{2} Al-Baqarah / البقرة | الْقُرْآنُ الْكَرِيْمُ | النساء / An-Nisa {4} |
Tafsir Al-Qur’an Surat Ali ‘Imran آل عمران (Keluarga ‘Imran) lengkap dengan tulisan arab latin, arti dan terjemah Bahasa Indonesia. Surah ke 3 Tafsir ayat Ke 7.
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ ۖ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ ۗ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ ۗ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ ﴿٧﴾
huwallażī anzala ‘alaikal-kitāba min-hu āyātum muḥkamātun hunna ummul-kitābi wa ukharu mutasyābihāt, fa ammallażīna fī qulụbihim zaigun fayattabi’ụna mā tasyābaha min-hubtigā`al-fitnati wabtigā`a ta`wīlih, wa mā ya’lamu ta`wīlahū illallāh, war-rāsikhụna fil-‘ilmi yaqụlụna āmannā bihī kullum min ‘indi rabbinā, wa mā yażżakkaru illā ulul-albāb
QS. Ali ‘Imran [3] : 7
Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad). Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok Kitab (Al-Qur’an) dan yang lain mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, mereka mengikuti yang mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang ilmunya mendalam berkata, “Kami beriman kepadanya (Al-Qur’an), semuanya dari sisi Tuhan kami.” Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang yang berakal.
Dialah Allah semata yang menurunkan Al Qur’an kepadamu; diantara Al Qur’an ada ayat-ayat yang petunjuknya jelas, ayat-ayat tersebut merupakan induk Al Qur’an yang menjadi rujukan saat terjadi kemusykilan, apa yang menyelisihinya dikembalikan kepadanya. Di antara Al Qur’an ada ayat-ayat yang mutasyabihat yang hanya mengandung sebagian makna-makna. Maksudnya tidak bisa dipastikan kecuali bila ia dikembalikan kepada muhkam. Orang-orang yang memiliki hati yang sakit lagi menyimpang, mereka hanya mengikuti ayat-ayat mutasyabihat semata untuk menimbulkan syubhat-syubhat di kalangan manusia, sehingga mereka menyesatkan manusia dan agar bisa menakwilkannya sesuai dengan madzhab rusak mereka. Hakikat makna dari ayat-ayat mutasyabihat hanya diketahui oleh Allah, sedangkan orang-orang yang berilmu mendalam berkata, “Kami beriman kepada Al Qur’an ini, seluruhnya datang dari sisi Tuhan kami melalui lisan Rasul-Nya Muhammad”, mereka mengembalikan ayat-ayat mutasyabihat kepada muhkamat. Yang memahami, mengerti dan merenungkan ayat-ayat Allah dengan benar hanyalah orang-orang yang berakal lurus.
Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى memberitakan bahwa di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat muhkam, yang semuanya merupakan Ummul Kitab, yakni terang dan jelas pengertiannya, tiada seorang pun yang mempunyai pemahaman yang keliru tentangnya. Bagian yang lain dari kandungan Al-Qur’an adalah ayat-ayat mutasyabih (yang samar) pengertiannya bagi kebanyakan orang atau sebagian dari mereka. Barang siapa yang mengembalikan hal yang mutasyabih kepada dalil yang jelas dari Al-Qur’an, serta memutuskan dengan ayat yang muhkam atas ayat yang mutasyabih, maka sesungguhnya dia mendapat petunjuk. Barang siapa yang terbalik, yakni memutuskan yang mutasyabih atas yang muhkam, maka terbaliklah dia. Karena itulah Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berfirman:
…itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an.
Yaitu pokok dari isi Al-Qur’an yang dijadikan aijukan di saat menjumpai yang mutasyabih.
…dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat.
Yakni ayat-ayat yang pengertiannya terkadang mirip dengan ayat-ayat yang muhkam dan terkadang mirip dengan pengertian lainnya bila ditinjau dari segi lafaz dan susunannya, tetapi tidak dari segi makna yang dimaksud. Mereka berselisih pendapat mengenai muhkam dan mutasyabih, berbagai pendapat banyak diriwayatkan dari kalangan ulama Salaf. Untuk itu, Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa ayat-ayat yang muhkam adalah ayat-ayat yang me-nasakh (merevisi), ayat-ayat yang menerangkan tentang halal dan haram, batasan-batasan dari Allah, serta semua hal yang berpengaruh dan diamalkan.
Disebutkan pula dari Ibnu Abbas bahwa ayat-ayat muhkam (antara lain) ialah firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Katakanlah, “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kalian oleh Tuhan kalian, yaitu janganlah kalian mempersekutukan sesuatu dengan Dia (Al An’am:151)
Dan ayat-ayat lain yang sesudahnya, juga firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kalian jangan menyembah selain Dia. (Al Israa’:23)
Serta ketiga ayat sesudahnya. Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya pula, dia meriwayatkannya dari Said ibnu Jubair dengan lafaz yang sama.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepadaku ayahku, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Harb, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Zaid, dari Ishaq ibnu Suwaid, bahwa Yahya ibnu Ya’mur dan Abu Fakhitah melakukan perdebatan sehubungan dengan makna ayat ini, yaitu firman-Nya:
…itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat.
Maka Abu Fakhitah berkata, “Yang dimaksud dengan ayat-ayat mutasyabihat ialah pembukaan tiap-tiap surat (yang terdiri atas rangkaian huruf-huruf hijaiyah).” Sedangkan menurut Yahya ibnu Ya’mur, makna yang dimaksud dengan Ummul Kitab ialah yang menyangkut fardu-fardu, perintah, dan larangan, serta halal dan haram.
Ibnu Luhai’ah meriwayatkan dari Ata ibnu Dinar, dari Sa’id ibnu Jubair sehubungan dengan firman-Nya:
…itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an.
Dinamakan Ummul Kitab karena ayat-ayat tersebut tertulis di dalam semua kitab.
Muqatil ibnu Hayyan mengatakan bahwa dikatakan demikian karena tiada seorang pemeluk agama pun melainkan ia rida dengannya. Menurut pendapat yang lain sehubungan dengan ayat-ayat mutasyabihat, yang dimaksud adalah ayat yang di-mansukh, hal yang didahulukan dan hal yang diakhirkan, semua misal (perumpamaan) yang terdapat di dalam Al-Qur’an, semua qasam (sumpah) dan hal-hal yang hanya diimani tetapi tidak diamalkan. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ali ibnu Abu Talhah dari Ibnu Abbas.
Menurut pendapat yang lain, ayat-ayat mutasyabihat ialah huaif-huruf hijaiyah yang ada pada permulaan tiap-tiap surat. Demikian menurut Muqatil ibnu Hayyan.
Telah diriwayatkan dari Mujahid, bahwa ayat-ayat mutasyabihat sebagian darinya membenarkan sebagian yang lain. Hal ini hanyalah menyangkut tafsir firman-Nya:
yaitu sebuah kitab (Al-Qur’an) yang serupa lagi berulang-ulang. (Az Zumar:23)
Dalam tafsir ayat ini mereka menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan mutasyabih ialah suatu kalam yang berada dalam konteks yang sama, sedangkan yang dimaksud dengan masani ialah kalam yang menggambarkan dua hal yang berlawanan, seperti gambaran surga dan gambaran neraka, dan keadaan orang-orang yang bertakwa dengan keadaan orang-orang yang durhaka, begitulah seterusnya.
Yang dimaksud dengan istilah mutasyabih dalam ayat ini ialah lawan kata dari muhkam. Pendapat yang paling baik sehubungan dengan masalah ini ialah apa yang telah kami sebut di atas, yaitu yang dinaskan oleh Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar ketika ia mengatakan sehubungan dengan tafsir firman-Nya:
…Di antara (isi)nya ada ayat-ayat muhkamat…
Ayat-ayat yang muhkam merupakan hujah Tuhan, dan pemeliharaan bagi hamba-hamba Allah, serta untuk mematahkan hujah lawan yang batil. Ayat-ayat ini tidak dapat dibelokkan pengertiannya dan tidak dapat ditakwilkan dengan pengertian yang menyimpang dari apa adanya.
Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar mengatakan bahwa mutasyabihat dalam hal kebenarannya tidak memerlukan adanya pengertian lain dan takwil yang terkandung di balik makna lahiriahnya, Allah menguji hamba-hamba-Nya dengan ayat-ayat mutasyabihat ini, sebagaimana Dia menguji mereka dengan masalah halal dan haram. Pada garis besarnya ayat-ayat mutasyabihat tidak boleh dibelokkan kepada pengertian yang batil dan tidak boleh diselewengkan dari perkara yang hak.
Karena itulah Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berfirman:
Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan.
Yakni kesesatan dan menyimpang dari perkara yang hak, menyukai perkara yang batil.
Maka mereka mengikuti ayat yang mutasyabihat darinya.
Yaitu sesungguhnya mereka hanya mau mengambil yang mutasyabihnya saja, karena dengan yang mutasyabih itu memungkinkan bagi mereka untuk membelokkannya sesuai dengan tujuan-tujuan mereka yang rusak, lalu mereka mengartikannya dengan pengertian tersebut, mengingat lafaznya mirip dengan pengertian mereka yang menyimpang. Terhadap yang muhkam, maka tidak ada jalan bagi mereka untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan padanya, karena yang muhkam merupakan hujah yang mematahkan alasan mereka dan dapat membungkam mereka.
Karena itulah Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berfirman:
…untuk menimbulkan fitnah.
Yaitu untuk menyesatkan para pengikut mereka dengan cara memakai Al-Qur’an sebagai hujah mereka untuk mengelabui para pengikutnya terhadap bid’ah yang mereka lakukan. Padahal kenyataannya hal tersebut merupakan hujah yang menghantam mereka dan sama sekali bukan hujah yang mereka peralat. Perihalnya sama dengan masalah seandainya orang-orang Nasrani mengemukakan hujahnya ‘Al-Qur’an telah menyebutkan bahwa Isa adalah roh (ciptaan) Allah dan kalimat (perintah)-Nya yang Dia sampaikan kepada Maryam dan roh dari Allah’, tetapi mereka mengesampingkan firman-Nya yang mengatakan:
Isa tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami berikan kepadanya nikmat (kenabian). (Az Zukhruf:59)
Sesungguhnya misal (penciptaan) isa di sisi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya, “Jadilah” (seorang manusia), maka jadilah dia. (Ali Imran:59)
Dan ayat-ayat lainnya yang muhkam lagi jelas menunjukkan bahwa Isa adalah salah seorang dari makhluk Allah, dan merupakan seorang hamba serta seorang rasul di antara rasul-rasul Allah.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
dan untuk mencari-cari takwilnya.
Yakni penyimpangannya menurut apa yang mereka kehendaki. Muqatil ibnu Hayyan dan As-Saddi mengatakan bahwa mereka ingin mencari tahu apa yang bakal terjadi dan bagaimana akibat dari ber-bagai hal melalui Al-Qur’an.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail, telah menceritakan kepada kami Ya’qub, dari Abdullah ibnu Abu Mulaikah, dari Siti Aisyah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ membacakan firman-Nya:
Dialah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. sampai dengan firman-Nya: orang-orang yang berakal.
Lalu beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda: Apabila kalian melihat orang-orang yang berbantah-bantahan mengenainya (mutasyabih), maka merekalah orang-orang yang dimaksudkan oleh Allah. Karena itu, hati-hatilah kalian terhadap mereka.
Demikianlah bunyi hadis ini menurut apa yang terdapat di dalam Musnad Imam Ahmad melalui riwayat Ibnu Abu Mulaikah, dari Siti Aisyah r.a. tanpa ada seorang perawi pun di antara keduanya (antara Ibnu Abu Mulaikah dengan Siti Aisyah).
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Majah melalui jalur Ismail ibnu Ulayyah dan Abdul Wahhab As-Saqafi, keduanya dari Ayyub dengan lafaz yang sama. Muhammad ibnu Yahya Al-Abdi meriwayatkan pula di dalam kitab musnadnya melalui Abdul Wahhab As-Saqafi dengan lafaz yang sama. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abdur Razzaq, dari Ma’mar, dari Ayyub. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh bukan hanya seorang, dari Ayyub. Ibnu Hibban meriwayatkan pula di dalam kitab sahihnya melalui hadis Ayyub dengan lafaz yang sama.
Abu Bakar ibnul Munzir meriwayatkannya di dalam kitab tafsirnya melalui dua jalur, yaitu dari Abun Nu’man, Muhammad ibnul Fadl As-Sudusi yang laqab-nya (julukannya) adalah Arim, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Zaid, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Ibnu Abu Mulaikah, dari Siti Aisyah dengan lafaz yang sama. Ayyub (yaitu Abu Amir Al-Kharraz) dan lain-lainnya mengikutinya, dari Ibnu Abu Mulaikah, lalu Imam Turmuzi meriwayatkannya dari Bandar, dari Abu Daud At-Tayalisi, dari Abu Amir Al-Kharraz, kemudian ia menuturkan hadis ini.
Sa’id ibnu Mansur meriwayatkannya pula di dalam kitab sunnah-nya, dari Hammad ibnu Yahya, dari Abdullah ibnu Abu Mulaikah, dari Aisyah. Ibnu Jarir meriwayatkannya pula melalui hadis Rauh ibnul Qasim dan Nafi’ ibnu Umar Al-Jumahi, keduanya dari Ibnu Abu Mulaikah, dari Aisyah.
Nafi’ mengatakan dalam riwayatnya dari Ibnu Abu Mulaikah, bahwa Siti Aisyah pernah menceritakan kepadaku, lalu ia (Ibnu Abu Mulaikah) menuturkan hadis ini.
Imam Bukhari meriwayatkan pula hadis ini dalam tafsir ayat ini, sedangkan Imam Muslim meriwayatkannya di dalam Kitabul Qadar dari kitab sahihnya, dan Abu Daud di dalam kitab sunnahnya, ketiganya meriwayatkan hadis ini dari Al-Aqnabi, dari Yazid ibnu Ibrahim At-Tusturi dari Ibnu Abu Mulaikah dari Al-Qasim ibnu Muhammad dari Siti Aisyah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ membaca ayat berikut, yaitu firman-Nya:
Dialah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat., sampai dengan firman-Nya: Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan orang-orang yang berakal.
Siti Aisyah r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda:
Apabila kalian melihat orang-orang yang mengikuti hal-hal yang mutasyabih darinya, maka mereka itulah orang-orang yang disebutkan oleh Allah, maka hati-hatilah kalian terhadap mereka.
Demikianlah menurut lafaz Imam Bukhari.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Turmuzi melalui Bandar, dari Abu Daud At-Tayalisi, dari Yazid ibnu Ibrahim dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih. Imam Turmuzi menuturkan bahwa Yazid ibnu Ibrahim At-Tusturi sendirilah yang menyebut Al-Qasim dalam sanad ini, sedangkan menurut yang lainnya yang bukan hanya seorang meriwayatkannya dari Ibnu Abu Mulaikah langsung dari Siti Aisyah, tanpa menyebut Al-Qasim. Demikian komentar Imam Turmuzi.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abul Walid At-Tayalisi, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Ibrahim At-Tusturi dan Hammad ibnu Abu Mulaikah, dari Al-Qasim ibnu Muhammad, dari Siti Aisyah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah ditanya mengenai makna firman-Nya:
Adapun orang-orang yang di dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat darinya.
Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjawab melalui sabdanya:
Apabila kalian melihat orang-orang yang mengikuti hal-hal yang mutasyabih dari Al-Qur’an, maka mereka itulah orang-orang yang disebutkan oleh Allah (dalam ayat ini), maka hati-hatilah (waspadalah) kalian terhadap mereka.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Sahl, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim, dari Hammad ibnu Salamah, dari Abdur Rahman ibnul Qasim, dari ayah-nya, dari Siti Aisyah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah ditanya mengenai ayat ini, yaitu firman-Nya:
…maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat darinya untuk menimbulkan fitnah.
Kemudian beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda:
Allah telah memperingatkan kalian. Maka apabila kalian melihat mereka, waspadalah kalian terhadap mereka.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Murdawaih melalui jalur yang lain, dari Al-Qasim, dari Siti Aisyah dengan lafaz yang sama.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kamil, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Abu Galib yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abu Umamah menceritakan hadis berikut dari Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sehubungan dengan firman-Nya:
Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat darinya. (Ali Imran:7) bahwa mereka adalah golongan Khawarij. Juga firman-Nya:
Pada hari yang di waktu itu ada muka yang menjadi putih berseri, dan ada pula muka yang menjadi hitam muram. (Ali Imran:106). Mereka (yang mukanya menjadi hitam muram) adalah golongan Khawarij.
Minimal hadis ini berpredikat mauquf karena dikategorikan sebagai perkataan seorang sahabat, tetapi makna yang dikandungnya sahih (benar).
Karena sesungguhnya mula-mula bid’ah yang terjadi dalam permulaan masa Islam ialah fitnah Khawarij. Pada mulanya mereka muncul disebabkan masalah duniawi, yaitu ketika Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ membagi-bagi hasil ganimah Perang Hunain. Dalam akal mereka yang tidak sehat seakan-akan mereka melihat bahwa Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak berlaku adil dalam pembagian ganimah. Lalu mereka mengejutkan Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dengan suatu ucapan yang tidak pantas. Maka seseorang dari mereka (Khawarij) yang dikenal dengan julukan “Zul Khuwaisirah” (si pinggang kecil, semoga Allah merobek pinggangnya) berkata, “Berlaku adillah engkau, karena sesungguhnya engkau tidak adil.” Lalu Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjawab:
Sesungguhnya kecewa dan merugilah aku jika aku tidak adil. Allah mempercayakan aku untuk penduduk bumi, maka mengapa engkau tidak percaya kepadaku?
Ketika lelaki itu pergi, Umar ibnul Khattab —menurut riwayat yang lain Khalid ibnul Walid— meminta izin kepada Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ untuk membunuh lelaki yang mengatakan demikian itu. Tetapi Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda:
Biarkanlah dia, sesungguhnya kelak akan muncul dari golongan lelaki ini suatu kaum yang seseorang di antara kalian memandang kecil salatnya bila dibandingkan dengan salat mereka, dan bacaannya dengan bacaan mereka. Mereka menembus agama sebagaimana anak panah menembus sasarannya. Maka dimana pun kalian jumpai mereka, perangilah mereka, karena sesungguhnya bagi orang yang membunuh mereka akan mendapat pahala.
Mereka baru muncul dalam masa Khalifah Ali ibnu Abu Talib r.a.: dan ia memerangi mereka di Nahrawan. Kemudian bercabanglah dari mereka berbagai kabilah dan puak serta berbagai aliran dan sekte yang cukup banyak. Lalu muncullah aliran Qadariyah, Mu’tazilah, Jahmiyah, dan aliran-aliran bid’ah lainnya yang jauh sebelum itu telah diberitakan oleh Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dalam salah satu sabdanya:
Umat ini kelak akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya masuk neraka kecuali satu golongan. Mereka (para sahabat) bertanya, “Siapakah mereka yang satu golongan itu, ya Rasulullah?” Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjawab, “Orang-orang yang berpegang kepada tuntunanku dan tuntunan para sahabatku.”
Hadis diketengahkan oleh Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya dengan tambahan ini.
Al-Hafiz Abu Ya’la mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Musa, telah menceritakan kepada kami Amr Ibnu Asim, telah menceritakan kepada kami Al-Mu’tamir, dari ayahnya, dari Qatadah, dari Al-Hasan ibnu Jundub ibnu Abdullah, telah disampaikan kepadanya sebuah hadis dari Huzaifah atau dia mendengarnya langsung dari Huzaifah, dari Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Disebutkan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah menuturkan hal berikut: Sesungguhnya di dalam umatku terdapat suatu kaum, mereka membaca Al-Qur’an dengan bacaan yang sangat lancar seperti menebar anak panah, mereka menakwilkannya bukan dengan takwil yang sebenarnya.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
…pahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah.
Para ahli qurra berselisih pendapat mengenai bacaan waqaf dalam ayat ini. Menurut suatu pendapat, waqaf dilakukan pada lafzul Jalalah, seperti apa yang telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a., bahwa ia pernah mengatakan, “Tafsir itu ada empat macam, yaitu tafsir yang tidak sulit bagi seseorang untuk memahaminya, tafsir yang diketahui oleh orang-orang Arab melalui bahasanya, tafsir yang hanya diketahui oleh orang-orang yang berilmu mendalam, dan tafsir yang tiada yang mengetahuinya selain Allah.”
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Amr, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Hatim, dari ayahnya, dari Amr ibnu Syu’aib, dari ayahnya, dari Ibnul As, dari Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang telah bersabda: Sesungguhnya Al-Qur’an itu sebagian darinya tidaklah diturunkan untuk mendustakan sebagian yang lainnya. Maka apa saja darinya yang kalian ketahui, amalkanlah, dan apa saja darinya yang mutasyabih, maka berimanlah kalian kepadanya.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma’mar, dari Tawus, dari ayahnya yang menceritakan bahwa Ibnu Abbas membaca ayat ini dengan bacaan seperti berikut: Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya, melainkan Allah. Sedangkan orang-orang yang mendalam ilmunya (hanya) mengatakan, “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat.”
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Umar ibnu Abdul Aziz dan Malik ibnu Anas, bahwa mereka (orang-orang yang mendalam ilmunya) hanya beriman kepadanya, sedangkan mereka tidak mengetahui takwilnya.
Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa di dalam qiraat Abdullah ibnu Mas’ud disebutkan takwil ayat-ayat mutasyabihat hanya ada pada Allah, sedangkan orang-orang yang mendalam ilmunya hanya mengatakan, “Kami beriman kepada apa yang disebutkan oleh ayat-ayat mutasyabihat.”
Hal yang sama diriwayatkan dari Ubay ibnu Ka’b, dan pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir.
Di antara mereka ada yang melakukan waqaf pada firman-Nya:
Dan orang-orang yang mendalam ilmunya.
Pendapat ini diikuti oleh banyak ahli tafsir dan ahli Usul, dan mereka mengatakan bahwa khitab dengan memakai ungkapan yang tidak dimengerti merupakan hal yang mustahil.
Ibnu Abu Nujaih meriwayatkan dari Mujahid, dari Ibnu Abbas, bahwa ia pernah mengatakan, “Aku termasuk orang-orang yang mendalam ilmunya, yaitu mereka yang mengetahui takwilnya.”
Ibnu Abu Nujaih meriwayatkan pula dari Mujahid, bahwa orang-orang yang mendalam ilmunya mengetahui takwilnya dan mereka mengatakan, “Kami beriman kepadanya.” Hal yang sama dikatakan oleh Ar-Rabi’ ibnu Anas.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad ibnu Ja’far ibnuz Zubair, bahwa makna yang dimaksud ialah tidak ada seorang pun yang mengetahui makna yang dimaksud kecuali hanya Allah. Orang-orang yang mendalam ilmunya mengatakan, “Kami beriman kepada mutasyabih.”
Kemudian mereka yang mendalam ilmunya dalam menakwilkan ayat-ayat yang mutasyabihat merujuk kepada apa yang telah mereka ketahui dari takwil ayat-ayat muhkamat yang semua orang mempunyai takwil yang sama mengenainya. Dengan demikian, maka semua isi Al-Qur’an serasi berkat pendapat mereka, sebagian di antaranya membenarkan sebagian yang lain, sehingga hujah pun menembus sasarannya dan tiada suatu alasan pun untuk mengelak darinya, serta semua kebatilan tersisihkan dan semua kekufuran tertolak berkat Al-Qur’an. Di dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah mendoakan sahabat Ibnu Abbas dengan doa berikut:
Ya Allah, berilah dia pemahaman dalam agama dan ajarkanlah kepadanya takwil (Al-Qur’an).
Di antara ulama ada yang merincikan masalah ini, dia mengatakan bahwa takwil Al-Qur’an dimaksudkan mempunyai dua pengertian. Salah satunya ialah takwil dengan pengertian hakikat sesuatu dan merupakan kesimpulan darinya. Termasuk ke dalam pengertian ini ialah firman-Nya:
Dan berkata Yusuf, “Wahai ayahku, inilah tabir mimpiku yang dahulu itu.” (Yusuf:100)
Dan firman-Nya:
Tiadalah mereka menunggu-nunggu kecuali (terlaksananya kebenaran) Al-Qur’an itu. Pada hari datangnya kebenaran pemberitaan Al-Qur’an itu. (Al A’raf:53)
Yakni hakikat dari apa yang diberitakan kepada mereka menyangkut perkara akhirat, apabila yang dimaksud dengan takwil seperti di atas berarti waqaf-nya pada lafzul Jalalah. Karena hakikat dan kenyataan segala sesuatu itu tidak ada seorang pun yang mengetahuinya dengan jelas kecuali hanya Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى Dengan demikian, berarti firman-Nya: Dan orang-orang yang mendalam ilmunya. (Ali Imran:7) berkedudukan sebagai mubtada. Sedangkan firman-Nya: mengatakan, “Kami beriman kepadanya.” (Ali Imran:7) berkedudukan sebagai khabar-nya.
Adapun jika yang dimaksud dengan takwil ialah pengertian yang lain, yaitu seperti tafsir, penjelasan, dan keterangan mengenai sesuatu, seperti makna yang terdapat di dalam firman-Nya:
Berikanlah kepada kami takwilnya. (Yusuf:36)
Yakni tafsir dari mimpinya itu. Jika yang dimaksud adalah seperti ini, berarti waqaf-nya pada firman-Nya: dan orang-orang yang mendalam ilmunya. (Ali Imran:7)
Karena mereka mengetahui dan memahami apa yang di-khitab-kan oleh Al-Qur’an dengan ungkapannya itu, sekalipun pengetahuan mereka tidak meliputi hakikat segala sesuatu seperti apa adanya. Berdasarkan analisis ini, berarti firman-Nya:… mengatakan, “Kami beriman kepadanya.” berkedudukan sebagai hal yang menggambarkan keadaan mereka. Hal ini memang diperbolehkan, dan ia merupakan bagian dari ma’tuf, bukan ma’tuf ‘alaih, seperti pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan harta benda mereka. (Al Hasyr:8)
sampai dengan firman-Nya:
mereka berdoa, “Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami.” (Al Hasyr:10), hingga akhir ayat.
Dan seperti firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Dan datanglah Tuhanmu, dan (datang pula) malaikat dengan berbaris-baris. (89:22)
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى yang memberitakan perihal mereka yang mendalam ilmunya, bahwa mereka mengatakan, “Kami beriman kepadanya,” yakni kepada ayat-ayat mutasyabihat itu. Semuanya —yakni yang muhkam dan yang mutasyabih— berasal dari sisi Tuhan kami dengan sebenarnya. Masing-masing dari keduanya membenarkan yang lainnya dan mempersaksikannya, karena semuanya berasal dari sisi Allah, Tiada sesuatu pun dari sisi Allah yang berbeda dan tidak pula berlawanan, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an? Kalau sekiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. (An Nisaa:82)
Karena itulah Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berfirman:
Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan orang-orang yang berakal.
Dengan kata lain, sesungguhnya orang yang mengerti dan dapat memahaminya dengan pemahaman yang sebenarnya hanyalah orang-orang yang berakal sehat dan berpemahaman yang lurus.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Auf Ahimsi, telah menceritakan kepada kami Nu’aim ibnu Hammad, telah menceritakan kepada kami Fayyad Ar-Riqqi, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Yazid (seseorang yang pernah bersua dengan sahabat-sahabat Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, yaitu Anas, Abu Umamah, dan Abu Darda), bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah ditanya mengenai pengertian orang-orang yang mendalam ilmunya. Maka beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda: Orang yang menunaikan sumpahnya, jujur lisannya dan hatinya lurus, serta orang yang memelihara kehormatan perut dan farjinya. Maka yang bersifat demikian itu termasuk orang-orang yang mendalam ilmunya.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma’mar, dari Az-Zuhri, dari Amr ibnu Syu’ab, dari ayahnya, dari kakeknya yang pernah menceritakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mendengar suatu kaum yang sedang berbantah-bantahan. Maka beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda: Sesungguhnya telah binasa orang-orang sebelum kalian karena hal ini, mereka mengadukan sebagian dari Kitabullah dengan sebagian yang lain. Dan sesungguhnya Kitabullah itu diturunkan hanyalah untuk membenarkan sebagian darinya dengan sebagian yang lain. Karena itu, janganlah kalian mendustakan sebagian darinya dengan sebagian yang lain. Hal-hal yang kalian ketahui darinya, maka katakanlah ia, dan hal-hal yang kalian tidak mengetahuinya, maka serahkanlah hal itu kepada yang mengetahuinya.
Dalam pembahasan terdahulu hadis ini telah disebut oleh riwayat Ibnu Murdawaih melalui jalur Hisyam ibnu Ammar, dari Abu Hazim, dari Amr ibnu Syu’aib dengan lafaz yang sama.
Abu Ya’la Al-Mausuli mengatakan di dalam kitab musnadnya, telah menceritakan kepada kami Zuhair ibnu Harb, telah menceritakan kepada kami Anas ibnu Iyad, dari Abu Hazim, dari Abu Salamah yang mengatakan bahwa ia tidak mengetahui hadis ini melainkan dari Abu Hurairah yang isinya menyebutkan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda: Al-Qur’an diturunkan dengan memakai tujuh dialek, berdebat dalam masalah Al-Qur’an merupakan kekufuran —sebanyak tiga kali—. Apa saja yang kalian ketahui darinya, maka amalkanlah hal itu, dan apa saja yang kalian tidak ketahui darinya, maka kembalikanlah hal itu kepada Yang Maha Mengetahuinya.
Sanad hadis ini sahih, tetapi di dalamnya terdapat illat (cela) disebabkan ucapan perawi yang mengatakan, “Aku tidak mengetahuinya kecuali dari Abu Hurairah.”
Ibnul Munzir di dalam kitab tafsirnya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Abdul Hakam, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Nafi’ ibnu Yazid yang mengatakan bahwa menurut suatu pendapat, orang-orang yang mendalam ilmunya ialah orang-orang yang tawadu’ kepada Allah, lagi rendah diri kepada Allah demi memperoleh rida-Nya. Mereka tidak berbesar diri terhadap orang yang berada di atas mereka, dan tidak menghina orang yang berada di bawah mereka.
(7) Allah جَلَّ جَلالُهُ memberitakan tentang keagunganNya dan ke-sempurnaan pengaturanNya, yakni bahwa Dia-lah yang Esa yang menurunkan kitab yang agung ini, yang tidak ditemukan dan tidak akan ditemukan tandingannya dan semisalnya dalam petunjuk, keindahan bahasa, kemukjizatan, dan kebaikannya bagi makhluk. Dan bahwasanya kitab ini mencakup yang muhkam, yakni yang jelas sekali artinya, yang terang, yang tidak samar tentangnya, dan juga mencakup ayat-ayat mutasyabihat yang mengandung beberapa arti yang tidak ada satu pun dari arti-arti itu yang lebih kuat kalau hanya berpegang dengan ayat tersebut hingga disatukan kepada ayat yang muhkam. Orang-orang yang dalam hatinya ada penyakit, penyimpangan dan penyelewengan karena niat mereka yang buruk justru mengikuti ayat-ayat yang mutasyabih tersebut. Mereka meng-ambilnya sebagai dalil demi memperkuat tulisan-tulisan mereka yang batil dan pemikiran-pemikiran mereka yang palsu, hanya untuk mengobarkan fitnah dan penyimpangan terhadap kitabullah, serta menjadikannya sebagai tafsiran untuknya sesuai dengan jalan dan madzhab mereka yang akhirnya mereka itu tersesat dan menyesatkan orang lain.
Adapun orang-orang yang berilmu lagi mendalam ilmunya yang ilmu dan keyakinan telah mencapai hati mereka, lalu mem-buahkan bagi mereka perbuatan dan pengetahuan, maka mereka ini mengetahui bahwa al-Qur`an itu semuanya dari sisi Allah, dan bahwa semua yang ada di dalamnya adalah haq, baik yang muta-syabih maupun yang muhkam, dan bahwasanya yang haq itu tidak akan saling bertentangan dan tidak saling berbeda. Dan karena mereka mengetahui dengan jelas bahwa ayat-ayat yang muhkam mengandung makna yang tegas dan jelas, maka mereka mengem-balikan ayat-ayat mustasyabih yang sering menimbulkan kebingung-an bagi orang-orang yang kurang ilmu dan pengetahuan, kepada yang muhkam. Mereka mengembalikan ayat-ayat yang mutasyabih kepada ayat-ayat yang muhkam hingga akhirnya seluruhnya menjadi muhkam dan mereka berkata, اٰمَنَّا بِهٖۙ كُلٌّ مِّنْ عِنْدِ رَبِّنَا ۚ “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.”
وَمَا يَذَّكَّرُ “Dan tidak dapat mengambil pelajaran, (dari padanya),” yakni perkara-perkara yang bermanfaat dan ilmu pengetahuan yang mendalam, اِلَّآ اُولُوا الْاَلْبَابِ “melainkan orang-orang yang berakal,” yakni orang-orang yang memiliki akal yang cerdas.
Dalam ayat ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa sikap ini adalah tanda orang-orang yang berakal, dan bahwa mengikuti ayat-ayat yang mutasyabih adalah sifat orang-orang yang pemikiran-nya sakit, akalnya rendah, dan tujuan-tujuannya yang buruk.
Dan FirmanNya, وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهٗٓ اِلَّا اللّٰهُ “Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah,” apabila yang dimaksud dari takwil itu adalah pengetahuan tentang akibat dari suatu perkara, hasilnya, serta mengarah kepadanya, maka wajiblah berpatokan dengan, اِلَّا اللّٰهُ “melainkan Allah;” di mana hanya Allah saja yang melakukan takwil dengan makna tersebut. Namun apabila takwil tersebut dimaksudkan dengan makna tafsir dan ilmu tentang arti dari perkataan tersebut, maka yang lebih baik adalah menyam-bung dengan kalimat sebelumnya, hingga hal ini menjadi sebuah pujian terhadap orang-orang yang ilmunya mendalam, yaitu bah-wasanya mereka mengetahui bagaimana menempatkan nash-nash al-Qur`an dan as-Sunnah, baik yang muhkamnya maupun yang mutasyabihnya.
Dan ketika konteksnya adalah tentang perpecahan orang-orang (sehingga) ada yang menyimpang dan ada yang istiqamah, maka mereka berdoa kepada Allah جَلَّ جَلالُهُ agar menetapkan mereka di atas keimanan seraya berkata,
Hanya dialah yang menurunkan kitab Al-Qur’an kepadamu, wahai nabi Muhammad, untuk engkau sampaikan dan jelaskan maksudnya kepada seluruh umat manusia. Apa yang diturunkan itu terdiri atas dua kelompok, di antaranya ada ayat-ayat yang muhkama’t, yakni yang kandungannya sangat jelas, sehingga hampir-hampir tidak lagi dibutuhkan penjelasan tambahan untuknya, atau yang tidak mengandung makna selain yang terlintas pertama kali dalam benak. Ayat-ayat muhkama’t itulah pokok-pokok kitab suci Al-Qur’an. Dan kelompok ayat-ayat yang lain dalam Al-Qur’an yaitu mutasyabihat, yakni ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian, samar artinya dan sulit dipahami kecuali setelah merujuk kepada yang muhkam, atau hanya Allah yang mengetahui maknanya. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, mereka mengikuti dengan sungguh-sungguh yang mutasya’biha’t, dengan berpegang teguh kepada ayat-ayat itu semata-mata dan tidak menjadikan ayatayat muhkamat sebagai rujukan dalam memahami atau menetapkan artinya. Tujuan mereka melakukan itu adalah untuk mencari-cari fitnah, yakni kekacauan dan kerancuan berpikir serta keraguan di kalangan orang-orang beriman, dan untuk mencari-cari dengan sungguh-sungguh takwilnya yang sejalan dengan kesesatan mereka. Mereka melakukan itu padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan sikap mereka itu bertentangan dengan sikap ar-ra’sikhain faal-‘ilm, yakni orang orang yang ilmunya mendalam dan imannya mantap. Atau, seperti dalam salah satu bacaan (qira’at) yang mutawa’tir, takwil ayat-ayat mutasyabihat itu juga dapat diketahui oleh ar-ra’sikhain fa al-‘ilm. Dengan demikian, ayat-ayat mutasyabihat itu diturunkan untuk memotivasi para ulama agar giat melakukan studi, menalar, berpikir, teliti dalam berijtihad dan menangkap pesan-pesan agama. Orang-orang yang mendalam ilmunya dan mantap imannya itu berkata, kami beriman kepadanya, yakni Al-Qur’an, semuanya, yakni yang mutasyabihat dan muhkamat, berasal dari sisi tuhan kami. Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran dan memahami maknanya dengan baik dan benar kecuali orang yang berakal, yaitu orang-orang yang memiliki akal sehat yang tidak mengikuti keinginan hawa nafsu. Menggunakan akal semata akan membuat seseorang mudah tergelincir. Oleh karenanya, orang-orang yang mendalam ilmunya dan mantap imannya selalu berdoa, ya tuhan kami, janganlah engkau condongkan hati kami kepada kesesatan sebagaimana halnya mereka yang mencaricari takwil ayat-ayat mutasyabih untuk menimbulkan keraguan, setelah engkau berikan petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat yang mencakup segala jenis dan macamnya, antara lain berupa kemantapan iman, ketenangan batin, kemudahan dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan. Rahmat itu bersumber dan langsung dari sisi-Mu, turun secara berkesinambungan dan tanpa mengharap imbalan apa pun, sebab sesungguhnya engkau maha pemberi.
Ali ‘Imran Ayat 7 Arab-Latin, Terjemah Arti Ali ‘Imran Ayat 7, Makna Ali ‘Imran Ayat 7, Terjemahan Tafsir Ali ‘Imran Ayat 7, Ali ‘Imran Ayat 7 Bahasa Indonesia, Isi Kandungan Ali ‘Imran Ayat 7
Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat: 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | 21 | 22 | 23 | 24 | 25 | 26 | 27 | 28 | 29 | 30 | 31 | 32 | 33 | 34 | 35 | 36 | 37 | 38 | 39 | 40 | 41 | 42 | 43 | 44 | 45 | 46 | 47 | 48 | 49 | 50 | 51 | 52 | 53 | 54 | 55 | 56 | 57 | 58 | 59 | 60 | 61 | 62 | 63 | 64 | 65 | 66 | 67 | 68 | 69 | 70 | 71 | 72 | 73 | 74 | 75 | 76 | 77 | 78 | 79 | 80 | 81 | 82 | 83 | 84 | 85 | 86 | 87 | 88 | 89 | 90 | 91 | 92 | 93 | 94 | 95 | 96 | 97 | 98 | 99 | 100 | 101 | 102 | 103 | 104 | 105 | 106 | 107 | 108 | 109 | 110 | 111 | 112 | 113 | 114 | 115 | 116 | 117 | 118 | 119 | 120 | 121 | 122 | 123 | 124 | 125 | 126 | 127 | 128 | 129 | 130 | 131 | 132 | 133 | 134 | 135 | 136 | 137 | 138 | 139 | 140 | 141 | 142 | 143 | 144 | 145 | 146 | 147 | 148 | 149 | 150 | 151 | 152 | 153 | 154 | 155 | 156 | 157 | 158 | 159 | 160 | 161 | 162 | 163 | 164 | 165 | 166 | 167 | 168 | 169 | 170 | 171 | 172 | 173 | 174 | 175 | 176 | 177 | 178 | 179 | 180 | 181 | 182 | 183 | 184 | 185 | 186 | 187 | 188 | 189 | 190 | 191 | 192 | 193 | 194 | 195 | 196 | 197 | 198 | 199 | 200
Raih pahala amal jariyah dengan cara membagikan (share) konten ini kepada yang lainnya. Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه
"Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)