{65} At-Thalaq / الطلاق | الْقُرْآنُ الْكَرِيْمُ | الملك / Al-Mulk {67} |
Tafsir Al-Qur’an Surat At-Tahrim التحريم (Mengharamkan) lengkap dengan tulisan arab latin, arti dan terjemah Bahasa Indonesia. Surah ke 66 Tafsir ayat Ke 2.
قَدْ فَرَضَ اللَّهُ لَكُمْ تَحِلَّةَ أَيْمَانِكُمْ ۚ وَاللَّهُ مَوْلَاكُمْ ۖ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ ﴿٢﴾
qad faraḍallāhu lakum taḥillata aimānikum, wallāhu maulākum, wa huwal-‘alīmul-ḥakīm
QS. At-Tahrim [66] : 2
Sungguh, Allah telah mewajibkan kepadamu membebaskan diri dari sumpahmu; dan Allah adalah pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui, Mahabijaksana.
Wahai orang-orang beriman, sungguh Allah telah mensyariatkan kepada kalian untuk membebaskan diri dari sumpah dengan melakukan kafarat, yaitu memberi makan sepuluh orang miskin atau memberi mereka pakaian atau membebaskan hamba sahaya. Barang siapa tidak mendapati itu semua, hendaklah ia saum selama tiga bulan berturut-turut. Ketahuilah, sesungguhnya Allah adalah penolong dan pelindung semua urusan kalian.
Al-Haisam ibnu Kulaib mengatakan di dalam kitab musnadnya, bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Qilabah alias Abdul Malik ibnu Muhammad Ar-Raqqasyi, telah menceritakan kepada kami Muslim ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Jarir ibnu Hazim, dari Ayyub, dari Nafi’, dari Ibnu Umar, dari Umar yang menceritakan bahwa Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda kepada Hafsah: Janganlah engkau ceritakan kepada siapa pun, dan sesungguhnya ibu Ibrahim haram atas diriku. Hafsah bertanya, “Apakah engkau mengharamkan apa yang dihalalkan Allah bagimu?” Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda, “Demi Allah, aku tidak akan mendekatinya lagi.” Dan Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak mendekatinya lagi sampai Hafsah menceritakan peristiwa itu kepada Aisyah. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu. (At-Tahrim: 2)
Sanad hadis ini sahih, tetapi tiada seorang pun dari Sittah yang mengetengahkannya. Hadis ini dipilih oleh Al-Hafiz Ad-Diya Al-Maqdisi di dalam kitabnya yang berjudul Al-Mustakhraj.
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepadaku Ya’qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Aliyyah, telah menceritakan kepada kami Hisyam Ad-Dustuwa-i yang mengatakan bahwa Yahya menulis surat kepadanya menceritakan hadis yang ia terima dari Ya’la ibnu Hakim, dari Sa’id ibnu Jubair, bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan sehubungan dengan ucapan pengharaman terhadap seorang istri, bahwa itu merupakan sumpah yang dapat dihapus dengan membayar kifaratnya. Dan Ibnu Abbas membaca firman-Nya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu. (Al-Ahzab: 21) Yakni Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah mengharamkan budak perempuannya atas dirinya. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu? (At-Tahrim: 1) sampai dengan firman-Nya: Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu. (At-Tahrim: 2) Maka beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ membayar kifarat sumpahnya, dan menjadikan kata pengharamannya itu sebagai sumpah yang telah dia hapuskan dengan membayar kifaratnya.
Imam Bukhari meriwayatkannya dari Mu’az ibnu Fudalah, dari Hisyam Ad-Dustuwa-i, dari Yahya ibnu Abu Kasir, dari Abu Hakim alias Ya’la dari Sa’id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa dalam kasus pengharaman yang halal ada kifaratnya karena dianggap sebagai sumpah. Dan Ibnu Abbas membaca firman-Nya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu. (Al-Ahzab: 21)
Demikianlah menurut riwayat Imam Muslim dari hadis Hisyam Ad-Dustuwa-i dengan sanad yang sama.
Imam Nasai mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Abdus Samad ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Makhlad (yakni Ibnu Yazid), telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Salim, dari Sa’id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa ia pernah kedatangan seorang lelaki, lalu lelaki itu bertanya, “Sesungguhnya aku telah mengharamkan istriku atas diriku.” Ibnu Abbas menjawab, “Engkau dusta, dia tidak haram atas dirimu.” Kemudian Ibnu Abbas membaca firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى: Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu? (At-Tahrim: 1) Kamu harus membayar kifarat yang terberat, yaitu memerdekakan budak. Imam Nasai meriwayatkannya melalui jalur ini dengan lafaz yang sama.
Imam Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Zakaria, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Raja, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Muslim, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu? (At-Tahrim: 1) Bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah mengharamkan budak perempuannya atas dirinya. Berangkat dari pengertian ini maka ada sebagian ulama fiqih yang mengatakan bahwa diwajibkan membayar kifarat bagi seseorang yang mengharamkan budak perempuannya, atau istrinya, atau suatu makanan atau suatu minuman atau suatu pakaian atau sesuatu yang lain yang diperbolehkan. Ini menurut mazhab Imam Ahmad dan segolongan ulama.
Imam Syafii berpendapat bahwa tidak wajib baginya membayar kifarat apa pun kecuali dalam kasus pengharaman terhadap istri atau budak perempuan, jika yang bersangkutan mengharamkan diri keduanya dengan jelas, atau memutlakkan pengharamannya terhadap keduanya, menurut suatu pendapat di kalangan mazhabnya. Adapun jika seorang lelaki dalam pengharamannya itu berniat menceraikan istrinya atau memerdekakan budak perempuannya, maka berlakukan hal itu terhadap keduanya.
Pendapat yang benar menyatakan bahwa hal ini terjadi berkenaan dengan pengharaman Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ terhadap madu (putih), sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam tafsir ayat ini.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Musa, telah menceritakan kepadaku Hisyam ibnu Yusuf, dari Ibnu Juraij, dari Ata, dari Ubaid ibnu Umair, dari Aisyah yang mengatakan bahwa dahulu Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ suka minum madu (putih) di rumah Zainab binti Jahsy, lalu tinggal bersamanya di rumahnya. Maka aku (Aisyah) dan Hafsah sepakat untuk melakukan suatu tindakan, bahwa kepada siapa pun di antara kami berdua beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ masuk, maka hendaklah ia mengatakan kepadanya, “Engkau telah makan magafir (madu putih yang rasanya enak, tetapi baunya tidak enak), karena sesungguhnya aku mencium bau magafir darimu.” Maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda:
Tidak, tetapi aku baru saja meminum madu biasa di rumah Zainab binti Jahsy, maka aku tidak akan meminumnya lagi; dan sesungguhnya aku telah bersumpah untuk itu, maka janganlah engkau ceritakan hal ini kepada siapa pun. Maka Allah menurunkan firman-Nya: kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu. (At-Tahrim: 1)
Demikianlah menurut riwayat Imam Bukhari dalam tafsir ayat ini dengan lafaz sebagaimana yang tersebut di atas.
Dan di dalam Kitabul Aiman dan Nuzur Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Al-Hajjaj, dari Ibnu Juraij yang mengatakan bahwa Ata mengira dirinya pernah mendengar Ubaid ibnu Umair mengatakan bahwa ia pernah mendengar Siti Aisyah bercerita bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dahulu suka tinggal di tempat Zainab binti Jahsy dan minum madu di rumahnya. Maka Aku (Aisyah dan Hafsah) mengadakan kesepakatan bahwa kepada siapa pun di antara kami berdua Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menggilirnya, hendaklah ia mengatakan kepadanya, “Sesungguhnya aku mencium darimu bau magafir, engkau pasti telah makan magafir.’ Lalu Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menggilir salah seorang dari keduanya, maka istri yang digilirnya mengatakan kepadanya hal tersebut, lalu Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berkata kepadanya: Tidak, bahkan aku hanya minum madu di rumah Zainab binti Jahsy, dan aku tidak akan meminumnya lagi. Maka turunlah firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى: Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu? (At-Tahrim: 1) sampai dengan firman-Nya: Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan) (At-Tahrim: 4) Kamu berdua ini ditujukan kepada Aisyah dan Hafsah. Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari istri-istrinya (Hafsah) suatu peristiwa (At-Tahnm: 3) ‘ Ini karena ada sabda Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang mengatakan: Tidak, aku telah minum madu.
Ibrahim ibnu Musa, dari Hisyam, mengatakan bahwa sabda Nabi Saw tersebut ialah: Dan aku tidak akan mengulanginya lagi; sesungguhnya aku telah bersumpah (untuk tidak mengulanginya lagi), maka janganlah engkau ceritakan kepada siapa pun.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari di dalam Kitabut Talaq dengan sanad yang sama dan lafaz yang mirip dengan hadis di atas.
Kemudian Imam Bukhari mengatakan bahwa magafir mirip dengan getah yang terdapat pada batang kayu, getah ini rasanya manis. Bila dikatakan agfarar ramsu artinya batang kayu itu mengeluarkan getahnya. Bentuk tunggalnya ialah magfur, ada juga yang mengatakan magafir. Hal yang sama telah dikatakan oleh Al-Jauhari, bahwa adakalanya getah yang dimaksud berasal dari pohon aysr, sammam, salam, dan talh. Al-Jauhari mengatakan bahwa ar-rimsi adalah sejenis semak yang sering dimakan oleh ternak unta. Al-Jauhari mengatakan bahwa ‘urfut adalah nama sebuah pohon dari jenis pohon ‘udah yang biasa mengeluarkan getah putih yang disebut magfur.
Imam Muslim telah meriwayatkan hadis ini di dalam kitab Talaq, bagian dari kitab sahihnya, dari Muhammad ibnu Hatim, dari Hajjaj ibnu Muhammad, dari Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Ata, dari Ubaid ibnu Umair, dari Aisyah dengan sanad yang sama, sedangkan lafaznya sama dengan apa yang diketengahkan oleh Imam Bukhari di dalam Kitabul Aiman wan Nuzur.
Kemudian Imam Bukhari mengatakan di dalam Kitabut Talaq-nya, bahwa telah menceritakan kepada kami Farwah ibnu Abul Migra, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Misar, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Aisyah yang mengatakan bahwa dahulu Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyukai manisan dan madu. Tersebutlah pula bahwa apabila beliau selesai dari salat Asarnya selalu mampir di rumah istri-istri beliau, lalu mendekati salah seorang dari mereka. Dan beliau masuk ke dalam rumah Siti Hafsah binti Umar, lalu tinggal di dalam rumahnya dalam waktu yang lebih lama dari istri-istri lainnya. Hal ini menimbulkan kecemburuan pada istri beliau yang lainnya. Kemudian Aisyah r.a. menanyakan hal tersebut, maka dijawab bahwa Hafsah menerima hadiah dari kaumnya berupa semangkuk madu, maka Hafsah memberikan sebagian darinya sebagai sajian minuman. Aku (Aisyah) berkata, “Ingatlah, demi Allah, kami benar-benar akan membuat tipu daya terhadapnya (Nabi).” Kemudian kukatakan kepada Saudah binti Zam’ah, “Sesungguhnya Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ akan mendekatimu. Dan bila beliau mendekatimu, katakanlah kepadanya bahwa engkau telah minum magafir. Maka pasti beliau akan menjawabmu, ‘Tidak.’ Bila demikian, maka katakanlah kepada beliau, ‘Lalu bau apakah ini?’ Dan beliau pasti akan mengatakan kepadamu, ‘Hafsah telah memberiku minuman madu.’ Maka jawablah olehmu, ‘Rupanya lebahnya telah mengisap getah kayu ‘urfut,’ dan aku pun akan mengatakan hal yang sama kepada beliau. Dan engkau juga, hai Safiyyah, katakanlah kepada beliau kalimat yang sama.” *
Siti Aisyah melanjutkan kisahnya, Saudah mengatakan bahwa demi Allah tidak lama kemudian Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ muncul di depan pintu rumahnya, maka dengan serta merta aku hendak mengatakan apa yang diajarkan olehku kepadanya karena dia merasa takut kepadaku. Dan ketika Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mendekatinya, Saudah langsung bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah engkau telah makan magafir?” Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjawab, “Tidak.” Saudah bertanya lagi, “Lalu bau apakah ini yang aku cium darimu?” Maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berterus terang kepadanya, “Hafsah telah memberiku minuman madu.” Saudah berkata, “Kalau begitu, berarti lebahnya telah mengisap sari getah pohon ‘urfut (yang menghasilkan magafir)!”
Ketika Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ datang kepada giliranku, maka kukatakan kepadanya hal yang sama. Dan ketika sampai di rumah Safiyyah, maka Safiyyah pun mengatakan hal yang sama.
Kemudian di lain hari ketika Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mendatangi Hafsah, Hafsah menawarkan kepadanya, “Maukah engkau kusuguhkan minuman madu?” Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjawab, “Aku tidak memerlukannya lagi.” Lalu Saudah berkata, “Demi Allah, beliau pasti telah mengharamkannya atas dirinya.” Maka aku katakan kepadanya, “Diamlah kamu!” Demikianlah menurut lafaz Imam Bukhari.
Imam Muslim telah meriwayatkannya dari Suwaid ibnu Sa’id, dari Ali ibnu Mis-har dengan sanad yang sama, juga dari Abu Kuraib, Harun ibnu Abdullah, dan Al-Hasan ibnu Bisyr; ketiganya dari Abu Usamah Hammad ibnu Usamah, dari Hisyam ibnu Urwah dengan sanad yang sama.
Dan dalam riwayat Imam Muslim disebutkan bahwa Siti Aisyah r.a. mengatakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ adalah seorang yang merasa sangat tidak enak (tidak suka) bila dari dirinya tercium bau yang tidak enak. Yang dimaksud dengan bau yang tidak enak ialah bau yang busuk. Karena itulah mereka mengatakan, “Engkau telah makan magafir” mengingat bau magafir tidak enak. Dan ketika Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjawab, “Tidak, aku hanya minum madu.” Mereka (istri-istri beliau) menjawab, “Barangkali lebahnya mengisap getah pohon ‘urfut,” yang getahnya menghasilkan magafir. Karena itulah maka baunya terasa di madu yang diminumnya.
Al-Jauhari mengatakan bahwa jarasatin nahlu al-‘urfuta artinya lebah itu mengisap sari getah ‘urfut. Karena itulah maka lebah disebut pula dengan istilah jawaris. Seorang penyair mengatakan:
Lebah-lebah itu mengerumuni salah satu dari pohon-pohon yang berbuah.
Dikatakan sami’tu jarasat tairi artinya aku telah mendengar suara patukannya pada sesuatu yang dimakannya. Di dalam sebuah hadis disebutkan:
Maka mereka mendengar suara patukan burung surga.
Al-Asmu’i mengatakan bahwa ia berada di majelis pengajian Syu’bah, lalu ia mengatakan, “Maka mereka mendengar suara patukan burung surga,” kata al-jaras diungkapkannya dengan jarasy memakai syin. Maka aku mengatakan jaras, lalu ia menoleh ke arahku dan berkata, “Turutilah apa katanya, karena sesungguhnya dia lebih mengetahui hal ini daripada aku.”
Tujuan mengungkapkan riwayat ini untuk menjelaskan bahwa berdasarkan riwayat ini istri yang memberi Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ madu adalah Hafsah.
Hal ini diriwayatkan melalui jalur Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari bibinya (yaitu Siti Aisyah).
Tetapi menurut hadis yang diriwayatkan melalui jalur Ibnu Juraij, dari Ata, dari Ubaid ibnu Umair, dari Aisyah, disebutkan bahwa istri yang memberi minum madu itu adalah Siti Zainab binti Jahsy. Dan sesungguhnya sesudah itu Aisyah dan Hafsah mengadakan kesepakatan untuk memprotes Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ atas perlakuannya itu; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Adakalanya dikatakan bahwa kedua peristiwa ini terjadi, dan tidak mustahil pula bila memang benar terjadi. Tetapi bila dikatakan bahwa keduanya merupakan peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat ini, masalahnya masih perlu diteliti lagi; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Di antara dalil yang menunjukkan bahwa kedua istri yang melakukan protes itu adalah Aisyah dan Hafsah adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab musnadnya. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepadaku Ma’mar, dari Az-Zuhri, dari Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Abu Saur, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa sudah lama ia ingin menanyakan kepada Umar r.a. tentang dua orang wanita dari kalangan istri-istri Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang disebutkan di dalam firman-Nya: Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan). (At-Tahrim: 4) Hingga ketika Umar mengerjakan haji dan aku ikut haji bersamanya. Di tengah perjalanan Umar menepi, lalu aku pun menepi pula bersamanya dengan membawa wadah air, kemudian Umar membuang air besar. Setelah itu Umar datang kepadaku, maka kutuangkan kepadanya air, dan Umar berwudu dengannya. Lalu kutanyakan kepadanya, “Wahai Amirul Mu’minin, siapakah dua orang wanita dari istri-istri Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang disebutkan di dalam firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى: Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan) (At-Tahrim: 4)?”
Maka Umar berkata, “Pertanyaanmu aneh, hai Ibnu Abbas.” Az-Zuhri memberi komentar, bahwa demi Allah, Umar tidak suka dengan pertanyaan itu, (sebab anaknya sendiri —yaitu Hafsah— terlibat), sedangkan ia tidak boleh menyembunyikannya (bila ada yang bertanya). Akhirnya Umar menjawab, “Aisyah dan Hafsah.”
Kemudian Umar melanjutkan kisahnya dengan panjang lebar, “Dahulu kami orang-orang Quraisy adalah suatu kaum yang tidak memberi kesempatan kepada wanita untuk berperan. Dan ketika kami tiba di Madinah, kami jumpai suatu kaum yang kaum wanita mereka mempunyai peran. Akhirnya kaum wanita kami setelah bergaul dengan kaum wanita mereka belajar dari mereka.”
Umar melanjutkan kisahnya bahwa tempat tinggalnya berada di perkampungan Bani Umayyah ibnu Zaid, yaitu di tempat yang tinggi. Umar melanjutkan bahwa pada suatu hari ia marah terhadap istrinya, tetapi tiba-tiba istrinya itu melawannya sehingga Umar kaget melihat sikapnya yang demikian, ia tidak menyukai sifat tersebut. Istrinya menjawab, “Mengapa engkau merasa kaget bila aku berani melawanmu. Demi Allah, sesungguhnya istri-istri Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sendiri berani melawan beliau, bahkan salah seorang dari mereka berani tidak berbicara dengan beliau hari ini sampai malam harinya.”
Umar melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia pergi dan masuk ke dalam tempat Hafsah (putrinya), lalu bertanya kepadanya, “Apakah engkau telah berani menentang Rasulullah?” Hafsah menjawab, “Ya.” Umar berkata, “Apakah benar ada seseorang dari kalian yang mendiamkan beliau hari ini sampai malam harinya?” Hafsah menjawab, “Ya.” Umar berkata, “Sungguh telah kecewa dan merugilah orangyang berani berbuat demikian dari kalian terhadapnya. Apakah dia dapat menyelamatkan dirinya bila Allah murka terhadap dirinya karena murka Rasulullah? Sudah dapat dipastikan dia akan binasa. Dan kamu janganlah sekali-kali berani memprotes Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan jangan pula kamu meminta sesuatu darinya, tetapi mintalah kamu kepadaku dari hartaku menurut apa yang kamu sukai. Dan jangan sekali-kali kamu teperdaya oleh madumu yang lebih cantik serta lebih dicintai oleh Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ daripada kamu (maksudnya Aisyah).”
Umar melanjutkan kisahnya, “Dahulu aku mempunyai seorang tetangga dari kalangan Ansar, dan kami biasa siiih berganti turun menemui Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Di suatu hari gilirannya dan di hari yang lain giliranku. Maka tetanggaku itu menyampaikan kepadaku tentang berita wahyu dan hal penting lainnya, begitu pula yang kulakukan kepadanya bila tiba giliranku.”
Umar melanjutkan kisahnya, bahwa kami mendapat berita bahwa orang-orang Gassan sedang mempersiapkan pasukan berkuda untuk menyerang kami, berita ini menjadi topik pembicaraan yang hangat di kalangan kami. Kemudian di suatu hari tiba giliran temanku itu untuk turun, kemudian di waktu isya ia datang dan langsung mengetuk pintu rumahku seraya memanggilku. Maka aku keluar menemuinya, dan ia langsung berkata, “Telah terjadi peristiwa yang besar.” Aku bertanya memotongnya, “Apakah pasukan Gassan telah datang?” Lelaki Ansar tetangganya menjawab, “Bukan, tetapi peristiwanya lebih besar dan lebih panjang daripada itu. Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah menceraikan istri-istrinya.”
Umar melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia berkata kepada dirinya sendiri bahwa Hafsah benar-benar telah kecewa dan merugi. Aku telah menduga kuat bahwa peristiwa ini pasti terjadi. Dan setelah ia menyelesaikan salat Subuhnya, lalu ia langsung turun dan menuju ke rumah Hafsah, kemudian masuk menemuinya yang saat itu Hafsah dijumpainya sedang menangis. Umar bertanya, “Apakah Rasulullah telah menceraikanmu?” Hafsah menjawab, “Tidak tahu, tetapi beliau sedang menyendiri di ruangan itu.”
Maka aku (Umar) menemui pelayan beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang berkulit hitam dan kukatakan kepadanya, “Mintakanlah izin kepadanya buat Umar.” Pelayan itu masuk untuk meminta izin, kemudian ia keluar lagi dan menemuiku, lalu berkata, “Aku telah menyebutkan namamu, tetapi beliau hanya diam.” Maka aku pergi hingga sampai di mimbar. Ternyata di dekat mimbar terdapat sekumpulan orang-orang yang sedang duduk, sebagian dari mereka ada yang menangis. Maka aku duduk sebentar di tempat itu, kemudian aku tidak tahan lagi karena penasaranku, maka kudatangi lagi pelayan itu dan kukatakan kepadanya, “Mintakanlah izin masuk buat Umar.” Maka pelayan itu masuk, kemudian keluar lagi dan mengatakan, “Aku telah menyebutkan namamu, tetapi beliau hanya diam saja.”
Maka aku keluar lagi dan menuju ke mimbar, kemudian rasa penasaranku kembali mendorongku dengan dorongan yang kuat. Akhirnya kudatangi lagi pelayan itu dan kukatakan kepadanya, “Mintakanlah izin masuk buat Umar.” Pelayan itu masuk, kemudian kembali lagi kepadaku dan mengatakan, “Aku telah sebutkan namamu, tetapi beliau masih diam saja.” Akhirnya aku berpaling untuk pergi, tetapi tidak lama kemudian si pelayan itu memanggilku dan mengatakan, “Masuklah, beliau telah mengizinkanmu untuk menemuinya.”
Aku masuk dan mengucapkan salam penghormatan kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan kujumpai beliau sedang bersandar pada tumpukan pasir yang beralaskan tikar.
Imam Ahmad mengatakan bahwa menurut apa yang diceritakan kepada kami oleh Ya’qub dalam hadis Saleh, tumpukan pasir yang diberi alas tikar, sedangkan anyaman tikar telah membekas pada lambung beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Maka kutanyakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah engkau telah menceraikan istri-istrimu?” Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengangkat kepalanya memandang ke arahku seraya menjawab, “Tidak.” Aku berkata, “Allah Mahabesar. Wahai Rasulullah, sebagaimana yang engkau ketahui bahwa kita ini orang-orang Quraisy adalah suatu kaum yang tidak memberikan peran kepada wanita. Tetapi ketika kita tiba di Madinah, kita menjumpai .suatu kaum yang kaum wanita mereka mempunyai peran di kalangan mereka. Maka kaum wanita kita langsung belajar dari kaum wanita mereka. Dan di suatu hari aku marah terhadap istriku, tetapi tiba-tiba dia berani menjawabku, maka aku tidak suka dengan sikapnya itu. Tetapi ia berkata, “Mengapa engkau tidak suka dengan sikapku ini? Demi Allah, sesungguhnya istri-istri Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sendiri berani menentang beliau dan ada salah seorang dari mereka yang berani mendiamkannya hari ini sampai dengan malam harinya.” Maka kukatakan kepadanya, “Sesungguhnya telah merugi dan kecewalah wanita yang berani berbuat demikian. Apakah seseorang dari kalian dapat menyelamatkan dirinya bila Allah murka karena murka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Dia pasti akan binasa.”
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tersenyum mendengar ceritaku, lalu aku berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah menemui Hafsah dan telah kukatakan kepadanya, ‘Jangan sekali-kali kamu terpengaruh oleh madumu yang lebih cantik dan lebih dicintai oleh Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ daripadamu’.” Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tersenyum lagi. Maka aku berkata kepadanya, “Aku merasa rindu kepada engkau, wahai Rasulullah.” Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjawab, “Ya.”
Maka aku duduk dan kutengadahkan pandanganku ke atas rumah. Demi Allah, aku tidak melihat sesuatu pun di dalam rumah beliau sesuatu yang menarik pandanganku kecuali aku merasa segan dengan kedudukan beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Lalu aku berkata, “Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah semoga Allah memberikan keluasan kepada umatmu. Karena sesungguhnya Dia telah memberi keluagan kepada orang-orang Persia dan orang-orang Romawi, padahal mereka tidak menyembah Allah.”
Maka beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bangkit dan duduk dengan tegak, lalu bersabda:
Hai Ibnul Khattab, apakah engkau berada dalam keraguan ? Mereka adalah suatu kaum yang disegerakan kepada mereka kebaikan-kebaikannya dalam kehidupan dunia ini.
Maka aku berkata, “Mohonkanlah ampunan kepada Allah bagiku, ya Rasulullah.” Tersebutlah bahwa beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah bersumpah tidak akan menggauli istri-istri beliau selama satu bulan, karena kemarahan beliau terhadap mereka, hingga Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menegurnya.
Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Turmuzi, dan Imam Nasai telah meriwayatkan hadis ini melalui berbagai jalur dari Az-Zuhri dengan sanad yang sama. Syaikhain (Bukhari dan Muslim) telah meriwayatkannya melalui hadis Yahya ibnu Sa’id Al-Ansari, dari Sa’id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa ia tinggal selama satu tahun (di Madinah) dengan tujuan akan menanyakan kepada Umar ibnul Khattab tentang makna suatu ayat yang ia tidak mampu menanyakannya secara langsung karena segan kepadanya (Umar).TJingga Umar berangkat untuk menunaikan ibadah haji, dan Ibnu Abbas pun ikut berangkat bersamanya. Ketika kami berada dalam perjalanan pulang ke Madinah, di tengah jalan Umar turun di sebuah pohon Arak untuk menunaikan hajatnya.
Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa lalu aku berdiri menunggunya sampai menyelesaikan hajatnya. Setelah selesai, aku berjalan bersamanya, maka kutanyakan kepadanya, “Wahai Amirul Mu’minin, siapakah dua orang wanita yang membangkang terhadap Nabi?”
Berikut ini menurut lafaz Imam Bukhari dan Imam Muslim, bahwa siapakah kedua wanita yang disebutkan dalam firman-Nya: dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi. (At-Tahrim: 4) Umar menjawab, “Aisyah dan Hafsah,” kemudian disebutkan hingga akhir hadis dengan panjang lebar, dan sebagian dari mereka ada yang meringkasnya.
Imam Muslim mengatakan pula, telah menceritakan kepadaku Zuhair ibnu Harb, telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Yunus Al-Hanafi, telah menceritakan kepada kami Ikrimah ibnu Ammar,’dari Sammak ibnul Walid Abu Zamil, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Abbas, telah menceritakan kepadaku Umar ibnul Khattab yang mengatakanbahwa ketika Nabi Allah memisahkan diri dari istri-istrinya, aku masuk ke dalam masjid, tiba-tiba kulihat orang-orang sedang diam menundukkan pandangan mereka, lalu mereka berkata bahwa Rasulullah telah menceraikan istri-istrinya. Demikian itu terjadi sebelum ada perintah untuk berhijab. Maka aku berkata pada diriku sendiri, “Aku benar-benar akan memberitahukan (masalah hijab itu) kepada beliau hari ini.” Kemudian disebutkan dalam hadis ini kisah masuknya Umar menemui Aisyah dan Hafsah serta nasihat Umar kepada keduanya.
Kemudian dilanjutkan bahwa aku (Umar) masuk dan aku bersua dengan Rabah (pelayan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) sedang berdiri di depan pintu ruangan tamu. Maka aku panggil dia dan kukatakan kepadanya, “Hai Rabah, mintakanlah izin masuk kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ untukku.” Lalu disebutkan kisah seperti yang^erdapat pada hadis sebelumnya. Hingga sampai pada perkataan Umar yang mengatakan, “Wahai Rasulullah, apakah yang memberatkanmu tentang urusan istri-istrimu itu. Jika engkau ceraikan mereka, maka sesungguhnya Allah bersamamu, dan juga para malaikat-Nya, Jibril, Mikail, aku sendiri, Abu Bakar, dan semua orang mukmin bersamamu.” Setiap kalimat yang kukatakan selalu berharap semoga Allah menurunkan wahyu yang membenarkan perkataanku. Pada akhirnya turunlah ayat ini, yaitu ayat Takhyir: Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kamu. (At-Tahrim: 5) Dan firman-Nya: dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula. (At-Tahrim: 4)
Maka kukatakan kepada beliau, “Apakah engkau telah menceraikan mereka?” Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjawab, “Tidak.” Maka aku berdiri di pintu masjid, dan aku serukan dengan sekuat suaraku bahwa Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak menceraikan istri-istrinya. Dan turunlah pula ayat ini, yaitu firman-Nya:
Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). (An-Nisa: 83)
Maka aku adalah orang yang mengulas berita peristiwa tersebut.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Sa’id ibnu Jubair, Ikrimah, Muqatil ibnu Hayyan, Ad-Dahhak, dan lain-lainnya.
Pengharaman yang bersumber dari Nabi Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ itu menjadi sebab disyariatkannya hukum secara umum untuk seluruh umat, kemudian Allah جَلَّ جَلالُهُ berfirman, قَدْ فَرَضَ اللَّهُ لَكُمْ تَحِلَّةَ أَيْمَانِكُمْ “Sungguh Allah telah mewajibkan kamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu,” dan ini berlaku pada sumpah kaum Mukminin secara umum. Maksudnya, Allah جَلَّ جَلالُهُ mensyariatkan dan menentukan ketetapan yang bisa menghapus sumpah kalian sebelum dilanggar serta tebusan yang harus ditunaikan apabila sumpah itu dilanggar. Ini semakna dengan Firman Allah جَلَّ جَلالُهُ,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ . وَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي أَنْتُمْ بِهِ مُؤْمِنُونَ . لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الْأَيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rizkikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepadaNya. Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya adalah puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar).” (QS. Al-Ma`idah: 87-89).
Setiap orang yang mengharamkan sesuatu yang halal, baik berupa makanan, minuman ataupun sahaya wanita maupun bersumpah atas nama Allah جَلَّ جَلالُهُ untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu kemudian dilanggar, maka harus membayar kaffarat seperti tersebut di atas.
Firman Allah جَلَّ جَلالُهُ, وَاللَّهُ مَوْلاكُمْ “Dan Allah adalah Pelindungmu,” yakni yang melindungi segala urusanmu dan mendidikmu dengan baik dalam urusan Agama dan duniamu serta segala sesuatu yang bisa menghindarkanmu dari keburukan. Karena itu Allah جَلَّ جَلالُهُ mewajibkanmu untuk melepaskan dirimu dari sumpah itu agar tanggung jawabmu menjadi bebas. وَهُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ “Dan Dia Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” IlmuNya meliputi lahir dan batinmu. Dia Mahabijaksana terhadap seluruh makhluk dan menguasainya. Karena itu Dia mensyariatkan hukum-hukum yang Dia ketahui sesuai dengan kemaslahatan dan kondisi kalian.
Pada ayat ini Allah memerintahkan kepada nabi untuk membatalkan sumpah beliau mengharamkan minum madu dan berhubungan dengan salah seorang istri beliau, mariyah al-qib’iyyah. ‘sungguh, Allah telah mewajibkan kepada kamu, wahai nabi untuk membebaskan diri dari sumpah kamu untuk tidak akan minum madu dan tidak akan berhubungan dengan istri dengan membayar kafarat; dan Allah adalah pelindungmu, wahai nabi dari segala keadaan yang tidak menyenangkan dan dia maha mengetahui, semua yang dirahasiakan manusia; mahabijaksana dalam menilai perbuatan mereka. ‘3. Dan ingatlah ketika secara rahasia nabi membicarakan suatu peristiwa kepada salah seorang istrinya, yaitu kepada hafsah bahwa beliau bersumpah tidak akan pernah berhubungan suami-istri dengan mariyah al-qib’iyyah setelah berhubungan dengannya di rumah hafsah. Beliau berpesan agar kejadian ini tidak diberitahukan kepada siapa pun. Lalu dia, hafsah, menceritakan peristiwa itu kepada ”’isyah sehingga rahasia nabi diketahui ”’isyah. Dan Allah pun segera memberitahukan peristiwa pembocoran rahasia itu kepadanya, yakni kepada nabi. Lalu beliau memberitahukan kasus pembocoran rahasia itu kepada hafsah sebagian, yakni berkenaan dengan sumpah beliau tidak akan pernah berhubungan suami istri dengan mariyah al-qib’iyyah dan tidak akan pernah minum madu di rumah zainab binti jahsy; dan menyembunyikan sebagian yang lain perihal kepemimpinan setelah beliau wafat akan jatuh kepada abu bakar kemudian kepada ‘umar. Maka ketika dia, yakni nabi memberitahukan pembicaraan itu kepadanya, yakni kepada hafsah, maka segera dia bertanya, sangat kaget. ‘siapa yang telah memberitahukan kejadian ini kepada kamu, wahai nabi Allah’ nabi menjawab, ‘yang memberitahukan kepadaku tentang pembocoran rahasia itu adalah Allah yang maha mengetahui segala yang tampak maupun yang tersembunyi, mahateliti terhadap segala keadaan. ‘.
At-Tahrim Ayat 2 Arab-Latin, Terjemah Arti At-Tahrim Ayat 2, Makna At-Tahrim Ayat 2, Terjemahan Tafsir At-Tahrim Ayat 2, At-Tahrim Ayat 2 Bahasa Indonesia, Isi Kandungan At-Tahrim Ayat 2
Tafsir Surat At-Tahrim Ayat: 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12
Raih pahala amal jariyah dengan cara membagikan (share) konten ini kepada yang lainnya. Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه
"Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)