{58} Al-Mujadilah / المجادلة | الْقُرْآنُ الْكَرِيْمُ | الممتحنة / Al-Mumtahanah {60} |
Tafsir Al-Qur’an Surat Al-Hasyr الحشر (Pengusiran) lengkap dengan tulisan arab latin, arti dan terjemah Bahasa Indonesia. Surah ke 59 Tafsir ayat Ke 9.
وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ۚ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَـٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ﴿٩﴾
wallażīna tabawwa`ud-dāra wal-īmāna ming qablihim yuḥibbụna man hājara ilaihim wa lā yajidụna fī ṣudụrihim ḥājatam mimmā ụtụ wa yu`ṡirụna ‘alā anfusihim walau kāna bihim khaṣāṣah, wa may yụqa syuḥḥa nafsihī fa ulā`ika humul-mufliḥụn
QS. Al-Hasyr [59] : 9
Dan orang-orang (Ansar) yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Orang-orang yang telah menempati Madinah dan telah beriman sebelum kedatangan kaum Muhajirin, mereka mencintai kaum Muhajirin, bahkan berbagi harta kekayaan dengan mereka. Mereka tiada menaruh dengki dalam hati mereka terhadap harta rampasan (fai) yang diberikan kepada mereka. Mereka mengutamakan orang yang membutuhkan dibandingkan diri mereka sendiri sekalipun mereka memerlukan. Barang siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang mendapat kemenangan dengan diraihnya apa yang mereka cari.
Kemudian Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى memuji sikap orang-orang Ansar dan menjelaskan keutamaan, kemuliaan, dan kehormatan yang ada pada diri mereka, serta ketulusan mereka dalam mementingkan nasib Muhajirin hingga kepentingan untuk diri mereka sendiri dikesampingkan, padahal mereka sangat memerlukannya. Untuk itu Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berfirman:
Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Ansar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin). (Al-Hasyr: 9)
Yakni mereka telah menempati negeri hijrah sebelum kaum Muhajirin tiba, dan sebagian besar dari mereka telah beriman. Umar mengatakan, “Aku berwasiat kepada khalifah sesudahku agar memperhatikan kaum Muhajirin yang pertama, hendaknya hak mereka tetap diberikan kepada mereka dan kehormatan mereka tetap dipelihara. Aku juga berwasiat agar orang-orang Ansar diperlakukan dengan baik, yaitu mereka yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum kedatangan mereka (Muhajirin). Hendaklah orang-orang yang baik dari mereka diterima, dan orang-orang yang berbuat buruk dari mereka dimaafkan.” Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam tafsir ayat ini.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. (Al-Hasyr: 9)
Artinya, termasuk kemuliaan dan kehormatan diri mereka ialah mereka menyukai orang-orang Muhajirin dan menyantuni mereka dengan harta bendanya.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Humaid, dari Anas yang mengatakan bahwa orang-orang Muhajirin berkata, “Wahai Rasulullah, kami belum pernah melihat hal yang semisal dengan kaum yang kami datang berhijrah kepada mereka. Yakni dalam hal memberi santunan kepada kami, orang-orang yang hidup sederhana dari mereka tidak segan menyantuni kami, dan orang yang hartawan dari mereka sangat banyak dalam memberi kami. Sesungguhnya mereka telah menjamin semua kebutuhan kami dan bersekutu dengan kami dalam kesenangan, hingga kami merasa khawatir bila mereka memborong semua pahala.” Maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjawab: Tidak, selama kamu memuji mereka dan mendoakan bagi mereka kepada Allah.
Aku belum pernah melihat hadis ini di dalam semua kitab hadis yang diriwayatkan melalui jalur ini.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Yahya ibnu Sa’id. Ia mendengar Anas ibnu Malik saat berangkat bersamanya menuju ke tempat Al-Walid mengatakan bahwa Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah memanggil orang-orang Ansar dengan maksud akan memberikan bagian kepada mereka tanah Bahrain. Tetapi mereka menjawab, “Tidak, terkecuali jika engkau berikan hal yang sama kepada saudara-saudara kami dari kaum Muhaj irin.” Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda: Jika tidak mau, maka bersabarlah sampai kamu menjumpaiku, dan sesungguhnya kelak kalian akan ditimpa oleh penyakit mementingkan diri sendiri.
Imam Bukhari meriwayatkan nadis ini secara munfarid melalui jalur ini.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hakam ibnu Nafi’, telah menceritakan kepada kami Syu’aib, telah menceritakan kepada kami Abuz Zanad, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa orang-orang Ansar pernah berkata, “Bagikanlah antara kami dan saudara-saudara kami (kaum Muhajirin) kebun kurma (kami).” Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjawab, “Jangan.” Kaum Muhajirin berkata, “Maukah kalian menutupi semua pembiayaannya dan kami akan menggarapnya dengan imbalan bagi hasil dari buahnya?” Orang-orang Ansar menjawab, “Kami dengar dan kami taati syarat itu.”
Imam Bukhari meriwayatkan hadis ini secara munfarid tanpa Imam Muslim.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin). (Al-Hasyr: 9)
Yakni mereka tidak mempunyai rasa iri dalam hati mereka terhadap keutamaan yang telah diberikan oleh Allah kepada kaum Muhajirin berupa kedudukan, kemulian, dan prioritas dalam sebutan dan urutan.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka. (Al-Hasyr: 9) Yaitu rasa dengki dan iri hati.
terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin). (Al-Hasyr: 9)
Qatadah mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah terhadap apa yang telah diberikan kepada saudara-saudara mereka dari kaum Muhajirin. Hal yang sama telah dikatakan oleh Ibnu Zaid.
Di antara dalil yang menunjukkan makna ini ialah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad:
telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma’mar, dari Az-Zuhri, dari Anas, bahwa ketika kami sedang duduk bersama Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, lalu beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda: Sekarang akan muncul kepada kalian seorang lelaki calon penghuni surga. Maka muncullah seorang lelaki dari kalangan Ansar yang jenggotnya masih meneteskan air bekas air wudunya, dia menjinjing kedua terompahnya dengan tangan kirinya. Pada keesokan harinya Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengucapkan kata-kata yang sama. Lalu muncullah lelaki itu seperti pada yang pertama kali. Dan pada hari yang ketiganya Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengucapkan kata-kata yang sama lagi, lalu muncullah lelaki itu dalam keadaan seperti pada yang pertama kali. Ketika Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bangkit, maka lelaki itu diikuti oleh Abdullah ibnu Amr ibnul As, lalu ia berkata kepadanya, “Sesungguhnya aku telah bertengkar dengan ayahku, maka aku bersumpah tidak akan pulang kepadanya selama tiga hari. Jika engkau sudi, bolehkah aku menginap di rumahmu, maka aku akan merasa senang sekali.” Lelaki itu menjawab, “Silakan.” Anas melanjutkan kisahnya, bahwa Abdullah telah menceritakan kepadanya bahwa ia menginap di rumah lelaki Ansar itu selama tiga malam, dan dia tidak melihatnya bangun malam untuk mengerjakan sesuatu dari salat sunat, hanya saja bila ia berbalik di tempat peraduannya di tengah malam, ia berzikir kepada Allah dan mengucapkan takbir, hingga ia bangun dari peraduannya untuk mengerjakan salat fajar (subuh). Abdullah ibnu Amr mengatakan bahwa hanya saja ia tidak mendengarnya mengatakan sesuatu kecuali hanya kebaikan belaka. Dan setelah tiga malam berlalu dan hampir saja aku memandang remeh amal perbuatannya, maka aku berterus terang kepadanya, “Hai hamba Allah, sebenarnya tidak ada pertengkaran antara aku dan ayahku dan tidak ada pula saling mendiamkan dengannya, tetapi aku telah mendengar Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda kepada kami sebanyak tiga kali: Sekarang akan muncul kepada kalian seorang lelaki calon penghuni surga. Ketika kulihat, ternyata engkau sebanyak tiga kali. Maka aku bermaksud untuk menginap di rumahmu guna menyaksikan apa yang engkau perbuat, lalu aku akan menirunya. Tetapi ternyata aku tidak melihatmu melakukan amal yang istimewa, lalu apakah yang menyebabkan engkau sampai kepada kedudukan seperti apa yang dikatakan oleh Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ?” Lelaki itu menjawab, “Tiada yang kulakukan selain dari apa yang telah engkau lihat sendiri.” Ketika aku pergi darinya, ia memanggilku dan berkata, “Tiada lain amal itu kecuali seperti yang engkau lihat, hanya saja dalam hatiku tidak terdapat rasa iri terhadap seorang pun dari kaum muslim dan tidak pula rasa dengki terhadap seorang pun atas kebaikan yang telah diberikan oleh Allah kepadanya.” Abdullah ibnu Amr berkata, “Rupanya amal itulah yang menghantarkan dirimu mencapai tingkatan itu, amal tersebut sulit untuk dilakukan dan amatlah berat.”
Imam Nasai meriwayatkannya di dalam kitab Al-Yaum wal Lailah, dari Suwaid ibnu Nasr, dari Ibnul Mubarak, dari Ma’mar dengan sanad yang sama. Sanad ini sahih dengan syarat Sahihain, tetapi Aqil dan lain-lainnya telah meriwayatkannya dari Az-Zuhri, dari seorang lelaki, dari Anas. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin). (Al-Hasyr: 9) Yakni terhadap apa yang telah diberikan kepada kaum Muhajirin. Abdur Rahman mengatakan bahwa ada sebagian orang yang memperbincangkan harta Bani Nadir yang orang-orang Ansar tidak diberi bagian darinya. Maka Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menghukum mereka karena ucapannya yang demikian itu. Maka Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berfirman: Dan apa saja harta rampasan (fai) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) mereka, maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kuda pun dan (tidak pula) seekor unta pun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada Rasul-Nya terhadap siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (Al-Hasyr: 6); Abdur Rahman melanjutkan, bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda (kepada kaum Ansar): Sesungguhnya saudara-saudara kalian ini (kaum Muhajirin) telah meninggalkan harta benda dan anak-anak mereka, lalu mereka keluar (berhijrah) kepada kalian. Orang-orang Ansar menjawab, “Kalau begitu, harta kami, kami rela berbagi dengan mereka.” Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda, “Bagaimanakah kalau dengan cara selain itu?” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah caranya?” Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjawab, “Mereka (kaum Muhajirin) adalah kaum yang tidak mengetahui pertanian, bagaimanakah kalau kalian menjamin mereka saja dengan cara bagi hasil buah-buahan dengan mereka?” Orang-orang Ansar menjawab, “Kami setuju, wahai Rasulullah.”
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). (Al-Hasyr: 9)
Yang dimaksud dengan khasasah ialah keperluan. Yakni mereka lebih mementingkan kebutuhan orang lain daripada kebutuhan diri mereka sendiri; mereka memulainya dengan kebutuhan orang lain sebelum diri mereka, padahal mereka sendiri membutuhkannya.
Di dalam kitab sahih telah disebutkan dari Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang telah bersabda:
Sedekah yang palingutama ialahjerih payah dari orang yang minim.
Yaitu dari orang yang memerlukannya. Kedudukan ini lebih tinggi dari pada kedudukan orang yang disebutkan oleh Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى dalam firman-Nya:
Dan mereka memberikan makanan yang disukainya. (Al-Insan: 8)
Dan firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
dan memberikan harta yang dicintainya. (Al-Baqarah: 177)
Karena sesungguhnya mereka menyedekahkan apa yang mereka sendiri menyukainya, tetapi adakalanya mereka tidak memerlukannya dan tidak mempunyai kebutuhan darurat terhadapnya. Sedangkan mereka (golongan yang pertama) mengesampingkan kebutuhan mereka, padahal mereka dalam keadaan memerlukannya dan membutuhkan apa yang mereka sedekahkan.
Dan termasuk ke dalam kedudukan ini ialah apa yang telah dilakukan oleh Abu Bakar As-Siddiq r.a. karena dia telah menyedekahkan semua harta bendanya, hingga Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bertanya kepadanya, “Lalu apa yang engkau sisakan buat keluargamu?” Abu Bakar r.a. menjawab, “Aku sisakan bagi mereka Allah dan Rasul-Nya.”
Demikian pula halnya air minum yang ditawarkan kepada Ikrimah dan teman-temannya pada Perang Yarmuk; masing-masing dari mereka memerintahkan agar diberikan kepada temannya, padahal Ikrimah sendiri dalam keadaan luka berat dan sangat memerlukan air minum, lalu temannya menyerahkan air itu kepada orang yang ketiga, dan belum sampai air itu ke tangan orang yang ketiga. Akhirnya mereka mati semua dan tiada seorang pun dari mereka yang meminum air itu. Semoga Allah meridai mereka dan membuat mereka puas dengan balasan pahala-Nya.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya’qub ibnu Ibrahim ibnu Kasir, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, telah menceritakan kepada kami Fudail ibnu Gazwan, telah menceritakan kepada kami Abu Hazim Al-Asyja’i, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa seorang lelaki datang kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, aku lapar.” Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyuruh seseorang ke rumah istri-istri beliau, dan ternyata tidak dijumpai makanan apa pun pada mereka. Maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda, “Adakah seseorang yang mau menjamu orang ini malam ini, semoga Allah merahmatinya?” Maka berdirilah seorang lelaki dari kalangan Ansar seraya berkata, “Akulah yang akan menjamunya, wahai Rasulullah.” Kemudian lelaki itu pulang ke rumah keluarganya dan berkata kepada istrinya, “Orang ini adalah tamu Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, maka jangan engkau simpan apa pun untuknya.” Istrinya menjawab, “Demi Allah, aku tidak mempunyai makanan apa pun selain makanan untuk anak-anak.” Suaminya berkata, “Jika anak-anak ingin makan malam, tidurkanlah mereka, lalu kemarilah dan matikanlah lampu, biarlah kita menahan lapar untuk malam ini.” Istrinya melakukan apa yang diperintahkan suaminya itu. Kemudian pada pagi harinya lelaki itu menemui Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda:
Sesungguhnya Allah merasa kagum atau rida dengan apa yang telah dilakukan oleh si Fulan dan si Fulanah.
Dan Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menurunkan firman-Nya: dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). (Al-Hasyr: 9)
Demikian pula Imam Bukhari meriwayatkannya dalam tempat lain, juga Imam Muslim, Imam Turmuzi, dan Imam Nasai melalui jalur Fudail ibnu Gazwan dengan sanad yang sama dan lafaz yang semisal. Di dalam riwayat Imam Muslim disebutkan nama orang Ansar tersebut, yaitu Abu Talhah r.a.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Al-Hasyr: 9)
Yakni barang siapa yang terbebas dari sifat kikir, maka sesungguhnya dia telah beruntung dan berhasil.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Daud ibnu Qais Al-Farra, dari Ubaidillah ibnu Miqsam, dari Jabir ibnu Abdullah, bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah bersabda: Jauhilah perbuatan aniaya, kerena sesungguhnya perbuatan aniaya itu adalah kegelapan kelak di hari kiamat; dan takutlah kalian terhadap sifat kikir, karena sesungguhnya sifat kikir itu telah membinasakan orang-orang terdahulu sebelum kalian. Karena sifat kikir mendorong mereka untuk mengalirkan darah mereka dan menghalalkan kehormatan mereka.
Imam Muslim mengetengahkan hadis ini secara munfarid, maka dia meriwayatkannya dari Al-Qa’nabi, dari Daud ibnu Qais dengan sanad yang sama. ‘
Al-A’masy dan Syu’bah telah meriwayatkan dari Amr ibnu Murrah, dari Abdullah ibnul Haris, dari Zuhair ibnul Aqmar, dari Abdullah ibnu Amr yang mengatakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah bersabda: Hindarilah oleh kalian perbuatan aniaya, karena sesungguhnya perbuatan aniaya itu merupakan kegelapan di hari kiamat. Dan takutlah kalian terhadap perbuatan keji, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai kata-kata yang keji dan tidak pula perbuatan yang keji (kotor). Jauhilah oleh kalian sifat kikir, karena sesungguhnya sifat kikir itu telah membinasakan orang-orang yang sebelum kalian. Sifat kikir mendorong mereka berbuat aniaya, maka mereka berbuat aniaya; dan mendorong mereka untuk berbuat kedurhakaan, maka mereka berbuat kedurhakaan; dan mendorong mereka untuk memutuskan silaturahmi, maka mereka memutuskan pertalian silaturahmi.’
Imam Ahmad dan Imam Abu Daud telah meriwayatkannya melalui jalur Syu’bah, sedangkan Imam Nasai meriwayatkannya melalui jalur Al-A’masy. Keduanya (Syu’bah dan Al-A’masy) dari Amr ibnu Murrah dengan sanad yang sama.
Al-Lais telah meriwayatkan dari Yazid ibnul Had, dari Suhail ibnu Abu Saleh, dari Safwan ibnu Abu Yazid, dari Al-Qa’qa’ ibnul Jallah, dari Abu Hurairah, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda: Tidak dapat terkumpul di dalam perut seorang hamba selamanya antara debu di jalan Allah dan asap neraka Jahanam. Dan tidak dapat terkumpul pula antara sifat kikir dan iman dalam hati seorang hamba selama-lamanya.
Ibnu Abu Hatirri mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abdah ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, telah menceritakan kepada kami Al-Mas’udi, dari Jami’ ibnu Syaddad, dari Al-Aswad ibnu Hilal yang mengatakan bahwa seorang lelaki datang kepada Abdullah, lalu berkata, “Hai Abu Abdur Rahman, sesungguhnya aku takut bila diriku binasa.” Abdullah bertanya, “Apakah yang kamu takutkan?” Lelaki itu menjawab bahwa ia telah membaca firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى yang menyebutkan: Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Al-Hasyr: 9) Sedangkan aku adalah orang yang kikir, hampir saja aku tidak pernah mengeluarkan sesuatu dari tanganku. Maka Abdullah menjawab, “Bukan itu yang dimaksud dengan kikir yang disebutkan oleh Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى dalam Al-Qur’an. Sesungguhnya kikir yang dimaksud oleh Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى dalam Al-Qur’an itu tiada lain bila engkau memakan harta saudaramu secara aniaya. Tetapi yang itu adalah sifat kikir, dan seburuk-buruk sifat adalah kikir.”
Sufyan As-Sauri telah meriwayatkan dari Tariq ibnu Abdur Rahman, dari Sa’id ibnu Jubair, dari Abul Hayyaj Al-Asadi yang mengatakan bahwa ketika ia sedang tawaf di Baitullah, ia melihat seorang lelaki mengucapkan doa, “Ya Allah, peliharalah diriku dari kekikiran diriku.” Hanya itu doa yang dibacanya, tidak lebih. Lalu aku bertanya kepadanya, “Mengapa demikian?” Ia menjawab, “Jika aku dipelihara dari kekikiran diriku, berarti aku tidak akan mencuri, tidak berzina, dan tidak berbuat macam-macam dosa.” Dan ternyata lelaki itu adalah sahabat Abdur Rahman ibnu Auf r.a. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Abdur Rahman Ad-Dimasyqi, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Iyasy, telah menceritakan kepada kami Majma’ ibnu Jariyah Al-Ansari, dari pamannya Yazid ibnu Jariyah, dari Anas ibnu Malik, dari Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang telah bersabda: Telah disembuhkan dari kekikiran orang yang menunaikan zakatnya, menjamu tamunya, dan memberi derma kepada yang terkena musibah.
8-9. Allah kemudian menjelaskan hikmah dan sebab yang mengharuskan Allah memberikan harta rampasan perang untuk golongan-golongan yang ditetapkan tersebut, karena mereka adalah orang-orang yang berhak mendapatkan pertolongan, berhak mendapatkan bagian tersebut, dan harus disegerakan untuk diberikan pada mereka. Mereka berada di antara dua hijrah. Pertama, mereka telah meninggalkan semua yang dicintai seperti rumah, negeri, orang-orang tercinta, kekasih, dan harta demi Allah dan demi menolong Agama Allah dan mencintai Rasulullah. Mereka adalah orang-orang yang benar, yang berbuat sebagaimana tuntutan keimanan. Mereka membuktikan keimanan dengan amal baik serta ibadah-ibadah berat. Lain halnya orang yang mengaku beriman tapi tidak dibuktikan dengan berjihad dan berhijrah serta ibadah-ibadah lainnya.
Kedua, mereka berada di kalangan kaum Anshar, Aus dan Khazraj, mereka adalah kaum yang beriman kepada Allah dan RasulNya secara taat dan sukarela. Mereka memberikan tempat berlindung untuk Rasulullah yang tidak mereka berikan pada kaum bangsawan maupun rakyat. Mereka menempati negeri hijrah dan iman hingga menjadi tempat orang-orang Mukmin dan kaum Muhajirin berlindung serta menjadi kediaman kaum Muslimin dalam penjagaannya pada saat seluruh negeri adalah negeri harbi (perang), syirik, dan buruk. Para penolong Agama senantiasa berlindung ke kaum Anshar, hingga Islam menyebar dan kuat serta bertambah dan berkembang sedikit demi sedikit hingga mereka mampu membuka hati manusia dengan ilmu, iman, dan al-Quran, serta mampu menaklukan berbagai negeri dengan senjata.
Di antara sebagian besar sifat orang-orang yang disinggung ini adalah “mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka,” karena kecintaan mereka kepada allah dan RasulNya, mereka mencintai orang-orang yang mencintaiNya dan menolong AgamaNya, “dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin),” maksudnya mereka tidak menaruh sikap hasad terhadap kaum Muhajirin atas karunia yang diberikan Allah serta berbagai keutamaan dan sifat baik yang berhak mereka miliki.
Ini menunjukkan bersihnya hati mereka dari sifat dengki, iri, dan hasad. Dan juga menunjukkan bahwa kaum Muhajirin lebih utama dari kaum Anshar, karena Allah terlebih dahulu menyebarkan bahwa kaum Anshar tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa pun yang diberikan Allah pada kaum Muhajirin. Hal ini menunjukkan bahwa Allah memberi mereka karunia yang tidak diberikan pada kaum Anshar dan juga pada yang lainnya, karena mereka menyatukan antara menolong Agama Allah dan hijrah.
Firman Allah, “Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).” Maksudnya, di antara sifat-sifat kaum Anshar yang tidak bisa disaingi oleh yang lain dan menjadi karakteristik utama mereka adalah lebih mengutamakan orang lain daripada dirinya sendiri. Sifat ini merupakan puncak berbagai jenis kedermaan. Yaitu mengutamakan orang lain daripada diri sendiri, baik dalam hal harta maupun yang lainnya, padahal sebenarnya mereka juga memerlukannya bahkan sekalipun mereka amat memerlukannya. Siraf seperti altruisme (mengutamakan kepentingan orang lain) ini hanya dimiliki oleh orang yang mempunyai akhlak yang suci dan lebih mencintai Allah daripada mencintai keinginan diri dan berbagai kenikmatannya.
Di antaranya adalah kisah seorang Anshar yang menjadi penyebab turunnya ayat ini ketika lebih mengutamakan tamunya dengan memberinya makanan sementara rela membiarkan diri dan keluarganya tidur dalam keadaan lapar.
Kebalikan dari altruisme adalah egoisme. Altruisme adalah sifat terpuji sedangkan egoisme adalah sifat tercela, karena termasuk sifat-sifat kikir dan pelit. Siapa pun yang diberi karunia sifat altruisme, maka telah terjaga dari kekikiran diri. “Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” Menjaga kekikiran diri mencakup menjaga diri dari kekikiran dalam seluruh hal yang diperintahkan. Sebab jika seorang hamba telah terjaga dari kekikiran dirinya, maka ia merelakan dirinya untuk menunaikan segala perintah Allah dan RasulNya. Pekerjaan yang dilakukan semata karena ketaatan dan ketundukan dengan kelapangan dada serta disenangi oleh jiwa, meski jiwanya menyeru dan ingin melakukannya. Orang yang terjaga dari kekikiran diri juga merelakan diri untuk mencurahkan harta di jalan Allah demi mencari keridhaanNya. Dengan demikian ia akan mendapatkan keberuntungan dan kemenangan. Lain halnya dengan orang yang tidak terjaga dari kekikiran dirinya. Bahkan diuji dengan bersifat kikir terhadap kebaikan yang justru menjadi pangkal dan asal-usul keburukan.
Muhajirin, menurut ayat sebelumnya, adalah orang-orang yang terusir dari kampung halamannya di mekah dan berhijrah bersama rasulullah ke madinah demi menolong Allah dan rasul-Nya. Pada ayat ini disebutkan sikap dan penerimaan kaum ansar terhadap muhajirin dengan cinta dan persaudaraan sejati. Dan orang-orang ansar, para penolong, yang telah menempati kota madinah jauh sebelum rasulullah hijrah ke kota ini. Dan mereka telah beriman kepada Allah dan rasul-Nya sebelum kedatangan mereka, muhajirin ke madinah. Mereka, para penolong itu, mencintai muhajirin, orang yang berhijrah ke tempat mereka, karena Allah. Dan mereka, orang-orang ansar, ketika membantu muhajirin yang berhijrah ke madinah dengan harta dan berbagai fasilitas, tidak menaruh keinginan dalam hati mereka benda-benda yang diberikan itu, karena penuh keikhlasan, terhadap apa yang diberikan kepada mereka, baik harta maupun tenaga. Dan mereka mengutamakan kepentingan para sahabat muhajirin atas dirinya sendiri, meskipun sebenarnya mereka juga memerlukan semua fasilitas yang diberikan itu. Sungguh ketentuan Allah menegaskan: dan siapa yang dijaga dirinya oleh Allah atas usaha dan perjuangan mereka dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung, karena berhasil melawan ego dan berhasil menjadi pribadi yang mulia. 10. Sesudah menjelaskan keberhasilan muhajirin dan ansar membangun persaudaraan sejati atas dasar iman, Allah lalu menjelaskan karakter orang-orang beriman generasi sesudah mereka. Dan orang-orang beriman, berilmu, dan beramal saleh yang datang sesudah mereka dari generasi ke generasi hingga hari kiamat, mereka berdoa kepada Allah, ‘ya tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja dan ampuni pula dosa-dosa saudara-saudara kami seiman yang telah beriman lebih dahulu dari kami, umat rasulullah maupun umat para nabi sebelumnya dan janganlah engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman karena kedengkian itu menghapuskan amal saleh. Ya tuhan kami, sungguh, engkau maha penyantun kepada setiap hamba, maha penyayang kepada hamba yang beriman sehingga mereka mendapat kebaikan dunia dan akhirat. ‘
Al-Hasyr Ayat 9 Arab-Latin, Terjemah Arti Al-Hasyr Ayat 9, Makna Al-Hasyr Ayat 9, Terjemahan Tafsir Al-Hasyr Ayat 9, Al-Hasyr Ayat 9 Bahasa Indonesia, Isi Kandungan Al-Hasyr Ayat 9
Tafsir Surat Al-Hasyr Ayat: 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | 21 | 22 | 23 | 24
Raih pahala amal jariyah dengan cara membagikan (share) konten ini kepada yang lainnya. Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه
"Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)