{32} As-Sajdah / السجدة | الْقُرْآنُ الْكَرِيْمُ | سبإ / Saba {34} |
Tafsir Al-Qur’an Surat Al-Ahzab الأحزاب (Golongan-Golongan Yang Bersekutu) lengkap dengan tulisan arab latin, arti dan terjemah Bahasa Indonesia. Surah ke 33 Tafsir ayat Ke 49.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا ۖ فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا ﴿٤٩﴾
yā ayyuhallażīna āmanū iżā nakaḥtumul-mu`mināti ṡumma ṭallaqtumụhunna ming qabli an tamassụhunna fa mā lakum ‘alaihinna min ‘iddatin ta’taddụnahā, fa matti’ụhunna wa sarriḥụhunna sarāḥan jamīlā
QS. Al-Ahzab [33] : 49
Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu menikahi perempuan-perempuan mukmin, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka tidak ada masa idah atas mereka yang perlu kamu perhitungkan. Namun berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.
Wahai orang-orang yang membenarkan Allah dan Rasul-Nya dan mengamalkan syariat-Nya! Bila kalian berakad dengan seorang wanita dan kalian belum menyentuhnya, kemudian menceraikannya sebelum kalian menggaulinya, maka kalian tidak memiliki hak ‘iddah yang kalian perhitungkan atasnya. Berikanlah dari harta kalian sebuah hadiah sehingga dia bisa mengambil manfaat darinya menurut kemampuan kalian dan untuk menghibur kesedihannya. Biarkanlah jalannya dengan tetap menutupi dengan cara yang baik, tanpa menyakiti maupun memudaratkan.
Ayat ini mengandung hukum-hukum yang cukup banyak, antara lain ialah mutlaknya pengertian nikah yang hanya sebatas akad semata. Di dalam Al-Qur’an tidak terdapat suatu ayat pun yang memberikan keterangan tentang definisi nikah sejelas ayat ini. Para ulama berbeda pendapat tentang pengertian nikah. Dengan kata lain, apakah hakikat nikah itu terletak pada akad semata, ataukah pada persetubuhan sesudahnya, atau pada kedua-duanya? Ada tiga pendapat di kalangan para ulama mengenai masalah ini. Dan ungkapan Al-Qur’an tentang pengertian nikah hanyalah berkaitan dengan akad dan persetubuhan sesudahnya, terkecuali dalam ayat ini. Karena sesungguhnya dalam ayat ini pengertian nikah ditujukan hanya kepada akad semata, seperti pengertian yang terdapat di dalam teks ayat berikut:
apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya (menggaulinya). (Al Ahzab:49)
Makna ayat menunjukkan boleh menceraikan istri sebelum digauli.
Sedangkan firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
perempuan-perempuan yang beriman. (Al Ahzab:49)
Ungkapan ini berdasarkan jumlah mayoritas, karena tidak ada bedanya menurut kaca mata hukum antara wanita yang mukmin dan wanita kitabiyah dalam masalah ini menurut kesepakatan semuanya.
Ibnu Abbas r.a., Sa’id ibnul Musayyab, Al-Hasan Al-Basri, dan Ali ibnul Husain alias Zainul Abidin serta sejumlah ulama Salaf telah menyimpulkan dalil dari ayat ini yang menunjukkan bahwa talak tidak akan jatuh terkecuali bila didahului oleh nikah, karena Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى telah berfirman: apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka. (Al Ahzab:49)
Maka disebutkan sesudah nikah perihal talak, dan ini menunjukkan bahwa talak tidak sah dan tidak terjatuh bila terjadi sebelum nikah. Hal inilah yang dianut oleh Mazhab Imam Syafii, dan Imam Ahmad serta sejumlah orang dari kalangan ulama Salaf dan Khalaf yang cukup banyak. Sedangkan Imam Malik dan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa talak yang diikrarkan sebelum nikah, sah hukumnya. Misalnya seseorang mengatakan, “Jika aku mengawini si Fulanah, maka dia langsung kuceraikan.” Maka nasib si Fulanah begitu dinikah olehnya langsung menjadi istri yang diceraikan karena ikrar suaminya sebelum itu.
Akan tetapi, keduanya (Imam Malik dan Imam Abu Hanifah) berbeda pendapat sehubungan dengan masalah bila si lelaki mengatakan bahwa semua wanita yang akan dinikahinya diceraikan. Menurut Imam Malik, tidak terceraikan selama si lelaki tidak menentukan orangnya. Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa setiap wanita yang akan dinikahinya sesudah ikrarnya itu terceraikan darinya secara otomatis.
Adapun jumhur ulama mengatakan, talak tidak terjadi karena berpegang kepada asar berikut, bahwa Adam maula Khalid telah meriwayatkan dari Sa’id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa apabila seorang lelaki mengatakan, “Setiap wanita yang akan kunikahi kuceraikan.” Maka hal itu tidak dianggap sebagai sesuatu apa pun karena Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى telah berfirman: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka. (Al Ahzab:49), hingga akhir ayat.
Telah menceritakan pula kepada kami Muhammad ibnu Ismail Al-Ahmasi, telah menceritakan kepada kami Waki’, dari Matar, dari Al-Hasan ibnu Muslim ibnu Yanaq, dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa sesungguhnya Allah hanya menyebutkan dalam firman-Nya: apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka. (Al Ahzab:49) Tidakkah engkau lihat bahwa talak itu hanyalah terjadi sesudah nikah.
Hal yang sama telah diriwayatkan dari Muhammad ibnu Ishaq, dari Daud ibnul Hasin, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas r.a.
Masalah ini telah disebutkan di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Amr ibnu Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya yang menceritakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda:
Tiada talak bagi anak Adam terhadap apa yang tidak dimilikinya.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Imam Ibnu Majah. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan, dan termasuk yang ter hasan di antara hadis yang diriwayatkan mengenai bab ini.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dari Ali dan Al-Miswar ibnu Makhramah r.a., dari Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang telah bersabda:
Tidak ada talak sebelum nikah.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
maka sekali-kali tidak wajib atas mereka idah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. (Al Ahzab:49)
Hal ini merupakan suatu perkara yang telah disepakati di kalangan para ulama, yaitu bahwa seorang wanita apabila diceraikan sebelum digauli, maka tidak ada idah baginya. Untuk itu si wanita tersebut boleh pergi dan langsung menikah lagi secepatnya dengan siapa pun yang disukainya.
Tidak dikecualikan dari ketetapan ini selain wanita yang ditinggal mati oleh suaminya, karena sesungguhnya wanita yang ditinggal mati oleh suaminya harus melakukan idahnya selama empat bulan sepuluh hari, sekalipun suaminya belum menggaulinya. Hal ini pun termasuk masalah yang telah disepakati di kalangan semua ulama.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Maka berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya. (Al Ahzab:49)
Pengertian mut’ah (uang pesangon) di sini lebih umum daripada batasan separo dari maskawin yang telah disebutkan, atau lebih umum pula dari mut’ah khusus, jika masih belum disebutkan maskawinnya. Sehubungan dengan separo maskawin, Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى telah berfirman:
Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu. (Al Baqarah:237)
Dan sehubungan dengan mut’ah khusus, Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى telah berfirman:
Tidak ada sesuatu pun (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula.), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang yang berbuat kebajikan. (Al Baqarah:236)
Di dalam kitab Sahih Bukhari disebutkan melalui Sahl ibnu Sa’d dan Abu Usaid r.a. yang mengatakan bahwa sesungguhnya Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah mengawini Umaimah binti Syurahbil, tetapi ketika beliau masuk ke kamarnya dan mengulurkan tangannya kepadanya, kelihatan Umaimah tidak suka. Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ keluar dan memerintahkan kepada Abu Usaid untuk mengemasi barang-barang Umaimah, lalu beliau memberinya sepasang pakaian sebagai mut’ahnya. Ali ibnu Abu Talhah mengatakan bahwa jika Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah menyebutkan mahar kepada Umaimah, maka bagi Umaimah tiada lain separo dari mahar tersebut sebagai pesangonnya. Dan jika beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ masih belum menentukan maharnya, maka Umaimah hanya mendapatkan mut’ah yang sesuai dengan kemampuan beliau saat itu, dan itulah yang dinamakan melepaskan dengan cara yang sebaik-baiknya.
(49) Allah جَلَّ جَلالُهُ menyampaikan kepada orang-orang beriman, bahwa mereka apabila telah menikahi wanita-wanita beriman kemudian menceraikannya sebelum mencampuri mereka, maka mereka tidak wajib beriddah dalam hal ini yang dituntut oleh suami terhadap mereka; dan Allah memerintahkan kepada mereka untuk memberikan mut’ah dalam kondisi seperti ini berupa sebagian harta benda yang bisa menjadi penguat perasaan-perasaan (luka hati) mereka karena mereka dicerai; dan Allah memerintahkan juga untuk mencerai mereka dengan cara yang baik, tidak saling memusuhi, tidak saling memaki, tidak saling menuntut dan lain sebagainya.
1. Dengan ayat ini diambil dalil bahwa talak (perceraian) tidak terjadi kecuali setelah nikah. Maka kalau seorang laki-laki menceraikannya sebelum menikahinya, atau menggantungkan perceraiannya pada pernikahannya, maka talak tidak terjadi, karena Firman Allah جَلَّ جَلالُهُ , إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ “Apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu menceraikan mereka.” Allah menetapkan talak sesudah terjadi pernikahan. Ini menunjukkan bahwa talak sebelum nikah tidak mempunyai tempat (pembahasan). Dan apabila talak, yang pada hakikatnya adalah perceraian penuh dan pengharaman yang utuh itu tidak terjadi sebelum nikah, maka pengharaman yang tidak sempurna karena kasus zhihar atau ila’ dan yang serupa dengannya adalah tentu lebih utama dan lebih pasti tidak akan terjadi sebelum nikah. Demikianlah menurut salah satu pendapat ulama yang paling shahih.
2. Dan ayat tersebut dijadikan dalil pula atas diperbolehkannya talak, sebab Allah جَلَّ جَلالُهُ mengabarkan tentang orang-orang Mukmin dengan nada tidak mencela mereka karenanya, dan Dia juga tidak mencerca mereka, padahal ayat tersebut dimulai dengan sapaan kepada orang-orang Mukmin.
3. Dan ayat tersebut juga (dijadikan dalil) atas diperbolehkannya talak sebelum terjadinya hubungan suami istri, sebagaimana dikatakan di dalam ayat yang lain,
لا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ
“Tidak ada kewajiban membayar mahar atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka.” (AlBaqarah: 236).
4. Dan ayat tersebut menunjukkan bahwa istri yang dicerai sebelum dicampuri itu tidak ada kewajiban beriddah, akan tetapi hanya dengan terjadinya talak tersebut ia boleh langsung menikah, tanpa ada penghalang yang menghalanginya.
5. Dan ayat tersebut menunjukkan bahwa ia wajib beriddah (jika perceraian terjadi) sesudah adanya hubungan suami istri. Lalu apakah yang dimaksud dukhul (masuk, mencampuri) dan bersentuhan di sini adalah jimak (persetubuhan), sebagaimana telah menjadi keputusan ijma’? Ataukah khulwah (berduaduaan) itu (juga termasuk bermakna dukhul) sekalipun tidak terjadi persetubuhan dengannya, sebagaimana difatwakan oleh para Khulafa` Rasyidin. Inilah pendapat yang shahih. Maka ketika dia masuk mengunjunginya, baik dia menyetubuhinya ataupun tidak, apabila ia telah berduaduaan dengannya, maka istri wajib beriddah.
6. Dan ayat tersebut menjadi dalil bahwa perempuan yang dicerai sebelum terjadi hubungan intim hendaklah diberi mut’ah (semacam cendra mata) oleh mantan suami yang mampu menurut kadar kemampuannya dan suami yang kurang mampu pun menurut kemampuannya. Hal ini dilakukan apabila mahar pernikahan belum ditetapkan. Akan tetapi kalau mantan istri ini sudah ditetapkan maharnya, maka kalau dicerai sebelum adanya hubungan intim, maka maharnya dibagi dua, dan itu sudah mencukupi (mewakili) mut’ah.
7. Dan ayat tersebut menjadi dalil bahwa seharusnya suami yang menceraikan istrinya sebelum mencampuri atau telah mencampurinya harus menceraikannya secara baikbaik, perceraian yang kedua belah pihak saling memuji, dan tidak boleh dengan cara yang tidak baik. Sebab hal yang demikian itu (mencerai tidak dengan cara yang terbaik) mengandung keburukan yang ditimbulkannya, seperti masing-masing pihak akan saling mencela dan menjatuhkan pihak lain lebih banyak lagi.
8. Dan ayat tersebut juga menunjukkan bahwa iddah itu adalah hak suami, berdasarkan FirmanNya فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ “maka sekali-kali tidak wajib atas mereka beriddah untukmu.” Mafhumnya (makna tersiratnya) menunjukkan bahwa kalau seandainya sang suami menceraikannya setelah adanya hubungan intim, maka dia mempunyai hak iddah atas istrinya.
9. Dan ayat tersebut menunjukkan bahwa istri yang dipisah karena wafat hendaklah melakukan iddah secara pasti, karena Firman Allah جَلَّ جَلالُهُ , ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ “Kemudian kamu menceraikan mereka.” (AlAyat).
10. Dan ayat tersebut menunjukkan bahwa sesungguhnya istri-istri selain yang belum dicampuri, dari kalangan yang dicerai karena suami meninggal dunia atau masih hidup, maka mereka wajib melakukan iddah.
Bertawakal kepada Allah setelah berusaha secara maksimal merupakan cara aman bagi orang yang beriman agar tidak putus asa. Bila seseorang telah berusaha mempertahankan perkawinan, namun pada akhirnya mesti berakhir dengan perceraian, maka hendaklah dia kembalikan persoalan tersebut kepada Allah yang maha bijaksana dalam ketetapan-Nya. Wahai orang-orang yang beriman! apabila kamu menikahi perempuan-perempuan mukmin yang mantap imannya, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, yakni melakukan hubungan intim suami istri dengannya, maka tidak ada masa idah atas mereka yang perlu kamu perhitungkan. Namun berilah mereka mut’ah, yaitu imbalan materi sebagai penghibur hati akibat percerain, dan lepaskan serta ceraikan-lah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya agar mereka dapat menempuh jalan hidup yang terbaik untuk mereka. 50. Usai menjelaskan persoalan perceraian yang berlaku secara umum pada ayat-ayat yang lalu, pada ayat berikut Allah menjelaskan hukum pernikahan yang berlaku secara khusus bagi nabi Muhammad. Wahai nabi Muhammad! sesungguhnya kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah engkau berikan maskawinnya, dan kami halalkan juga bagimu hamba sahaya yang engkau miliki, termasuk apa yang engkau peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, berupa harta maupun wanita yang ditinggalkan oleh musuh. Dan kami halalkan pula untukmu menikahi anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu, dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersamamu, dan kami halalkan pula untukmu menikahi perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada nabi untuk dinikahi tanpa mahar, kalau nabi ingin menikahinya. Kami gariskan hukum demikian sebagai kekhususan bagimu, wahai nabi Muhammad, bukan untuk semua orang mukmin selain dirimu. Kami telah mengetahui apa yang kami wajibkan kepada mereka, orang-orang mukmin, tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki. Kami tentukan hukum perkawinan yang demikian itu kepadamu tiada lain agar tidak menjadi kesempitan dan beban bagimu, wahai nabi, dalam menjalankan tugas kenabian. Dan Allah maha peng-ampun kepada hamba-Nya yang bertobat, maha penyayang dengan karunia-Nya yang tiada terbatas.
Al-Ahzab Ayat 49 Arab-Latin, Terjemah Arti Al-Ahzab Ayat 49, Makna Al-Ahzab Ayat 49, Terjemahan Tafsir Al-Ahzab Ayat 49, Al-Ahzab Ayat 49 Bahasa Indonesia, Isi Kandungan Al-Ahzab Ayat 49
Tafsir Surat Al-Ahzab Ayat: 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | 21 | 22 | 23 | 24 | 25 | 26 | 27 | 28 | 29 | 30 | 31 | 32 | 33 | 34 | 35 | 36 | 37 | 38 | 39 | 40 | 41 | 42 | 43 | 44 | 45 | 46 | 47 | 48 | 49 | 50 | 51 | 52 | 53 | 54 | 55 | 56 | 57 | 58 | 59 | 60 | 61 | 62 | 63 | 64 | 65 | 66 | 67 | 68 | 69 | 70 | 71 | 72 | 73
Raih pahala amal jariyah dengan cara membagikan (share) konten ini kepada yang lainnya. Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه
"Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)