{59} Al-Hasyr / الحشر | الْقُرْآنُ الْكَرِيْمُ | الصف / As-Shaff {61} |
Tafsir Al-Qur’an Surat Al-Mumtahanah الممتحنة (Wanita Yang Diuji) lengkap dengan tulisan arab latin, arti dan terjemah Bahasa Indonesia. Surah ke 60 Tafsir ayat Ke 10.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ ۖ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ ۖ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ ۖ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ ۖ وَآتُوهُمْ مَا أَنْفَقُوا ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ ۚ وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَاسْأَلُوا مَا أَنْفَقْتُمْ وَلْيَسْأَلُوا مَا أَنْفَقُوا ۚ ذَٰلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ ۖ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ ۚ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ ﴿١٠﴾
yā ayyuhallażīna āmanū iżā jā`akumul-mu`minātu muhājirātin famtaḥinụhunn, allāhu a’lamu bi`īmānihinna fa in ‘alimtumụhunna mu`minātin fa lā tarji’ụhunna ilal-kuffār, lā hunna ḥillul lahum wa lā hum yaḥillụna lahunn, wa ātụhum mā anfaqụ, wa lā junāḥa ‘alaikum an tangkiḥụhunna iżā ātaitumụhunna ujụrahunn, wa lā tumsikụ bi’iṣamil-kawāfiri was`alụ mā anfaqtum walyas`alụ mā anfaqụ, żālikum ḥukmullāh, yaḥkumu bainakum, wallāhu ‘alīmun ḥakīm
QS. Al-Mumtahanah [60] : 10
Wahai orang-orang yang beriman! Apabila perempuan-perempuan mukmin datang berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami) mereka mahar yang telah mereka berikan. Dan tidak ada dosa bagimu menikahi mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta kembali mahar yang telah kamu berikan; dan (jika suaminya tetap kafir) biarkan mereka meminta kembali mahar yang telah mereka bayar (kepada mantan istrinya yang telah beriman). Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.
Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan mengikuti rasul-Nya, jika perempuan-perempuan yang beriman dari negeri kafir berhijrah ke negeri Islam, hendaklah kalian uji keimanan mereka sehingga tampak jelas keimanan mereka. Allah lebih mengetahui keimanan mereka yang sesungguhnya. Jika kalian telah mengetahui tanda-tanda zahir bahwa mereka benar-benar beriman, janganlah kalian kembalikan mereka kepada suami mereka yang kafir. Wanita-wanita mukmin tidak halal untuk menikah dengan orang kafir dan orang-orang kafir itu tidak boleh menikahi wanita-wanita mukmin. Berikan kepada suami-suami mereka mahar yang telah mereka bayar. Tidaklah dosa atas kalian untuk mengawini mereka jika kalian telah membayarkan kepada mereka maharnya. Janganlah kalian tetap berpegang pada ikatan perkawinan dengan perempuan-perempuan kafir dan mintalah kalian mahar yang telah kalian bayarkan kepada mantan istri kalian yang keluar dari Islam. Demikian pula berikanlah mahar yang telah mereka bayar kepada mantan istri mereka yang telah masuk Islam. Yang demikian itu adalah hukum Allah yang dijelaskan di dalam ayat-Nya, yaitu hukum Allah yang diberlakukan di antara kalian maka janganlah kalian berpaling. Allah Maha Mengetahui. tidak ada sesuatu yang tersembunyi dari-Nya. Allah Mahabijaksana dalam firman dan perbuatan-Nya.
Dalam surat Al-Fath yang lalu telah disebutkan mengenai gencatan senjata Hudaibiyah yang telah ditandatangani oleh Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan orang-orang kafir Quraisy. Di dalam perjanjian tersebut tertuangkan naskah berikut, yang antara lain tidak boleh datang kepada engkau seseorang dari kalangan kami walaupun dia seagama dengan engkau, melainkan engkau harus mengembalikannya kepada kami. Menurut riwayat lain, sesungguhnya tidak boleh ada seseorang dari kami datang kepadamu, sekalipun dia berada dalam agamamu, melainkan kamu harus mengembalikannya kepada kami. Demikianlah menurut pendapat Urwah, Ad-Dahhak, Abdur Rahman ibnu Zaid, Az-Zuhri, Muqatil ibnu Hayyan, dan As-Saddi.
Berdasarkan riwayat ini berarti ayat ini men-takhsis sunnah, dan ini merupakan contoh yang terbaik tentang hal tersebut.
Tetapi sebagian ulama Salaf menyebutnya me-mansukh sunnah. Karena sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, bahwa apabila datang kepada mereka wanita-wanita yang berhijrah, hendaklah terlebih dahulu mereka menguji keimanan wanita-wanita yang baru tiba itu. Jika ternyata wanita-wanita itu mereka ketahui beriman, maka janganlah mereka mengembalikan wanita-wanita yang baru hijrah itu kepada suami-suami mereka yang masih kafir; wanita-wanita itu tidak halal bagi suami mereka, dan suami mereka tidak halal bagi wanita-wanita itu.
Kami telah menyebutkan dalam biografi Abdullah ibnu Ahmad ibnu Jahsy, bagian dari Musnad Kabir-nya, melalui jalur Abu Bakar ibnu Abu Asim, dari Muhammad ibnu Yahya Az-Zahali, dari Ya’qub ibnu Muhammad, dari Abdul Aziz ibnu Imran, dari Majma’ ibnu Ya’qub, dari Hanin ibnu Abu Abanah, dari Abdullah ibnu Abu Ahmad yang menceritakan bahwa Ummu Kalsum binti Uqbah ibnu Abu Mu’it hijrah ke Madinah, maka kedua saudara lelakinya (yaitu Imarah dan Al-Walid) menyusulnya hingga keduanya sampai kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Maka keduanya berbicara kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengenai Ummu Kalsum dan meminta agar Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengembalikannya kepada keduanya. Maka Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى merusak perjanjian yang telah ada di antara Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan kaum musyrik dalam pasal yang berkenaan dengan kaum wanita secara khusus. Maka Allah melarang kaum mukmin mengembalikan wanita-wanita yang beriman kepada orang-orang musyrik, dan untuk itu Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menurunkan ayat ujian ini.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Bukair, dari Qais ibnurRabi’, dari Al-Agar ibnusSabbah, dari Khalifah ibnu Husain, dari AbuNasr Al-Asadi yang mengatakan bahwa Ibnu Abbas pernah ditanya tentang cara Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menguji wanita-wanita yang berhijrah itu. Maka Ibnu Abbas menjawab, bahwa Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menguji mereka dengan pertanyaan ‘tiadalah seseorang dari mereka keluar karena benci kepada suami,’ lalu disumpah untuk itu. Disumpah pula bahwa hendaknya keluarnya dia bukan karena mau pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Juga disumpah dengan nama Allah bahwa ia keluar bukan untuk mencari dunia. Dan disumpah pula bahwa hendaknya ia keluar bukan karena dorongan apa pun, melainkan hanya karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.
Kemudian Abdullah ibnu Ahmad ibnu Jahsy meriwayatkannya pula melalui jalur lain, dari Al-Agar ibnus Sabbah dengan sanad yang sama. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Al-Bazzar melalui jalurnya, dan disebutkan di dalamnya bahwa yang menyumpah mereka atas perintah Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ adalah Umar ibnul Khattab.
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى: Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. (Al-Mumtahanah: 10) Disebutkan bahwa ujian mereka ialah disuruh mengucapkan kalimat tasyahud, yaitu kesaksian bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. (Al-Mumtahanah: 10) Yakni tanyailah mereka tentang dorongan yang menyebabkan mereka datang ke negeri hijrah. Apabila dorongan kedatangan mereka karena benci kepada suami mereka atau marah kepada suami mereka atau alasan lainnya, sedangkan mereka tidak beriman, maka kembalikanlah mereka kepada suami-suaminya masing-masing.
Ikrimah mengatakan bahwa dikatakan kepada seseorang dari mereka, “Bukankah engkau datang hanyalah karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Bukankah engkau datang karena menyukai seseorang lelaki di antara kami, bukankah engkau datang karena benci terhadap suamimu?” Itulah yang di maksud oleh firman-Nya: maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. (Al-Mumtahanah: 10)
Qatadah mengatakan bahwa ujian mereka ialah disuruh bersumpah dengan nama Allah, bahwa mereka keluar bukan karena benci terhadap suami mereka, dan mereka datang tiada lain hanyalah karena cinta kepada Islam dan para pemeluknya serta menaruh perhatian yang besar kepada Islam. Apabila mereka mau mengucapkan sumpah itu, barulah mereka diterima.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. (Al-Mumtahanah: 10)
Dalam ayat ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa iman itu dapat dilihat secara yakin.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu, dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. (Al-Mumtahanah: 10)
Ayat ini mengandung hukum yang mengharamkan wanita muslimah bagi lelaki musyrik, pada masa permulaan Islam masih diperbolehkan seorang lelaki musyrik kawin dengan wanita mukminah. Peristiwa ini dialami oleh Abul As ibnur Rabi’ (suami putri Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang bernama Zainab r.a.). Zainab r.a. adalah wanita muslimah, sedangkan suaminya masih tetap berpegang pada agama kaumnya. Ketika Abul As menjadi tawanan Perang Badar, maka istrinya (Zainab r.a.) mengirimkan tebusan untuk suaminya berupa sebuah kalung yang dahulunya adalah milik ibunya, Siti Khadijah. Ketika Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melihat kalung itu, luluhlah hatinya dan berbalik menjadi sayang. Lalu beliau bersabda kepada kaum muslim: Jika kalian berpendapat akan melepaskan tawanannya demi dia, maka lakukanlah.
Maka mereka menerima tebusan itu, dan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ membebaskannya dengan syarat hendaknya Abul As mengirimkan putri beliau ke Madinah. Abul As memenuhi janjinya dengan tepat, untuk itu ia mengirimkan istrinya kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ disertai dengan Zaid ibnu Harisah r.a. Sejak Perang Badar usai, Zainab r.a. tinggal di Mekah, hal ini terjadi di tahun kedua Hijriah, hingga suaminya (yaitu Abul As) masuk Islam pada tahun delapan Hijriah. Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengembalikan putrinya kepadanya atas dasar nikah yang pertama, dan tidak meminta mahar lagi untuk pengembalian itu.
Imah Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya’qub, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Daud ibnul Husain, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengembalikan putrinya Zainab kepada Abul عَلَيْهِ السَلاَمُ Hijrah yang dilakukan oleh Zainab adalah sebelum suaminya masuk Islam dalam tenggang masa enam tahun, pengembalian tersebut berdasarkan nikah yang pertama dan tidak memerlukan lagi persaksian ataupun mahar.
Hadis ini telah diriwayatkan pula oleh Abu Daud, Turmuzi, dan Ibnu Majah. Di antara ulama ada yang mengatakan bahwa tenggang masa itu hanyalah dua tahun, dan inilah pendapat yang benar, karena masuk Islamnya Abul As sesudah kaum muslimat diharamkan bagi kaum musyrik, yakni dua tahun sesudahnya.
Imam Turmuzi memberikan komentarnya, bahwa sanad riwayat ini tidak mengandung kelemahan. Tetapi menurutnya, dia tidak mengenal jalur periwayatan hadis ini, barangkali bersumber dari hafalan Daud ibnul Husain.
Imam Turmuzi mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abdu ibnu Humaid mengatakan bahwa ia pernah mendengar Yazid ibnu Harun menceritakan hadis ini dari Ishaq, dan hadis Ibnul Hajjaj (yakni Ibnu Artah), dari Amr ibnu Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengembalikan putrinya kepada Abul As ibnur Rabi’ dengan mahar yang baru dan nikah yang baru.
Yazid mengatakan bahwa hadis Ibnu Abbas lebih baik sanadnya, dan yang diberlakukan adalah hadis Amr ibnu Syu’aib. Kemudian kami memberikan komentar, bahwa telah diriwayatkan pula hadis Al-Hajjaj ibnu Artah, dari Amr ibnu Syu’aib oleh Imam Ahmad, Imam Turmuzi, dan Ibnu Majah. Imam Ahmad menilainya daif, dan imam ahli hadis lainnya turut meriwayatkannya pula; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Jumhur ulama menjawab tentang hadis Ibnu Abbas (yang menyatakan atas dasar nikah yang pertama), bahwa hal tersebut merupakan masalah yang sudah jelas dan mengandung pengertian bahwa Zainab r.a. masih belum habis idahnya dari Abul عَلَيْهِ السَلاَمُ Mengingat pendapat yang dipegang oleh kebanyakan ulama menyebutkan bahwa manakala idahnya telah habis, sedangkan suaminya masih juga belum masuk Islam, maka otomatis nikahnya fasakh darinya. Ulama lainnya mengatakan bahwa bahkan apabila idahnya telah habis, maka si istri diperbolehkan memilih: Jika ingin tetap dengan suaminya diperbolehkan dan nikahnya tetap berlangsung (utuh); dan jika ingin pisah dengan suaminya, maka nikahnya fasakh, lalu ia boleh kawin dengan lelaki lain. Mereka menakwilkan hadis Ibnu Abbas dengan pengertian ini; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. (Al-Mumtahanah: 10)
Yakni kepada para suami wanita-wanita yang berhijrah dari kalangan kaum musyrik. Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa kembalikanlah kepada mereka mahar yang pernah mereka bayarkan kepada istri-istri mereka. Demikianlah menurut Ibnu Abbas, Mujahid, Qatadah, Az-Zuhri, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. (Al-Mumtahanah: 10)
Yaitu apabila kamu telah membayar kepada mereka maharnya, maka kamu boleh mengawininya. Tetapi dengan persyaratannya, yaitu habisnya masa idah, memakai wali, dan lain sebagainya.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir. (Al-Mumtahanah: 10)
Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى mengharamkan hamba-hamba-Nya yang mukmin menikahi wanita-wanita musyrik dan tetap memelihara ikatan perkawinan dengan mereka.
Di dalam kitab sahih disebutkan dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Al-Miswar dan Marwan ibnul Hakam, bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ setelah mengadakan perjanjian gencatan senjata dengan orang-orang kafir Quraisy di Hudaibiyah, maka datanglah kepada Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ kaum wanita mereka yang mukminat. Lalu Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menurunkan firman-Nya:
Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman. (Al-Mumtahanah: 10)
sampai dengan firman-Nya:
Dan janganlah kamu tetap berpegangpada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir. (Al-Mumtahanah: 10)
Maka Umar ibnul Khattab di hari itu menceraikan dua orang istrinya; yang salah seorangnya kemudian dinikahi oleh Mu’awiyah ibnu Abu Sufyan, sedangkan yang lainnya dinikahi oleh Safwan ibnu Umayyah.
Ibnu Saur telah meriwayatkan dari Ma’mar, dari Az-Zuhri, bahwa ayat ini diturunkan kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Saat itu Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berada di bagian bawah Hudaibiyah sedang mengadakan perjanjian perdamaian dengan orang-orang kafir Quraisy. Isi dari perjanjian itu antara lain menyebutkan bahwa barang siapa yang datang kepada Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dari kalangan mereka, maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ harus mengembalikannya kepada mereka. Tetapi ketika yang datang adalah kaum wanita yang beriman, maka turunlah ayat ini dan Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ diperintahkan oleh Allah agar mengembalikan mahar mereka kepada suami-suami mereka. Diputuskan pula terhadap kaum musyrik hal yang semisal, yaitu bahwa apabila datang kepada mereka seorang wanita dari kaum muslim, hendaklah mereka mengembalikan maharnya kepada suami wanita itu.
Dan Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berfirman:
Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir. (Al-Mumtahanah: 10)
Hal yang sama telah dikatakan oleh Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam. Ia mengatakan bahwa sesungguhnya Allah memutuskan demikian di antara mereka hanyalah karena mengingat telah adanya perjanjian tersebut antara orang-orang muslim dan orang-orang musyrik.
Muhammad ibnu Ishaq telah meriwayatkan dari Az-Zuhri bahwa pada hari turunnya ayat ini Umar r.a. menceraikan Qaribah binti Abu Umayyah ibnul Mugirah yang kemudian dinikahi oleh Mu’awiyah, dan Ummu Kalsum binti Amr ibnu Jarwal Al-Khuza’iyah ibunya Abdullah ibnu Umar, lalu dikawin oleh Abu Jahm ibnu Huzaifah ibnu Ganim, seorang lelaki dari kalangan kaumnya. Umar melakukan demikian karena keduanya masih dalam kemusyrikannya. Dan Talhah ibnu Abdullah menceraikan Arwa binti Rabi’ah ibnul Haris ibnu Abdul Muttalib. kemudian ia dikawin oleh Khalid ibnu Sa’id ibnul As sesudahnya.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. (Al-Mumtahanah: 10)
Yakni tuntutlah mahar yang telah kamu bayarkan kepada istri-istri kamu yang pergi kepada orang-orang kafir, jika istri-istrimu itu pergi meninggalkanmu menuju kepada mereka. Dan sebaliknya hendaklah mereka menuntut mahar yang telah mereka bayarkan kepada istri-istri mereka yang berhijrah kepada kaum muslim.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. (Al-Mumtahanah: 10)
Yaitu dalam perjanjian perdamaian, dan pengecualian kaum wanita dari perjanjian tersebut. Perintah demikian itu semuanya adalah hukum Allah, yang berdasarkan ketentuan ini Dia menghukumi di antara makhluk-Nya.
Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. (Al-Mumtahanah: 10)
Allah Maha Mengetahui tentang kemaslahatan hamba-hamba-Nya, lagi Mahabijaksana dalam mengatur kemaslahatan hamba-hamba-Nya.
Pada saat terjadi perjanjian Hudaibiyah, Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengadakan perjanjian dengan kaum musyrik; (yang di antara isi kesepakatannya adalah) bahwa siapa pun yang datang bergabung dengan kaum Muslimin dalam keadaan masuk Islam harus dikembalikan dalam barisan orang-orang musyrik. Kata-kata ini bersifat umum dan mutlak yang mencakup kalangan perempuan dan lelaki. Berkaitan dengan kalangan lelaki, Allah جَلَّ جَلالُهُ tidak melarang RasulNya untuk mengembalikannya ke barisan orang-orang kafir sebagai pemenuhan atas syarat perjanjian serta penyempurna perjanjian yang termasuk perjanjian terbesar itu.
Sedangkan berkaitan dengan golongan wanita, karena jika dikembalikan lagi ke barisan orang-orang kafir dapat membawa petaka besar, Allah جَلَّ جَلالُهُ memerintahkan orang-orang Mukmin jika جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ “datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman,” sedangkan mereka meragukan kebenaran iman wanita-wanita yang berhijrah ini, boleh diuji supaya diketahui kebenaran iman dan sikap mereka, sebab bisa jadi keimanan mereka tidak benar namun hanya sekedar menginginkan suami, tempat tinggal, atau tujuan-tujuan duniawi lain. Jika wanita-wanita yang datang berhijrah bersifat dan bertujuan seperti ini, harus dikembalikan lagi ke barisan orang-orang kafir untuk menepati syarat perjanjian tanpa harus menimbulkan dampak yang berbahaya. Tapi ketika diuji dan diketahui kebenaran iman mereka atau dapat diketahui kebenaran iman sebagian dari mereka tanpa ujian terlebih dahulu, maka tidak boleh dikembalikan dalam barisan orang-orang kafir, لا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ “mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka.” Karena mengembalikan wanita-wanita beriman ke dalam barisan orang-orang kafir berdampak bahaya berdasarkan pandangan syariat, di samping untuk memenuhi persyaratan perjanjian dengan cara menggantikan belanja dan mahar atau yang lain untuk kemudian diserahkan pada orang-orang kafir sebagai ganti dari wanita-wanita beriman yang berhijrah. Pada saat itu, tidak berdosa bagi orang-orang Mukmin untuk menikahi mereka meski mereka memiliki suami di negeri kafir, dengan catatan, wanita yang dinikahi harus diberi nafkah serta mahar. Karena wanita Muslimah tidak halal bagi orang kafir, maka wanita kafir juga tidak halal bagi orang Muslim untuk dinikahi selama wanita tersebut berada dalam kekafiran, bukan ahli kitab. Karena itu Allah جَلَّ جَلالُهُ berfirman, وَلا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ “Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir,” karena Allah جَلَّ جَلالُهُ melarang untuk berpegang pada tali perkawinan dengan wanita-wanita kafir, maka memulai untuk menikahinya lebih terlarang. وَاسْأَلُوا مَا أَنْفَقْتُمْ “Dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar,” hai orang-orang yang beriman, ketika istri-istri kalian murtad dan kembali lagi kepada kekafiran. Karena orang-orang kafir berhak mendapatkan kompensasi dari orang-orang Muslim karena ada wanita yang masuk Islam, kaum Muslimin juga berhak mendapatkan kompensasi dari orang-orang kafir jika ada wanita dari kalangan Muslimah yang murtad.
Dalam ayat ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa pasangan suami-istri yang berlepas diri dari ikatan pernikahan harus dibayar. Maka jika ada hal-hal yang membatalkan pernikahan seperti karena penyusuan dan lainnya, maka pihak suami harus menanggung maharnya. Allah جَلَّ جَلالُهُ berfirman, ذَلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ “Demikianlah hukum Allah,” maksudnya, hukum yang disebutkan oleh Allah جَلَّ جَلالُهُ pada kalian itu adalah hukum Allah جَلَّ جَلالُهُ, Allah جَلَّ جَلالُهُ menjelaskannya untuk kalian. وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ “Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha-bijaksana.” Allah جَلَّ جَلالُهُ mengetahui hukum yang bermanfaat bagi kalian kemudian disyariatkanNya sesuai hikmah dan kasih sayangNya.
Melalui ayat ini Allah menjelaskan tentang tata cara yang harus dilakukan rasulullah apabila menerima perempuan yang berasal dari daerah kafir dan hukum perkawinan mereka. ‘wahai orang-orang yang beriman! apabila perempuan-perempuan mukmin yang berasal daerah yang dikuasai orang-orang kafir datang berhijrah kepadamu ke madinah, maka hendaklah kamu uji keimanan mereka agar kamu mengetahui latar belakang dan motivasi kedatangan mereka, serta dapat memberikan perlindungan yang tepat kepada mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka, hakikat, kualitas, bahkan yang terbesit dalam hati mereka; namun, pengujian ini diperlukan untuk kewaspadaan. Jika kamu telah mengetahui, setelah kamu melakukan wawancara mendalam terhadap mereka bahwa mereka, perempuan-perempuan yang meminta perlindungan itu benar-benar beriman, maka janganlah kamu mengembalikan mereka kepada orang-orang kafir, yakni suami-suami mereka yang kafir, karena perkawinan mereka batal, ketika perempuan-perempuan itu masuk islam. Mereka, perempuan-perempuan muslimah itu tidak halal bagi orang-orang kafir itu, yakni bagi para suami mereka untuk berhubungan suami-istri dan orang-orang kafir itu pun, yakni para suami yang kafir, tidak halal bagi mereka, para istri yang sudah menjadi muslimah untuk berhubungan suami-istri. Dan berikanlah kepada suami mereka, yang masih tetap kafir itu mahar yang telah mereka berikan kepada mantan istrinya yang menjadi muslimah, jika mereka meminta. Dan tidak ada dosa bagi kamu, para laki-laki muslim untuk menikahi mereka, karena perempuan-perempuan itu berstatus janda, apabila kamu menikahinya setelah selesai masa iddah, mengikuti hukum Allah dan dengan tujuan pernikahan yang benar, serta membayarkan kepada mereka maharnya sesuai kesepakatan. ‘ sebaliknya jika perempuan-perempuan muslimah meninggalkan suami mereka, masuk ke daerah kafir dan menjadi kafir, maka Allah menegaskan, ‘dan janganlah kamu, para laki-laki muslim tetap berpegang pada tali pernikahan dengan perempuan-perempuan kafir, karena pernikahan kamu dengan mereka batal setelah mereka murtad; dan hendaklah kamu, para laki-laki muslim meminta kembali mahar yang telah kamu berikan kepada mantan istri kamu yang murtad itu. ‘ sementara itu tentang perempuan beriman yang menghadap kepada nabi di madinah, Allah menegaskan, ‘dan jika suaminya tetap kafir, sedangkan perempuan-perempuan itu benar-benar beriman, biarkanlah mereka, para suami itu, meminta kembali mahar yang telah mereka bayarkan kepada mantan istrinya yang telah beriman. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu tentang perceraian karena suami atau istri murtad atau istri masuk islam, serta larangan menikah beda agama. Dan Allah maha mengetahui semua yang tersimpan dalam hati, mahabijasana dalam menyikapi tingkah laku manusia. ’11. Allah lalu menjelaskan cara-cara pengembalian mahar kepada para suami yang ditinggalkan istri mereka tersebut. Dan jika ada sesuatu tentang pengembalian mahar yang belum selesai dari istri-istri kamu yang lari kepada orang-orang kafir, karena para mantan istri kamu itu tidak memiliki niat baik untuk mengembalikan mahar kepada kamu, kemudian kamu berhasil mengalahkan mereka dalam perang, yakni mengalahkan orang-orang kafir yang kepada mereka mantan istri-istri kamu lari, maka berikanlah dengan mengambil dari harta rampasan perang kepada orang-orang yang istri-istri mereka lari kepada orang-orang kafir sebanyak mahar yang telah mereka berikan kepada mantan istri-istri mereka. Dan bertakwalah kamu, wahai para suami yang ditinggalkan istri, kepada Allah yang kepada-Nya kamu beriman agar kamu tetap tegar.
Al-Mumtahanah Ayat 10 Arab-Latin, Terjemah Arti Al-Mumtahanah Ayat 10, Makna Al-Mumtahanah Ayat 10, Terjemahan Tafsir Al-Mumtahanah Ayat 10, Al-Mumtahanah Ayat 10 Bahasa Indonesia, Isi Kandungan Al-Mumtahanah Ayat 10
Tafsir Surat Al-Mumtahanah Ayat: 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13
Raih pahala amal jariyah dengan cara membagikan (share) konten ini kepada yang lainnya. Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه
"Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)