Kajian Umdatul Ahkam
Hadist ke-15
Dari Abdullah bin Umar bin Khattab radhiyallahu anhu berkata :
رَقَيْتُ يَوْمًا عَلَى بَيْتِ حَفْصَةَ، فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَقْضِي حَاجَتَهُ مُسْتَقْبِلَ الشَّامَ، مُسْتَدْبِرَ الْقِبْلَةِ
وفي رواية: مستقبلا بيت المقدس
“Suatu hari aku memanjat rumah Hafshah. Maka aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam duduk untuk buang hajat dalam keadaan menghadap Syam dan membelakangi Kiblat(Kakbah).”
Dalam riwayat lain, “Beliau menghadap ke baitulmaqdis.”
[HR. Bukhori 145 dan Muslim 266]
Faidah :
1. Menghadap kiblat dan membelakanginya disaat buang hajat disini para ulama berbeda pendapat dari sisi hukumnya.
→Pendapat HUKUMNYA HARAM SECARA MUTLAK, baik buang hajatnya didalam WC maupun di padang pasir atau yang semisalnya. (Ini pendapat Abu Ayyub, Mujahid, An Nakha’i, Ats Tsauri, dan pendapat ini didukung dan dipilih oleh Ibnu Hazm, Syaikhul Islam, Ibnul Qayyim dan Syaikh Al Albani rahimahumullah).
Dalilnya hadits Abu Hurairah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
« إِذَا جَلَسَ أَحَدُكُمْ عَلَى حَاجَتِهِ فَلَا يَسْتَقْبِلْ الْقِبْلَةَ وَلَا يَسْتَدْبِرْهَا».
“Jika salah seorang dari kalian duduk untuk memenuhi hajatnya, maka janganlah dia menghadap kiblat dan jangan pula membelakanginya.” (HR. Muslim)
Bahwa hadits ini menunjukan secara mutlak larangan menghadap kiblat dan membelakanginya disaat buang hajat.
→Pendapat tentang HUKUMNYA BOLEH SECARA MUTLAK, baik buang hajatnya didalam WC maupun di padang pasir atau yang semisalnya. (Ini pendapat Urwah bin Zubair, Rabi’ah dan Dawud Azh Zhahiri rahimahumullah).
Dalilnya Hadits Ibnu Umar diatas dan Hadits Jabir bin abdillah
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ بِبَوْلٍ، فَرَأَيْتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْبَضَ بِعَامٍ يَسْتَقْبِلُهَا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang kami buang air kecil menghadap kiblat. Namun saya melihat beliau setahun sebelum wafat, beliau kencing menghadap kiblat.” (HR. Ahmad)
Hadits ini menghapus hukum larangan menghadap kiblat atau membelakanginya disaat buang hajat.
→Pendapat bahwa HUKUMNYA HARAM APABILA DI TEMPAT TERBUKA seperti padang pasir atau yang semisalnya. Namun apabila didalam WC atau tempat tertutup maka tidak mengapa. (Ini pendapat Imam Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, Ishaq dan yang lainnya). Dan dinisbahkan oleh Ibnu Hajar bahwa ini adalah pendapat jumhur ulama. Pendapat ini didukung dan dipilih oleh Al Bukhari, Ibnul Mundzir, Ibnu Abdil Bar, Al Khathaabi dan Syaikh Muqbil rahimahumullah.
Dalil hadits Ibnu Umar ini menunjukan bolehnya menghadap kiblat atau membelakanginya disaat buang hajat jika di WC atau tempat tertutup. Adapun ditempat terbuka seperti padang pasir atau yang semisalnya maka tidak boleh.
→Pendapat HUKUMNYA MAKRUH, baik buang hajatnya didalam WC maupun di padang pasir atau yang semisalnya. Ini pendapat (An Nakha’i, Ahmad dan Abu Hanifah) dalam salah satu riwayat mereka dan juga Abu Tsaur. Pendapat ini dipilih oleh Syaikh Abdurrahman Al ‘Adeni hafizhahullah.
Dalilnya adalah menggabungkan semua hadits-hadits yang berkenaan dengan masalah ini. Mereka berkata:
”Apabila terdapat dalil-dalil yang kelihatannya saling bertentangan dalam satu masalah dalam keadaan semua dalil tersebut adalah shahih; sebagian hadits menunjukan keharaman dan sebagian yang lainnya menunjukan kehalalan atau boleh, maka selama memungkinkan dalil-dalil tersebut dijamak (digabungkan) hukumnya, maka langkah ini lebih diutamakan untuk ditempuh daripada menempuh langkah nasikh dan mansukh (penghapusan hukum) salah satu dalil yang ada. Dengan langkah ini, maka kita nyatakan bahwa larangan tersebut kita bawa kepada hukum makruh, bukan haram, karena perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan hal tersebut menunjukan bahwa hal tersebut tidaklah haram untuk dilakukan, melainkan makruh saja.”
→Kesimpulan dari empat pendapat diatas tentang hukum buang hajat menghadap kiblat atau membelakanginya, maka pendapat terkuat adalah pendapat yang mengatakan bahwa hukum dalam masalah ini adalah MAKRUH. Karena hukum asal suatu larangan adalah haram, namun hadits dari Ibnu Umar dan juga hadits Jabir diatas, memalingkan hukum dari haram menjadi makruh. Karena perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam dua hadits ini memberikan faedah bahwa hal itu tidak dilarang.
2. Hukum buang hajat dengan menghadap Baitul Maqdis atau membelakanginya boleh, tidak ada kemakruhan padanya. Ini adalah pendapat jumhur ulama. Adapun hadits Ma’qil bin Abi Ma’qil As Asady, ia berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَتَيْنِ بِبَوْلٍ أَوْ غَائِط
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kita menghadap dua kiblat (Makkah dan Baitul Maqdis) pada saat buang air besar atau buang air kecil.” (HR. Abu Dawud)
Hadits ini didha’ifkan Syaikh Al Albani karena pada sanadnya terdapat perawi bernama Abu Zaid, dia perawi yang mungkar.
Wallahu a’lam.
Materi Kajian | Umdatul Ahkam |
Pemateri | Ustadz Abu Hanan Abdullah Amir Maretan |
Tempat | Masjid Besar Kaum Ujung Berung Bandung |
Waktu | 24 Agustus 2019 |
Penyelenggara | FKII / Yayasan Daar Al Atsar Indonesia |
Raih pahala amal jariyah dengan cara membagikan (share) konten ini kepada yang lainnya. Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه
"Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)