{10} Yunus / يونس | الْقُرْآنُ الْكَرِيْمُ | يوسف / Yusuf {12} |
Tafsir Al-Qur’an Surat Hud هود (Nabi Hud) lengkap dengan tulisan arab latin, arti dan terjemah Bahasa Indonesia. Surah ke 11 Tafsir ayat Ke 95.
كَأَنْ لَمْ يَغْنَوْا فِيهَا ۗ أَلَا بُعْدًا لِمَدْيَنَ كَمَا بَعِدَتْ ثَمُودُ ﴿٩٥﴾
ka`al lam yagnau fīhā, alā bu’dal limadyana kamā ba’idat ṡamụd
QS. Hud [11] : 95
seolah-olah mereka belum pernah tinggal di tempat itu. Ingatlah, binasalah penduduk Madyan sebagaimana kaum samud (juga) telah binasa.
Seakan-akan mereka tidak pernah tinggal di tempat itu sebelumnya. Ingatlah, kebinasaan bagi penduduk Madyan (ketika Allah membinasakan mereka) sama seperti binasanya kaum Tsamud. Kedua kaum ini (Madyan dan Tsamud) sama-sama telah dibinasakan.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Seolah-olah mereka belum pernah berdiam di tempat itu.
Yakni seakan-akan sebelum itu mereka belum pernah hidup di rumah mereka.
Ingatlah, kebinasaanlah bagi penduduk Madyan sebagaimana kaum Samud telah binasa.
Tempat tinggal orang-orang Madyan bertetangga-dengan orang-orang Samud, mereka serupa dalam hal kekufuran dan suka membegal (merampok), kedua-duanya adalah bangsa Arab.
كَأَنْ لَمْ يَغْنَوْا فِيهَا “Seolah-olah mereka belum pernah berdiam di tempat itu.” Maksudnya, seakan-akan mereka tidak pernah tinggal di kampung mereka itu dan tidak merasakan kemakmuran di dalamnya ketika azab datang kepada mereka. أَلَا بُعْدًا لِمَدْيَنَ “Ingatlah, kebinasaanlah bagi penduduk Madyan.” Ketika Allah جَلَّ جَلالُهُ membinasakan dan menghinakan mereka. كَمَا بَعِدَتْ ثَمُودُ “Sebagaimana kaum Tsamud telah binasa.” Kedua kabilah ini sama-sama berserikat dalam kemurkaan, laknat dan kebinasaan.
Syu’aib ‘alaihissalam terkenal dengan julukan, Khatibul Anbiya` karena dialognya yang bagus kepada kaumnya. Pada kisahnya terdapat banyak faidah dan pelajaran.
Di antaranya: kaum kafir diazab dan diberi khitab tentang akidah Islam, demikian pula syariat dan cabang-cabang Islam karena Syu’aib menyeru kaumnya kepada tauhid dan kepada pemenuhan timbangan dan takaran, dan Syu’aib menyatakan bahwa ancaman Allah جَلَّ جَلالُهُ berkait dengan kedua hal tersebut.
Di antaranya: Mengurangi takaran dan timbangan termasuk dosa besar. Barangsiapa yang melakukan itu, maka dikhawatirkan ditimpa azab dunia, hal itu termasuk mencuri harta orang-orang. Jika mencuri lewat takaran dan timbangan mengundang azab, maka mengambil dengan paksa dan terang-terangan adalah lebih mengundang dan lebih layak mendapat azab.
Di antaranya: balasan itu berasal dari jenis perbuatan. Barangsiapa yang mengurangi harta manusia untuk menambah hartanya maka dia akan dibalas dengan sebaliknya. Itu menjadi penyebab lenyapnya kebaikan dari rizki yang ada pada dirinya. Hal ini sesuai dengan ucapan Syu’aib,
إِنِّي أَرَاكُمْ بِخَيْرٍ
“Sesungguhnya aku melihatmu dalam kebaikan.” (Hud: 84).
Maksudnya, maka kamu jangan menjadi penyebab hilangnya kebaikan itu karena perbuatanmu.
Di antaranya: Hendaknya seorang hamba merasa cukup dengan rizki Allah جَلَّ جَلالُهُ, merasa cukup dengan halal tanpa haram. Cukup dengan usaha-usaha yang halal tanpa usaha-usaha yang haram. Hal itu adalah lebih baik baginya berdasarkan ucapan Syu’aib,
بَقِيَّةُ اللَّهِ خَيْرٌ لَكُمْ
“Sisa (keuntungan) dari Allah جَلَّ جَلالُهُ adalah lebih baik bagimu.” (Hud: 86).
Hal itu mengandung keberkahan dan tambahan rizki yang tidak terkandung pada sikap rakus atas usaha-usaha yang haram yang mencabut keberkahan rizki.
Di antaranya: Bahwa hal itu termasuk tuntutan dan buah iman, karena dia mengkaitkan hal itu dengan keberadaan iman, ini menunjukkan bahwa apabila amal perbuatan tidak ada, maka iman itu berkurang atau tidak ada.
Di antaranya: Shalat senantiasa disyariatkan kepada para nabi terdahulu, ia termasuk amal perbuatan yang paling utama, sampai-sampai orang-orang kafir pun mengakui keutamaannya dan keunggulannya di atas amal-amal yang lain. Shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Ia adalah timbangan bagi iman dan syariat-syariatnya. Dengan menegakkannya, keadaan seorang hamba menjadi sempurna dan dengan meninggalkannya, keadaan agamanya menjadi berantakan.
Di antaranya: Harta yang Allah جَلَّ جَلالُهُ rizkikan kepada manusia, meskipun Allah جَلَّ جَلالُهُ telah memberikannya kepadanya, dia tetap tidak boleh berbuat pada harta itu sesukanya karena ia adalah amanat di tangannya. Dia harus menunaikan hak Allah جَلَّ جَلالُهُ pada harta itu dengan menunaikan kewajiban-kewajiban yang terkait dengannya, menjauhi usaha-usaha yang dilarang oleh Allah جَلَّ جَلالُهُ dan RasulNya, tidak sebagaimana yang diklaim oleh orang-orang kafir dan yang seperti mereka bahwa mereka boleh melakukan apa yang mereka sukai pada harta mereka, menyelarasi hukum Allah جَلَّ جَلالُهُ atau menyelisihinya.
Di antaranya: Termasuk kelengkapan dan kesempurnaan dakwah seorang da’i adalah hendaknya dia menjadi orang pertama yang melakukan perintahnya sendiri ketika dia memerintahkannya kepada orang lain, dan orang pertama yang meninggalkan larang-annya sendiri yang mana dia larangkan untuk orang lain sebagai-mana Syu’aib ‘alaihissalam berkata,
وَمَا أُرِيدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَى مَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ
“Dan aku tidak berkehendak menyalahimu dengan melakukan apa yang aku larang.” (Hud: 88)
Sebagaimana Firman Allah جَلَّ جَلالُهُ,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ (2) كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ (3)
“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah جَلَّ جَلالُهُ bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (Ash-Shaf: 2-3).
Di antaranya: Tugas, agama dan Sunnah Rasul adalah berkehendak untuk memperbaiki menurut kemampuan dan kemungkinan, mereka berusaha mewujudkan kebaikan dan menyempurnakannya atau mewujudkan sesuatu yang mereka mampu untuk mewujudkannya, menolak dan meminimalkan kerusakan serta menjaga kepentingan umum di atas kepentingan khusus.
Hakikat kemaslahatan itu adalah sesuatu yang dengannya kemaslahatan manusia bisa diwujudkan, urusan agama dan dunia mereka menjadi lurus.
Di antaranya: Barangsiapa melakukan perbaikan sebatas kemampuannya, maka dia tidak dicela dan disalahkan pada bagian yang dia tidak lakukan karena dia tidak mampu. Seorang hamba harus melakukan perbaikan pada diri dan orang lain semampunya.
Di antaranya: Hendaknya seorang hamba tidak bergantung kepada dirinya sekejap pun, tetapi hendaklah dia senantiasa meminta tolong kepada Rabbnya, bertawakal kepadaNya dan meminta taufik, jika dia mendapatkan taufik, maka hendaknya dia menisbatkannya kepada Pemberinya, dan jangan ujub terhadap dirinya sendiri sebagaimana Syu’aib berkata,
وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah جَلَّ جَلالُهُ. Hanya kepada Allah جَلَّ جَلالُهُ aku bertawakal, dan hanya kepadaNyalah aku kembali.” (Hud: 88)
Di antaranya: Mewaspadai azab-azab yang menimpa umat-umat terdahulu dan apa yang terjadi pada mereka, hendaknya kisah-kisah tentang azab para pelaku dosa disampaikan untuk memberi nasihat dan peringatan, sebagaimana kisah-kisah tentang balasan Allah جَلَّ جَلالُهُ kepada orang-orang yang bertakwa disampaikan untuk memacu dan mendorong kepada ketakwaan.
Di antaranya: Orang yang bertaubat dari dosa sebagaimana dosanya dimaafkan dan diampuni, maka dia juga dicintai dan disukai oleh Allah جَلَّ جَلالُهُ, tidak perlu memandang ucapan orang yang berkata, “Bahwa orang yang bertaubat sudah cukup baginya kalau diampuni dan dimaafkan.” Masalah dicintai dan disukai oleh Allah جَلَّ جَلالُهُ, maka itu tidak terjadi, (yang benar adalah yang pertama) karena Allah جَلَّ جَلالُهُ berfirman,
وَاسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ إِنَّ رَبِّي رَحِيمٌ وَدُودٌ
“Dan mohonlah ampun kepada Rabbmu, kemudian bertaubatlah kepadaNya. Sesungguhnya Rabbku Maha Penyayang lagi Maha Pengasih.” (Hud: 90)
Di antaranya: Allah جَلَّ جَلالُهُ membela orang-orang Mukmin dengan banyak sebab, mereka mungkin mengetahui sebagian sebab darinya, dan mungkin pula tidak mengetahui sedikit pun darinya, dan mungkin saja Allah جَلَّ جَلالُهُ membelanya melalui kabilahnya dan penduduk negerinya yang kafir, sebagaimana Allah جَلَّ جَلالُهُ menjaga Syu’aib dari rajam kaumnya dengan sebab kabilahnya.
Sesungguhnya hubungan seperti ini yang dengannya pembelaan kepada Islam bisa diwujudkan boleh-boleh saja dilakukan, bahkan bisa jadi harus dilakukan, karena usaha perbaikan selalu dituntut berdasarkan kemungkinan dan kemampuan. Berdasarkan hal ini, seandainya kaum Muslimin yang berada di bawah kepemimpinan orang-orang kafir berpartisipasi dan berusaha menjadikan pemerintahan dalam bentuk republik (atas dasar demokrasi, pent.) yang dengannya pribadi dan masyarakat Muslimin bisa mendapatkan hak-hak agama dan dunia, niscaya itu lebih baik daripada tunduk kepada negara yang membunuh hak-hak agama dan dunia mereka, dan berusaha memberangus mereka, menjadikan mereka hanya sebagai kuli dan pembantu untuk mereka. Benar, jika memungkinkan negara itu dipegang oleh kaum Muslimin dan kaum Musliminlah yang menjadi pemimpinnya, maka itu harus dipilih, akan tetapi jika ini tidak mungkin, maka tingkatan di bawahnya yang memberi perlindungan bagi agama dan dunia harus didahulukan. Wallahu a’lam
Keberadaan kaum nabi syuaib yang dibinasakan Allah seolah-olah mereka belum pernah tinggal di tempat itu, karena semua makhluk hidup telah binasa dan bangunan tempat tinggal mereka pun telah hancur. Ingatlah, binasalah penduduk madyan sebagaimana kaum samud juga telah binasa dengan suara yang mengguntur; kaum samud dibinasakan oleh suara yang mengguntur dari bawah, sedang penduduk madyan dibinasakan oleh suara yang mengguntur dari atas akibat kedurhakaan dan kesombongan mereka. Pada ayat berikut Allah menjelaskan kisah nabi musa ketika menghadapi fir’aun. Dan sungguh, kami telah mengutus nabi musa untuk menyampaikan risalah Allah disertai dengan tanda-tanda yang membuktikan kekuasaan dan keesaan kami berupa kitab taurat atau sembilan tanda-tanda kekuasaan Allah (lihat: surah al-a’ra’f/7: 133 dan al-isra’/17: 101). Dan kami anugerahkan kepadanya bukti yang nyata berupa mukjizat yang membuktikan tentang kerasulannya.
Hud Ayat 95 Arab-Latin, Terjemah Arti Hud Ayat 95, Makna Hud Ayat 95, Terjemahan Tafsir Hud Ayat 95, Hud Ayat 95 Bahasa Indonesia, Isi Kandungan Hud Ayat 95
Tafsir Surat Hud Ayat: 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | 21 | 22 | 23 | 24 | 25 | 26 | 27 | 28 | 29 | 30 | 31 | 32 | 33 | 34 | 35 | 36 | 37 | 38 | 39 | 40 | 41 | 42 | 43 | 44 | 45 | 46 | 47 | 48 | 49 | 50 | 51 | 52 | 53 | 54 | 55 | 56 | 57 | 58 | 59 | 60 | 61 | 62 | 63 | 64 | 65 | 66 | 67 | 68 | 69 | 70 | 71 | 72 | 73 | 74 | 75 | 76 | 77 | 78 | 79 | 80 | 81 | 82 | 83 | 84 | 85 | 86 | 87 | 88 | 89 | 90 | 91 | 92 | 93 | 94 | 95 | 96 | 97 | 98 | 99 | 100 | 101 | 102 | 103 | 104 | 105 | 106 | 107 | 108 | 109 | 110 | 111 | 112 | 113 | 114 | 115 | 116 | 117 | 118 | 119 | 120 | 121 | 122 | 123
Raih pahala amal jariyah dengan cara membagikan (share) konten ini kepada yang lainnya. Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه
"Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)