Berkata Al-Qadhy Abu Bakr Ibnul ‘Arabi rahimaullah,
والناس إذا لم يجدوا عيباً لأحد وغلبهم الحسد عليه وعداوتهم له، أحدثوا له عُيوباً.
“Manusia jika tidak menjumpai aib pada seseorang ketika kedengkian dan permusuhan terhadapnya menguasai mereka, maka mereka akan mengada-ngadakan aib yang mereka tuduhkan secara dusta terhadapnya.” (Al-‘Awashim minal Qawashim, 1/244)
1. Makna Ucapan Ibnul ‘Arabi
Al-Qadhi Abu Bakr Ibnul ‘Arabi menjelaskan bahwa kedengkian dan permusuhan adalah dua racun yang dapat menutup akal sehat manusia. Ketika seseorang tidak mampu menemukan kesalahan nyata pada orang lain, namun hatinya telah dikuasai oleh iri dan benci, maka ia akan menciptakan kesalahan palsu — membuat fitnah, menyebar dusta, dan menjatuhkan nama baik orang tersebut.
Inilah yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai “ghil”, yaitu kebencian yang tersimpan dalam hati. Orang yang hatinya dipenuhi ghil akan mencari cara untuk memuaskan nafsu hasadnya, meskipun dengan cara yang batil.
2. Hasad: Penyakit Hati yang Mematikan
Rasulullah ﷺ bersabda:
إياكم والحسد، فإن الحسد يأكل الحسنات كما تأكل النار الحطب.
“Waspadalah kalian terhadap hasad, karena hasad itu memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar.”
(HR. Abu Dawud, no. 4903)
Hadits ini memperjelas bahwa hasad tidak hanya merugikan orang lain, tetapi juga menghancurkan diri sendiri. Orang yang hasad tidak akan pernah merasa tenang. Ia tersiksa dengan keberhasilan orang lain dan tidak akan puas sampai melihat orang tersebut jatuh.
Ibnul ‘Arabi memahami hal ini dengan sangat tajam. Beliau menyadari bahwa akar dari fitnah dan tuduhan palsu sering kali bukan karena kebenaran, tetapi karena iri hati yang tidak mampu dikendalikan.
3. Ketika Hasad Berubah Menjadi Fitnah
Fitnah sering kali dimulai dari perasaan hasad kecil — rasa tidak suka ketika melihat orang lain lebih sukses, lebih disukai, atau lebih berilmu.
Namun, jika tidak segera diobati, hasad itu tumbuh menjadi kebencian yang berujung pada tuduhan dusta.
Seseorang yang tidak menemukan kesalahan pada saudaranya, tapi hatinya terbakar oleh iri, akan mengarang aib untuk menjatuhkannya. Ia menyebarkan cerita palsu, memperkeruh suasana, dan membentuk opini buruk di tengah masyarakat.
Inilah yang dimaksud Ibnul ‘Arabi:
“…mereka mengada-ngadakan aib yang mereka tuduhkan secara dusta terhadapnya.”
Betapa sering hal ini terjadi — baik di dunia nyata, di media sosial, bahkan di lingkungan kerja dan sekolah. Orang baik bisa difitnah hanya karena kebaikannya menyingkap keburukan orang lain.
4. Pelajaran dari Al-Qur’an tentang Hasad dan Fitnah
Al-Qur’an banyak memberi contoh tentang bagaimana kedengkian menghancurkan pelakunya sendiri.
-
Kisah Iblis: Iblis menolak sujud kepada Adam bukan karena Adam bersalah, tapi karena ia iri. Hasad membuatnya menjadi makhluk terkutuk selamanya.
-
Kisah Qabil dan Habil: Qabil membunuh saudaranya Habil semata-mata karena iri terhadap penerimaan amalnya.
-
Kisah Saudara Yusuf ‘alaihis salam: Mereka melempar Yusuf ke sumur hanya karena ayah mereka lebih mencintainya.
Semua kisah ini menunjukkan bahwa hasad melahirkan kezaliman. Dan dari kezaliman, lahirlah fitnah dan kebohongan.
5. Mengobati Hasad dan Permusuhan
Bagaimana cara kita terhindar dari penyakit hati ini? Para ulama memberi beberapa nasihat penting:
a. Syukuri Nikmat Allah
Ingatlah bahwa setiap rezeki telah ditetapkan oleh Allah. Keberhasilan orang lain tidak mengurangi sedikit pun bagian kita.
b. Doakan Kebaikan untuk Orang yang Kita Iri
Sebaliknya dari hasad, ada sifat yang disebut ghibthah — yaitu rasa iri yang positif. Jika kita melihat orang lain berilmu, kaya, atau saleh, maka kita berdoa agar bisa seperti mereka tanpa berharap nikmat itu hilang dari mereka.
c. Jauhi Ghibah dan Fitnah
Ghibah adalah langkah awal menuju fitnah. Jika kita mulai membicarakan kekurangan orang lain, kita akan mudah tergelincir pada tuduhan yang tidak benar.
d. Perbanyak Dzikir dan Muhasabah
Orang yang sering mengingat Allah akan malu berbuat dosa lisan. Dzikir menenangkan hati, menekan hawa nafsu, dan melembutkan jiwa.
6. Fitnah di Era Digital
Nasihat Ibnul ‘Arabi terasa semakin relevan di zaman sekarang. Di era media sosial, manusia bisa dengan mudah menyebarkan berita tanpa tabayyun (klarifikasi). Satu cuitan, satu komentar, atau satu video editan bisa menghancurkan reputasi seseorang.
Kita hidup di zaman di mana fitnah bisa viral lebih cepat daripada kebenaran. Orang yang dikuasai kedengkian akan mencari kesalahan dari postingan, penampilan, bahkan cara bicara orang lain — lalu mengarang cerita untuk menjatuhkannya.
Karenanya, seorang muslim sejati harus berhati-hati sebelum berbicara atau membagikan informasi. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا
“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti…”
(QS. Al-Hujurat: 6)
7. Meneladani Akhlak Para Ulama
Para ulama terdahulu bukan hanya berilmu, tapi juga memiliki akhlak mulia dan hati bersih. Mereka tidak membalas keburukan dengan keburukan. Bahkan, ketika difitnah, mereka tetap bersabar dan menyerahkan urusan kepada Allah.
Ibnul ‘Arabi sendiri hidup di masa penuh fitnah dan perpecahan politik. Namun, beliau tetap berpegang teguh pada ilmu dan kebenaran. Kalimat beliau menjadi pengingat sepanjang zaman bahwa kedengkian adalah akar segala keburukan sosial.
Penutup
Ucapan Al-Qadhi Abu Bakr Ibnul ‘Arabi rahimahullah adalah nasihat yang seharusnya kita renungkan setiap hari.
Bahwa hasad dan permusuhan hanya akan menjerumuskan manusia pada kebohongan, fitnah, dan dosa besar.
Jika kita tidak menemukan aib pada orang lain, maka itu tanda bahwa Allah telah menutup aibnya — dan kita wajib menghormati hal itu.
Membuka, apalagi mengada-adakan aib, berarti melawan kehendak Allah yang Maha Menutupi (As-Sattar).
Semoga Allah menjaga hati kita dari kedengkian, menjauhkan lisan kita dari fitnah, dan menjadikan kita termasuk orang-orang yang selalu bersyukur atas nikmat-Nya dan bahagia melihat kebahagiaan orang lain.