{17} Al-Isra / الإسراء | الْقُرْآنُ الْكَرِيْمُ | مريم / Maryam {19} |
Tafsir Al-Qur’an Surat Al-Kahfi الكهف (Penghuni-Penghuni Gua) lengkap dengan tulisan arab latin, arti dan terjemah Bahasa Indonesia. Surah ke 18 Tafsir ayat Ke 82.
وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ ۚ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ۚ ذَٰلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا ﴿٨٢﴾
wa ammal-jidāru fa kāna ligulāmaini yatīmaini fil-madīnati wa kāna taḥtahụ kanzul lahumā wa kāna abụhumā ṣāliḥā, fa arāda rabbuka ay yablugā asyuddahumā wa yastakhrijā kanzahumā raḥmatam mir rabbik, wa mā fa’altuhụ ‘an amrī, żālika ta`wīlu mā lam tasṭi’ ‘alaihi ṣabrā
QS. Al-Kahfi [18] : 82
. Dan adapun dinding rumah itu adalah milik dua anak yatim di kota itu, yang di bawahnya tersimpan harta bagi mereka berdua, dan ayahnya seorang yang saleh. Maka Tuhanmu menghendaki agar keduanya sampai dewasa dan keduanya mengeluarkan simpanannya itu sebagai rahmat dari Tuhanmu. Apa yang kuperbuat bukan menurut kemauanku sendiri. Itulah keterangan perbuatan-perbuatan yang engkau tidak sabar terhadapnya.”
Adapun dinding rumah yang aku luruskan kemiringannya hingga menjadi tegak, maka itu adalah kepunyaan dua anak yatim di negeri dimana terdapat dinding tersebut, dan di bawahnya terdapat harta simpanan bagi keduanya berupa emas dan perak, sedang ayah keduanya adalah seorang lelaki yang shalih. Rabb-mu menghendaki agar keduanya besar dan mencapai usia dewasa, lalu keduanya mengeluarkan harta simpanan keduanya sebagai rahmat dari Rabb-mu untuk keduanya. Wahai Musa, aku tidak melakukan semua perbuatan yang telah kamu lihat itu menurut kemauanku sendiri, tetapi yang aku lakukan itu hanyalah berasal dari perintah Allah. Apa yang telah aku terangkan sebab-sebabnya kepadamu, itulah akibat urusan yang kamu tidak dapat bersabar utnuk tidak bertanya tentangnya dan mengingkari apa yang aku lakukan.
Di dalam ayat ini terkandung suatu dalil yang menunjukkan bahwa kata qaryah (kampung) dapat di artikan dengan madinah (kota), karena dalam ayat yang sebelumnya disebutkan:
hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu kampung. (Al Kahfi:77)
Dan dalam ayat ini disebutkan:
…dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu.
Makna ayat, yaitu dinding rumah ini sengaja aku perbaiki karena ia merupakan kepunyaan dua orang anak yatim penduduk kota ini, di bawah rumahnya ini terdapat harta benda simpanan bagi keduanya.
Ikrimah, Qatadah, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa di bawah rumah tersebut terdapat harta yang terpendam bagi kedua anak yatim itu. Demikianlah menurut makna lahiriah dari ayat, dan pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir.
Sehubungan dengan hal ini telah diriwayatkan oleh banyak asar bersumber dari ulama Salaf, antara lain Ibnu Jarir yang mengatakan di dalam kitab tafsirnya bahwa telah menceritakan kepadaku Ya’qub, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Habib ibnun Nudbah, telah menceritakan kepada kami Salamah, dari Na’im Al-Anbari, salah seorang murid Al-Hasan, ia mengatakan bahwa ia pernah mendengar Al-Hasan Al-Basri menafsirkan makna firman-Nya:
…dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua.
Simpanan itu berupa lempengan emas yang padanya termaktub kalimat berikut: Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Aku merasa heran kepada orang yang beriman kepada takdir, mengapa dia bersedih hati. Dan aku merasa heran kepada orang yang beriman kepada kematian, mengapa dia bersenang hati. Dan aku heran kepada orang yang mengenal dunia serta silih bergantinya dengan para ahlinya, mengapa dia merasa tenang kepadanya. Tidak ada Tuhan selain Allah, Muhammad utusan Allah.
Dan telah menceritakan kepadaku Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Abbas, dari Umar maula (bekas budak) Gafrah yang mengatakan bahwa sesungguhnya harta terpendam yang disebutkan oleh Allah di dalam surat yang padanya diceritakan tentang para pemuda penghuni gua (Al-Kahfi), yaitu firman-Nya:
…dan di bawahnya ada harta simpanan bagi mereka berdua.
berupa sebuah lempengan emas yang padanya tertulis kalimat berikut: Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, mengherankan orang yang percaya dengan adanya neraka, lalu ia dapat tertawa. Mengherankan orang yang percaya dengan takdir, lalu ia bersusah payah. Mengherankan orang yang meyakini kematian, lalu ia merasa aman (darinya). Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.
Telah menceritakan pula kepadaku Ahmad ibnu Hazim Al-Gifari, telah menceritakan kepada kami Hunadah binti Malik Asy-Syaibaniyyah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar teman (suami)nya (yaitu Hammad ibnul Walid As-Saqafi) mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ja’far ibnu Muhammad mengatakan sehubungan dengan makna firmanNya:
…dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua.
Bahwa hal itu merupakan prasasti yang terdiri atas dua baris setengah, baris yang ketiganya tidak lengkap. Padanya disebutkan: Aku heran kepada orang yang beriman kepada (pembagian) rezeki, mengapa bersusah payah. Dan aku heran kepada orang yang beriman dengan hari hisab (perhitungan amal perbuatan), mengapa dia lalai (kepadanya). Dan aku heran kepada orang yang percaya dengan kematian, mengapa bergembira.
Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى telah berfirman :
Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawi pun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan. (Al Anbiyaa:47)
Selanjutnya Hunadah mengatakan bahwa kedua anak itu dalam keadaan terpelihara berkat kesalihan kedua orang tuanya, tetapi tidak ada yang menyebutkan bahwa keduanya berlaku saleh.
Disebutkan pula bahwa jarak antara keduanya dengan ayahnya yang menyebabkan keduanya terpelihara adalah tujuh turunan. Dan ayah mereka adalah seorang ahli menulis.
Apa yang disebutkan oleh para imam dan apa yang disebutkan oleh hadis di atas pada hakikatnya tidaklah bertentangan dengan pendapat Ikrimah. Ikrimah menyebutkan, sesungguhnya yang terpendam itu adalah harta. Dikatakan demikian karena mereka menyebutkan bahwa harta peninggalan yang terpendam itu berupa lempengan emas yang disertai dengan harta yang cukup berlimpah. Terlebih lagi padanya tertuliskan ilmu yang berupa kata-kata bijaksana dan nasihat-nasihat yang baik. Hanya Allah-lah yang mengetahui kebenarannya.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
…sedangkan ayahnya adalah seorang yang saleh.
Dari pengertian ayat ini tersimpulkan bahwa seorang lelaki yang saleh dapat menyebabkan keturunannya terpelihara, dan berkah ibadah yang dilakukannya menaungi mereka di dunia dan akhirat. Yaitu dengan memperoleh syafaat darinya, dan derajat mereka ditinggikan ke tingkat yang tertinggi di dalam surga berkat orang tua mereka, agar orang tua mereka senang dengan kebersamaan mereka di dalam surga. Hal ini telah disebutkan di dalam Al-Qur’an, juga di dalam sunnah.
Sa’id ibnu Jubair telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa kedua anak itu terpelihara berkat kesalehan kedua orang tuanya, tetapi tidak ada kisah yang menyebutkan bahwa keduanya berlaku saleh. Dalam keterangan terdahulu disebutkan bahwa orang tua tersebut adalah kakek ketujuhnya. Hanya Allah-lah yang mengetahui kebenarannya.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
…maka Tuhanmu menghendaki supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya.
Dalam ayat ini disebutkan bahwa iradah atau kehendak dinisbatkan kepada Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى karena usia balig keduanya tidaklah mampu berbuat apa pun terhadap harta terpendam itu, kecuali dengan pertolongan Allah. Hal yang sama disebutkan dalam kisah anak muda yang dibunuh, yaitu firman-Nya:
Dan kami menghendaki supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya daripada anaknya itu. (Al Kahfi:81)
Dan dalam kisah bahtera disebutkan oleh firman-Nya:
dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu. (Al Kahfi:79)
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
…sebagai rahmat dari Tuhanmu, dan bukanlah aku melakukannya itu menuruti kemauanku sendiri.
Artinya apa yang aku lakukan dalam ketiga peristiwa tadi tiada lain merupakan rahmat Allah kepada para pemilik bahtera, orang tua si anak, dan kedua anak lelaki yang saleh. Aku melakukannya bukanlah atas kemauanku sendiri, melainkan aku diperintahkan untuk melakukannya dan aku mengerjakannya sesuai dengan apa yang diperintahkan. Berangkat dari pengertian ayat inilah maka ada orang-orang yang berpendapat bahwa Khidir adalah seorang nabi. Dalil lainnya ialah firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى yang lalu, yaitu:
Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. (Al Kahfi:65).
Ulama lainnya mengatakan bahwa Khidir adalah seorang rasul. Bahkan pendapat yang lainnya lagi mengatakan bahwa Khidir adalah malaikat, menurut apa yang dinukil oleh Al-Mawardi di dalam kitab tafsirnya. Tetapi kebanyakan ulama mengatakan bahwa Khidir bukanlah seorang nabi, melainkan seorang wali. Hanya Allah-lah yang mengetahui kebenarannya.
Ibnu Qutaibah mengatakan di dalam kitab Al-Ma’arif, bahwa nama Khidir adalah Balya ibnu Mulkan ibnu Faligh ibnu Abir ibnu Syalikh ibnu Arfukhsyad ibnu Sam ibnu Nuh a.s. Mereka mengatakan bahwa nama julukannya adalah Abul Abbas, sedangkan nama panggilannya adalah Khidir, dia adalah anak seorang raja. Demikianlah menurut keterangan yang disebutkan oleh Imam Nawawi di dalam kitab Tahzibul Asma-nya.
Dia—juga yang lainnya—telah meriwayatkan bahwa Khidir masih tetap hidup sampai sekarang, sampai hari kiamat nanti, ada dua pendapat mengenainya. Tetapi An-Nawawi dan Ibnu Salah cenderung memilih pendapat yang mengatakan bahwa Khidir masih tetap hidup sampai sekarang. Mereka yang mengatakan bahwa dia masih hidup menyebutkan berbagai kisah dan asar dari ulama salaf dan lain-lainnya. Dan Khidir pernah disebutkan pula dalam beberapa hadis, tetapi tidak ada satu pun di antaranya yang sahih. Yang paling terkenal ialah hadis mengenai ta’ziyah atau ucapan belasungkawanya saat Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ wafat, tetapi sanadnya daif.
Ulama lainnya dari kalangan ahli hadis dan lain-lainnya menguatkan pendapat yang bertentangan dengan pendapat di atas. Mereka berpegang kepada firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى yang menyebutkan:
Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusia pun sebelum kamu. (Al Anbiyaa:34)
Dan sabda Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dalam doanya saat menjelang Perang Badar:
Ya Allah, jika golongan (kaum muslim) ini binasa, Engkau tidak akan disembah lagi di bumi ini.
Tidak ada suatu riwayat pun yang menukil bahwa Khidir datang menghadap kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, tidak menemuinya, serta tidak pula berperang bersamanya. Seandainya Khidir benar masih hidup, tentulah dia termasuk pengikut Nabi Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan sebagai salah seorang sahabatnya, karena Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ diutus kepada semua makhluk, baik manusia maupun jin. Dan Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda:
Seandainya Musa dan Isa masih hidup, tentulah keduanya mengikutiku.
[Barangkali hal ini merupakan salah satu dari kekeliruan yang dilakukan oleh Penulis, atau ditambahkan oleh seorang zindiq ke dalam tafsirnya. Karena sesungguhnya pendapat ini bertentangan dengan hadis mutawatir yang menyatakan, bahwa Isa kelak di akhir zaman akan turun. Untuk lebih jelasnya, silakan merujuk ke kitab aslinya (Tafsir Ibnu Kasir), mengenai penjelasan ayat 80-81 surat Ali-Imran]
Sebelum Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ meninggal dunia beliau pernah bersabda bahwa tidak akan ada lagi seorangpun yang bersamanya di malam itu hidup di muka bumi setelah lewat seratus tahun. Dan masih banyak dalil-dalil lainnya yang semakna.
Di dalam kitab Sahih Bukhari disebutkan melalui Hammam, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda:
Sesungguhnya dia dinamakan Khidir karena bila duduk di atas rumput kering, maka dengan serta merta rumput yang didudukinya itu berubah menjadi hijau.
Yang dimaksud dengan farwah dalam hadis ini ialah rumput yang kering dan semak-semak yang telah mati. Demikianlah menurut Abdur Razzaq. Menurut pendapat yang lain, yang dimaksud adalah tanah yang didudukinya
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.
Yakni demikianlah takwil dari hal-hal yang kamu tidak mengerti dan tidak dapat menahan diri terhadapnya sebelum kuceritakan kepadamu penjelasannya. Setelah Khidir menjelaskan kepada Musa tujuan semua perbuatannya sehingga lenyaplah kesulitan memahaminya dari Musa, ia berucap mamakai tasti’. Sedangkan sebelumnya diungkapkan dengan kata tastati’ yang menunjukkan bahwa kesulitan untuk memahami kuat dan berat, yaitu firman-Nya:
Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. (Al-Kahfi:78)
Maka hal yang berat diungkapkan dengan kata yang bernada berat, sedangkan hal yang ringan diungkapkan dengan kata yang ringan pula. Perihalnya sama dengan pengertian yang terdapat di dalam ayat lain, yaitu:
Maka mereka tidak dapat mendakinya. (Al Kahfi:97)
Yang dimaksudkan dengan yazharuhu ialah naik ke puncaknya. Dan dalam ayat selanjutnya disebutkan:
dan mereka tidak dapat (pula) melubanginya. (Al Kahfi:97)
Yakni terlebih berat lagi untuk melubanginya, maka diungkapkanlah masing-masing dari kedua keadaan tersebut dengan bahasa yang sesuai, lafaz dan maknanya. Hanya Allah yang mengetahui kebenarannya.
Apabila dikatakan mengapa murid Nabi Musa di awal kisah disebut-sebut, kemudian dalam kisah selanjutnya tidak disebut-sebut? Sebagai jawabannya dapat dikatakan bahwa tujuan dari konteks kisah ini hanya menyangkut Musa bersama Khidir dan kejadian-kejadian yang dialami oleh keduanya, sedangkan murid Nabi Musa selalu mengikut kepadanya. Dalam hadis-hadis yang telah disebutkan di dalam kitab-kitab sahih dikatakan bahwa dia adalah Yusya’ Ibnu Nun. Dialah yang menggantikan Musa a.s. sebagai nabi kaum Bani Israil sesudah Musa tiada.
Tafsir Ayat:
وَأَمَّا الْجِدَارُ “Adapun dinding rumah itu,” yang aku bangun فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا “maka ia adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang shalih,” maksudnya, kondisi mereka berdua menuntut adanya rasa iba dan rahmat kepada mereka, sebab keduanya masih kecil. Kedua orang tua mereka sudah tiada. Maka Allah memelihara mereka ber-dua juga lantaran keshalihan kedua orang tua mereka. فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا “Maka Rabbmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanan itu,” karena itu, aku hancurkan dindingnya dan aku gali harta simpanan yang berada di bawah dan selanjutnya aku letakkan dan aku (bangun) kembali dengan cuma-cuma. رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ “Sebagai rahmat dari Rabbmu,” maksudnya tindakan yang aku lakukan adalah sebagai bentuk sayang dari Allah yang Allah berikan melalui hambaNya, Khidhir. وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي “Dan bukanlah aku melakukan itu menurut kemauanku sendiri,” maksudnya, aku tidak mengerjakan sesuatu menurut kehendak pribadiku dan murni keinginanku. Sesungguhnya itu hanyalah rahmat dari Allah dan perintahNya. ذَلِكَ “Demikian itu,” keterangan yang aku jelaskan kepadamu مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا “adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.”
Dalam kisah yang menakjubkan lagi agung ini, termuat pelajaran-pelajaran penting, hukum-hukum dan kaidah-kaidah yang banyak sekali. Kami ingin menyinggung sebagiannya dengan per-tolongan Allah:
– Keutamaan ilmu dan pengembaraan untuk mencarinya. Sesungguhnya ilmu adalah perkara terpenting. Musa ‘alaihissalam telah menempuh jarak yang jauh dan mengalami keletihan dalam mencarinya, menghentikan berbaur dengan Bani Israil untuk mengajari dan mem-bimbing mereka, dan (lebih) memilih untuk menempuh perjalanan jauh guna menambah ilmu.
– Disyariatkannya memulai dengan perkara yang terpenting lalu (dilanjutkan kepada) perkara yang lebih penting (daripada sesudahnya).
Sesungguhnya menambah ilmu dan meningkatkan pengetahuan masyarakat lebih penting daripada meninggalkan mencari ilmu dan menyibukkan diri dengan mengajar tanpa membekali diri dengan ilmu. Dan bila ada kemampuan untuk memadukan antara keduanya, itu lebih diutamakan.
– Diperbolehkannya mengangkat seorang pelayan saat berada di lingkungan sendiri maupun dalam bepergian untuk tujuan mengurusi barang bawaan dan mencari kenyamanan, seperti yang dila-kukan oleh Musa.
– Sesungguhnya seorang musafir (yang menempuh perjalanan jauh) untuk mencari ilmu, berjihad atau tujuan lainnya, jika kemaslahatan menuntut untuk memberitahukan tujuan dan apa yang ia inginkan, maka sesungguhnya sikap tersebut lebih baik daripada menyembunyikannya. Karena di dalam penyampaiannya terdapat beberapa manfaat, seperti melakukan persiapan perbekalan dan menjalankan suatu perkara dengan dasar ilmu serta memperlihatkan kerinduan terhadap ibadah yang agung ini. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Musa, لَا أَبْرَحُ حَتَّى أَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ أَوْ أَمْضِيَ حُقُبًا “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun.” (QS. Al-Kahfi: 60).
Sebagaimana Nabi Muhammad telah mengabarkan kepada para sahabat ketika akan menyerang wilayah Tabuk, padahal kebiasaan beliau adalah bertauriyah (menzahirkan di luar yang dimaksud). Hal ini tergantung dengan kemaslahatan.
– Penisbatan kejelekan dan faktor-faktor pencetusnya kepada setan dengan cara bujukan dan penghiasan maksiat dalam bentuk yang indah, meskipun semua perkara muncul karena keputusan dan takdir Allah, berdasarkan Firman Allah, وَمَا أَنْسَانِيهُ إِلَّا الشَّيْطَانُ أَنْ أَذْكُرَهُ “Dan tidak ada yang melupakanku untuk menceritakannya kecuali setan.” (QS. Al-Kahfi: 63).
– Bolehnya seorang manusia untuk memberitahukan sesuatu yang menjadi tuntutan tabiat diri, berupa rasa capek, lapar, dan haus dengan syarat tidak dipenuhi kemarahan, dan merupakan kondisi yang benar (apa adanya) berdasarkan perkataan Musa, لَقَدْ لَقِينَا مِنْ سَفَرِنَا هَذَا نَصَبً “Sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.” (QS. Al-Kahfi: 62).
– Dianjurkan memilih pelayan yang cerdik, cerdas, lagi pandai agar urusannya terlaksana seperti yang dia inginkan.
– Dianjurkan agar seseorang memberi makanan kepada pelayan dari jenis makanan yang dia makan dan memakannya bersama-sama. Karena yang zahir dari Firman Allah, آتِنَا غَدَاءَنَا “Bawalah kemari makanan kita.” (QS. Al-Kahfi: 62), terdapat penisbatan makanan kepada mereka berdua, tuan dan pelayannya makan bersamaan.
– Sesungguhnya pertolongan turun kepada seseorang berdasar-kan tingkat aplikasinya terhadap perintah Allah, dan orang yang sejalan dengan perintah Allah akan memperoleh pertolongan, yang tidak didapatkan oleh orang lain, berdasarkan perkataan Musa, , لَقَدْ لَقِينَا مِنْ سَفَرِنَا هَذَا نَصَبً “Sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.” (QS. Al-Kahfi: 62).
Terdapat isyarat kepada perjalanan yang melampaui tempat pertemuan dua lautan. Adapun yang pertama, Musa tidak mengeluhkan kelelahan meskipun ditempuh dalam waktu lama. Karena itulah safar yang sebenarnya. Sedangkan perjalanan yang terakhir, nampaknya ditempuh dalam setengah hari. Sebab, mereka telah kehilangan ikan ketika bermalam di batu. Padahal secara eksplisit, mereka bermalam di sana. Lantas, berjalan kembali keesokan hari-nya. Sampai akhirnya datang waktu makan siang, Musa berkata kepada pelayannya, آتِنَا غَدَاءَنَا “Bawalah kemari makanan kita,” (QS. Al-Kahfi: 62). Saat itulah dia teringat bahwa dia melupakannya di tepat yang merupakan tujuan akhirnya.
– Hamba yang mereka jumpai bukanlah seorang nabi, akan tetapi seorang insan yang shalih. Sebab, Allah menyebut predikatnya dengan ubudiyah (pengabdian diri), dan mengungkapkan karuniaNya atas dirinya berupa rahmat dan ilmu. Allah tidak menyinggung risalah atau kenabiannya. Seandainya Khidhir adalah nabi, tentulah Allah menyebutkannya sebagaimana Dia menyebut predikat lainnya. Adapun perkataannya di akhir kisah, وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي “Dan bukanlah aku melakukan itu menurut kemauanku sendiri.” (QS. Al-Kahfi: 82), maka perkataan ini tidak menunjukkan dirinya seorang nabi. Hanya mengindikasikan keberadaan ilham dan tahdits (bisikan) (pada dirinya), sebagaimana bisa terjadi pada selain nabi. Seperti Firman Allah جَلَّ جَلالُهُ,
وَأَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّ مُوسَى أَنْ أَرْضِعِيهِ
“Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa, ‘Susuilah dia’.” (QS. Al-Qashash: 7).
وَأَوْحَى رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا
“Dan Rabbmu mengilhamkan kepada lebah, ‘Buatlah sarang-sarang di gunung-gunung’.” (QS. An-Nahl: 68).
– Sesungguhnya ilmu yang diajarkan Allah kepada para hambaNya terbagi menjadi dua bagian: Ilmu muktasab (ilmu yang diusahakan), dihasilkan seorang hamba melalui kesungguhan dan ketekunannya. Dan jenis ilmu ladunni. Allah menganugerahkannya ke-pada hambaNya yang dikehendakiNya, berdasarkan Firman Allah, وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا “Dan telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (QS. Al-Kahfi: 65).
– Keharusan beretika saat bersama dengan seorang pengajar dan cara berbicara dari seorang pelajar kepadanya dengan ungkapan yang paling lembut, berdasarkan perkataan Musa ‘alaihissalam, هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar dari ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu.” (QS. Al-Kahfi: 66).
Musa mengungkapkan perkataan dengan nada lembut dan musyawarah, “Apakah engkau memberi izin kepadaku ataukah tidak?” Disertai pengakuan untuk mau belajar darinya. Berbeda halnya dengan orang-orang yang berperilaku keras atau sombong, yang tidak memperlihatkan kebutuhannya kepada ilmu sang guru. Justru mengklaim dirinya saling membantu dengan pengajarnya. Bahkan boleh jadi dia berasumsi bahwa dia telah mengajari gurunya, padahal dia tidak tahu sama sekali. Jadi, menghinakan diri di hadapan seorang guru dan memperlihatkan kebutuhannya kepada pengajarannya termasuk perkara yang paling bermanfaat bagi pencari ilmu.
– Tawadhu’ orang yang utama untuk belajar kepada orang yang berada di bawah levelnya. Sesungguhnya Musa tanpa disangsikan, lebih mulia daripada Khidhir.
– Orang yang sudah berilmu lagi berkedudukan tinggi mempelajari ilmu yang belum dia kuasai dari orang yang mahir pada bidang itu, meskipun kedudukannya dalam ilmu tertentu jauh di bawahnya beberapa derajat. Sesungguhnya Musa ‘alaihissalam termasuk ulul ‘azmi dari kalangan rasul yang mana Allah menganugerahkan dan mengaruniai kepada mereka ilmu yang tidak dikaruniakan kepada selain mereka. Namun, pada bidang ilmu yang khusus ini, Khidhir mempunyai ilmu yang tidak dimiliki oleh Musa. Karena itu, Musa sangat antusias untuk belajar darinya. Atas dasar ini, tidak sepatutnya seorang fakih lagi muhaddits jika kurang cakap dalam ilmu nahwu atau sharaf maupun ilmu lainnya, tidak mempelajarinya dari orang yang mahir dalam bidang itu, meskipun bukan seorang faqih atau muhaddits.
– Penisbatan ilmu dan keutamaan-keutamaan lainnya adalah kepada Allah جَلَّ جَلالُهُ dan mengakuinya serta bersyukur kepada Allah atas itu, berdasarkan perkataan Musa, عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا “Supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu dari ilmu yang telah diajarkan kepadamu (oleh Allah).” (QS. Al-Kahfi: 66), maksudnya dari ilmu yang Allah جَلَّ جَلالُهُ ajarkan kepadamu.
– Sesungguhnya ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang membimbing kepada kebaikan. Setiap ilmu yang mengandung petunjuk dan hidayah kepada jalan kebaikan dan peringatan dari jalan kejelekan maupun perantaranya, maka itu termasuk ilmu yang bermanfaat. Sedangkan selain itu, maka ia merupakan ilmu yang berbahaya, atau tidak berisi faidah. Berdasarkan perkataan Musa, عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا “Supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar dari ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu.” (QS. Al-Kahfi: 66).
– Sesungguhnya orang yang tidak memiliki kekuatan untuk bersabar dalam menyertai seorang alim dan tidak memiliki ilmu serta keteguhan yang baik dalam menjalaninya, maka sungguh dia [akan kehilangan ilmu yang banyak sebesar tingkat ketidaksabarannya]. Barangsiapa yang tidak bersabar sedikit pun, niscaya dia tidak dapat menggapai ilmu. Dan siapa saja yang menempuh kesabaran dan selalu berkonsisten padanya, tentu ia akan menggapai setiap urusan yang dia usahakan, berdasarkan perkataan Khidhir yang memberi tahu alasan kepada Musa tentang faktor penghambat bagi Musa untuk dapat belajar darinya, yaitu dia tidak bisa bersabar dengannya.
– Sesungguhnya penyebab terpenting untuk meraih kesabaran, adalah seseorang menguasai suatu perkara dari sisi ilmu dan pengetahuan yang mana dia diperintah untuk bersabar di dalamnya. Kalau tidak demikian, maka orang yang tidak mengerti atau tidak mengetahui tujuan, hasil, dan kegunaannya, serta buahnya, maka dia tidak memiliki sebab kausalitas kesabaran, berdasarkan perkataan Khidhir, وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَى مَا لَمْ تُحِطْ بِهِ خُبْرًا “Dan bagaimana kamu dapat bersabar atas sesuatu yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu.” (QS. Al-Kahfi: 68).
Yang mengembalikan faktor ketidaksabarannya adalah tidak adanya penguasaan tentang persoalan tersebut pada Musa.
– Perintah untuk berhati-hati, melakukan klarifikasi dan tidak bersegera menjatuhkan keputusan tentang sesuatu sampai mengetahui arah yang diinginkan dan tujuannya.
– Pengaitan urusan-urusan di masa yang akan datang yang dilakukan oleh para hamba dengan masyi`ah (kehendak) Allah, dan jangan sampai seseorang berkata tentang sesuatu, “Sesungguhnya aku akan melakukannya nanti” kecuali disusuli dengan kata insya Allah.
– Tekad untuk mengerjakan sesuatu tidaklah sama dengan perbuatan riilnya. Sesungguhnya Musa berkata, قَالَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ صَابِرًا “Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar.” (QS. Al-Kahfi: 69). Ia mempersiapkan dirinya untuk bersabar, namun tidak merealisasikannya.
– Seorang guru, jika melihat adanya kemaslahatan dalam menahan seorang murid untuk tidak memulai bertanya tentang sebagian perkara sampai guru itu sendiri yang mengajaknya bicara tentang itu, maka sesungguhnya sisi kemaslahatan itu perlu ditelusuri, misalnya, bila pemahaman seorang murid dangkal, atau melarangnya dari pertanyaan-pertanyaan yang pelik, yang persoalan lain masih lebih penting daripadanya atau karena tidak tercerna oleh daya tangkapnya, atau melontarkan pertanyaan yang tidak berhubungan dengan tema pembahasan.
– Diperbolehkannya berlayar di laut dalam kondisi yang tidak mengkhawatirkan (keselamatan).
– Orang yang lupa tidak dihukum karena kelupaannya itu. Tidak bisa dihukum dalam hak Allah dan hak para hamba berdasarkan FirmanNya, قَالَ لَا تُؤَاخِذْنِي بِمَا نَسِيتُ وَلَا تُرْهِقْنِي مِنْ أَمْرِي عُسْرًا “Janganlah engkau menghukumku disebabkan kelupaanku.” (QS. Al-Kahfi: 73).
– Sepatutnya, seseorang menyikapi perilaku-perilaku orang dan cara bermuamalah mereka dengan sikap maaf dan sikap yang bisa mereka terima. Tidak pantas membebani mereka hal-hal yang tidak sanggup mereka kerjakan atau memberatkan atau menggencet mereka. Sesungguhnya sikap-sikap ini akan mengundang antipati dan kebosanan terhadapnya. Bahkan, hendaknya dia mengambil jalan yang mudah supaya urusannya pun menjadi mudah.
– Hukum segala urusan berjalan sesuai dengan zahirnya, dan (begitu pula) hukum-hukum agama dalam masalah harta, darah, dan lainnya terkait dengannya. Sesungguhnya Musa ‘alaihissalam mengingkari Khidhir atas tindakannya melubangi kapal dan membunuh anak kecil. Dua tindakan ini secara zahir, merupakan kemungkaran. Dan Musa ‘alaihissalam tidak boleh mendiamkannya selain dalam kondisi menyertai Khidhir. Maka, Musa ‘alaihissalam tergesa-gesa dan bersegera untuk menilainya dalam konteks umum, tidak memperhatikan aspek kondisionalnya (bersama Khidhir) yang mengharuskannya bersabar dan tidak tergesa-gesa mengingkarinya.
– Adanya kaidah penting yang agung, yaitu menolak keburukan yang besar dengan melakukan keburukan yang lebih ringan dan mempertimbangkan kemaslahatan yang lebih besar dengan menyingkirkan kemaslahatan yang paling kecil. Sesungguhnya membunuh anak kecil merupakan tindakan jelek. Akan tetapi, keberadaan anak itu (tetap hidup) yang dapat memfitnah agama kedua orang tuanya merupakan keburukan yang lebih besar. Sementara keberadaan si anak kecil tanpa dibunuh dan tetap memeliharanya, meskipun dianggap sebagai kebaikan, namun kebaikan (yang lebih besar) adalah dengan menjaga agama dan keimanan dua orang tuanya yang terpelihara, itu lebih baik. Oleh karena itu, Khidhir membunuhnya.
Masuk ke dalam bingkai kaidah ini, bermacam-macam persoalan furu’ dan pelajaran-pelajaran penting yang tidak terbilang. Persoalan bersinggungannya kemaslahatan dan mafsadah, semua masuk ke dalam kaidah ini.
– Adanya kaidah penting yang agung juga. Yaitu, penanganan seseorang terhadap harta orang lain, bila dalam rangka menciptakan kemaslahatan dan menghilangkan mafsadah (kerusakan) maka diperbolehkan, meskipun tanpa izin, hingga walaupun perbuatannya itu mengakibatkan sebagian harta orang lain lenyap. Seperti Khidhir yang melubangi kapal agar menjadi cacat sehingga selamat dari perampasan raja yang zhalim. Atas dasar ini, jika terjadi kebakaran atau tenggelam dan peristiwa serupa lainnya di rumah seseorang atau kekayaannya, yang mana pemusnahan sebagian kekayaan atau perobohan sebagian rumah dapat menyebabkan keselamatan bagian yang tersisa, maka hal itu diperbolehkan bagi seseorang (untuk melakukannya). Bahkan disyariatkan baginya untuk mengerjakannya demi menjaga kekayaan orang lain. Begitu pula, sekiranya ada seorang zhalim ingin mengambil harta orang lain lalu seseorang menyerahkan sebagian uang (yang akan diambil) sebagai tebusan untuk menyelamatkan yang tersisa, maka itu diperbolehkan, meskipun tanpa izin pemiliknya.
– Boleh bekerja di laut sebagaimana diperbolehkan bekerja di daratan, berdasarkan Firman Allah, يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ “yang bekerja di laut.” (QS. Al-Kahfi: 79), dan Allah tidak mengingkari pekerjaan mereka.
-Bahwa orang miskin terkadang mempunyai harta yang tidak mencapai (batas) kecukupannya, namun hal itu tidak mengeluarkannya dari predikat miskin, karena Allah mengabarkan bahwa mereka adalah miskin yang memiliki perahu.
– Pembunuhan termasuk perbuatan dosa yang paling besar, berdasarkan perkataan Musa tentang pembunuhan si anak kecil, لَقَدْ جِئْتَ شَيْئًا نُكْرًا “Sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang mungkar.” (QS. Al-Kahfi: 74).
– Pembunuhan untuk tujuan qishash tidaklah diingkari, berdasarkan FirmanNya, بِغَيْرِ نَفْسٍ “bukan karena dia membunuh.” (QS. Al-Kahfi: 74).
– Seorang hamba yang shalih, akan dipelihara Allah, jiwa dan keturunannya.
– Membantu orang yang shalih atau orang yang berkaitan dengan mereka adalah lebih utama daripada membantu selainnya, karena Khidir menyebutkan alasan dirinya mengeluarkan harta simpanan dan mendirikan temboknya adalah karena bapak keduanya adalah shalih.
– Penggunaan etika kesopanan terhadap Allah جَلَّ جَلالُهُ dalam (pemakaian) ungkapan-ungkapan. Sesungguhnya Khidhir mengaitkan perusakan kapal kepada dirinya dengan berkata, فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا “Dan aku bertujuan merusak bahtera itu.” (QS. Al-Kahfi: 79). Sedangkan tentang kebaikan, maka dia menghubungkannya kepada Allah جَلَّ جَلالُهُ,
فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ
“Maka Rabbmu menghendaki agar mereka berdua sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya, sebagai rahmat dari Rabbmu.” (QS. Al-Kahfi: 82),
Sebagaimana yang disampaikan Ibrahim,
وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ
“Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkanku.” (QS. Asy- Syu’ara`: 80), dan perkataan jin,
وَأَنَّا لَا نَدْرِي أَشَرٌّ أُرِيدَ بِمَنْ فِي الْأَرْضِ أَمْ أَرَادَ بِهِمْ رَبُّهُمْ رَشَدًا
“Dan bahwa kami tidak mengetahui (dengan adanya penjagaan itu) apakah keburukan yang dikehendaki bagi orang yang di bumi ataukah Rabb mereka menghendaki kebaikan bagi mereka.” (QS. Al-Jin: 10), meskipun semua kejadian berasal dari ketentuan dan takdir Allah.
– Sesungguhnya seorang kawan tidak pantas meninggalkan sahabatnya dalam kondisi apa pun, dan memutus persahabatannya hingga dia menegurnya (terlebih dahulu) dan mengajukan alasan, seperti yang dilakukan oleh Khidhir terhadap Musa.
– Persetujuan seorang teman terhadap sahabatnya dalam perkara yang tidak terlarang merupakan pemicu dan faktor kelanggengan persahabatan dan kerekatannya, sebagaimana ketidaksepahaman menjadi sebab terputusnya hubungan persahabatan.
– [Persoalan-persoalan ini yang dijalankan oleh Khidhir merupakan keputusan takdir murni, yang mana Allah menjalankan dan meletakkannya pada tangan seorang hamba shalih, agar para hamba mempunyai bukti nyata tentang kelembutan-kelembutanNya dalam segala keputusanNya. Dia mentakdirkan perkara-perkara atas seorang hamba yang benar-benar dia benci, padahal merupakan kebaikan bagi agamanya, seperti dalam kejadian si anak kecil (yang dibunuh). Atau kebaikan bagi dunianya, seperti pada peristiwa kapal (yang dilubangi). Allah memperlihatkan sebuah contoh dari kelembutan dan kemuliaanNya supaya mereka mengenalNya dan ridha dengan takdir-takdir yang tidak mengenakkan dengan tulus].
82. Dan adapun dinding rumah yang aku tegakkan tanpa meminta upah itu sebetulnya adalah milik dua anak yatim di kota itu. Di bawahnya tersimpan harta bagi mereka berdua, peninggalan kedua orang tua mereka. Bila tidak aku tegakkan, lalu dinding itu roboh, aku khawatir harta itu diketahui keberadaannya dan diambil oleh orang yang tidak berhak. Dan ketahuilah bahwa ayahnya adalah seorang yang saleh yang menyimpan hartanya untuk kedua anaknya. Maka tuhanmu menghendaki harta itu tetap terjaga di tempat penyimpanannya agar keduanya sampai dewasa dan keduanya mengeluarkan simpanannya itu untuk bekal kehidupan mereka. Itu semua adalah sebagai rahmat dari tuhanmu bagi kedua anak yatim itu. Apa saja yang kuperbuat, seperti halnya yang kaulihat, bukan-lah menurut keinginan dan kemauanku sendiri, melainkan atas perintah Allah. Itulah makna dan keterangan dari perbuatan-perbuatan yang engkau tidak dapat sabar terhadapnya. ‘ kesalehan orang tua, seperti yang dicontohkan dalam ayat ini, pasti akan dibalas oleh Allah. Salah satu bentuk balasan Allah adalah memberi anugerah kepada anak keturunannya. 83. Usai menjelaskan kisah perjalanan nabi musa dalam rangka mencari ilmu kepada seorang hamba yang saleh, pada ayat-ayat berikut Allah menceritakan kisah perjalanan jihad zulkarnain. Cerita itu dikisahkan untuk menjawab pertanyaan kaum kafir mekah kepada nabi Muhammad. Wahai nabi Muhammad, mereka bertanya kepadamu tentang jati diri zulkarnain. Katakanlah kepada mereka, ‘dengan izin Allah, akan kubacakan kepadamu kisahnya agar kamu dapat memperoleh pelajaran darinya. ‘.
Al-Kahfi Ayat 82 Arab-Latin, Terjemah Arti Al-Kahfi Ayat 82, Makna Al-Kahfi Ayat 82, Terjemahan Tafsir Al-Kahfi Ayat 82, Al-Kahfi Ayat 82 Bahasa Indonesia, Isi Kandungan Al-Kahfi Ayat 82
Tafsir Surat Al-Kahfi Ayat: 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | 21 | 22 | 23 | 24 | 25 | 26 | 27 | 28 | 29 | 30 | 31 | 32 | 33 | 34 | 35 | 36 | 37 | 38 | 39 | 40 | 41 | 42 | 43 | 44 | 45 | 46 | 47 | 48 | 49 | 50 | 51 | 52 | 53 | 54 | 55 | 56 | 57 | 58 | 59 | 60 | 61 | 62 | 63 | 64 | 65 | 66 | 67 | 68 | 69 | 70 | 71 | 72 | 73 | 74 | 75 | 76 | 77 | 78 | 79 | 80 | 81 | 82 | 83 | 84 | 85 | 86 | 87 | 88 | 89 | 90 | 91 | 92 | 93 | 94 | 95 | 96 | 97 | 98 | 99 | 100 | 101 | 102 | 103 | 104 | 105 | 106 | 107 | 108 | 109 | 110
Raih pahala amal jariyah dengan cara membagikan (share) konten ini kepada yang lainnya. Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه
"Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)