Tetapi” Dia akan menghukum kalian disebabkan perkataan yang dilarang namun disengaja oleh hati kalian, وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا “dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Dia mengampuni dan merahmati kalian; yang mana Dia tidak menghukum kalian atas apa yang sudah berlalu, dan Dia memaafkan kalian atas sesuatu yang tidak sengaja kalian ucapkan, dan Dia berbelas-kasih kepada kalian, di mana Dia menjelaskan kepada kalian hukum-hukum (aturan-aturanNya) yang dapat memperbaiki agama dan dunia kalian. Maka segala puji bagiNya.
Allah tidak menjadikan anak angkatmu sebagai anak kandung. Karena itu, panggillah mereka dengan dinisbatkan kepada nama bapak kandung mereka sendiri, bukan bapak angkatnya. Panggilan demikian itulah yang secara syariat dinilai adil di sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui nama bapak kandung mereka, maka panggillah mereka sebagai saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu menisbatkan seorang anak kepada selain bapaknya jika kamu khilaf atau belum tahu hukum tentang hal itu, tetapi yang menimbulkan dosa adalah apa yang disengaja oleh hatimu dengan menetapkan sesuatu yang batil. Allah maha pengampun kepada siapa saja yang memohon ampunan-Nya, maha penyayang sehingga tidak serta-merta mengazab hamba-Nya yang bersalah. 6. Usai membatalkan hukum anak angkat yang terkait dengan nabi pada ayat sebelumnya, pada ayat ini Allah menegaskan bahwa kedudukan nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada sekadar bapak dari seseorang. Bahkan, beliau lebih utama dibandingkan diri mereka sendiri sebab beliau selalu menginginkan kebaikan bagi umatnya dan berkat beliau pula mereka selamat dari kebinasaan. Dan adapun istri-istrinya secara hukum adalah seperti ibu-ibu mereka sendiri yang harus dimuliakan dan haram mereka nikahi jandanya. Begitupun, hanya orang-orang yang mempunyai hubungan darah yang satu sama lain lebih berhak untuk saling mewarisi sebagaimana tercantum di dalam kitab Allah, daripada orang-orang mukmin dan orang-orang muhajirin yang hanya diikat oleh hubungan keagamaan, bukan kekerabatan, kecuali kalau kamu hendak berbuat baik dengan berwasiat yang tidak lebih dari sepertiga hartamu kepada saudara-saudaramu seagama. Demikianlah telah tertulis dalam kitab Allah.
Al-Ahzab Ayat 5 Arab-Latin, Terjemah Arti Al-Ahzab Ayat 5, Makna Al-Ahzab Ayat 5, Terjemahan Tafsir Al-Ahzab Ayat 5, Al-Ahzab Ayat 5 Bahasa Indonesia, Isi Kandungan Al-Ahzab Ayat 5
Tafsir Surat Al-Ahzab Ayat: 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | 21 | 22 | 23 | 24 | 25 | 26 | 27 | 28 | 29 | 30 | 31 | 32 | 33 | 34 | 35 | 36 | 37 | 38 | 39 | 40 | 41 | 42 | 43 | 44 | 45 | 46 | 47 | 48 | 49 | 50 | 51 | 52 | 53 | 54 | 55 | 56 | 57 | 58 | 59 | 60 | 61 | 62 | 63 | 64 | 65 | 66 | 67 | 68 | 69 | 70 | 71 | 72 | 73
Raih pahala amal jariyah dengan cara membagikan (share) konten ini kepada yang lainnya. Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه
"Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)