{32} As-Sajdah / السجدة | الْقُرْآنُ الْكَرِيْمُ | سبإ / Saba {34} |
Tafsir Al-Qur’an Surat Al-Ahzab الأحزاب (Golongan-Golongan Yang Bersekutu) lengkap dengan tulisan arab latin, arti dan terjemah Bahasa Indonesia. Surah ke 33 Tafsir ayat Ke 6.
النَّبِيُّ أَوْلَىٰ بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ ۖ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ ۗ وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ إِلَّا أَنْ تَفْعَلُوا إِلَىٰ أَوْلِيَائِكُمْ مَعْرُوفًا ۚ كَانَ ذَٰلِكَ فِي الْكِتَابِ مَسْطُورًا ﴿٦﴾
an-nabiyyu aulā bil-mu`minīna min anfusihim wa azwājuhū ummahātuhum, wa ulul-ar-ḥāmi ba’ḍuhum aulā biba’ḍin fī kitābillāhi minal-mu`minīna wal-muhājirīna illā an taf’alū ilā auliyā`ikum ma’rụfā, kāna żālika fil-kitābi masṭụrā
QS. Al-Ahzab [33] : 6
Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dibandingkan diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka. Orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu hendak berbuat baikkepada saudara-saudaramu (seagama). Demikianlah telah tertulis dalam Kitab (Allah).
Nabi Muhammad lebih berhak dengan orang-orang mukmin dan lebih dekat kepada mereka atas diri mereka sendiri dalam perkara agama dan dunia. Kehormatan istri-istri Nabi atas umatnya adalah seperti kehormatan ibu-ibu mereka, maka tidak boleh menikahi istri-istri Nabi sesudah beliau. Sedangkan para pemilik hubungan kekerabatan di kalangan kaum muslimin, sebagian dari mereka lebih berhak atas warisan sebagian yang lain dalam hukum Allah dan syariat-Nya, daripada warisan berdasarkan iman dan hijrah. Kaum muslimin di awal-awal Islam saling mewarisi berdasarkan hijrah dan iman bukan kekerabatan, kemudian hal itu mansukh (dihapus) dengan ayat-ayat warisan. Kecuali bila kalian wahai kaum muslimin berkenan melakukan kebaikan kepada non ahli waris dalam bentuk bantuan, kebaikan, silaturahim, wasiat dan kebaikan lainnya. Hukum tersebut telah ditakdirkan dan ditetapkan di Lauh Mahfuzh, maka kalian wajib mengamalkannya. Ayat ini mewajibkan seseorang lebih menyintai Nabi daripada dirinya sendiri, wajib tunduk secara utuh kepada beliau, wajib menghormati Ummahatul Mukminin para istri Nabi, bahwa mencaci mereka merupakan kerugian yang sangat nyata.
Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى mengetahui kasih sayang Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ kepada umatnya dan keikhlasan beliau kepada mereka, karena itulah maka Allah menjadikan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri. Dan keputusan Allah terhadap mereka mendahului pilihan mereka untuk diri mereka sendiri, sebagaimana pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya:
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (An Nisaa:65)
Di dalam hadis sahih disebutkan:
Demi Tuhan Yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, tidaklah seseorang dari kalian beriman sebelum diriku ini lebih dicintai olehnya daripada dirinya sendiri, harta bendanya, anak-anaknya, dan semua orang.
Di dalam kitab sahih disebutkan pula bahwa Umar r.a. pernah bertanya,
“Wahai Rasulullah, demi Allah, engkau benar-benar lebih aku cintai daripada segala sesuatu, terkecuali diriku sendiri.” Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjawab: Tidak, hai Umar, sebelum diriku lebih dicintai olehmu daripada dirimu sendiri. Maka Umar r.a. berkata, “Wahai Rasulullah, demi Allah, sesungguhnya sekarang engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri.” Lalu Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda, “Hai Umar, begitulah seharusnya.”
Karena itulah disebutkan dalam ayat ini melalui firman-Nya:
Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri. (Al Ahzab:6)
Imam Bukhari mengatakan sehubungan dengan ayat ini, bahwa telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Munzir, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Falih, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Hilal ibnu Ali, dari Abdur Rahman ibnu Abu Amrah, dari Abu Hurairah, dari Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang telah bersabda: Tidak ada seorang mukmin pun melainkan aku adalah orang yang paling utama baginya di dunia dan di akhirat. Bacalah oleh kalian bila kalian suka akan firman-Nya, “Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri.” (Al Ahzab:6). Maka siapa pun orang mukmin yang meninggalkan harta, maka diwariskan kepada para ‘asabah (ahli waris)nya yang ada. Dan jika ia meninggalkan utang atau anak-anak yatim, maka datanglah kepadaku, akulah yang menjadi maulanya.
Hadis diriwayatkan oleh Imam Bukhari secara tunggal. Dia meriwayatkannya pula di dalam Bab “Istiqrad”, demikian juga Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim melalui berbagai jalur dari Falih dengan sanad dan lafaz yang semisal. Imam Ahmad meriwayatkannya melalui hadis Abu Husain, dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah r.a., dari Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dengan lafaz yang semisal.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, dari Ma’mar, dari Az-Zuhri sehubungan dengan makna firman-Nya: Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri. (Al Ahzab:6) Az-Zuhri menerima hadis ini dari Abu Salamah, dari Jabir ibnu Abdullah r.a., dari Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang pernah bersabda: Aku lebih utama bagi tiap orang mukmin daripada dirinya sendiri. Maka barang siapa yang mati meninggalkan utang, akulah yang akan membayarkannya, dan barang siapa yang meninggalkan harta, maka hartanya itu untuk ahli warisnya.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka. (Al Ahzab:6)
Yakni dalam hal kemahraman dan kehormatan, mereka harus dimuliakan, dihormati, dan diagungkan, tetapi tidak boleh berkhalwat dengan mereka. Dan kemahraman ini tidak menjalar sampai kepada anak-anak perempuan dan saudara-saudara perempuan mereka, menurut kesepakatan semua ulama. Sekalipun ada sebagian ulama yang menyebutkan bahwa anak-anak perempuan mereka dan saudara-saudara perempuan mereka adalah saudara-saudara perempuan semua kaum mukmin, seperti yang telah di-nas-kan oleh Imam Syafii r.a. di dalam kitab Al-Mukhtasar-nya. Pendapat ini termasuk ke dalam Bab “Memutlakkan Ibarat Bukan Menetapkan Hukum”. Dan apakah dapat dikatakan kepada Mu’awiyah dan lain-lainnya yang semisal dengan sebutan paman orang-orang mukmin? Ada dua pendapat di kalangan ulama mengenai masalah ini. Tetapi menurut apa yang di-nas-kan oleh Imam Syafii, tidak. Dan apakah istri-istri Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ itu dapat disebut ibu-ibu kaum mukmin perempuan dengan pengertian dimasukkan ke dalam jamak muzakkar secara taglib. Ada dua pendapat mengenainya.
Menurut riwayat yang sahih dari Siti Aisyah r.a., Siti Aisyah pernah mengatakan tidak boleh disebut Ummahatul Mu-minat. Pendapat ini merupakan yang tersahih di antara dua pendapat yang ada di kalangan mazhab Imam Syafii r.a.
Telah diriwayatkan dari Ubay ibnu Ka’b dan Ibnu Abbas r.a. bahwa keduanya membaca ayat ini dengan bacaan berikut:
Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada mereka sendiri, dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka —dan Nabi adalah bapak mereka—.
Hal yang sama telah diriwayatkan dari Mu’awiyah, Mujahid, Ikrimah, dan Al-Hasan. Pendapat ini merupakan salah satu dari dua pendapat yang ada di kalangan mazhab Syafii r.a. Demikianlah menurut apa yang telah diriwayatkan oleh Al-Bagawi dan lain-lainnya. Mereka mengatakan demikian dengan berlandaskan kepada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud rahimahullah.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Muhammad An-Nufaili, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, dari Muhammad ibnu Ajian, dari Al-Qa’qa’ ibnu Hakim, dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda: Sesungguhnya aku ini bagi kalian sama kedudukannya dengan seorang ayah yang mendidik kalian. Maka apabila seseorang di antara kalian mendatangi tempat buang air besarnya, janganlah menghadap ke arah kiblat, jangan pula membelakanginya, dan janganlah ia bercebok dengan memakai tangan kanannya. Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memerintahkan istijmar dengan memakai tiga buah batu, dan melarang memakai kotoran hewan (yang telah kering) dan tulang.
Imam Nasai dan Imam Ibnu Majah mengetengahkan hadis ini melalui riwayat Ibnu Ajlan.
Sedangkan menurut pendapat yang kedua di kalangan mazhab Imam Syafii, tidak boleh menyebut Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sebagai ayah mereka. Mereka yang berpendapat demikian beralasan dengan firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى yang menyebutkan: Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu. (Al Ahzab:40)
Adapun firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah. (Al Ahzab:6)
Maksudnya, menurut hukum Allah.
daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin. (Al Ahzab:6)
Yakni kaum kerabat seseorang itu lebih utama saling mewarisi satu sama lainnya daripada kaum Muhajirin dan kaum Ansar. Ayat ini me-mansukh (merevisi) hukum yang sebelumnya berlaku dalam hal waris-mewaris, yang dapat dilakukan dengan halaf (sumpah pertahanan bersama) dan saudara angkat yang diadakan di antara sesama mereka. Sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Abbas dan lain-lainnya. Disebutkan bahwa dahulu kaum Muhajirin dapat mewarisi kaum Ansar —bukan kaum kerabat dan saudara-saudara orang yang bersangkutan— karena adanya persaudaraan angkat yang diadakan oleh Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ di antara kedua golongan tersebut.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Sa’id ibnu Jubair dan lain-lainnya, baik dari kalangan ulama Salaf maupun ulama Khalaf.
Sehubungan dengan hal ini Ibnu Abu Hatim mengetengahkan sebuah hadis melalui Az-Zubair ibnul Awwam.
Untuk itu ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abu Bakar Al-Mi’sabi (salah seorang ulama yang tinggal di Bagdad), dari Abdur Rahman ibnu Abuz Zanad, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Az-Zubair ibnul Awwam r.a. yang menceritakan bahwa Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى telah menurunkan firman berikut berkenaan dengan kami golongan orang-orang Quraisy dan kaum Ansar secara khusus, yaitu: Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah. (Al Ahzab:6) Demikian itu pada mulanya kami orang-orang Quraisy ketika pertama kali tiba di Madinah, kami datang tanpa membawa harta, dan kami jumpai orang-orang Ansar adalah sebaik-baik saudara, maka kami mempersaudarakan diri dengan mereka dan saling mewarisi antara kami dan mereka. Abu Bakar r.a. mempersaudarakan dirinya dengan Kharijah ibnu Zaid, Umar dengan si Fulan, dan Usman dengan seorang lelaki dari Bani Zuraiq anak Sa’d Az-Zurqi, yang menurut pendapat lain mengatakan bukan dari kalangan Bani Zuraiq.
Az-Zubair r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa ia mempersaudarakan dirinya dengan Ka’b ibnu Malik. Ketika ia mendatanginya, ternyata ia menjumpainya sebagai seseorang yang banyak memiliki senjata, yang menurut tradisi lebih dari apa yang biasanya dimiliki oleh seseorang. Az-Zubair melanjutkan, “Demi Allah, hai Anakku, seandainya Ka’b ibnu Malik meninggal dunia pada hari itu, tiada seorang pun yang akan mewarisinya selain aku sendiri, hingga Allah menurunkan ayat ini berkenaan dengan kami golongan orang-orang Quraisy dan kaum Ansar secara khusus, setelah itu barulah kami mengembalikan hak mewarisi kepada kaum kerabat masing-masing.”
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). (Al Ahzab:6)
Yaitu hak mewaris antara saudara angkat telah dihapus, dan yang ada hanyalah saling tolong-menolong, saling berbuat bajik, silaturahmi, saling berbuat baik, dan saling wasiat-mewasiatkan kebaikan.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah). (Al Ahzab:6)
Hukum ini —yang menyatakan bahwa orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lainnya lebih berhak waris-mewarisi— merupakan hukum dari Allah yang telah ditetapkan dan telah tertulis di dalam Kitab Allah yang pertama, yang tidak dapat diganti dan tidak dapat pula diubah. Demikianlah menurut Mujahid dan lain-lainnya, sekalipun di suatu masa Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى pernah mensyariatkan hukum yang berbeda dengan hukum yang terakhirnya ini. Karena di dalam hukum yang pertama itu terkandung hikmah yang tak terperikan, dan Dia mengetahui bahwa hukum tersebut kelak akan di-mansukh dan akan dikembalikan kepada ketetapan-Nya yang telah digariskan-Nya sejak zaman azali.
Tafsir Ayat:
Allah جَلَّ جَلالُهُ menyampaikan suatu informasi yang dengannya mereka bisa mengetahui status Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan kedudukannya, sehingga mereka dapat berinteraksi dengan beliau sesuai dengan (konsekuensi) status tersebut, seraya berfirman, النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ “Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang Mukmin daripada diri mereka sendiri,” sesuatu yang paling dekat kepada manusia dan sesuatu yang lebih utama yang dimilikinya. Jadi, Rasulullah itu lebih utama baginya daripada dirinya sendiri. Sebab, Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah mengerahkan untuk mereka nasihat (ketulusan), rasa kasih dan sayang yang dengannya ia menjadi manusia yang paling pengasih dan paling menyayangi. Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ adalah manusia yang paling banyak jasanya kepada mereka dibandingkan siapa saja, karena sesungguhnya tidaklah suatu kebaikan sebesar biji sawi mencapai mereka dan tidak pula keburukan sebesar biji sawi terhindar dari mereka melainkan pasti melalui beliau dan disebabkan beliau. Oleh karena itu, mereka wajib –apabila kehendak dirinya atau kehendak siapa pun dari manusia berlawanan dengan kehendak (maksud) Rasulullah– mendahulukan kehendak Rasulullah, dan tidak melawan perkataan Rasulullah dengan perkataan siapa pun dia, dan mereka wajib membelanya dengan jiwa, harta dan anak-anak mereka, dan mendahulukan kecintaan kepada beliau daripada kecintaan kepada manusia semuanya.
Dan hendaknya mereka tidak berkata sebelum beliau berkata, dan tidak pula mendahului beliau, karena beliau adalah ayah bagi seluruh kaum Mukminin, seperti yang diterangkan dalam qira`at sebagian sahabat,
Beliau mengasuh mereka
layaknya seorang ayah mengasuh anak-anaknya
Maka konsekuensi dari kebapakan ini adalah bahwa istri-istri beliau menjadi ibu mereka. Maksudnya, dalam keharamannya, kehormatan dan kemuliaan, bukan dalam soal berdua-duaan dan kemahraman. Ini semua seakan-akan sebagai pengantar bagi pembahasan yang akan disebutkan nanti tentang kisah Zaid bin Haritsah yang sebelumnya dipanggil Zaid bin Muhammad, hingga Allah menurunkan ayatNya,
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ
“Muhammad bukanlah ayah dari salah seorang di antara kalian.” (QS. Al-Ahzab: 40).
Maka semenjak itu Allah memutus nasabnya dan afiliasinya kepadanya.
Allah جَلَّ جَلالُهُ menginformasikan dalam ayat ini bahwasanya orang-orang Mukmin semuanya adalah anak-anak Rasulullah, maka tidak ada kelebihan antara satu dengan yang lainnya, sekalipun afiliasi dakwah terputus dari salah seorang dari mereka. Sebab, nasab imani itu tidak pernah terputus darinya. Maka hendaknya dia tidak perlu bersedih dan berduka. Kedudukan tersebut mengakibatkan kedudukan para istri Rasul sebagai ibu bagi seluruh kaum Mukminin, maka mereka tidak bisa menjadi halal bagi siapa saja sepeninggal beliau, sebagaimana ditegaskan oleh Allah,
وَلا أَنْ تَنْكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِنْ بَعْدِهِ أَبَدًا
“Dan tidak (halal) bagi kalian menikahi istri-istrinya sepeninggalannya selama-lamanya.” (QS. Al-Ahzab: 53).
وَأُولُو الأرْحَامِ “Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah,” maksudnya, kaum kerabat dekat atau jauh, بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ “satu sama lain lebih berhak (saling mewarisi) di dalam Kitab Allah,” maksudnya, dalam hukumNya. Maka sebagian mewarisi sebagian yang lain, dan sebagian berbuat baik kepada sebagian yang lain. Jadi mereka lebih utama daripada sumpah dan pembelaan. Dan demikian pula, anak-anak angkat yang dahulu menjadi pewaris karena sebab-sebab tersebut dengan mengabaikan kaum kerabat pun telah diputus oleh Allah, lalu Allah جَلَّ جَلالُهُ menjadikan hak waris diberikan kepada kaum kerabat sebagai kasih sayang dan kebijakan dariNya. Sebab, kalau permasalahan (pewarisan) terus berdasarkan kebiasaan yang telah lalu, niscaya akan banyak terjadi kerusakan, keburukan dan upaya-upaya tipu daya untuk mencegah kaum kerabat dari harta waris.
مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ “Daripada orang-orang Mukmin dan orang-orang Muhajirin,” maksudnya, sama saja apakah kaum kerabat itu adalah orang-orang Mukminin Muhajirin ataukah bukan Muhajirin. Sebab, sesungguhnya orang-orang yang mempunyai hubungan darah (dzawil arham) itu lebih diutamakan dalam masalah ini. Ayat ini merupakan hujjah (argumen) atas perwalian orang-orang yang mempunyai hubungan darah dalam seluruh bentuk perwalian, seperti dalam perwalian nikah, harta, dan lain-lainnya, إِلا أَنْ تَفْعَلُوا إِلَى أَوْلِيَائِكُمْ مَعْرُوفًا “kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu seagama,” maksudnya, mereka tidak mempunyai hak yang diwajibkan, melainkan berdasarkan kehendak kalian saja jika kalian suka memberi mereka secara suka rela dan memberikan kepada mereka suatu kebaikan dari kalian. كَانَ “Yang demikian itu” keputusan tersebut di atas فِي الْكِتَابِ مَسْطُورًا “tertulis di dalam al-Kitab,” maksudnya, telah termaktub dan ditulis serta telah ditetapkan oleh Allah, maka harus dilaksanakan.
Usai membatalkan hukum anak angkat yang terkait dengan nabi pada ayat sebelumnya, pada ayat ini Allah menegaskan bahwa kedudukan nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada sekadar bapak dari seseorang. Bahkan, beliau lebih utama dibandingkan diri mereka sendiri sebab beliau selalu menginginkan kebaikan bagi umatnya dan berkat beliau pula mereka selamat dari kebinasaan. Dan adapun istri-istrinya secara hukum adalah seperti ibu-ibu mereka sendiri yang harus dimuliakan dan haram mereka nikahi jandanya. Begitupun, hanya orang-orang yang mempunyai hubungan darah yang satu sama lain lebih berhak untuk saling mewarisi sebagaimana tercantum di dalam kitab Allah, daripada orang-orang mukmin dan orang-orang muhajirin yang hanya diikat oleh hubungan keagamaan, bukan kekerabatan, kecuali kalau kamu hendak berbuat baik dengan berwasiat yang tidak lebih dari sepertiga hartamu kepada saudara-saudaramu seagama. Demikianlah telah tertulis dalam kitab Allah. 7-8. Demikianlah kedudukan nabi dan istri-istrinya di kalangan kaum mukmin. Nabi juga mempunyai kedudukan luhur sebagai pembawa risalah dan penyeru kepada agama yang benar, sebagaimana para rasul sebelumnya. Dan ingatlah ketika kami mengambil perjanjian dari para nabi dan dari engkau sendiri, khususnya para rasul ulul ‘azmi, seperti dari nuh, ibrahim, musa, dan isa putra maryam, dan kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh untuk menyampaikan risalah Allah kepada kaum masing-masing agar dia menanyakan kepada orang-orang yang benar dari para rasul tentang kebenaran mereka di hari kiamat’apakah mereka melaksanakan ajaran Allah itu, dan dia menyediakan azab yang pedih bagi orang-orang kafir.
Al-Ahzab Ayat 6 Arab-Latin, Terjemah Arti Al-Ahzab Ayat 6, Makna Al-Ahzab Ayat 6, Terjemahan Tafsir Al-Ahzab Ayat 6, Al-Ahzab Ayat 6 Bahasa Indonesia, Isi Kandungan Al-Ahzab Ayat 6
Tafsir Surat Al-Ahzab Ayat: 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | 21 | 22 | 23 | 24 | 25 | 26 | 27 | 28 | 29 | 30 | 31 | 32 | 33 | 34 | 35 | 36 | 37 | 38 | 39 | 40 | 41 | 42 | 43 | 44 | 45 | 46 | 47 | 48 | 49 | 50 | 51 | 52 | 53 | 54 | 55 | 56 | 57 | 58 | 59 | 60 | 61 | 62 | 63 | 64 | 65 | 66 | 67 | 68 | 69 | 70 | 71 | 72 | 73
Raih pahala amal jariyah dengan cara membagikan (share) konten ini kepada yang lainnya. Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه
"Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)