{64} At-Taghabun / التغابن | الْقُرْآنُ الْكَرِيْمُ | التحريم / At-Tahrim {66} |
Tafsir Al-Qur’an Surat At-Thalaq الطلاق (Talak) lengkap dengan tulisan arab latin, arti dan terjemah Bahasa Indonesia. Surah ke 65 Tafsir ayat Ke 7.
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ ۖ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا ۚ سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا ﴿٧﴾
liyunfiq żụ sa’atim min sa’atih, wa mang qudira ‘alaihi rizquhụ falyunfiq mimmā ātāhullāh, lā yukallifullāhu nafsan illā mā ātāhā, sayaj’alullāhu ba’da ‘usriy yusrā
QS. At-Thalaq [65] : 7
Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani kepada seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan.
Hendaklah suami yang diberi keluasan oleh Allah memberi nafkah kepada istrinya yang dicerai itu dan juga kepada anaknya jika suami masih mempunyai kelapangan rezeki. Barang siapa yang disempitkan rezekinya sehingga dia fakir, hendaklah memberi nafkah dari harta yang dianugerahkan Allah kepadanya. Seorang yang fakir tidaklah dibebani sama seperti orang kaya. Allah akan menjadikan keadaan setelah sulit menjadi lapang dan kaya.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. (Ath-Thalaq: 7)
Artinya, hendaklah orang tua si bayi atau walinya memberi nafkah kepada bayinya sesuai dengan kemampuannya.
Dan orang yang disempitkan rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya. (Ath-Thalaq: 7)
Semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya: (Al-Baqarah: 286)
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Hakkam, dari Abu Sinan yang mengatakan bahwa Umar ibnul Khattab r.a. pernah bertanya mengenai Abu Ubaidah. Maka dikatakan kepadanya, bahwa sesungguhnya Abu Ubaidah mengenakan pakaian yang kasar dan memakan makanan yang paling sederhana. Maka Khalifah Umar r.a. mengirimkan kepadanya seribu dinar, dan mengatakan kepada kurirnya, “Perhatikanlah apakah yang dilakukan olehnya dengan uang seribu dinar ini jika dia telah menerimanya.” Tidak lama kemudian Abu Ubaidah mengenakan pakaian yang halus dan memakan makanan yang terbaik, lalu kurir itu kembali kepada Umar r.a. dan menceritakan kepadanya perubahan tersebut. Maka Umar mengatakan bahwa semoga Allah merahmatinya. Dia menakwilkan ayat ini, yaitu firman-Nya: Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. (At-Thalaq: 7)
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (Ath-Thalaq: 7)
Ini merupakan janji dari Allah, dan janji Allah itu benar dan tidak akan disalahi-Nya. Makna ayat ini sama dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. (Al-Insyirah: 5-6)
Imam Ahmad telah meriwayatkan sebuah hadis sehubungan dengan hal ini yang baik dikemukakan di sini. Untuk itu dia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim ibnul Qasim, telah menceritakan kepada kami Abul Hamid ibnu Bahram, telah menceritakan kepada kami Syahr ibnu Hausyab yang mengatakan bahwa Abu Hurairah r.a. pernah bercerita bahwa di zaman yang silam pernah ada seorang lelaki dan istrinya yang hidup dalam kemiskinan, keduanya tidak mampu menghasilkan apa pun. Dan di suatu hari suaminya datang dari perjalanannya, lalu masuk ke dalam rumah menemui istrinya, sedangkan perutnya keroncongan dicekam rasa lapar yang berat. Lelaki itu bertanya kepada istrinya, “Apakah engkau mempunyai sesuatu makanan?” Istrinya menjawab, “Ya, bergembiralah kita telah diberi rezeki oleh Allah.” Lalu si suami mendesaknya dan mengatakan, “Celakalah engkau ini, aku menginginkan sesuatu makanan yang ada padamu.” Si istri menjawab, “Ya, tunggu sebentar,” seraya mengharapkan rahmat dari Allah. Dan ketika suaminya menunggu cukup lama, akhirnya ia berkata, “Celakalah kamu ini, sekarang bangkitlah dan ambillah jika engkau memiliki sesuatu, lalu datangkanlah kepadaku, karena sesungguhnya aku benar-benar sangat lelah dan lapar sekali.” Istrinya menjawab, “Baiklah, sekarang aku akan membuka dapurku, jangan kamu terburu-buru.” Setelah suaminya diam sesaat dan si istri menunggu suaminya berbicara lagi kepadanya, si istri berkata kepada dirinya sendiri, “Sebaiknya sekarang aku bangkit untuk melihat dapurku.” Lalu ia bangkit dan menuju ke dapurnya, maka ia melihat ke dapurnya dan merasa terkejut karena penuh dengan paha kambing (yang sedang dipanggang), sedangkan penggilingan tepungnya bergerak sendiri menggiling tepung. Maka ia bangkit menuju tempat penggilingan tepung itu dan membersihkannya, lalu mengeluarkan kambing panggang yang ada pada dapur pembakarannya. Kemudian Abu Hurairah melanjutkan, bahwa demi Tuhan yang jiwa Abul Qasim berada di tangan kekuasaan-Nya. Demikianlah yang dimaksud oleh ucapan Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
Seandainya wanita itu hanya mengambil adonan yang ada pada penggilingannya dan tidak membersihkannya, niscaya penggilingannya itu akan tetap bekerja menggiling sampai hari kiamat nanti.
Di tempat lain Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Amir, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar, dari Hisyam, dari Muhammad ibnu Sirin, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa seorang lelaki masuk menemui keluarganya; dan ketika ia melihat kelaparan yang melanda keluarganya, ia keluar menuju hutan. Ketika istri lelaki itu melihat keadaan demikian, maka ia bangkit menuju tempat penggilingan tepungnya. Kemudian ia siapkan penggilingan tepung itu, dan ia menuju pula ke tempat perapian dapurnya, lalu menyalakannya. Kemudian ia berdoa, “Ya Allah, berilah kami rezeki.” Lalu ia melihat ke arah pancinya dan ternyata pancinya telah penuh dengan makanan. Kemudian pergi ke arah dapurnya, dan ternyata ia menjumpai perapian dapurnya telah penuh pula dengan roti. Ketika suaminya datang, langsung bertanya, “Apakah kamu mendapatkan sesuatu makanan sesudah kepergianku?” Istrinya menjawab, “Ya, dari Tuhan kita,” seraya berisyarat ke arah penggilingan tepungnya. Kemudian kisah ini diceritakan kepada Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda:
Ingatlah, sesungguhnya jika wanita itu tidak mengangkat penggilingannya (yakni membersihkannya), niscaya ia akan tetap berputar sampai hari kiamat.
Kemudian Allah جَلَّ جَلالُهُ menentukan nafkah berdasarkan kondisi suami seraya berfirman, لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya.” Maksud-nya, orang yang kaya harus memberi nafkah sesuai ukuran kesanggupannya, dan bukan memberi nafkah layaknya orang miskin. وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ “Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya,” yakni rizkinya disusahkan. لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا مَا آتَاهَا “Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya.” Ini sesuai dengan hikmah dan rahmat ilahi, karena menempatkan sesuatu sesuai ukurannya dan memberi keringanan bagi orang yang tidak punya. Allah جَلَّ جَلالُهُ tidak membebankan apa pun melainkan sesuai dengan rizki yang diberikan. Allah جَلَّ جَلالُهُ tidak membebankan kepada jiwa kecuali sebatas kesanggupannya dalam hal nafkah dan lainnya.
سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا “Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” Ini adalah kabar gembira bagi mereka yang kurang mampu. Allah جَلَّ جَلالُهُ akan menghilangkan kesukaran dan beban berat mereka, karena dalam setiap kesusahan itu pasti terdapat kemudahan dan kesulitan itu pasti dibarengi kemudahan.
Hendaklah orang yang mempunyai keluasan, yaitu suami yang berkecukupan, memberi nafkah kepada istri yang ditalaknya selama masa idah dan memberikan imbalan kepadanya karena telah menyusui anaknya, dari kemampuannya yang telah diberikan Allah kepadanya. Dan adapun orang yang terbatas rezekinya, yakni suami yang tidak sanggup, hendaklah memberi nafkah kepada istri yang ditalaknya selama masa idah dari harta yang diberikan Allah kepadanya sesuai dengan kesanggupannya. Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan apa yang diberikan Allah kepadanya, rezeki dan kemampuan; Allah akan memberikan kemudahan kepada seseorang setelah ia menunjukkan kegigihan dalam menghadapi kesulitan. 8. Dan betapa banyak penduduk dari suatu negeri yang mendurhakai perintah tuhan mereka dan rasul-rasul-Nya, seperti penduduk al-hijr, madyan, sodom, dan gomorah; maka kami buat perhitungan terhadap penduduk negeri itu dengan perhitungan yang ketat, yaitu dengan mengazab mereka di dunia sebanding dengan pembangkangannya; dan kami pun mengazab mereka dengan azab yang mengerikan di akhirat.
At-Thalaq Ayat 7 Arab-Latin, Terjemah Arti At-Thalaq Ayat 7, Makna At-Thalaq Ayat 7, Terjemahan Tafsir At-Thalaq Ayat 7, At-Thalaq Ayat 7 Bahasa Indonesia, Isi Kandungan At-Thalaq Ayat 7
Tafsir Surat At-Thalaq Ayat: 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12
Raih pahala amal jariyah dengan cara membagikan (share) konten ini kepada yang lainnya. Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه
"Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)