{64} At-Taghabun / التغابن | الْقُرْآنُ الْكَرِيْمُ | التحريم / At-Tahrim {66} |
Tafsir Al-Qur’an Surat At-Thalaq الطلاق (Talak) lengkap dengan tulisan arab latin, arti dan terjemah Bahasa Indonesia. Surah ke 65 Tafsir ayat Ke 6.
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ ۚ وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ ۖ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ ۖ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَىٰ ﴿٦﴾
askinụhunna min ḥaiṡu sakantum miw wujdikum wa lā tuḍārrụhunna lituḍayyiqụ ‘alaihinn, wa ing kunna ulāti ḥamlin fa anfiqụ ‘alaihinna ḥattā yaḍa’na ḥamlahunn, fa in arḍa’na lakum fa ātụhunna ujụrahunn, wa`tamirụ bainakum bima’rụf, wa in ta’āsartum fa saturḍi’u lahū ukhrā
QS. At-Thalaq [65] : 6
Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu maka berikanlah imbalannya kepada mereka; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.
Berikanlah wanita-wanita yang kalian cerai itu kesempatan bertempat tinggal selama masa idah mereka, sebagaimana Kami memberikan kalian kesempatan bertempat tinggal, sesuai kemampuan dan keadaan kalian. Janganlah kalian menyusahkan mereka dengan mempersulit mereka dalam hal tempat tinggal. Jika wanita yang kalian cerai itu dalam keadaan hamil, berikanlah nafkah kepada mereka sampai mereka melahirkan.Jika mereka menyusukan anak-anak kalian dengan mengambil upah, berikanlah upahnya kepada mereka. Berikanlah perintah satu sama lain dengan cara yang baik, toleransi, dan kelapangan hati. Jika kalian tidak sepakat atas susuan ibunya, maka kalian diperbolehkan mencari perempuan lain untuk menyusukan anak itu.
Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berfirman, memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya apabila seseorang dari mereka menceraikan istrinya, hendaklah ia memberinya tempat tinggal di dalam rumah hingga idahnya habis. Untuk itu disebutkan oleh firman-Nya:
Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal. (Ath-Thalaq: 6)
Yakni di tempat kamu berada.
menurut kemampuanmu. (Ath-Thalaq: 6)
Ibnu Abbas, Mujahid, serta ulama lainnya mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah menurut kemampuanmu. Hingga Qatadah mengatakan sehubungan dengan masalah ini, bahwa jika engkau tidak menemukan tempat lain untuknya selain di sebelah rumahmu, maka tempatkanlah ia padanya.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. (Ath-Thalaq: 6)
Muqatil ibnu Hayyan mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah misalnya pihak suami membuatnya merasa tidak betah agar si istri memberi imbalan kepada suaminya untuk mengubah suasana, atau agar si istri keluar dari rumahnya dengan suka rela.
As-Sauri telah meriwayatkan dari Mansur, dari Abud Duha sehubungan dengan makna firman-Nya: dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka. (Ath-Thalaq: 6) Misalnya si suami menceraikan istrinya; dan apabila idahnya tinggal dua hari, lalu ia merujukinya.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Dan jika mereka (istri-istri yang sudah di talak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin. (Ath-Thalaq:6)
Kebanyakan ulama—antara lain Ibnu Abbas dan sejumlah ulama Salaf serta beberapa golongan ulama Khalaf— mengatakan bahwa ayat ini berkenaan dengan wanita yang ditalak tiga dalam keadaan hamil, maka ia tetap diberi nafkah hingga melahirkan kandungannya. Mereka mengatakan bahwa dalilnya ialah bahwa wanita yang ditalak raj’i wajib diberi nafkah, baik dalam keadaan hamil atau pun tidak hamil. Ulama lainnya mengatakan bahwa konteks ayat ini seluruhnya berkaitan dengan masalah wanita-wanita yang ditalak raj’i. Dan sesungguhnya disebutkan dalam nas ayat kewajiban memberi nafkah kepada wanita yang hamil, sekalipun status talaknya ra ‘i tiada lain karena masa kandungan itu cukup lama menurut kebiasaannya. Untuk itu maka diperlukan adanya nas lain yang menyatakan wajib memberi nafkah sampai wanita yang bersangkutan bersalin. Dimaksudkan agar tidak timbul dugaan bahwa sesungguhnya kewajiban memberi nafkah itu hanyalah sampai batas masa idah.
Kemudian para ulama berbeda pendapat sehubungan dengan masalah apakah kewajiban nafkah kepada istri berkaitan dengan kandungannya ataukah untuk kandungannya semata? Ada dua pendapat yang keduanya di-nas-kan dari Imam Syafii dan lain-lainnya. Kemudian dari masalah ini berkembang berbagai masalah cabang yang disebutkan di dalam kitab-kitab fiqih.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu. (Ath-Thalaq: 6)
Yakni apabila mereka telah bersalin, sedangkan mereka telah diceraikan dengan talak tiga, maka mereka telah terpisah selamanya dari suaminya begitu idah mereka habis (yaitu melahirkan kandungannya). Dan bagi wanita yang bersangkutan diperbolehkan menyusui anaknya atau menolak untuk menyusuinya, tetapi sesudah ia memberi air susu pertamanya kepada bayinya yang merupakan kebutuhan si bayi. Dan jika ia mau menyusui bayinya, maka ia berhak untuk mendapatkan upah yang sepadan, dan ia berhak mengadakan transaksi dengan ayah si bayi atau walinya sesuai dengan apa yang disepakati oleh kedua belah pihak mengenai jumlah upahnya. Karena itulah maka disebutkan oleh firman-Nya: kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mw untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya. (Ath-Thalaq: 6)
Adapun firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu), dengan baik. (Ath-Thalaq: 6)
Yaitu hendaklah semua urusan yang ada di antara kalian dimusyawarahkan dengan baik dan bertujuan baik, tidak merugikan diri sendiri dan tidak pula merugikan pihak lain. Sebagaimana yang disebutkan di dalam surat Al-Baqarah melalui firman-Nya:
Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya. (Al-Baqarah: 233)
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. (Ath-Thalaq: 6)
Yakni apabila pihak lelaki dan pihak wanita berselisih, misalnya pihak wanita menuntut upah yang banyak dari jasa penyusuannya, sedangkan pihak laki-laki tidak menyetujuinya, atau pihak laki-laki memberinya upah yang minim dan pihak perempuan tidak menyetujuinya, maka perempuan lain boleh menyusukan anaknya itu. Tetapi seandainya pihak si ibu bayi rela dengan upah yang sama seperti yang diberikan kepada perempuan lain, maka yang paling berhak menyusui bayi itu adalah ibunya.
Tafsir Ayat:
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa Allah جَلَّ جَلالُهُ melarang mengusir wanita-wanita yang dicerai dari rumah. Dalam ayat ini terdapat perintah untuk menempatkan mereka di tempat-tempat tinggal (yang layak) dengan cara yang baik, yaitu tempat yang mirip dengan rumah yang pernah ditinggali sesuai dengan ukuran kondisi suami. وَلا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ “Dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka,” maksudnya, jangan menyakiti mereka, baik dengan perkataan maupun perbuatan ketika kalian menempatkan mereka di rumah yang membuat mereka jemu sehingga mereka keluar dari rumah sebelum masa iddah selesai, karena dengan demikian, kalian sama saja dengan mengusir mereka.
Kesimpulannya, tidak boleh mengeluarkan (mengusir) mereka dan mereka juga dilarang keluar meninggalkan rumah. Allah جَلَّ جَلالُهُ juga memerintahkan para suami yang menceraikan istrinya agar menempatkan mereka di rumah dengan cara yang baik dan tidak menimbulkan dampak mudarat maupun memberatkan. Masalah ini sepenuhnya dikembalikan pada kebiasaan (suatu masyarakat).
وَإِنْ كُنَّ أُولاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ “Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka itu nafkahnya hingga mereka bersalin.” Hal itu dikarenakan janin yang ada di dalam kandungannya, jika yang bersangkutan dicerai ba`in. Dan nafkah berlaku untuknya dan untuk janinnya jika yang bersangkutan dicerai raj’i. Batas memberikan nafkah adalah sampai melahirkan.
Jika wanita-wanita yang dicerai telah melahirkan, maka apakah harus menyusui atau tidak, فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ “kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya,” dengan menyebutkan bilangan nafkah untuk mereka jika memang disebutkan, dan jika tidak disebutkan, maka disesuaikan dengan upah umum yang berlaku.
وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ “Dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu), dengan baik,” maksudnya, hendaklah masing-masing dari pasangan suami-istri dan lainnya menyuruh dengan cara yang baik, yaitu semua hal yang terdapat maslahat dan manfaatnya di dunia dan di akhirat. Karena melalaikan hal ini (yaitu memerintah dengan cara yang baik) berdampak bahaya yang hanya diketahui oleh Allah جَلَّ جَلالُهُ. Di samping itu, dalam hal memerintah dengan cara yang baik juga terkandung prinsip saling membantu dalam kebaikan dan takwa. Sehubungan dengan hal ini, pasangan suami istri yang berpisah pada masa iddah khususnya bagi yang sudah mempunyai anak pada umumnya disertai pertengkaran tentang nafkah untuk pihak istri yang dicerai dan juga nafkah untuk anaknya di samping perceraian yang umumnya terjadi dengan disertai kebencian. Pertengkaran akan amat dipengaruhi oleh sikap benci masing-masing pihak.
Oleh karena itu, masing-masing dari suami maupun istri diperintahkan untuk saling bergaul dengan cara yang baik serta menjauhi pertentangan dan perpecahan, Allah جَلَّ جَلالُهُ memberi nasihat demikian. وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ “Dan jika kamu menemui kesulitan,” karena kedua suami-istri tidak sepakat untuk menyusukan anak, فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى “maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya,” yakni selain istrinya yang dicerai.
فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu bila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.” (QS. Al-Baqarah: 233).
Hal ini berlaku jika si anak mau disusui oleh wanita lain. Dan jika si anak hanya mau disusui oleh ibunya, maka ia mau tidak mau harus menyusuinya. Ia wajib menyusuinya dan boleh dipaksa jika enggan dan berhak mendapatkan upah umumnya jika kedua belah pihak (suami istri) tidak sepakat menentukan upah penyusuannya. Ketetapan ini bersumber dari ayat ini secara kontekstual (makna). Seorang anak ketika masih berada di dalam perut ibunya selama masa hamil tidak bisa keluar dari perut. Pada masa ini Allah جَلَّ جَلالُهُ menentukan nafkahnya wajib ditanggung oleh ayah si anak. Ketika lahir dan bisa mendapatkan makanan dari ibunya (melalui air susunya) atau dari wanita lain, Allah جَلَّ جَلالُهُ memberikan dua alternatif; jika si anak hanya mau menyusu dari air susu ibunya, maka ketentuannya seperti yang berlaku ketika masih hamil dan ibunya wajib menyusui agar bayinya kuat.
Pada ayat ini diperintahkan kepada para suami untuk menyiapkan tempat tinggal bagi istri mereka. Allah berfirman, ‘tempatkanlah mereka, para istri, di mana kamu bertempat tinggal, yakni di tempat tinggal kamu yang layak menurut kemampuan kamu; dan janganlah kamu menyusahkan mereka, para istri untuk menyempitkan hati dan perasaan mereka. Dan jika mereka, istri-istri yang sudah ditalak itu sedang hamil, maka, wahai para suami, berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan, karena itu merupakan bukti tanggung jawab kamu terhadap perempuan yang akan melahirkan keturunan kamu; kemudian jika mereka menyusukan anak-anak kamu, maka berikanlah imbalannya kepada mereka yang pantas; dan musyawarahkanlah di antara kamu tentang segala sesuatu berkenaan dengan nafkah dan imbalan menyusui anakmu dengan baik; dan jika kamu berdua saling menemukan kesulitan untuk memberikan asi kepada anakmu karena sesuatu dan lain hal, maka perempuan lain yang sehat boleh menyusukan anak itu untuk kelangsungan hidup-Nya dengan imbalan yang layak dan sadarilah bahwa anakmu akan menjadi anak persusuan perempuan itu. 7. Hendaklah orang yang mempunyai keluasan, yaitu suami yang berkecukupan, memberi nafkah kepada istri yang ditalaknya selama masa idah dan memberikan imbalan kepadanya karena telah menyusui anaknya, dari kemampuannya yang telah diberikan Allah kepadanya. Dan adapun orang yang terbatas rezekinya, yakni suami yang tidak sanggup, hendaklah memberi nafkah kepada istri yang ditalaknya selama masa idah dari harta yang diberikan Allah kepadanya sesuai dengan kesanggupannya. Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan apa yang diberikan Allah kepadanya, rezeki dan kemampuan; Allah akan memberikan kemudahan kepada seseorang setelah ia menunjukkan kegigihan dalam menghadapi kesulitan.
At-Thalaq Ayat 6 Arab-Latin, Terjemah Arti At-Thalaq Ayat 6, Makna At-Thalaq Ayat 6, Terjemahan Tafsir At-Thalaq Ayat 6, At-Thalaq Ayat 6 Bahasa Indonesia, Isi Kandungan At-Thalaq Ayat 6
Tafsir Surat At-Thalaq Ayat: 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12
Raih pahala amal jariyah dengan cara membagikan (share) konten ini kepada yang lainnya. Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه
"Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)