{64} At-Taghabun / التغابن | الْقُرْآنُ الْكَرِيْمُ | التحريم / At-Tahrim {66} |
Tafsir Al-Qur’an Surat At-Thalaq الطلاق (Talak) lengkap dengan tulisan arab latin, arti dan terjemah Bahasa Indonesia. Surah ke 65 Tafsir ayat Ke 1.
يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ اِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاۤءَ فَطَلِّقُوْهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَاَحْصُوا الْعِدَّةَۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ رَبَّكُمْۚ لَا تُخْرِجُوْهُنَّ مِنْۢ بُيُوْتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ اِلَّآ اَنْ يَّأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍۗ وَتِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ ۗوَمَنْ يَّتَعَدَّ حُدُوْدَ اللّٰهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهٗ ۗ لَا تَدْرِيْ لَعَلَّ اللّٰهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذٰلِكَ اَمْرًا ﴿١﴾
yā ayyuhan-nabiyyu iżā ṭallaqtumun-nisā`a fa ṭalliqụhunna li’iddatihinna wa aḥṣul-‘iddah, wattaqullāha rabbakum, lā tukhrijụhunna mim buyụtihinna wa lā yakhrujna illā ay ya`tīna bifāḥisyatim mubayyinah, wa tilka ḥudụdullāh, wa may yata’adda ḥudụdallāhi fa qad ẓalama nafsah, lā tadrī la’allallāha yuḥdiṡu ba’da żālika amrā
QS. At-Thalaq [65] : 1
Wahai Nabi! Apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar), dan hitunglah waktu idah itu, serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumahnya dan janganlah (diizinkan) keluar kecuali jika mereka mengerjakan perbuatan keji yang jelas. Itulah hukum-hukum Allah, dan barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, maka sungguh, dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali setelah itu Allah mengadakan suatu ketentuan yang baru.
Wahai Nabi, jika engkau dan orang-orang mukmin hendak menceraikan istri kalian, ceraikanlah mereka dengan memperhatikan idah mereka (yaitu ketika sudah suci dan belum kembali dicampuri). Perhatikanlah masa idah agar kalian mengetahui waktu rujuk jika kalian hendak merujuk mereka. Takutlah kepada Allah, Tuhan kalian. Janganlah kalian mengusir istri-istri yang kalian cerai dari rumah yang mereka tempati sampai batas idah mereka usai (tiga masa haid untuk selain perempuan yang masih remaja dan selain wanita yang sudah lanjut usia serta wanita hamil). Mereka tidak diperkenankan diusir dari rumah kecuali jika mereka melakukan perbuatan maksiat, seperti berzina. Yang demikian itu adalah hukum Allah yang disyariatkan kepada hamba-hamba-Nya. Siapa saja yang melanggar hukum-hukum Allah maka ia telah menzalimi dirinya sendiri dan ia terjerumus ke dalam kebinasaan. Engkau tidak akan tahu, wahai orang yang menceraikan istri, bahwa bisa jadi sesudah perceraian itu Allah berkehendak terhadap sesuatu yang tidak kalian sangka-sangka sehingga kalian ingin merujuk mereka kembali.
Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ diprioritaskan mendapat khitab (perintah) dari ayat ini sebagai penghormatan dan kemuliaan baginya, kemudian menyusul buat umatnya sesudahnya. Untuk itu Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berfirman:
Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar). (Ath-Thalaq: l)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sawab ibnu Sa’id Al-Hubari, telah menceritakan kepada kami Asbat ibnu Muhammad, dari Sa’id, dari Qatadah, dari Anas yang menceritakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah menceraikan Siti Hafsah, lalu Hafsah pulang ke rumah keluarganya. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar). (Ath-Thalaq: l) Maka dikatakan kepada Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, “Rujukilah dia, karena sesungguhnya dia (Hafsah) adalah seorang wanita yang banyak berpuasa dan banyak salatnya, dan dia termasuk salah seorang dari istri-istrimu di surga nanti.”
Ibnu Jarir meriwayatkan hadis ini melalui Ibnu Basysyar, dari Abdul A’la, dari Sa’id, dari Qatadah, lalu ia sebutkan hal yang semisal secara mursal.
Telah diriwayatkan pula melalui berbagai jalur, bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah menceraikan Siti Hafsah, kemudian beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ merujuknya kembali.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Al-Lais, telah menceritakan kepadaku Aqil, dari Ibnu Syihab, telah menceritakan kepadaku Salim bahwa Abdullah ibnu Umar pernah menceritakan kepadanya bahwa dirinya pernah menceraikan salah seorang istrinya yang sedang dalam haid. Kemudian Umar r.a. (ayahnya) menceritakan hal tersebut kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ marah dan bersabda: Dia harus merujuknya, kemudian memegangnya hingga suci dari haidnya, lalu berhaid lagi dan bersuci, maka (sesudah itu) bila dia ingin menceraikannya, ia boleh menceraikannya dalam keadaan suci, sebelum dia menggaulinya. Itulah idah yang diperintahkan oleh Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى (untuk dijalani).
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam tafsir ayat ini. Dia telah meriwayatkannya pula di berbagai tempat (bagian) lain dari kitab sahihnya. Sedangkan Imam Muslim telah meriwayatkannya dengan teks yang berbunyi seperti berikut:
Itulah idah yang diperintahkan oleh Allah untuk dijalani bila menceraikan wanita.
Para pemilik kitab hadis dan kitab musnad telah meriwayatkan hadis ini melalui berbagai jalur dan dengan lafaz yang beraneka ragam lagi banyak, yang rinciannya dapat dijumpai di dalam kitab-kitab fiqih yang membahas masalah-masalah hukum. Akan tetapi, lafaz yang paling diperlukan dan paling penting untuk diketengahkan di sini adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya melalui Ibnu Juraij. Ia mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abuz Zubair, bahwa ia pernah mendengar Abdur Rahman ibnu Aiman maula Izzah bertanya kepada Ibnu Umar, sedangkan Abuz Zubair mendengarnya, “Bagaimanakah pendapatmu tentang seorang lelaki yang menceraikan istrinya dalam keadaan haid?” Maka Ibnu Umar menjawab bahwa dirinya pernah menceraikan istrinya yang sedang haid di masa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda:
Dia harus merujuknya. Maka Ibnu Umar merujuknya. Dan Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda: Jika istrinya telah bersuci, dia boleh menceraikannya atau tetap memegangnya (sebagai istri). Ibnu Umar melanjutkan, bahwa Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ membaca firman-Nya: Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar). (Ath-Thalaq: 1)
Al-A’masy telah meriwayatkan dari Malik ibnul Haris, dari Abdur Rahman ibnu Zaid, dari Abdullah sehubungan dengan makna firman-Nya: maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar). (Ath-Thalaq: 1) Makna yang dimaksud ialah dalam keadaan suci tanpa disetubuhi.
Telah diriwayatkan pula hal yang semisal dari Ibnu Umar, Ata, Mujahid, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Qatadah, Maimun ibnu Mahran, dan Muqatil ibnu Hayyan. Ini merupakan riwayat yang bersumber dari Ikrimah dan Ad-Dahhak.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan sehubungan dengan makna firman-Nya: maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar). (Ath-Thalaq: 1) Bahwa seseorang tidak boleh menceraikan istrinya yang dalam keadaan haid; tidak boleh pula dalam keadaan suci, sedangkan dia telah menyetubuhinya. Tetapi hendaknya dia membiarkannya hingga berhaid lagi, lalu bersuci, kemudian ia baru boleh menjatuhkan talaknya sekali.
Ikrimah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar). (Ath-Thalaq: 1) Bahwa yang dimaksud dengan idah ialah saat suci dan saat haid. Seseorang diperbolehkan menceraikan istrinya dalam keadaan hamil lagi positif kehamilannya. Dan ia tidak boleh menceraikannya, sedangkan ia telah menyetubuhinya dan tidak diketahui apakah istrinya dalam keadaan hamil atau tidak.
Berangkat dari pengertian ini, para ulama fiqih menyusun hukum-hukum talak dan mereka membaginya menjadi talak sunnah dan talak bid’ah. Yang dimaksud dengan talak sunnah ialah bila seseorang menceraikan istrinya dalam keadaan suci tanpa menyetubuhinya atau dalam keadaan hamil yang telah jelas kehamilannya. Dan talak bid’ah ialah bila seseorang menceraikan istrinya dalam keadaan berhaid atau dalam keadaan suci, sedangkan dia telah menyetubuhinya di masa sucinya itu, dan tidak diketahui apakah istrinya telah hamil atau tidak. Talak yang ketiga ialah talak yang bukan sunnah dan bukan pula bid’ah, yaitu talak yang dijatuhkan terhadap istri yang masih belum balig, wanita yang tidak berhaid, dan wanita (istri) yang belum disetubuhi. Penjelasan mengenai hal ini secara rinci berikut semua cabang yang berkaitan dengannya di sebutkan di dalam kitab-kitab fiqih; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
dan hitunglah waktu idah itu. (Ath-Thalaq: 1)
Yakni peliharalah dan ketahuilah permulaan dan batas berakhirnya, agar masa idah tidak memanjang bagi si istri, yang berakibat terhalang dari melakukan perkawinan.
serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. (Ath-Thalaq: 1)
Yaitu dalam hal tersebut.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar. (Ath-Thalaq: 1)
Artinya, dalam masa idahnya ia berhak mendapatkan tempat tinggal yang dibebankan kepada pihak suami selama istrinya masih menjalani idah darinya, si suami tidak boleh mengusirnya dari tempat tinggalnya, dan si istri tidak boleh pula keluar darinya, karena terikat dengan hak suaminya juga.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. (Ath-Thalaq: 1)
Yakni mereka tidak boleh diizinkan keluar dari rumah tempat tinggal mereka terkecuali jika wanita yang bersangkutan melakukan perbuatan keji yang terang (yakni terbukti perbuatan kejinya). Maka dia baru boleh diusir dari tempat tinggalnya. Yang dimaksud dengan perbuatan fahisyah ialah mencakup perbuatan zina. Ini menurut pendapat yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Sa’id ibnul Musayyab, Asy-Sya’bi, Al-Hasan, ibnu Sirin, Mujahid, Ikrimah, Sa’id ibnu Jubair, Abu Qilabah, Abu Saleh, Ad-Dahhak, Zaid ibnu Aslam, Ata Al-Khurrasani, As-Sadi, Sa’id ibnu Abu Hilal, dan lain-lainnya. Juga mencakup bilamana wanita yang bersangkutan bersikap membangkang atau bersikap menghina keluarga suami dan menyakiti mereka dengan lisannya dan juga dengan perbuatannya, sebagaimana yang dikatakan oleh Ubay ibnu Ka’b, Ibnu Abbas, Ikrimah, dan ulama Salaf lainnya.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Itulah hukum-hukum Allah. (Ath-Thalaq: 1)
Yakni hukum-hukum syariat:Nya dan batasan-batasan haram-Nya.
dan barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah. (Ath-Thalaq: 1)
Maksudnya, keluar dan menyimpang darinya ke jalan lain dan tidak mau mengikutinya.
maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. (Ath-Thalaq: 1)
dengan perbuatannya itu.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru. (Ath-Thalaq: 1)
Yaitu sesungguhnya Kami biarkan wanita yang diceraikan tetap berada di tempat tinggal suaminya dalam masa idahnya, karena barangkali si suami menyesali talak yang telah dijatuhkannya, dan Allah menggerakkan hati suami untuk merujuknya. Bila demikian, maka urusannya mudah dan gampang.
Az-Zuhri telah meriwayatkan dari Ubaidillah ibnu Abdullah, dari Fatimah binti Qais sehubungan dengan makna firman-Nya: Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru. (Ath-Thalaq: 1) Yakni keinginan untuk rujuk.
Hal yang semisal telah dikatakan oleh Asy-Sya’bi, Ata, Qatadah, Ad-Dahhak, Muqatil ibnu Hayyan, dan As-Sauri.
Berangkat dari pengertian ini ada sejumlah ulama Salaf dan para pendukungnya —seperti Imam Ahmad rahimahullah— mengatakan bahwa tidak wajib memberikan tempat tinggal bagi wanita yang diceraikan habis-habisan (telah habis talaknya), demikian pula bagi istri yang ditinggal mati oleh suaminya.
Mereka yang berpendapat demikian berpedoman pula kepada hadis Fatimah binti Qais Al-Fihriyyah ketika diceraikan oleh suaminya (yaitu Abu Amr ibnu Hafs) pada talak yang terakhir, yaitu talak yang ketiga. Saat itu Abu Amr tidak ada di tempat, yaitu berada di negeri Yaman; ia mengirimkan kurirnya untuk menyampaikan talaknya itu, juga bersamaan dengan itu ia mengirimkan kepada kurirnya sejumlah gandum sebagai nafkah untuk istri yang diceraikannya. Maka istrinya marah karena hanya gandum yang dikirimkan kepadanya. Lalu Abu Amr mengatakan, “Demi Allah, tiada kewajiban atas kami memberi nafkah kepadamu.” Fatimah binti Qais datang menghadap kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengadukan masalahnya, maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda:
Engkau tidak punya hak nafkah darinya.
Menurut lafaz hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan pula:
dan (tidak pula) tempat tinggal.
Pada mulanya Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memerintahkannya untuk menjalani idahnya di rumah Ummu Syarik, kemudian beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mencabut perintahnya dan bersabda:
Ummu Syarik adalah seorang wanita yang sering didatangi oleh sahabat-sahabatku, tunaikanlah masa idahmu di rumah Ibnu Ummi Maktum, karena sesungguhnya dia adalah seorang lelaki yang tuna netra, engkau dapat menanggalkan pakaian (jilbab)mu. dan seterusnya.
Imam Ahmad telah meriwayatkan hadis ini melalui jalur lain dengan lafaz yang lain; untuk itu ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa’id, telah menceritakan kepada kami Mujalid, telah menceritakan kepada kami Amir yang mengatakan bahwa aku tiba di Madinah, lalu aku mengunjungi Fatimah binti Qais. Maka dia menceritakan kepadaku bahwa suaminya telah menceraikannya di masa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengirimkan suaminya bersama suatu pasukan khusus. Fatimah binti Qais melanjutkan kisahnya, bahwa lalu saudara lelaki suaminya berkata kepadaku, “Keluarlah kamu dari rumah (saudaraku) ini.” Maka aku menjawab, “Sesungguhnya aku berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal hingga masa idahku habis.” Saudara suamiku berkata, “Tidak.” Fatimah binti Qais melanjutkan kisahnya, bahwa lalu aku menghadap Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan kukatakan kepadanya, “Sesungguhnya si Fulan telah menceraikanku, dan saudara lelakinya mengusirku dari rumah suamiku, dia tidak memberiku tempat tinggal dan nafkah.” Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menanyai saudara suaminya, “Mengapa kamu dan anak perempuan keluarga Qais ini?” Ia menjawab, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saudaraku telah menceraikannya tiga kali seluruhnya.” Fatimah binti Qais melanjutkan, bahwa lalu Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda kepadanya:
Perhatikanlah, hai anak perempuan keluarga Qais, sesungguhnya nafkah dan tempat tinggal bagi istri dibebankan pada suaminya selama si suami masih punya hak untuk merujuknya. Dan apabila si suami tidak punya hak lagi untuk merujuknya, maka tiada nafkah dan tiada tempat tinggal lagi. Sekarang keluarlah engkau dan tinggallah di rumah si Fulanah. Kemudian Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda lagi kepadanya: Tinggallah kamu di rumah Ibnu Ummi Maktum, karena sesungguhnya dia adalah seorang yang tuna netra dan tidak dapat melihatmu. hingga akhir hadis.
Abul Qasim At-Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdullah Al-Bazzar At-Tusturi, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim As-Sawwaf, telah menceritakan kepada kami Bakr ibnu Bakkar, telah menceritakan kepada kami Sa’id ibnu Yazid Al-Bajali, telah menceritakan kepada kami Amir Asy-Sya’bi, bahwa ia masuk menemui Fatimah binti Qais saudara perempuan Ad-Dahhak ibnu Qais Al-Qurasyi, suaminya bernama Abu Amr ibnu Hafs ibnul Mugirah Al-Makhzumi. Maka Fatimah binti Qais menceritakan bahwa sesungguhnya Abu Amr ibnu Hafs mengirimkan kurirnya kepadaku untuk menyampaikan talaknya terhadapku, sedangkan ia berada dalam rombongan pasukan yang diberangkatkan ke negeri Yaman. Maka aku menuntut nafkah dari walinya dan juga tempat tinggal, tetapi mereka (orang-orang yang menjadi walinya) mengatakan, “Dia tidak mengirimkan sesuatu pun kepada kami hal tersebut dan tidak pula memesankannya kepada kami.” Maka aku menemui Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan kukatakan kepadanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Amr ibnu Hafs telah mengirimkan kurirnya kepadaku untuk menceraikanku. Lalu aku meminta kepada para walinya agar aku diberi tempat tinggal dan nafkah. Tetapi mereka mengatakan, ‘Dia tidak mengirimkan apa pun kepada kami mengenai hal tersebut’.” Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda:
Sesungguhnya tempat tinggal dan nafkah itu hanyalah bagi wanita yang suaminya masih mempunyai hak untuk merujuknya. Dan jika wanita tidak halal lagi bagi suaminya sebelum kawin dengan lelaki lain, maka tiada nafkah baginya dan juga tiada tempat tinggal.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Nasai, dari Ahmad ibnu Yahya As-Sufi, dari Abu Na’im Al-Fadl ibnu Dakin, dari Sa’id ibnu Yazid Al-Ahmasi Al-Bajali Al-Kufi. Abu Hatim Ar-Razi mengatakan bahwa dia adalah seorang syekh (guru) yang sering diambil riwayat hadisnya.
Tafsir Ayat:
Allah جَلَّ جَلالُهُ berfirman mengajak bicara Nabi Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan kaum Mukminin, يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu,” maksudnya, jika engkau ingin menceraikan mereka, فَ “maka,” carilah alasan syar’i ketika mencerai mereka, jangan langsung mencerai hanya disebabkan tidak mengindahkan perintah Allah جَلَّ جَلالُهُ, tapi طَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ “hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya,” maksudnya, pada waktu iddah mereka, yaitu, dengan cara menceraikan istri ketika ia sedang suci dan belum dicampuri selama masa suci itu. Talak inilah yang iddahnya dapat diketahui dengan jelas. Lain halnya ketika dicerai pada waktu haid. Haid tersebut tidak terhitung dalam masa talak sehingga masa iddahnya memanjang karenanya. Begitu juga jika dicerai ketika istri sedang suci namun sudah dicampuri, sebab dimungkinkan istrinya hamil. Di samping itu tidak jelas dari manakah ia mulai masa iddah. Dan Allah جَلَّ جَلالُهُ memerintahkan untuk menghitung masa iddah. Patokannya adalah haid jika wanita yang dicerai dalam keadaan haid. Karena menghitung iddah dalam masa itu merupakan penunaian hak Allah جَلَّ جَلالُهُ, hak suami yang menceraikan, hak lelaki lain yang akan menikahinya, hak wanita yang dicerai untuk mendapatkan nafkah dan hak-hak lainnya. Jika iddahnya telah diketahui secara pasti, maka keadaannya juga bisa diketahui, serta hak-hak yang akan didapatkan si wanita yang dicerai serta apa yang akan didapatkan dari mantan suaminya. Perintah untuk menghitung iddah ini ditujukan pada suami dan istri jika memang termasuk mukallaf (sudah terbebani kewajiban beribadah), jika belum baligh, maka yang bertugas menghitung iddah adalah walinya.
Allah جَلَّ جَلالُهُ berfirman, وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ “Serta bertakwalah kepada Allah, Rabbmu,” di segala urusan kalian dan takutlah padaNya dalam hak istri yang dicerai. Maka لا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ “janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka,” selama masa iddah, tapi biarkan ia berada di rumah tempat suaminya menceraikannya. وَلا يَخْرُجْنَ “Dan janganlah mereka (diizinkan) keluar,” maksudnya, mereka tidak boleh keluar dari rumahnya. Berkaitan dengan larangan mengeluarkan wanita yang dicerai dari rumahnya, karena hak menempati merupakan kewajiban yang harus ditanggung suami hingga masa iddahnya selesai. Hak menempati rumah merupakan salah satu dari beberapa haknya. Sedangkan larangan bagi wanita yang dicerai untuk keluar rumah adalah karena hal itu menyia-nyiakan hak suami dan tidak adanya tanggungjawab pihak suami. Larangan untuk mengeluarkan istri yang dicerai dari rumah dan larangan bagi istri yang dicerai keluar rumah ini berlaku hingga masa iddah selesai. إِلا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ “Kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang.” Maksudnya, dengan sesuatu yang tercela dan jelas yang mengharuskannya untuk diusir karena keberadaannya di dalam rumah menimbulkan dampak berbahaya bagi keluarga seperti mengeluarkan kata-kata dan perbuatan keji. Dalam kondisi seperti ini, suami dibolehkan mengusir istri yang dicerai itu karena dia sendirilah yang menyebabkannya diusir. Adapun tujuan dari penempatan istri yang dicerai di dalam rumah suami yang menceraikannya selama masa iddah adalah sebagai pelipur lara dan sebagai tindakan lemah lembut baginya. Dia sendirilah yang menimbulkan dampak berbahaya bagi dirinya sendiri. Hukum ini berlaku bagi wanita yang cerai raj’i (yang boleh rujuk) selama masa iddah. Adapun wanita yang dicerai ba`in (yang tidak boleh rujuk), maka tidak ada hak tinggal yang wajib. Karena hak tinggal itu berkaitan dengan hak nafkah. Dan nafkah itu hanya wajib diberikan pada wanita yang dicerai raj’i, bukan ba`in.
وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ “Itulah hukum-hukum Allah,” yang ditentukan pada hamba-hambaNya, disyariatkan untuk mereka, diperintahkan agar dilaksanakan dan diindahkan. وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ “Dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah,” dengan tidak diindahkan tapi malah diterjang atau tidak ditunaikan secara baik, فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ “maka sungguh dia telah berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri.” Merugikan haknya dan menyia-nyiakan bagiannya dengan tidak menuruti hukum-hukum Allah جَلَّ جَلالُهُ yang merupakan kebaikan dunia akhirat.
لا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْرًا “Kamu tidak mengetahui, barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.” Maksudnya, Allah جَلَّ جَلالُهُ mensyariatkan iddah dan membatasi talak dengan iddah tersebut karena beberapa hikmah besar, di antaranya agar Allah جَلَّ جَلالُهُ memberikan rasa kasih sayang dan cinta dalam hati suami yang menceraikan istrinya sehingga ia menarik kembali talaknya kemudian melanjutkan lagi kehidupan bersama. Hal ini bisa terjadi selama masa iddah. Atau bisa jadi karena si suami mentalaknya karena suatu sebab kemudian sebab itu hilang selama masa iddah kemudian rujuk kembali, karena sebab talak sudah tidak ada. Di antara hikmah iddah lainnya adalah diketahuinya kekosongan rahim istri yang dicerai dari bibit suaminya.
Pada akhir surah at-tag’bun, Allah memberitahukan bahwa istri dan anak bisa jadi musuh; dan Allah memerintahkan agar bersikap baik dan pemaaf kepada mereka. Pada ayat ini diterangkan bahwa di antara suami istri bisa terjadi perceraian, namun Allah mengingatkan nabi tentang hukum dan etika perceraian dalam islam. Wahai nabi! apabila kamu menceraikan istri-istrimu, perbuatan halal, tetapi paling tidak disukai Allah, maka hendaklah kamu ceraikan mereka atau salah seorang di antara mereka pada waktu mereka dapat menghadapi idahnya dengan tidak memberatkan, yaitu ketika masa suci dari haid agar tidak lama menunggu untuk bisa menikah lagi dengan laki-laki lain. Dan hitunglah waktu idah itu dengan cermat kapan mulainya dan kapan berakhir; serta bertakwalah, kamu semua, kepada Allah tuhanmu dalam segala urusan. Janganlah kamu keluarkan mereka, istri yang dijatuhi talak itu selama masa idah, dari rumah yang ditempati-Nya dan janganlah mereka diizinkan keluar secara bebas kecuali jika mereka mengerjakan perbuatan keji yang jelas seperti berzina. Itulah hukum-hukum Allah yang harus dilaksanakan manusia. Dan barang siapa melanggar hukum-hukum Allah secara sengaja atau karena lalai, maka sungguh dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri, karena merugikan dirinya, sedangkan ia tetap harus mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah. Kamu tidak mengetahui, wahai nabi, rencana Allah bagi kamu, barangkali setelah itu, yakni setelah kamu menjatuhkan talak kepada istrimu, Allah mengadakan sesuatu yang baru, yakni memberikan istri yang lebih baik. 2. Maka apabila mereka, para istri yang dijatuhi talak telah mendekati akhir masa idahnya, maka rujuklah, kembali kepada mereka dengan baik guna mempertahankan ikatan perkawinan; atau lepaskanlah mereka, yakni terus menceraikannya dengan baik dengan memperhatikan hak-hak anak. Dan persaksikanlah keputusan kamu untuk menceraikannya dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu, yakni dua orang laki-laki atau satu orang laki-laki dan dua orang perempuan; dan hendaklah kamu menegakkan kesaksian itu karena Allah dengan jujur dan adil, serta dengan menaati hukum Allah. Demikianlah pengajaran itu, perintah untuk mematuhi hukum Allah dengan tulus diberikan kepada orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat di antara hamba-hamba-Nya. Barang siapa bertakwa kepada Allah dalam segala urusan; niscaya dia akan membukakan jalan keluar baginya dari segala kesulitan.
At-Thalaq Ayat 1 Arab-Latin, Terjemah Arti At-Thalaq Ayat 1, Makna At-Thalaq Ayat 1, Terjemahan Tafsir At-Thalaq Ayat 1, At-Thalaq Ayat 1 Bahasa Indonesia, Isi Kandungan At-Thalaq Ayat 1
Tafsir Surat At-Thalaq Ayat: 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12
Raih pahala amal jariyah dengan cara membagikan (share) konten ini kepada yang lainnya. Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه
"Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)