{88} Al-Ghasyiyah / الغاشية | الْقُرْآنُ الْكَرِيْمُ | البلد / Al-Balad {90} |
Tafsir Al-Qur’an Surat Al-Fajr الفجر (Fajar) lengkap dengan tulisan arab latin, arti dan terjemah Bahasa Indonesia. Surah ke 89 Tafsir ayat Ke 3.
وَالشَّفْعِ وَالْوَتْرِ ﴿٣﴾
wasy-syaf’i wal-watr
QS. Al-Fajr [89] : 3
demi yang genap dan yang ganjil,
Allah bersumpah demi waktu fajar, dan demi sepuluh malam pertama dari Dzulhijjah dan apa yang dengannya ia dimuliakan, demi semua bilangan genap dan ganjil, dan demi malam apabila berlalu dengan kegelapannya. Bukankah sumpah-sumpah tersebut dapat mengingatkan orang yang berakal?
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
dan yang genap dan yang ganjil. (Al-Fajr: 3)
Dalam hadis di atas telah disebutkan bahwa yang dimaksud dengan al-watr ialah hari ‘Arafah karena jatuh pada tanggal sembilan Zul Hijjah, dan yang dimaksud dengan asy-syaf’u ialah Hari Raya Kurban karena ia jatuh pada tanggal sepuluh. Hal yang sama telah dikatakan pula oleh Ibnu Abbas, Ikrimah, dan Ad-Dahhak.
Pendapat kedua. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id Al-Asyaj, telah menceritakan kepadaku Uqbah ibnu Khalid, dari Wasil ibnus Sa’ib yang mengatakan bahwa ia telah bertanya kepada Ata tentang makna firman-Nya: dan yang genap dan yang ganjil. (Al-Fajr: 3) Apakah yang dimaksud adalah salat witir yang biasa kita kerjakan? Ata menjawab, “Bukan, tetapi yang dimaksud dengan asy-syaf’u ialah hari ‘ Arafah, dan yang dimaksud dengan al-watru adalah Hari Raya Ad-ha.”
Pendapat ketiga. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Amir ibnu Ibrahim Al-Asbahani, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari An-Nu’man ibnu Abdus Salam, dari Abu Sa’id ibnu Auf yang menceritakan kepadaku di Mekah, bahwa ia pernah mendengar Abdullah ibnuz Zubair berkhotbah, lalu berdirilah seorang lelaki mengatakan, “Wahai Amirul Mu’minin, terangkanlah kepadaku makna syaf’u dan watru. Maka Abdullah ibnuz Zubair menjawab, bahwa yang dimaksud dengan asy-syaf’u ialah apa yang disebutkan oleh Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى dalam firman-Nya: Barang siapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. (Al-Baqarah: 203) Dan yang dimaksud dengan al-watru ialah apa yang disebutkan oleh Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى dalam firman-Nya: Dan barang siapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosapula baginya. (Al-Baqarah: 203)
Ibnu Juraij mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnul Murtafi”, ia pernah mendengar Ibnuz Zubair mengatakan bahwa asy-syaf’u adalah pertengahan hari-hari tasyriq, sedangkan al-watru ialah akhir hari-hari tasyriq.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan melalui riwayat Abu Hurairah, dari Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang telah bersabda:
Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, yakni seratus kurang satu; barang siapa yang menghafalnya, maka ia masuk surga; Dia adalah Esa dan menyukai yang esa.
Pendapat keempat. Al-Hasan Al-Basri dan Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa semua makhluk adalah genap dan ganjil; Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى bersumpah dengan menyebut makhluk-Nya. Pendapat ini merupakan suatu riwayat yang bersumber dari Mujahid. Tetapi pendapat terkenal yang bersumber dari Mujahid menyebutkan sebagaimana pendapat yang pertama.
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan yang genap dan yang ganjil. (Al-Fajr: 3) Ibnu Abbas mengatakan bahwa Allah Esa, sedangkan kamu adalah genap. Dan dikatakan bahwa asy-syaf’u adalah salat Isya (genap rakaatnya), sedangkan salat yang witir (ganjil) adalah salat Magrib.
Pendapat kelima. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Musa, dari Israil, dari Abu Yahya, dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: dan yang genap dan yang ganjil. (Al-Fajr: 3) Bahwa yang dimaksud dengan asy-syaf’u ialah sejodoh, dan yang dimaksud dengan al-watru adalah Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى Abu Abdullah telah meriwayatkan dari Mujahid, bahwa Allah adalah al-watru; sedangkan makhluk-Nya adalah asy-syaf’u alias genap, yakni laki-laki dan perempuan (jantan dan betina).
Ibnu Abu Najih telah meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: dan yang genap dan yang ganjil. (Al-Fajr: 3) Segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah disebut asy-syaf’u (genap), langit dan bumi, daratan dan lautan, jin dan manusia, matahari dan rembulan, demikianlah seterusnya. Mujahid dalam hal ini mengikuti pendapat yang dikatakan oleh mereka sehubungan dengan makna firman-Nya:
Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah. (Adz-Dzariyat: 49)
Yakni agar kamu mengetahui bahwa yang menciptakan makhluk yang berpasang-pasangan adalah Tuhan Yang Maha Esa.
Pendapat keenam. Qatadah telah meriwayatkan dari Al-Hasan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan yang genap dan yang ganjil. (Al-Fajr: 3) Bahwa bilangan itu ada yang genap dan ada yang ganjil.
Pendapat yang ketujuh sehubungan dengan makna ayat ini diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir melalui jalur Ibnu Juraij. Kemudian Ibnu Jarir mengatakan bahwa telah diriwayatkan dari Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ suatu hadis yang menguatkan pendapat yang telah kami sebutkan dari Ibnuz Zubair.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Abu Ziyad Al-Qatwani, telah menceritakan kepada kami Zaid Al-Habbab, telah menceritakan kepadaku Iyasy ibnu Uqbah, telah menceritakan kepadaku Khair ibnu Na’ im, dari Abuz Zubair, dari Jabir, bahwa rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah bersabda:
Asy-syaf’u adalah dua hari dan al-watru adalah hari yang ketiganya.
Demikianlah hadis ini dikemukakan, yakni dengan lafaz tersebut. tetapi bertentangan dengan lafaz yang telah disebutkan sebelumnya dalam riwayat Imam Ahmad, Imam Nasai, dan Ibnu Abu Hatim, juga apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir sendiri; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Abul Aliyah dan Ar-Rabi’ ibnu Anas serta selain keduanya mengatakan bahwa salat itu ada yang rakaatnya genap —seperti empat rakaat dan dua rakaat— ada juga yang ganjil —seperti salat Magrib yang jumlah rakaatnya ada tiga, yang boleh dibilang salat witir di (penghujung) siang hari—. Demikian pula salat witir yang dilakukan di akhir tahajud yang terbilang witir malam hari.
Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari Ma’mar, dari Qatadah. dan Imran ibnu Husain sehubungan dengan firman-Nya: dan yang genap dan yang ganjil. (Al-Fajr: 3)
Bahwa yang dimaksud adalah salat-salat fardu, yang antara lain ada yang genap bilangan rakaatnya dan ada pula yang ganjii. Tetapi asar ini munqathi lagi mauquf, lafaznya hanya khusus menyangkut salat fardu. Sedangkan menurut yang diriwayatkan secara muttasil lagi marfu’ sampai kepada Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyebutkan dengan lafaz yang umum (yakni salat fardu dan juga salat sunat).
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Daud At-Tayalisi, telah menceritakan kepada kami Hammam. dari Qatadah, dari Imran ibnu Isam, bahwa seorang syekh dari ulama Basrah pernah menceritakan kepadanya sebuah hadis dari Imran ibnu Husain, bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah ditanya tentang makna asy-syaf’u dan al-watru. Maka beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjawab: Maksudnya adalah salat, sebagian darinya ada yang genap (rakaatnya) dan sebagian yang lain ada yang ganjil.
Demikianlah yang tertera di dalam kitab musnad.
Hal yang sama telah diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir, dari Bandar, dari Affan dan dari Abu Kuraib alias Ubaidillah ibnu Musa, keduanya dari Hammam ibnu Yahya, dari Qatadah, dari Imran ibnu Isam, dari seorang syekh, dari Imran ibnu Husain.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Abu Isa alias Imam Turmuzi, dari Amr ibnu Ali, dari Ibnu Mahdi dan Abu Daud, keduanya dari Hanimam, dari Qatadah, dari Imran ibnu Isam, dari seorang ulama Basrah, dari Imran ibnu Husain dengan sanad yang sama. Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini garib, kami tidak mengenalnya melainkan hanya melalui hadis Qatadah. Dan Khalid ibnu Qais telah meriwayatkannya pula dari Qatadah. Telah diriwayatkan pula dari Imran ibnu Isam, dari Imran ibnu Husain sendiri; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Menurut hemat penulis, Ibnu Abu Hatim telah meriwayatkannya pula, ia mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan Al-Wasiti, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Hammam, dari Qatadah, dari Imran ibnu Isam Ad-Dab”i seorang syekh dari kalangan penduduk Basrah, dari Imran ibnu Husain, dari Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, lalu disebutkan hal yang semisal. Demikianlah yang penulis lihat di dalam kitab tafsirnya, dia menjadikan syekh dari Basrah itu adalah Imran ibnu Isam sendiri.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, bahwa telah menceritakan kepada kami Nasr ibnu Ali, telah menceritakan kepadaku ayahku, telah menceritakan kepadaku Khalid ibnu Qais, dari Qatadah, dari Imran ibnu Isam, dari Imran ibnu Husain, dari Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sehubungan dengan makna asy-syaf’u dan al-watru. Beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda: Maksudnya ialah salat, di antaranya ada yang genap dan di antaranya ada yang ganjil (rakaatnya).
Dalam riwayat ini tidak disebutkan syekh yang tidak dikenal itu, dan hanya disebutkan Imran ibnu Isam Ad-Dab’i sendiri, dia adalah Abu linarah Al-Basri Imam masjid Bani Dabi’ah. Dia adalah orang tua dari Abu Jamrah Nasr ibnu Imran Ad-Dab’i. Qatadah dan putranya (yaituAbu Jamrah) dan Al-Musanna ibnu Sa’id serta Abut Tayyah alias Yazid ibnu Humaid telah mengambil riwayat darinya.
Ibnu Hibban menyebutkannya di dalam Kitabus Siqat sebagai salah seorang yang berpredikat siqah, dan Khalifah ibnu Khayyat menyebutkannya di kalangan para tabi’in dari kalangan penduduk Basrah. Dia adalah seorang yang terhormat, mulia, dan mempunyai kedudukan di sisi Al-Hajjaj ibnu Yusuf. Kemudian Al-Hajjaj membunuhnya di dalam Perang Ar-Rawiyah pada tahun 82 Hijriah, karena ia bergabung dengan Ibnul Asy’as. Pada Imam Turmuzi tiada lagi hadisnya selain dari hadis ini; tetapi menurut hemat penulis, predikat mauquf hadis ini hanya sampai kepada Imran ibnu Husain, lebih mendekati kepada kebenaran; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Dan Ibnu Jarir tidak memutuskan dengan tegas mana yang dipilihnya di antara pendapat-pendapat tersebut di atas mengenai masalah genap dan ganjil ini.
1-5. Zahirnya, apa yang disumpahkan itulah yang menjadi obyek sumpah. Hal ini boleh dan lazim digunakan bila obyek sumpah berupa sesuatu yang zahir dan penting. Dan seperti itu juga dalam ayat ini.
Allah bersumpah dengan waktu fajar, yaitu penghujung malam dan permulaan siang. Karena di waktu akhir malam dan permulaan siang terdapat tanda-tanda kebesaran Allah yang mengatur seluruh hal, yang menunjukkan kekuasaanNya yang sempurna. Dialah yang mengatur seluruh hal, yang hanya kepadaNya-lah ibadah layak ditunaikan. Di saat fajar, terdapat shalat utama lagi diagungkan yang baik untuk dijadikan sebagai obyek sumpah oleh Allah. Karena itu, setelahnya Allah bersumpah dengan sepuluh malam yang menurut pendapat yang benar adalah sepuluh malam di bulan Ramadhan atau sepuluh hari di bulan Dzulhijjah. Karena malam-malam tersebut mencakup hari-hari mulia, yang di dalamnya berlaku berbagai macam ibadah dan dan pendekatan diri yang tidak terdapat pada waktu lain.
Pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan terdapat malam lailatul qadar, yaitu malam yang lebih baik dari seribu bulan dan pada siang harinya terdapat puasa di akhir akhir bulan Ramadhan yang merupakan salah satu rukun Islam yang agung.
Pada sepuluh hari di bulan Dzulhijjah terdapat wuquf di Arafah yang pada saat itu Allah memberikan ampunan kepada para hambaNya yang membuat setan sedih. Setan tidak terlihat lebih hina dan kalah melebihi kehinaan dan kekalahannya di hari Arafah karena banyaknya malaikat dan rahmat yang turun dari Allah untuk para hambaNya. Pada hari itu, kebanyakan kegiatan haji dan umrah dilakukan. Semua itu adalah hal-hal agung yang berhak dijadikan sumpah oleh Allah.
“Dan demi malam bila berlalu,” yakni saat berlalu dan menurunkan kegelapannya atas manusia sehingga mereka menjadi tenang, nyaman, dan tentram sebagai rahmat dan hikmah dari Allah. “Pada yang demikian itu,” yang disebutkan sebelumnya, “terdapat sumpah (yang dapat diterima) oleh orang-orang yang berakal,” yakni untuk orang yang berakal sehat. Ya, sebagian dari hal itu cukup bagi orang-orang yang memiliki akal atau mendengar sebagai yang menyaksikan.
1-4. Demi fajar, yaitu awal mula terangnya bumi setelah kegelapan malam sirna. Pada waktu ini manusia memulai aktivitasnya. Di balik kemunculan fajar itu pasti ada zat yang mahaperkasa. Demi malam yang sepuluh, yaitu sepuluh hari pertama bulan zulhijah. Mereka yang beramal saleh pada hari-hari tersebut akan mendapat pahala yang sangat agung. Demi yang genap dan yang ganjil dari semua hal. Bisa juga dipahami bahwa yang genap itu adalah makhluk Allah, sedangkan yang ganjil adalah Allah. Dia maha esa dan tanpa bandingan. Allah tidak membutuhkan apa dan siapa pun, sedang makhluk sangat bergantung pada yang lain. Demi malam apabila berlalu dan digantikan siang
Al-Fajr Ayat 3 Arab-Latin, Terjemah Arti Al-Fajr Ayat 3, Makna Al-Fajr Ayat 3, Terjemahan Tafsir Al-Fajr Ayat 3, Al-Fajr Ayat 3 Bahasa Indonesia, Isi Kandungan Al-Fajr Ayat 3
Tafsir Surat Al-Fajr Ayat: 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | 21 | 22 | 23 | 24 | 25 | 26 | 27 | 28 | 29 | 30
Raih pahala amal jariyah dengan cara membagikan (share) konten ini kepada yang lainnya. Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه
"Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)