{32} As-Sajdah / السجدة | الْقُرْآنُ الْكَرِيْمُ | سبإ / Saba {34} |
Tafsir Al-Qur’an Surat Al-Ahzab الأحزاب (Golongan-Golongan Yang Bersekutu) lengkap dengan tulisan arab latin, arti dan terjemah Bahasa Indonesia. Surah ke 33 Tafsir ayat Ke 53.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلَّا أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَىٰ طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَـٰكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوا وَلَا مُسْتَأْنِسِينَ لِحَدِيثٍ ۚ إِنَّ ذَٰلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيِي مِنْكُمْ ۖ وَاللَّهُ لَا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ ۚ وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ۚ ذَٰلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ ۚ وَمَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا أَنْ تَنْكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِنْ بَعْدِهِ أَبَدًا ۚ إِنَّ ذَٰلِكُمْ كَانَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمًا ﴿٥٣﴾
yā ayyuhallażīna āmanụ lā tadkhulụ buyụtan-nabiyyi illā ay yu`żana lakum ilā ṭa’āmin gaira nāẓirīna ināhu wa lākin iżā du’ītum fadkhulụ fa iżā ṭa’imtum fantasyirụ wa lā musta`nisīna liḥadīṡ, inna żālikum kāna yu`żin-nabiyya fa yastaḥyī mingkum wallāhu lā yastaḥyī minal-ḥaqq, wa iżā sa`altumụhunna matā’an fas`alụhunna miw warā`i ḥijāb, żālikum aṭ-haru liqulụbikum wa qulụbihinn, wa mā kāna lakum an tu`żụ rasụlallāhi wa lā an tangkiḥū azwājahụ mim ba’dihī abadā, inna żālikum kāna ‘indallāhi ‘aẓīmā
QS. Al-Ahzab [33] : 53
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali jika kamu diizinkan untuk makan tanpa menunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu dipanggil maka masuklah dan apabila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mengganggu Nabi sehingga dia (Nabi) malu kepadamu (untuk menyuruhmu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. (Cara) yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak boleh (pula) menikahi istri-istrinya selama-lamanya setelah (Nabi wafat). Sungguh, yang demikian itu sangat besar (dosanya) di sisi Allah.
Wahai orang-orang yang membenarkan Allah dan Rasul-Nya dan mengamalkan syariat-Nya! Janganlah kamu memasuki rumah Nabi kecuali dengan izin untuk menyantap makanan tidak menunggu matangnya. Akan tetapi bila kalian diundang maka masuklah. Dan bila kalian sudah selesai makan maka segera bubarlah tanpa mengobrol lagi sesudahnya di antara kalian. Karena menunggunya kalian dan perbincangan kalian itu mengganggu nabi, namun dia malu untuk mengusir kalian keluar rumah padahal hal itu adalah haknya, dan Allah tidak malu untuk menjelaskan dan menampakkan kebenaran. Bila kalian meminta sebuah hajat kepada istri-istri Nabi seperti bejana rumah dan lainnya, maka mintalah kepada mereka dari balik tabir. Karena hal itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka dari godaan yang mengganggu laki-laki kepada wanita, dan sebaliknya. Melihat adalah sebab fitnah, kalian tidak patut menyakiti Nabi dan tidak boleh pula menikahi istri-istrinya sesudahnya selama-lamanya, karena mereka adalah ibu bagi kalian, dan seseorang tidak halal menikahi ibunya. Sesungguhnya bila kalian menyakiti Rasulullah dan menikahi istri-istrinya sesudahnya, maka hal itu adalah dosa besar di sisi Allah.
Inilah ayat hijab yang di dalamnya terkandung hukum-hukum dan etika-etika syar’iyyah.
Penurunan ayat ini bertepatan dengan perkataan sahabat Umar ibnul Khattab r.a., sebagaimana yang telah disebutkan di dalam kitab sahihain yang bersumber darinya. Disebutkan bahwa Umar pernah berkata, “Aku bersesuaian dengan Tuhanku dalam tiga perkara, yaitu aku pernah berkata, “Wahai Rasulullah, sekiranya engkau menjadikan maqam Ibrahim sebagai tempat salat,” lalu Allah menurunkan firman-Nya: Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat. (Al Baqarah:125), Dan aku pernah berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya istri-istrimu banyak ditemui oleh orang-orang, di antaranya ada yang bertakwa dan ada yang durhaka (yakni ada yang baik dan ada yang buruk), maka sekiranya engkau buatkan hijab untuk mereka,’ lalu turunlah ayat hijab ini. Dan aku pernah berkata kepada istri-istri”Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pada saat mereka bersekongkol memprotes Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ karena terdorong oleh rasa cemburu mereka, ‘Jika Nabi menceraikan kalian, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya istri-istri yang lebih”baik daripada kamu.’ Maka turunlah ayat yang menyebutkan hal yang sama,” yaitu firman-Nya: Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya istri-istri yang lebih baik daripada kamu. ‘ (At Tahriim:5)
Di dalam riwayat Imam Muslim disebutkan pula bahwa Umar mengeluarkan pendapatnya sehubungan dengan tawanan Perang Badar, dan masalah ini adalah hal yang keempatnya.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musaddad, dari Yahya, dari Humaid, dari Anas ibnu Malik yang menceritakan bahwa Umar ibnul Khattab berkata, “Wahai Rasulullah, yang masuk menemuimu ada orang yang bertakwa dan ada pula yang durhaka, maka sebaiknya enkau perintahkan kepada Ummahatul Mu-minin (semua istrimu) memakai hijab.” Maka Allah menurunkan ayat hijab ini. Disebutkan bahwa penurunan ayat ini bertepatan dengan pagi hari perkawinan Rasulunah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dengan Zainab binti Jahsy yang perkawinannya dilakukan langsung oleh Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى (melalui wahyu-Nya).
Peristiwa ini terjadi pada bulan Zul Qa’dah tahun lima hijriah, menurut pendapat Qatadah, Al-Waqidi, dan selain keduanya. Tetapi Abu Ubaidah alias Ma’mar ibnul Musanna dan Khalifah ibnu Khayyat mengatakan bahwa peristiwa itu terjadi pada tahun tiga hijriah. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah Ar-Raqqasyi, telah menceritakan kepada kami Mu’tamir ibnu Sulaiman yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar ayahnya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Mijlaz, dari Anas ibnu Malik r.a. yang mengatakan, “Ketika Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menikahi Zainab binti Jahsy, beliau mengundang sejumlah orang, lalu menjamu mereka, kemudian mereka bercakap-cakap di majelis itu. Kemudian kelihatan beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ hendak bangkit, dan kaum masih duduk-duduk saja. Melihat keadaan itu beliau terus bangkit. Ketika beliau bangkit, sebagian orang bangkit pula, tetapi masih ada tiga orang yang tetap duduk. Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ datang lagi dan hendak masuk (ke kamar pengantin), tetapi ternyata masih ada sejumlah orang yang masih duduk dan belum pergi. Tidak lama kemudian mereka bangkit dan pergi. Lalu Aku (Anas ibnu Malik) menghadap dan menceritakan kepada Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bahwa kaum telah pergi. Lalu Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bangkit hendak masuk, dan aku pergi mengikutinya. Tetapi tiba-tiba beliau menurunkan hijab antara beliau dan aku, lalu turunlah firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى: ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya). Tetapi jika kamu diundang, maka masuklah, dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu’ (Al Ahzab:53), hingga akhir ayat.”
Imam Bukhari telah meriwayatkannya pula di tempat yang lain, juga Imam Muslim dan Imam Nasai melalui berbagai jalur dari Mu’tamir ibnu Sulaiman dengan sanad yang sama.
Kemudian Imam Bukhari meriwayatkannya secara tunggal dengan sanad yang sama melalui hadis Abu Ayyub, dari Abu Qilabah, dari Anas r.a., lalu disebutkan hal yang semisal.
Kemudian Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Ma’mar, telah menceritakan kepada kami Abdul Waris, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Suhaib, dari Anas ibnu Malik yang mengatakan, bahwa Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ketika kawin dengan Zainab binti Jahsy mengadakan jamuan walimah dari makanan roti dan daging. Lalu aku disuruh untuk mengundang kaum kepada jamuan walimah itu. Maka datanglah suatu kaum, lalu mereka makan, setelah itu pergi. Kemudian datang pula kaum yang lain, mereka langsung makan, dan sesudahnya mereka keluar. Aku terus mengundang orang-orang hingga tidak kutemukan lagi seseorang yang kuundang, lalu aku berkata kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, “Wahai Rasulullah, semua orang telah kuundang dan tiada lagi yang tertinggal.” Maka beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda: Bereskanlah jamuan kalian. Tetapi masih ada tiga orang yang masih asyik dalam percakapannya di dalam rumah. Maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ keluar dan menuju ke kamar Siti Aisyah r.a., lalu mengucapkan salam: Semoga keselamatan, rahmat Allah, dan berkah-Nya terlimpahkan kepada kalian, hai Ahlul Bait. Siti Aisyah menjawab, “Semoga keselamatan dan rahmat Allah terlimpahkan kepadamu. Bagaimanakah engkau jumpai istri barumu, ya Rasulullah? Semoga Allah memberkatimu.” Lalu beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mendatangi tiap-tiap kamar istrinya, semuanya menjawab jawaban yang sama seperti yang dikatakan oleh Aisyah, dan mengucapkan kata selamat seperti yang diucapkan oleh Aisyah. Setelah itu Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ kembali, dan ternyata masih ada tiga orang di dalam rumahnya sedang asyik bercakap-cakap. Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ adalah seorang yang pemalu, maka beliau berangkat menuju kamar Siti Aisyah. Aku (Anas) tidak ingat lagi apakah aku memberitahukan kepadanya ataukah beliau telah diberi tahu bahwa semua tamu telah pergi, jelasnya beliau kembali, dan pada saat beliau melangkahkan kakinya di balik pintu bagian dalamnya, sedangkan kaki yang lainnya masih di luar pintu, tiba-tiba beliau menurunkan kain penutup yang menghalang-halangi antara aku dan beliau. Dan saat itulah diturunkan ayat hijab ini.
Kemudian Imam Bukhari meriwayatkannya dari Ishaq ibnu Mansur, dari Abdullah ibnu Bukair As-Sahmi, dari Humaid, dari Anas dengan lafaz yang semisal. Kemudian Imam Bukhari mengatakan bahwa ada dua orang perawi yang meriwayatkannya melalui jalur ini secara tunggal. Dalam pembahasan yang lalu telah disebutkan salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim secara tunggal melalui hadis Sulaiman ibnul Mugirah, dari Sabit, dari Anas.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abul Muzaffar, telah menceritakan kepada kami Ja’far ibnu Sulaiman, dari Al-Ja’id Abu Usman Al-Yasykuri, dari Anas ibnu Malik yang menceritakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melakukan malam pertamanya dengan salah seorang istri barunya. Maka Ummu Sulaim membuat hais (makanan), kemudian meletakkannya di sebuah baki, lalu berkata, “Bawalah makanan ini kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan sampaikanlah salamku kepadanya, serta katakanlah kepadanya bahwa kiriman ini dari kami untuk beliau dengan apa adanya.” Anas mengatakan bahwa saat itu orang-orang sedang dalam keadaan paceklik, lalu aku sampaikan kiriman tersebut dan kukatakan kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, Ummu Sulaim mengirimkan hidangan ini kepadamu, dan dia menyampaikan salamnya untukmu seraya mengatakan bahwa makanan yang apa adanya ini darinya buat engkau.” Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melihat kiriman itu, lalu bersabda, “Letakkanlah.” Maka makanan itu kuletakkan di salah satu sudut rumah Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Kemudian beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda, “Undanglah si Fulan dan si Anu,” beliau menyebutkan nama beberapa orang lelaki yang jumlahnya cukup banyak, lalu beliau menambahkan, “Dan undang pulalah orang muslim yang kamu jumpai.” Maka aku sampaikan undangan beliau kepada orang-orang yang telah beliau sebutkan namanya, juga setiap orang muslim yang kujumpai. Ketika aku datang, rumah, halaman dan ruangan tamu penuh dengan orang-orang. Maka aku bertanya, “Hai Abu Usman, berapa orangkah mereka semuanya?” Abu Usman menjawab, “Kurang lebih ada tiga ratus orang.” Sahabat Anas melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda kepadanya, “Kemarikanlah makanan itu!” Maka aku datangkan makanan itu kepadanya, dan beliau meletakkan tangannya di atas makanan tersebut, lalu berdoa dan bersabda, “Ini adalah kehendak Allah.” Kemudian bersabda: Hendaklah tiap sepuluh orang membuat suatu lingkaran dan hendaklah mereka membaca bismillah, dan hendaklah setiap orang memakan makanan yang ada didekatnya. Lalu mereka membaca basmalah dan makan hingga semuanya merasa kenyang. Setelah itu Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda kepadaku, “Angkatlah hidangan itu!” Anas r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia mengambil baki yang berisikan makanan itu, dan ia melihat isinya, tetapi ia tidak ingat lagi apakah saat ia meletakkan hidangan itu lebih banyak ataukah saat mengambilnya lebih banyak (maksudnya makanan tersebut kelihatannya masih utuh seperti semula). Anas r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa ada beberapa orang lelaki yang masih asyik dalam percakapannya di dalam rumah Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, sedangkan istri Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang baru dinikahi itu ada bersama mereka, memalingkan wajahnya ke arah tembok. Ternyata mereka memperpanjang percakapannya. Hal itu membuat Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ keberatan, tetapi beliau tidak mau menegur mereka karena beliau adalah orang yang sangat pemalu. Seandainya diberi tahu, pastilah mereka merasa tidak enak karena sedang asyik dalam obrolannya. Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pergi dan menemui tiap-tiap istrinya di kamarnya masing-masing, kepada tiap orang dari mereka beliau mengucapkan salam. Ketika para hadirin yang masih ada melihat Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tiba, mereka baru sadar bahwa diri mereka merepotkan Rsulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Karena itu, mereka segera bangkit menuju pintu, lalu keluar. Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ datang, lalu menutupkan kain pintu dan masuk ke dalam kamar, sedangkan aku (Anas) berada di ruang tamunya. Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tinggal di dalam kamarnya sesaat yang tidak lama, dan Allah menurunkan wahyu Al-Qur’an kepadanya. Setelah itu beliau keluar dari kamar dan membaca ayat berikut, yaitu firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi. (Al Ahzab:53), hingga akhir ayat. Sahabat Anas mengatakan bahwa Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ terlebih dahulu membacakan ayat-ayat tersebut kepadaku sebelum orang lain, lalu aku menceritakannya kepada orang-orang selama suatu masa.
Imam Muslim, Imam Turmuzi, dan Imam Nasai telah meriwayatkannya melalui Qutaibah, dari Ja’far ibnu Sulaiman dengan sanad yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih.
Imam Bukhari meriwayatkannya secara ta’liq di dalam Kitabun Nikah. Ia mengatakan bahwa Ibrahim ibnu Tuhman telah meriwayatkan hadis ini dari Al-Ja’d alias Abu Usman, dari Anas, lalu disebutkan hal yang semisal.
Imam Muslim meriwayatkannya pula dari Muhammad ibnu Rafi’, dari Abdur Razzaq, dari Ma’mar, dari Al-Jahd dengan sanad yang sama. Abdullah ibnul Mubarak telah meriwayatkan hadis ini melalui Syarik, dari Bayan ibnu Bisyr, dari Anas dengan lafaz yang semisal. Ibnu Abu Hatim telah meriwayatkannya pula melalui hadis Abu Nadrah Al-Abdi, dari Anas ibnu Malik dengan lafaz yang semisal, tetapi mereka tidak ada yang mengetengahkannya melalui jalur ini. Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui hadis Amr ibnu Sa’id dan hadis Az-Zuhri, dari Anas dengan lafaz yang semisal.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Bahz dan Hasyim ibnul Qasim. Keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnul Mugirah, dari Sabitt, dari Anas yang mengatakan bahwa setelah idah Zainab habis, Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda kepada Zaid (bekas suaminya): Pergilah kamu kepadanya, dan ceritakanlah kepadanya bahwa aku menyebut-nyebutnya. Zaid berangkat hingga sampai ke rumah Zainab, saat itu Zainab sedang membuat adonan roti. Ketika aku melihatnya, terasa dadaku keberatan memandangnya. Lalu disebutkan hadis selanjutnya seperti yang telah dikemukakan jauh sebelum ini, pada tafsir firman-Nya: Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya). (Al Ahzab:37)
Pada akhir riwayat ini ditambahkan pula bahwa lalu Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menasihati orang-orang dengan nasihat yang biasa beliau utarakan kepada mereka.
Hasyim dalam hadisnya mengatakan (menyitir firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى): Janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan. (Al Ahzab:53), hingga akhir ayat.
Imam Muslim dan Imam Nasai telah mengetengahkannya melalui hadis Ja’far ibnu Sulaiman dengan sanad yang sama.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ahmad ibnu Abdur Rahman anak saudaranya Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku pamanku Abdullah ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Yunus, dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah yang mengatakan bahwa istri-istri Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ apabila membuang hajat besarnya di malam hari keluar menuju ke Manasi’, yaitu tanah lapang yang luas. Dan Umar r.a. selalu berkata kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, “Wahai Rasulullah, pakailah hijab buat istri-istrimu,” tetapi Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak mengindahkannya. Lalu Saudah binti Zam’ah (istri Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) keluar untuk membuang hajat besarnya. Dia adalah seorang wanita yang berperawakan tinggi, maka Umar menyerunya dengan suara yang keras, “Kami telah mengenalmu, hai Saudah.” Umar melakukan demikian karena keinginannya yang sangat agar diturunkan wahyu mengenai hijab. Siti Aisyah melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menurunkan ayat hijab.
Demikianlah menurut riwayat ini secara apa adanya. Tetapi menurut pendapat yang terkenal, peristiwa ini terjadi sesudah turunnya ayat hijab, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Bukhari, dan Imam Muslim melalui hadis Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Aisyah r.a. yang menceritakan:
bahwa Saudah keluar untuk suatu keperluannya sesudah diturunkan ayat hijab. Saudah adalah seorang wanita yang berperawakan besar lagi tinggi, tidak samar lagi bagi orang yang mengenalnya. Lalu Saudah kelihatan oleh Umar ibnul Khattab, maka Umar berkata, “Hai Saudah, ingatlah, demi Allah, engkau tidak samar lagi bagi kami. Karena itu, perhatikanlah dahulu di sekitarmu sebelum kamu keluar.” Maka Saudah kembali lagi ke rumah, saat itu Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sedang makan malam dan sedang memegang daging paha di tangannya. Saudh masuk, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya keluar untuk suatu keperluan, lalu Umar mengatakan anu dan anu.” Siti Aisyah r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menurunkan wahyu kepada Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Setelah wahyu selesai dan tangan Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ masih keringatan karena beratnya wahyu, beliau bersabda: Sesungguhnya telah diizinkan bagi kalian (kaum wanita) untuk keluar guna keperluan kalian.
Lafaz hadis ini menurut apa yang ada pada Imam Bukhari.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi. (Al Ahzab:53)
Melalui ayat ini Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى melarang orang-orang mukmin masuk ke dalam rumah-rumah Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tanpa izin, tidak sebagaimana biasanya yang mereka lakukan di masa Jahiliah dan masa permulaan Islam di mana mereka masuk ke rumah-rumah mereka tanpa izin. Maka Allah merasa cemburu dengan umat ini, lalu Dia memerintahkan mereka agar meminta izin terlebih dahulu bila mau masuk ke rumah orang. Hal ini pun merupakan suatu penghormatan dari Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى terhadap umat ini. Untuk itulah maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda:
Jangan sekali-kali kalian masuk menemui wanita.
hingga akhir hadis.
Kemudian dikecualikan dari hal tersebut melalui firman-Nya:
kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya). (Al Ahzab:53)
Mujahid dan Qatadah serta selain keduanya mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah tidak menunggu-nunggu masaknya makanan itu. Dengan kata lain, janganlah kalian mengintai-intai makanan bila sedang dimasak, sehingga manakala makanan itu hampir masak, lalu kalian masuk ke rumah (yang mempunyai hajat). Hal ini termasuk perbuatan yang tidak disukai oleh Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى dan dicela-Nya. Ayat ini mengandung dalil yang mengharamkan sikap slamit (jawa, mengharamkan sesuatu dari orang lain, pent.) yang menurut orang Arab disebut dengan istilah daifan. Sehubungan dengan topik ini Al-Khatib Al-Bagdadi telah menulis sebuah kitab tersendiri yang membahas tercelanya sifat ini, lalu dikemukakan pula sebagian dari kisah-kisah mereka yang berperangai demikian, hal itu tidak akan dibahas di sini.
Kemudian Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berfirman:
tetapi jika kamu diundang, maka masuklah, dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu. (Al Ahzab:53)
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan melalui Ibnu Umar r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda:
Apabila seseorang di antara kalian mengundang saudaranya untuk suatu jamuan, hendaklah orang yang diundang memenuhinya, baik undangan pernikahan ataupun undangan lainnya.
Asal hadis ini terdapat di dalam kitab Sahihain.
Di dalam kitab sahih disebutkan pula sebuah hadis dari Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang telah bersabda:
Seandainya aku diundang untuk makan kaki kambing, pastilah aku akan memenuhinya. Dan seandainya aku dikirimi masakan kikil kambing, tentulah aku terima. Maka apabila kalian telah selesai dari menyantap jamuan, janganlah kalian merepotkan pemilik rumah, dan segeralah kalian keluar (dari rumahnya).
Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya:
tanpa asyik memperpanjang percakapan. (Al Ahzab:53)
Sebagaimana yang dilakukan oleh ketiga orang yang disebutkan oleh hadis di atas, mereka asyik dengan obrolannya sehingga memberatkan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang saat itu menjadi pengantin. Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى telah berfirman menceritakannya:
Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi, lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar). (Al Ahzab:53)
Menurut suatu pendapat, makna yang dimaksud ialah sesungguhnya masuk kalian ke dalam rumah Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tanpa izin adalah sikap yang memberatkannya dan membuatnya terganggu. Tetapi beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ merasa berat untuk menyuruh mereka keluar, sebab Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ adalah seorang yang pemalu, hingga pada akhirnya Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menurunkan ayat yang melarang hal tersebut. Untuk itulah maka disebutkan dalam firman selanjutnya:
dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. (Al Ahzab:53)
Karena itulah maka Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى melarang kalian bersikap demikian dan memperingatkan kalian supaya jangan mengganggu Nabi lagi. Kemudian dalam firman selanjutnya disebutkan:
Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. (Al Ahzab:53)
Yakni sebagaimana Allah melarang kalian masuk menemui istri-istri Nabi, maka dilarang pula kalian memandang mereka dalam keadaan bagaimanapun, sekalipun bagi seseorang di antara kalian ada keperluan yang hendak diambilnya dari mereka. Dia tidak boleh memandangnya, tidak boleh pula meminta suatu keperluan kepada mereka melainkan dari balik hijab.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Umar, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Mis’ar, dari Musa ibnu Abu Kasir, dari Mujahid, dari Aisyah yang menceritakan bahwa pada suatu hari ia makan hais bersama Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ di dalam sebuah mangkuk besar, lalu lewatlah Umar. Maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengundangnya untuk makan bersama, dan Umar pun makan bersama kami. Jari Umar bersentuhan dengan jariku (Aisyah), maka Umar berkata, “Alangkah baiknya, atau aduh, seandainya Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ditaati oleh kalian, niscaya tiada suatu mata pun yang melihat kalian (istri-istri Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ).” Maka turunlah firman-Nya: Cara yang demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka. (Al Ahzab:53) Yakni apa yang telah Kuperintahkan kepada kalian dan apa yang telah Kusyariatkan kepada kalian tentang berhijab adalah lebih suci dan lebih baik bagi kalian.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini istri-istrinya sesudah ia wafat selama-lamanya. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah. (Al Ahzab:53)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abu Hammad, telah menceritakan kepada kami Mahran, dari Sufyan ibnu Abu Hindun, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah. (Al Ahzab:53) Bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan seorang lelaki yang berniat akan mengawini bekas istri Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bila beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sudah tiada. Seorang lelaki bertanya kepada Sufyan, “Apakah dia adalah Aisyah?” Sufyan menjawab, “Mereka telah menceritakan hal tersebut.”
Telah meriwayatkan pula berikut sanadnya dari As-Saddi, bahwa lelaki yang berniat demikian adalah Talhah ibnu Abdullah r.a. hingga turunlah wahyu yang mengingatkannya bahwa hal itu diharamkan.
Karena itulah para ulama telah sepakat bahwa setelah Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ wafat, maka istri-istrinya haram dikawini oleh orang lain karena mereka bukan saja sebagai istri-istri beliau di dunia ini, tetapi juga di akhirat, mereka juga adalah Ummahatul Mu-minin alias ibu-ibu semua kaum mukmin, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya.
Para ulama berselisih pendapat sehubungan dengan masalah seorang lelaki yang sempat kawin dan menggaulinya, lalu menceraikannya semasa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ masih hidup. Maka apakah wanita itu halal bagi lelaki lain untuk dikawininya? Ada dua pendapat sehubungan dengan masalah ini. Permasalahan keduanya timbul dari pertanyaan, bahwa apakah hal ini termasuk ke dalam pengertian umum firman-Nya: sesudah ia wafat. (Al Ahzab:53) Ataukah tidak? Adapun mengenai masalah seseorang yang mengawininya (yakni bekas istri Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ), lalu ia menceraikannya sebelum menggaulinya, maka kami tidak mengetahui apakah dia halal atau tidak bagi orang lain. Bila keadaannya demikian, masalahnya masih diperselisihkan. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahab, telah menceritakan kepada kami Daud, dari Amir, bahwa Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ wafat, sedangkan Qailah bintil Asy’as (yakni Ibnu Qais) berada dalam kepemilikan Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sebagai hamba sahayanya. Sesudah itu Qailah dikawini oleh Ikrimah ibnu Abu Jahal, maka peristiwa ini sangat memberatkan hati Abu Bakar. Lalu Umar mengemukakan pendapatnya kepada Abu Bakar, “Hai Khalifah Rasulullah, sesungguhnya dia (Qailah) bukan termasuk salah seorang istri Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Sesungguhnya Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak pernah memilihnya, tidak pula menghijabnya (memakaikan hijab padanya). Allah telah melepaskan dia dari Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ karena dia pernah murtad mengikut kepada kaumnya.” Amir melanjutkan kisahnya, bahwa setelah mendengar saran dari sahabat Umar itu barulah hati Abu Bakar r.a. merasa tenang.
Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menganggap hal itu termasuk dosa besar dan memperingatkan serta mengancam pelakunya melalui firman-Nya:
Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah. (Al Ahzab:53)
Kemudian Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berfirman:
Jika kamu melahirkan sesuatu atau menyembunyikannya, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Al Ahzab:54)
Maksudnya, betapapun hati sanubari kalian menyimpan sesuatu dan menyembunyikan rahasia, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. Karena sesungguhnya tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari pengetahuan Allah, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati. (Al-Mu-min: 19)
(53) Allah جَلَّ جَلالُهُ memerintahkan kepada hamba-hambaNya yang beriman agar beretika kepada Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dalam memasuki rumahnya, seraya berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلا أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَعَامٍ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan.” Maksudnya, Jangan kamu masuk rumahnya tanpa ada izin untuk masuk dari beliau untuk makan makanan. Dan juga, kalian jangan نَاظِرِينَ إِنَاهُ “menunggu-nunggu waktu masak” maksudnya kalian menunggu dan berlambat-lambat demi menunggu matangnya masakannya, atau berlapang dada sesudah selesai menyantapnya. Maksudnya, kalian jangan masuk rumah-rumah Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , kecuali dengan dua syarat, yaitu kalian diizinkan masuk, dan berdiamnya kalian di rumahnya hanya menurut kadar kebutuhan. Maka dari itu Allah berfirman, وَلَكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوا وَلا مُسْتَأْنِسِينَ لِحَدِيثٍ “Tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, maka keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan” yaitu, sebelum makan atau sesudahnya.
Kemudian Allah menjelaskan hikmah larangan tersebut dan faidahnya, seraya berfirman, إِنَّ ذَلِكُمْ “Sesungguhnya yang demikian itu,” yakni: Menunggu-nunggu yang melebihi kebutuhan, كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ “akan mengganggu Nabi,” maksudnya, diamnya kalian (dalam waktu yang lama itu) memberatkan dan menyusahkan beliau untuk mengurusi urusan rumahnya dan kesibukan-kesibukan di dalamnya. فَيَسْتَحْيِي مِنْكُمْ “Lalu Nabi malu kepadamu” untuk mengatakan kepada kalian, “Keluarlah!” Sebagaimana hal ini telah menjadi kebiasaan manusia, terutama orang-orang yang sangat ramah di antara mereka, mereka malu untuk menyuruh keluar orang-orang dari rumahnya, {و} “dan” akan tetapi اللَّهُ لا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ “Allah tidak malu pada yang benar.” Jadi, perintah syar’i, sekalipun ada anggapan bahwa di dalam meninggalkannya terdapat etika dan rasa malu, namun tetap harus tegas mengikuti perintah syar’i itu, dan memastikan bahwa apa saja yang menyalahinya, maka sama sekali tidak termasuk dalam etika, dan Allah جَلَّ جَلالُهُ tidak malu untuk memerintah kalian melakukan apa yang menjadi kebaikan bagi kalian.
Inilah etika mereka dalam masuk rumah Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ . Adapun etika mereka kepada beliau dalam berkomunikasi dengan istri-istrinya ada dua kondisi. Kondisi diperlukan atau kondisi tidak diperlukan. Kalau dalam kondisi tidak diperlukan, maka tidak perlu ada komunikasi, dan etikanya adalah meninggalkannya. Sedangkan jika memang dibutuhkan, seperti untuk menanyakan suatu barang atau lain-lainnya dari perabot rumah atau yang serupa dengannya, maka mereka boleh diminta مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ “dari belakang tabir,” maksudnya, harus ada tirai yang menutup pandangan mata antara kalian dengan mereka, karena tidak ada perlunya memandang mereka. Maka dengan demikian, memandang mereka menjadi terlarang dalam bentuk apa pun. Sedangkan berbicara dengan mereka ada rinciannya, seperti yang telah Allah jelaskan di atas.
Kemudian Allah menjelaskan hikmah dari itu semua dengan FirmanNya, ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ “Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka,” sebab ia lebih jauh dari hal yang meragukan. Setiap kali seseorang semakin jauh dari sebab-sebab pemicu keburukan, maka hal itu lebih selamat baginya dan lebih suci bagi hatinya. Ini termasuk permasalahan syar’i yang sering Allah jelaskan perinciannya, yaitu bahwa seluruh sarana atau jalan menuju keburukan, sebab-sebab dan pengantar-pengantarnya dilarang, dan bahwa ia disyariatkan untuk dijauhi dengan segala cara.
Kemudian Allah menyampaikan suatu kalimat yang sangat padat dan satu kaidah umum, وَمَا كَانَ لَكُمْ “Dan tidak boleh kamu” wahai seluruh kaum Mukminin. Maksudnya, tidak pantas dan tidak baik bagi kalian, bahkan sesuatu yang paling buruk bagi kalian, أَنْ تُؤْذُوا رَسُولَ اللَّهِ “menyakiti Rasulullah.” Maksudnya, menyakiti dalam bentuk perkataan ataupun perbuatan dengan segala yang berkaitan dengannya, وَلا أَنْ تَنْكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِنْ بَعْدِهِ أَبَدًا “dan tidak pula mengawini istri-istrinya selamalamanya sesudah beliau wafat.” Ini termasuk dari sejumlah hal yang menyakiti beliau, sebab sesungguhnya Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mempunyai kedudukan untuk dihormati, diagungkan dan dimuliakan. Sedangkan mengawini istri-istrinya sepeninggalannya dapat menodai kedudukan ini. Dan juga, sesungguhnya mereka adalah istri-istri beliau di dunia dan akhirat; hubungan pertalian sumiistri tetap utuh sesudah beliau wafat, maka dari itu tidak halal menikahi istri-istrinya sepeninggalannya bagi siapa pun dari umatnya.
إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمًا “Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar di sisi Allah.” Perintah ini benar-benar telah dipatuhi oleh umat ini, dan mereka telah menjauhi sesuatu yang dilarang Allah. Maka segala puji dan syukur hanya untuk Allah.
Saat nabi merayakan pernikahan dengan zainab binti ja’sy, beliau mengundang tamu untuk mencicipi hidangan walimah. Di antara tamu-tamu itu, ada tiga orang yang terlalu asyik dan lama berbincang karena merasa betah di kediaman rasulullah. Melalui ayat berikut Allah menjelaskan etika berkunjung ke rumah nabi. Wahai orang-orang yang beriman! janganlah kamu memasuki rumah-rumah nabi sambil menunggu-nunggu waktu makan rasulullah, kecuali jika kamu diizinkan untuk makan tanpa menunggu waktu makanannya masak. Tetapi, jika kamu dipanggil maka masuklah, dan apabila kamu selesai makan, keluarlah kamu dari kediaman nabi tanpa memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu, yakni berlama-lama di rumah beliau, adalah mengganggu nabi, sehingga dia malu kepadamu untuk memintamu pulang, dan Allah tidak malu menerangkan hal yang benar. 54. Jika kamu menyatakan sesuatu, baik ucapan maupun perbuatan, atau menyembunyikannya dalam hatimu yang paling dalam, maka sesungguhnya Allah maha mengetahui segala sesuatu yang tampak maupun yang tersembunyi.
Al-Ahzab Ayat 53 Arab-Latin, Terjemah Arti Al-Ahzab Ayat 53, Makna Al-Ahzab Ayat 53, Terjemahan Tafsir Al-Ahzab Ayat 53, Al-Ahzab Ayat 53 Bahasa Indonesia, Isi Kandungan Al-Ahzab Ayat 53
Tafsir Surat Al-Ahzab Ayat: 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | 21 | 22 | 23 | 24 | 25 | 26 | 27 | 28 | 29 | 30 | 31 | 32 | 33 | 34 | 35 | 36 | 37 | 38 | 39 | 40 | 41 | 42 | 43 | 44 | 45 | 46 | 47 | 48 | 49 | 50 | 51 | 52 | 53 | 54 | 55 | 56 | 57 | 58 | 59 | 60 | 61 | 62 | 63 | 64 | 65 | 66 | 67 | 68 | 69 | 70 | 71 | 72 | 73
Raih pahala amal jariyah dengan cara membagikan (share) konten ini kepada yang lainnya. Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه
"Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)