{32} As-Sajdah / السجدة | الْقُرْآنُ الْكَرِيْمُ | سبإ / Saba {34} |
Tafsir Al-Qur’an Surat Al-Ahzab الأحزاب (Golongan-Golongan Yang Bersekutu) lengkap dengan tulisan arab latin, arti dan terjemah Bahasa Indonesia. Surah ke 33 Tafsir ayat Ke 37.
وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللَّهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ ۖ فَلَمَّا قَضَىٰ زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا ۚ وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولًا ﴿٣٧﴾
wa iż taqụlu lillażī an’amallāhu ‘alaihi wa an’amta ‘alaihi amsik ‘alaika zaujaka wattaqillāha wa tukhfī fī nafsika mallāhu mubdīhi wa takhsyan-nās, wallāhu aḥaqqu an takhsyāh, fa lammā qaḍā zaidum min-hā waṭarā, zawwajnākahā likai lā yakụna ‘alal-mu`minīna ḥarajun fī azwāji ad’iyā`ihim iżā qaḍau min-hunna waṭarā, wa kāna amrullāhi maf’ụlā
QS. Al-Ahzab [33] : 37
Dan (ingatlah), ketika engkau (Muhammad) berkata kepada orang yang telah diberi nikmat oleh Allah dan engkau (juga) telah memberi nikmat kepadanya, “Pertahankanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah,” sedang engkau menyembunyikan di dalam hatimu apa yang akan dinyatakan oleh Allah, dan engkau takut kepada manusia, padahal Allah lebih berhak engkau takuti. Maka ketika Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami nikahkan engkau dengan dia (Zainab) agar tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (menikahi) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya terhadap istrinya. Dan ketetapan Allah itu pasti terjadi.
Tatkala kamu (wahai Nabi) berkata kepada orang yang Allah beri nikmat Islam kepadanya (yaitu Zaid bin Haritsah yang dimerdekakan oleh Nabi dan pernah diangkat sebagai anak oleh beliau) dan kamu memberi nikmat kemerdekaan kepadanya: Biarkan istrimu Zaenab binti Jahsy dalam ikatakan pernikahanmu, dan jangan mentalaknya, dan bertakwalah kepada Allah wahai Zaid. Dan kamu (wahai Nabi) menyembunyikan dalam hatimu apa yang Allah wahyukan kepadamu, yaitu talak Zaid terhadap istrinya dan menikahkanmu dengan mantan istrinya, dan Allah telah menampakkan apa yang kamu sembunyikan. Kamu takut orang-orang munafik akan berkata: Muhammad menikahi mantan istri bekas anak angkatnya sendiri. Padahal Allah jauh lebih patut untuk kamu takuti. Manakala Zaid sudah menunaikan hajatnya darinya dan mentalaknya, kemudian istrinya telah menyelesaikan masa iddahnya, Kami menikahkanmu dengannya secara langsung, agar kamu menjadi teladan dalam membatalkan adat larangan menikah dengan mantan istri bekas anak angkat setelah terjadi talak. Orang-orang mukmin tidak berdosa untuk menikahi wanita-wanita yang sudah ditalak oleh suami-suami mereka, bila suami-suami mereka sudah menunaikan hajat mereka dari mereka, sekalipun suami-suami tersebut adalah mantan anak angkat mereka sendiri. Ketetapan Allah pasti terlaksana tanpa penghalang dan penolak. Pengangkatan anak sendiri adalah adat jahiliyah yang dibatalkan Islam dengan firman Allah: Panggillah mereka dengan nama bapak-bapak mereka.
Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berfirman menceritakan perihal Nabi-Nya, bahwa dia pernah mengatakan kepada bekas budaknya, yaitu Zaid ibnu Harisah r.a., “Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah.” Zaid ibnu Harisah adalah orang yang telah mendapat limpahan nikmat dari Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى yang telah menjadikannya masuk Islam dan mengikuti Rasul-Nya.
dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya. (Al Ahzab:37)
Yakni telah memerdekakannya dari perbudakan, sehingga jadilah ia seorang yang terhormat, terkemuka, dan disegani lagi dicintai oleh Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Dia mendapat julukan nama Al-Hibbu (kecintaan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ), dan dikatakan kepada anaknya julukan nama Al-Hibbu ibnul Hibbi, yang artinya orang yang disayangi Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ putra orang yang disayangi Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Siti Aisyah r.a. pernah mengatakan bahwa tidak sekali-kali Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengirimnya dalam suatu pasukan khusus, melainkan pasti beliau mengangkatnya sebagai komandannya. Dan seandainya Zaid ibnu Harisah hidup sesudah Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, pastilah Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ akan mengangkatnya menjadi khalifah. Demikianlah menurut apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Sa’id ibnu Muhammad Al-Warraq dan Muhammad ibnu Ubaid, dari Wa’il ibnu Daud, dari Abdullah Al-Bahi, dari Siti Aisyah r.a.
Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Khalid ibnu Yusuf, telah menceritakan kepada kami Abu Uwwanah, dan telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ma’mar, telah menceritakan kepada kami Abu Daud, telah menceritakan kepada kami Abu Uwwanah, telah menceritakan kepadaku Umar ibnu Abu Salamah, dari ayahnya yang menceritakan bahwa Usamah ibnu Zaid r.a. pernah bercerita kepadanya, bahwa ketika ia berada di dalam masjid tiba-tiba datang kepadanya Al-Abbas dan Ali ibnu Abu Talib r.a., lalu keduanya bertanya, “Hai Usamah, mintakanlah izin kepada Rasulullah buat kami untuk menemuinya.” Usamah menceritakan, bahwa lalu ia masuk dan menemui Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ serta menceritakan kepadanya hal tersebut, bahwa Ali dan Al-Abbas meminta izin untuk masuk. Maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ betanya, “Tahukah kamu apa keperluan keduanya?”Aku menjawab, “Tidak, ya Rasulullah.” Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda, “Tetapi aku mengetahuinya.” Lalu keduanya diizinkan untuk masuk, dan keduanya bertanya, “Wahai Rasulullah, kami datang kepadamu untuk mendapat berita darimu, siapakah di antara keluargamu yang paling engkau cintai?” Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjawab, “Keluargaku yang paling kucintai adalah Fatimah binti Muhammad.” Keduanya berkata, “Ya Rasulullah, kami tidak menanyakan kepadamu tentang Fatimah.” Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda: Kalau begitu Usamah ibnu Zaid orang yang telah Allah limpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya.
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah mengawinkannya dengan anak perempuan bibinya, yaitu Zainab binti Jahsy Al-Asadiyah r.a. Ibunya bernama Umaimah binti Abdul Muttalib. Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memberinya maskawin sepuluh dinar dan enam puluh dirham, lalu kain kerudung, milhafah (kasur), sebuah baju besi, dan lima puluh mud makanan, dan sepuluh mud kurma. Demikianlah menurut Muqatil ibnuHayyan.
Lalu Zainab tinggal bersama suaminya selama satu tahun atau lebih dari setahun, lalu terjadilah pertengkaran di antara keduanya (Zaid ibnu Harisah dan Zainab binti Jahsy). Maka Zaid datang menghadap kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengadukan perkaranya. Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menasihatinya melalui sabdanya:
Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah.
Disebutkan oleh firman-Nya:
sedangkan kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedangkan Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. (Al Ahzab:37)
Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir dalam bab ini telah menceritakan beberapa asar dari sebagian ulama Salaf radiyallahu ‘anhum, tetapi kami lebih suka tidak mengetengahkannya, karena sanadnya tidak sahih.
Imam Ahmad telah meriwayatkan sehubungan dengan bab ini sebuah hadis melalui riwayat Hammad ibnu Zaid, dari Sabit, dari Anas r.a., tetapi di dalam konteksnya terkandung kegariban (keanehan), maka kami tinggalkan pula.
Imam Bukhari telah meriwayatkan pula sebagiannya secara ringkas, Ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdur Rahim, telah menceritakan kepada kami Ya’la ibnu Mansur, dari Hammad ibnu Zaid, telah menceritakan kepada kami Sabit, dari Anas ibnu Malik r.a. yang mengatakan bahwa sesungguhnya ayat ini, yaitu firman-Nya: dan kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya. (Al Ahzab:37) diturunkan berkenaan dengan peristiwa Zainab binti Jahsy dan Zaid ibnu Harisah r.a.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Hasyim ibnu Marzuq, telah menceritakan kepada kami Ibnu Uyaynah, dari Ali ibnu Zaid ibnu Jad’an yang menceritakan bahwa Ali ibnul Husain r.a. pernah bertanya kepadaku tentang apa yang telah dikatakan oleh Al-Hasan mengenai firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى: dan kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya. (Al Ahzab:37) Maka kuceritakan kepadanya bahwa Al-Hasan mengatakan, tidak demikian, tetapi Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى telah memberitahukan kepada Nabi-Nya sebelum Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengawininya bahwa kelak Zainab akan menjadi salah seorang istrinya. Ketika Zaid datang kepada Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengadukan sikap Zainab yang membangkang, maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda kepada Zaid: Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah. Maka Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berfirman, “Aku telah memberitahukan kepadamu bahwa aku akan mengawinkannya denganmu, dan kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya.” Hal yang sama telah diriwayatkan dari As-Saddi, bahwa Al-Hasan mengatakan hal yang sama.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ishaq ibnu Syahid, telah menceritakan kepadaku Khalid, dari Daud, dari Amir, dari Aisyah r.a., ia pernah mengatakan bahwa seandainya Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyembunyikan sesuatu dari apa yang diwahyukan kepadanya dari Kitabullah, tentulah ia menyembunyikannya, yaitu: dan kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedangkan Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. (Al Ahzab:37)
Adapun firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia. (Al Ahzab:37)
Al-watar artinya keperluan dan hajat, yakni setelah Zaid selesai dari keperluannya dengan Zainab, lalu ia menceraikannya, maka Kami kawinkan kamu dengan Zainab. Dan yang mengawinkan Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dengan Zainab adalah Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى secara langsung. Dengan kata lain, Allah menurunkan wahyu kepada Nabi-Nya dan memerintahkan kepadanya agar mengawini Zainab tanpa wali, tanpa akad, tanpa mahar, dan tanpa saksi manusia, melainkan semuanya ditangani oleh Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim ibnul Qasim, telah menceritakan kepada kami An-Nadr, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnul Mugirah, dari Sabit, dari Anas r.a. yang menceritakan bahwa setelah idah Zainab habis, Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda kepada Zaid ibnu Harisah, “Pergilah kamu dan ceritakanlah kepadanya tentang diriku.” Maka Zaid berangkat hingga sampai ke rumah Zainab yang saat itu sedang membuat adonan roti. Ketika aku (Zaid) melihatnya, keadaannya berbeda, sehingga aku tidak kuasa memandangnya. Lalu aku katakan kepadanya bahwa sesungguhnya Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyebut-nyebutnya. Kemudian aku memalingkan punggungku dan berbicara kepadanya dengan membalikkan tubuh, “Hai Zainab, bergembiralah, Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah mengutusku untuk menyampaikan kepadamu bahwa beliau menyebut-nyebutmu.” Zainab menjawab, “Aku tidak akan melakukan suatu tindakan apa pun sebelum beristikharah kepada Tuhanku.” Zainab bangkit menuju ke masjid, lalu turunlah ayat ini, dan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ langsung masuk menemuinya tanpa izin. Sesungguhnya saya menyaksikan peristiwa itu saat saya masuk ke dalam rumah Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Beliau menjamu kami roti dan daging sebagai walimah perkawinannya dengan Zainab. Sesudah itu orang-orang pulang dan masih ada beberapa orang lelaki yang sedang berbincang-bincang sesudah jamuan makanan itu. Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ keluar dan aku mengikutinya, lalu Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memasuki kamar-kamar istri-istri lainnya satu demi satu seraya bersalam kepada mereka, dan mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah keadaan istri barumu?” Zaid ibnu Harisah melanjutkan kisahnya, bahwa ia tidak ingat lagi apakah ia telah memberitahukan kepada Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bahwa kaum telah pulang semuanya, ataukah beliau telah mendapat berita tentang itu. Tetapi beliau langsung masuk ke dalam rumah dan aku hendak ikut masuk pula, tetapi beliau menurunkan kain penutup pintu rumahnya yang menghalang-halangi antara aku dan beliau, lalu turunlah ayat hijab. Setelah itu Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyampaikannya kepada kaum melalui nasihat-nasihatnya, yaitu firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى: janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan. (Al Ahzab:53), hingga akhir ayat.
Imam Muslim dan Imam Nasai telah meriwayatkannya melalui berbagai jalur dari Sulaiman ibnul Mugirah dengan sanad yang sama.
Imam Bukhari rahimahullah telah meriwayatkan melalui sahabat Anas r.a. yang menceritakan bahwa sesungguhnya Zainab binti Jahsy r.a. merasa berbangga diri atas istri-istri Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang lainnya dengan mengatakan kepada mereka: Kalian dinikahkan oleh keluarga kalian, sedangkan aku dinikahkan oleh Allah dari atas langit ketujuh.
Dalam tafsir Surat An-Nur telah kami sebutkan suatu riwayat dari Muhammad ibnu Abdullah ibnu Jahsy yang telah menceritakan bahwa Zainab dan Aisyah saling berbangga diri. Zainab mengatakan, “Akulah wanita yang dikawinkan melalui wahyu yang diturunkan dari langit.” Sedangkan Aisyah r.a. mengatakan, “Akulah istri yang pembersihan namanya diturunkan dari langit.” Akhirnya Zainab r.a. mengakui keunggulan Siti Aisyah r.a.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Al-Mugirah, dari Asy-Sya’bi yang mengatakan bahwa sesungguhnya Zainab binti Jahsy pernah berkata kepada Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, “Sesungguhnya aku benar-benar diberati olehmu karena tiga perkara, tidak ada seorang wanita pun dari kalangan istri-istrimu yang mempunyai keistimewaan itu, yaitu sesungguhnya kakekku dan kakekmu adalah sama (yakni Abdul muttalib), dan sesungguhnya aku dikawinkan denganmu oleh Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى dari langit dan yang menjadi mak comblangnya adalah Jibril a.s.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada istrinya. (Al Ahzab:37)
Sesungguhnya Kami perbolehkan bagimu mengawininya, tidak lain Kami lakukan hal itu agar tidak ada lagi rasa keberatan bagi orang-orang mukmin dalam mengawini wanita-wanita yang telah diceraikan oleh anak-anak angkat mereka.
Demikian itu karena Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ di masa sebelum kenabian telah mengangkat Zaid ibnu Harisah sebagai anak angkatnya, sehingga Zaid dikenal sebagai putra Muhammad. Setelah itu Allah memutuskan nisbat atau kaitan ini melalui firman-Nya:
dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). (Al Ahzab:4) sampai dengan firman-Nya: Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah. (Al Ahzab:5)
Kemudian ditambahkan kejelasan dan kekukuhannya dengan peristiwa kawinnya Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dengan Zainab binti Jahsy r.a. setelah dicerai oleh Zaid ibnu Harisah r.a. anak angkat Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ karena itulah di dalam ayat At-Tahrim disebutkan oleh firman-Nya:
(dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu). (An Nisaa:23)
Hal ini tiada lain untuk menghindarkan kesalahpahaman terhadap anak angkat, karena istri anak angkat bukan mahram. Sebab tradisi adopsi anak angkat di kalangan mereka saat itu banyak terjadi.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi. (Al Ahzab:37)
Yakni perkara yang telah terjadi ini bersumber dari apa yang telah ditakdirkan dan telah dipastikan oleh Allah, maka tidak dapat dielakkan lagi. Takdir tersebut menyatakan bahwa Zainab binti Jahsy, menurut pengetahuan Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى kelak akan menjadi salah seorang dari istri-istri Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
(37) Latar belakang turunnya ayat-ayat ini adalah bahwa Allah جَلَّ جَلالُهُ berkehendak menetapkan suatu syariat (aturan) umum bagi orang-orang Mukmin, yaitu bahwa anak-anak angkat itu bukan dalam status hukum anak kandung hakiki (dilihat) dari segala sudut pandang, dan bahwa istri-istri mereka tidak apa-apa kalau dinikahi oleh orang yang menjadikan mereka anak angkat. Permasalahan ini termasuk perkara yang telah menjadi adat (mengakar) kuat yang hampir tidak bisa dihilangkan kecuali dengan suatu peristiwa yang sangat besar. Oleh karenanya Allah menghendaki kalau ketetapan hukum syariat ini terwujud dalam bentuk perkataan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan praktiknya. Apabila Allah menghendaki suatu keketapan, maka Dia menjadikan sebab kausalitasnya.
Tadinya Zaid bin Haritsah dipanggil Zaid bin Muhammad. Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah menjadikannya sebagai anak angkat sehingga dia dipanggil dengan sebutan “bin Muhammad” hingga turun perintah ادْعُوهُمْ لآبَائِهِمْ “panggilah mereka dengan menyebut nama bapak mereka,” maka semenjak itu dia disebut: Zaid bin Haritsah. Dan pada saat itu dia beristrikan Zainab binti Jahsy, anak dari bibi Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ; dan sebelum itu sudah terlintas dalam hati Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ kalau Zainab diceraikan oleh Zaid, maka beliau akan menikahinya. Allah جَلَّ جَلالُهُ pun menakdirkan sesuatu hal yang terjadi antara Zaid dengan istrinya itu yang memaksanya datang kepada Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ untuk meminta izin untuk menceraikannya.
Allah berfirman, وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ “Dan ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya,” maksudnya, dengan nikmat Islam, وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ “dan kamu juga telah memberi nikmat kepadanya,” yaitu dengan memerdekakannya, membimbingnya dan mengajarkan ilmu padanya, ketika dia datang kepadamu untuk minta pendapat tentang rencananya akan menceraikan istrinya. Lalu kamu katakan kepadanya seraya menasihati dan memberi tahu padanya tentang kemaslahatannya, dengan lebih mengutamakannya atas keinginanmu, sekalipun hal itu telah terbesit dalam hatimu, أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ “Tahanlah terus istrimu,” maksudnya, jangan kamu menceraikannya dan bersabarlah atas apa yang kamu rasakan darinya. وَاتَّقِ اللَّهَ “Dan bertakwalah kepada Allah,” dalam seluruh urusanmu secara umum, dan dalam urusan istrimu secara khusus, karena takwa itu mendorong pada kesabaran dan memerintahkannya, وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ “sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu sesuatu yang Allah akan menyatakannya,” yang beliau sembunyikan adalah kalau Zaid menceraikannya, maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pasti akan menikahinya, وَتَخْشَى النَّاسَ “dan kamu takut kepada manusia” dalam tindakanmu tidak membuka sesuatu yang tersimpan di dalam hatimu, وَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ “padahal Allahlah yang lebih berhak untuk kamu takuti,” karena takut kepadaNya itu bisa mendatangkan berbagai kebaikan dan mencegah segala keburukan.
فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا “Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya” maksudnya, setelah jiwanya merasa lega dan sudah tidak menyukainya lagi serta menceraikannya, زَوَّجْنَاكَهَا “Kami kawinkan kamu dengannya.” Sesungguhnya Kami melakukan hal ini hanyalah untuk satu kemaslahatan yang sangat besar, yaitu: لِكَيْ لا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ “supaya tidak ada keberatan bagi orang Mukmin untuk mengawini istri-istri dari anak-anak angkat mereka,” di mana mereka melihatmu menikahi istri Zaid bin Haritsah yang sebelumnya dinisbatkan kepadamu.
Oleh karena FirmanNya, لِكَيْ لا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ “Supaya tidak ada keberatan bagi orang Mukmin untuk mengawini istri-istri dari anak-anak angkat mereka” bersifat umum, berlaku dalam semua keadaan, sedangkan ada kondisi di mana tidak boleh melakukan hal tersebut, yaitu sebelum habisnya kebutuhan Zaid kepada istrinya, maka Allah mengaitkannya dengan FirmanNya, إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولا “Apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya dari istrinya. Dan ketetapan Allah itu pasti terjadi.” Maksudnya, harus dilakukan, tidak ada aral dan tidak ada apa pun yang mencegahnya.
Di dalam ayat-ayat yang meliputi kisah ini mengandung beberapa faidah, di antaranya:
1. Pujian kepada Zaid bin Haritsah. Hal ini dari dua sudut, yang pertama, sesungguhnya Allah menyebut namanya di dalam Al-Qur`an, padahal Allah tidak pernah menyebut nama seorang sahabat pun selain dia. Dan kedua, sesungguhnya Allah جَلَّ جَلالُهُ mengabarkan bahwa Dia telah menganugerahkan nikmat padanya. Yaitu nikmat Islam dan Iman. Ini adalah suatu kesaksian dari Allah untuknya, yaitu bahwasanya dia adalah seorang Muslim yang Mukmin, lahir dan batin. Kalau tidak demikian, maka tidak ada sisi pengistimewaannya dengan nikmat, melainkan pasti bahwa yang dimaksud dengan nikmat tersebut adalah nikmat yang istimewa.
2. Sesungguhnya orang yang dimerdekakan (dari perbudakan) itu berada dalam nikmat dari orang yang memerdekakannya.
3. Boleh mengawini mantan istri anak angkat, sebagaimana dinyatakan Al-Qur`an.
Sesungguhnya pengajaran yang praktis itu lebih berpengaruh daripada yang bersifat oral (ucapan), apalagi bila dibarengi dengan perkataan, maka yang demikian itu bagaikan cahaya di atas cahaya.
4. Sesungguhnya rasa cinta yang ada di dalam hati seseorang kepada seorang perempuan yang bukan istrinya, bukan perempuan budak sahayanya dan bukan mahramnya, apabila tidak disertai dengan hal yang dilarang, maka itu tidak berdosa baginya, walaupun disertai dengan anganangan akan menikahinya kalau dia diceraikan oleh suaminya, tanpa adanya upaya untuk memisahkan hubungan antara mereka berdua, atau sengaja melakukan sebab (pertikaian dan sebagainya) dengan cara apa pun. Sebab, Allah جَلَّ جَلالُهُ mengabarkan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyembunyikan perasaan itu di dalam hatinya.
5. Sesungguhnya Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah menyampaikan dengan penjelasan yang sangat jelas. Beliau sama sekali tidak meninggalkan sesuatu apa pun dari segala sesuatu yang telah diwahyukan kepadanya melainkan pasti telah beliau sampaikan, hingga permasalahan yang di dalamnya terdapat teguran terhadap diri beliau sendiri. Ini membuktikan bahwasanya beliau adalah utusan Allah, beliau tidak mengatakan kecuali apa yang diwahyukan kepadanya, dan beliau pun tidak bermaksud mengagungkan dirinya.
6. Sesungguhnya orang yang dimintai pendapat itu adalah orang yang dipercaya, dia wajib (apabila dimintai nasihat dalam salah satu permasalahan) memberikan arahan dan nasihatnya (menurut yang dia ketahui) kepada sesuatu lebih maslahat (bermanfaat) bagi si peminta nasihat. Sekalipun dia mempunyai kepentingan pribadi, maka dia harus mengutamakan maslahat (kepentingan) para peminta nasihat daripada kepentingan dan keinginan dirinya sendiri.
7. Sesungguhnya termasuk pandangan (nasihat) yang baik bagi orang yang meminta pendapat tentang perceraian dengan istrinya agar dia memerintahkan kepadanya untuk tetap mempertahankan istrinya sebisa mungkin. Ini lebih baik daripada perceraian.
8. Sesungguhnya sudah menjadi kepastian untuk mendahulukan takut kepada Allah atas takut kepada manusia, dan itu lebih berhak daripadanya dan lebih utama.
9. Keutamaan Zainab radhiyallahu ‘anha, Ummul Mukminin, di mana Allah جَلَّ جَلالُهُ yang langsung menjadi wali pernikahannya dengan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , tanpa melalui pinangan ataupun saksi. Maka dari itu Zainab membanggakan hal ini di hadapan istri-istri Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang lainnya, seraya berkata,
زَوَّجَكُنَّ أَهَالِيْكُنَّ وَزَوَّجَنِي اللّٰهُ مِنْ فَوْقِ سَبْعِ سَمَاوَاتٍ.
“Kalian dinikahkan oleh orang tua kalian, sedangkan aku dinikahkan oleh Allah dari atas tujuh langit.”
10. Sesungguhnya seorang perempuan, apabila mempunyai suami, maka tidak boleh dinikahi (oleh orang lain. Pent.) dan tidak boleh pula dilakukan upaya dan sebabsebab agar suaminya mengakhiri kebutuhannya dari sang istri, dan tidak boleh menunaikan hajatnya (dengan melamarnya) hingga masa iddahnya habis. Sebab, sang istri, sebelum habisnya masa iddah masih berada dalam naungan suami atau masih menjadi hak suami yang masih mempunyai hasrat padanya walaupun dari salah satu sisinya saja.
Dan ingatlah, ketika engkau, wahai nabi Muhammad, beberapa kali berkata kepada orang, yakni zaid bin ”ri’ah, yang telah diberi nikmat oleh Allah dengan memeluk agama islam dan engkau juga telah memberi nikmat kepadanya dengan memerdekakannya dan mengangkatnya menjadi anak, ‘pertahankanlah terus istrimu, zainab binti ja’sy! jangan kau ceraikan ia, dan bertakwalah kepada Allah dengan bersabar menjalani pernikahanmu meski istrimu kurang menghormati’mu’. 38. Pernikahan dengan zainab menjadi beban bagi nabi karena erat kaitannya dengan persoalan yang sangat peka dalam masyarakat. Allah menguatkan hati nabi untuk menjalani pernikahan tersebut dan menegaskan, ‘tidak ada keberatan apa pun pada nabi Muhammad tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya. Allah telah menetapkan yang demikian sebagai sunah, yakni ketetapan-ketetapan Allah pada nabi-nabi yang telah terdahulu. Dan ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.
Al-Ahzab Ayat 37 Arab-Latin, Terjemah Arti Al-Ahzab Ayat 37, Makna Al-Ahzab Ayat 37, Terjemahan Tafsir Al-Ahzab Ayat 37, Al-Ahzab Ayat 37 Bahasa Indonesia, Isi Kandungan Al-Ahzab Ayat 37
Tafsir Surat Al-Ahzab Ayat: 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | 21 | 22 | 23 | 24 | 25 | 26 | 27 | 28 | 29 | 30 | 31 | 32 | 33 | 34 | 35 | 36 | 37 | 38 | 39 | 40 | 41 | 42 | 43 | 44 | 45 | 46 | 47 | 48 | 49 | 50 | 51 | 52 | 53 | 54 | 55 | 56 | 57 | 58 | 59 | 60 | 61 | 62 | 63 | 64 | 65 | 66 | 67 | 68 | 69 | 70 | 71 | 72 | 73
Raih pahala amal jariyah dengan cara membagikan (share) konten ini kepada yang lainnya. Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه
"Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)