{3} Ali ‘Imran / آل عمران | الْقُرْآنُ الْكَرِيْمُ | المائدة / Al-Maidah {5} |
Tafsir Al-Qur’an Surat An-Nisa النساء (Wanita) lengkap dengan tulisan arab latin, arti dan terjemah Bahasa Indonesia. Surah ke 4 Tafsir ayat Ke 92.
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً ۚ وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا ۚ فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ ۖ وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ ۖ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا ﴿٩٢﴾
wa mā kāna limu`minin ay yaqtula mu`minan illā khaṭa`ā, wa mang qatala mu`minan khaṭa`an fa taḥrīru raqabatim mu`minatiw wa diyatum musallamatun ilā ahlihī illā ay yaṣṣaddaqụ, fa ing kāna ming qaumin ‘aduwwil lakum wa huwa mu`minun fa taḥrīru raqabatim mu`minah, wa ing kāna ming qaumim bainakum wa bainahum mīṡāqun fa diyatum musallamatun ilā ahlihī wa taḥrīru raqabatim mu`minah, fa mal lam yajid fa ṣiyāmu syahraini mutatābi’aini taubatam minallāh, wa kānallāhu ‘alīman ḥakīmā
QS. An-Nisa [4] : 92
Dan tidak patut bagi seorang yang beriman membunuh seorang yang beriman (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Barangsiapa membunuh seorang yang beriman karena tersalah (hendaklah) dia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta (membayar) tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga si terbunuh) membebaskan pembayaran. Jika dia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal dia orang beriman, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Dan jika dia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa tidak mendapatkan (hamba sahaya), maka hendaklah dia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai tobat kepada Allah. Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.
Seorang mukmin tidak boleh melanggar saudaranya yang mukmin dan membunuhnya tanpa hak, kecuali apa yang terjadi dari atas dasar kekeliruan yang tidak disengaja. Barangsiapa melakukannya karena salah, maka dia harus memerdekakan hamba sahaya yang beriman dan membayar diyat yang telah ditentukan kepada keluarganya, kecuali bila keluarganya menyedekahkannya dan memaafkannya. Bila korbannya berasal dari suatu kaum kafir yang menjadi musuh bagi orang-orang mukmin, namun dia beriman kepada Allah dan beriman kepada kebenaran yang diturunkan kepada Rasul-Nya Muhammad, maka pembunuhnya harus memerdekakan hamba sahaya. Bila korbannya berasal dari suatu kaum di mana antara kalian dengan mereka terdapat perjanjian, maka pembunuhnya harus membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya dan memerdekakakn hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak mampu memerdekakan hamba sahaya yang beriman, maka dia harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut agar Allah mengampuninya. Allah Maha Mengetahui hakikat kehidupan hamba-hamba-Nya, Bijaksana dalam apa yang Dia syariatkan bagi mereka.
Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berfirman bahwa seorang mukmin tidak boleh membunuh saudaranya yang mukmin dengan alasan apa pun.
Seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah bersabda:
Tidak halal darah seorang muslim yang telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan aku adalah utusan Allah, kecuali karena salah satu dari tiga perkara, yaitu membunuh jiwa balasannya dibunuh lagi, duda yang berzina, orang yang meninggalkan agamanya lagi memisahkan diri dari jamaah.
Kemudian jika terjadi sesuatu dari ketiga hal tersebut, maka tiada hak atas setiap individu masyarakat untuk menghukumnya, melainkan yang berhak menghukumnya adalah imam atau wakilnya.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Terkecuali karena tersalah (tidak sengaja).
Mereka mengatakan bahwa istisna dalam ayat ini merupakan istisna munqati’, perihalnya sama dengan pengertian yang terdapat pada ucapan seorang penyair yang mengatakan:
dari telurnya (burung unta itu) tidak pernah pergi jauh dan tidak pernah pula menyentuh tanah kecuali karena cuaca dingin yang memaksanya harus pergi mengungsi.
Bukti-bukti yang membenarkan pengertian ini cukup banyak.
Mengenai asbabun nuzul ayat ini masih diperselisihkan, untuk itu Mujahid dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Ayyasy ibnu Abu Rabi’ah. Abu Rabi’ah adalah saudara laki-laki seibu dengan Abu Jahal, ibunya bernama Asma binti Makhramah.
Pada mulanya Ayyasy membunuh seorang lelaki yang menyiksa dirinya bersama saudaranya karena Ayyasy masuk Islam, lelaki itu bernama Al-Haris ibnu Yazid Al-Gamidi. Dalam hati Ayyasy masih terpendam niat hendak membalas saudara Al-Haris itu. Tetapi tanpa sepengetahuan Ayyasy, saudara Al-Haris tersebut masuk Islam dan ikut hijrah. Ketika terjadi Perang Fath Mekah, tiba-tiba Ayyasy melihat lelaki tersebut, maka dengan serta merta ia langsung menyerangnya dan membunuhnya karena ia menduga bahwa lelaki tersebut masih musyrik. Maka Allah menurunkan ayat ini.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abu Darda, karena ia membunuh seorang lelaki yang telah mengucapkan kalimat iman (yaitu syahadatain), di saat ia mengangkat senjata padanya. Sekalipun lelaki itu telah mengucapkan kalimat iman, Abu Darda tetap mengayunkan pedang kepadanya, hingga matilah ia. Ketika peristiwa tersebut diceritakan kepada Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, Abu Darda beralasan bahwa sesungguhnya lelaki itu mau mengucapkan kalimat tersebut hanyalah semata-mata untuk melindungi dirinya. Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda kepadanya: Apakah kamu telah membelah dadanya?
Hadis ini terdapat di dalam kitab Sahih, tetapi bukan melalui Abu Darda.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu).
Kedua sanksi tersebut wajib dalam kasus pembunuhan tidak sengaja, yang salah satunya ialah membayar kifarat untuk menghapus dosa besar yang dilakukannya, sekalipun hal tersebut ia lakukan secara tidak sengaja. Di antara syarat kifarat ini ialah memerdekakan seorang budak yang mukmin, tidak cukup bila yang dimerdekakannya itu adalah budak yang kafir.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas, Asy-Sya’bi, Ibrahim An-Nakha’i, Al-Hasan Al-Basri, bahwa mereka mengatakan, “Tidak mencukupi sebagai kifarat memerdekakan budak yang masih kecil, mengingat anak yang masih kecil masih belum menjadi pelaku iman.”
Diriwayatkan melalui jalur Abdur Razzaq, dari Ma’mar, dari Qatadah yang mengatakan bahwa di dalam mushaf sahabat Ubay ibnu Ka’b terdapat keterangan, “Maka hendaklah ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman,” dalam kifarat ini masih belum mencukupi bila yang dimerdekakannya adalah budak yang masih kecil.
Tetapi Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan, “Jika si budak yang masih kecil itu dilahirkan dari kedua orang tua yang kedua-duanya muslim, sudah mencukupi untuk kifarat. Tetapi jika bukan dilahirkan dari kedua orang tua yang muslim, hukumnya tidak mencukupi.”
Pendapat yang dikatakan oleh jumhur ulama mengatakan, “Manakala budak yang dimerdekakan adalah orang muslim, maka sah dimerdekakan sebagai kifarat, tanpa memandang apakah ia masih kecil atau sudah dewasa.”
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma’mar, dari Az-Zuhri, dari Abdullah ibnu Abdullah, dari seorang lelaki, dari kalangan Ansar yang telah menceritakan hadis berikut: Bahwa ia datang dengan membawa budak perempuan yang berkulit hitam, lalu ia bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku terkena kewajiban memerdekakan seorang budak yang mukmin. Untuk itu apabila menurutmu budak ini mukmin, maka aku akan memerdekakannya.” Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bertanya kepada budak perempuan itu, “Apakah engkau telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah?” Budak perempuan itu menjawab, “Ya.” Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bertanya lagi, “Apakah engkau telah bersaksi pula bahwa aku adalah utusan Allah?” Si budak menjawab, “Ya.” Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bertanya lagi, “Apakah engkau beriman dengan hari berbangkit sesudah mati?” Si budak menjawab, “Ya.” Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda, “Merdekakanlah dia!”
Sanad hadis ini sahih. Mengenai nama sahabat yang tidak disebutkan dengan jelas, tidak mengurangi predikat hadis ini.
Di dalam kitab Muwatta’ Imam Malik, kitab Musnad Imam Syafii, kitab Musnad Imam Ahmad, Sahih Muslim, Sunan Abu Daud, dan Sunan Nasai disebutkan sebuah hadis melalui jalur Hilal ibnu Abu Maimunah, dari Ata ibnu Yasar, dari Mu’awiyah ibnul Hakam:
bahwa ketika ia datang membawa budak wanita hitam itu kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda kepada budak itu, “Di manakah Allah itu?” Ia menjawab, “Di langit.” Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bertanya lagi, “Siapakah aku ini?” Ia menjawab, “Utusan Allah.” Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda: Merdekakanlah dia, sesungguhnya dia beriman.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
…dan membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu).
Kewajiban yang kedua yang dibebankan kepada si pembunuh ialah yang menyangkut kepentingan keluarga si terbunuh, yaitu pembayaran diat kepada mereka, sebagai kompensasi yang diperuntukkan buat mereka akibat terbunuhnya keluarga mereka.
Diat ini hanyalah diwajibkan dalam bentuk lima rupa, seperti yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan para pemilik kitab sunnah melalui hadis Al-Hajjaj ibnu Artah, dari Zaid ibnu Jubair, dari Khasyf ibnu Malik, dari Ibnu Mas’ud yang menceritakan:
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah memutuskan terhadap diat kasus pembunuhan secara tidak sengaja dibayar dalam bentuk dua puluh ekor bintu makhad, dua puluh ekor bani makhad, dua puluh ekor bintu labun, dua puluh ekor jaz’ah, dan dua puluh ekor hiqqah.
Lafaz hadis ini berdasarkan apa yang ada pada Imam Nasai. Imam Turmuzi mengatakan, “Kami tidak mengetahui predikat marfu’-nya kecuali melalui jalur sanad ini.”
Tetapi diriwayatkan pula hal yang sama secara mauquf dari Abdullah Ibnu Mas’ud, begitu pula dari Ali dan sejumlah sahabat lainnya. Tetapi menurut pendapat yang lainnya lagi, diat harus dibagi menjadi empat macam.
Diat ini hanya diwajibkan atas aqilah (para asabah) si pembunuh, bukan dibebankan kepada harta si pembunuh.
Imam Syafii mengatakan, “Aku belum pernah mengetahui ada yang menentang bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah memutuskan diat ditanggung oleh aqilah. Hal ini jauh lebih banyak daripada hadis yang khusus.”
Hal yang diisyaratkan oleh Imam Syafii ini memang terbukti banyak hadis yang menerangkan tentangnya. Antara lain ialah hadis yang disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui Abu Hurairah yang menceritakan:
bahwa ada dua orang wanita dari kalangan Bani Huzail berkelahi, lalu salah seorang darinya melempar lawannya dengan batu hingga membunuhnya berikut janin yang dikandungnya. Kemudian kedua keluarga yang bersangkutan mengadukan kasus mereka kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memutuskan bahwa diat janin si terbunuh ialah memerdekakan seorang budak laki-laki atau budak perempuan, sedangkan keputusan mengenai diat ibunya dibebankan kepada aqilah si pembunuh.
Dapat ditarik kesimpulan dari hadis ini bahwa hukum membunuh mirip dengan secara sengaja sama dengan hukum membunuh secara keliru murni dalam hal diatnya. Akan tetapi, dalam kasus serupa dengan sengaja diatnya hanya terbagi menjadi tiga macam.
Di dalam kitab Sahih Bukhari disebut sebuah hadis melalui Abdullah ibnu Umar:
bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengirimkan Khalid ibnul Walid (bersama sejumlah pasukan yang dipinipinnya) ke tempat orang-orang Bani Juzaimah. Lalu Khalid menyeru mereka dan mengajak mereka masuk Islam, tetapi mereka tidak dapat mengatakan, “Kami masuk Islam.” Yang mereka katakan hanyalah, “Kami masuk agama Sabiah, kami masuk agama Sabiah.” Maka Khalid membunuh mereka. Ketika Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mendengar hal tersebut, beliau mengangkat kedua tangannya, lalu berdoa: Ya Allah, sesungguhnya aku berlepas diri dari-Mu terhadap apa yang diperbuat oleh Khalid. Lalu Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengutus Ali untuk membayar diat mereka yang terbunuh dan mengganti harta mereka yang dirusak tanpa ada sedikit pun yang tertinggal.
Dari hadis ini dapat ditarik kesimpulan bahwa kekeliruan yang ditimbulkan oleh pihak imam atau wakilnya, kerugiannya dibebankan kepada Baitul Mal.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
…kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah.
Dalam kasus pembunuhan tidak sengaja diat harus diserahkan kepada keluarga si terbunuh, kecuali jika keluarga si terbunuh menyedekahkannya (memaafkannya), maka hukum diat tidak wajib lagi.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhi kalian, padahal ia mukmin, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang beriman.
Bilamana si terbunuh adalah orang mukmin, tetapi semua keluarganya adalah orang-orang kafir harbi yang bermusuhan dengan kalian, maka tidak ada diat bagi mereka, dan si pembunuh diwajibkan memerdekakan seorang budak yang mukmin, tanpa ada sanksi lainnya lagi.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kalian.
Jika keluarga si terbunuh adalah orang-orang kafir zimmi, atau yang ada perjanjian perdamaian dengan kalian, maka mereka mendapat diatnya. Jika si terbunuh adalah orang mukmin, maka diatnya lengkap, demikian pula jika si terbunuh kafir, menurut pendapat segolongan ulama. Tetapi menurut pendapat yang lain, bila si terbunuhnya adalah orang kafir, maka diatnya hanya separo diat orang muslim. Menurut pendapat yang lainnya lagi, sepertiganya. Rincian mengenai masalah ini dibahas dalam kitab-kitab fiqih. Si pembunuh diwajibkan pula memerdekakan seorang budak yang mukmin selain diat tersebut.
Barang siapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut.
Tidak boleh berbuka barang sehari pun di antara dua bulan itu, melainkan ia lakukan puasanya secara berturut-turut dan langsung hingga bulan yang kedua. Untuk itu jika ia berbuka tanpa uzur sakit atau haid atau nifas, maka ia harus memulainya lagi dari permulaan.
Para ulama sehubungan dengan masalah ini berbeda pendapat mengenai bepergian, apakah orang yang bersangkutan boleh memutuskannya atau tidak. Ada dua pendapat mengenai masalah ini.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Untuk penerimaan tobat dari Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.
Dengan kata lain, begitulah tobat orang yang melakukan pembunuhan tidak disengaja, yaitu apabila ia tidak mendapatkan budak untuk dimerdekakannya, hendaklah ia berpuasa selama dua bulan berturut-turut sebagai gantinya.
Para ulama berselisih pendapat mengenai orang yang tidak kuat melakukan puasa, apakah ia wajib memberi makan enam puluh orang miskin, sebagaimana dalam kifarat zihar? Ada dua pendapat mengenainya.
Pendapat pertama mengiyakan, karena disamakan dengan kifarat dalam masalah zihar. Sesungguhnya alternatif ini tidak disebutkan di dalam ayat, karena kedudukan ayat mengandung makna ancaman, peringatan, dan menakut-nakuti. Maka tidaklah serasi bila disebutkan padanya masalah memberi makan sebagai alternatif lain, karena akan tersirat pengertian mempermudah dan menganggap ringan.
Pendapat yang kedua mengatakan tidak boleh berpindah kepada kifarat memberi makan, karena sesungguhnya jika alternatif memberi makan ini hukumnya wajib, niscaya keterangan mengenainya tidak diakhirkan dari saat dibutuhkan.
Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.
Tafsir mengenai ayat yang berbunyi demikian sering dikemukakan.
Bentuk kalimat ini adalah merupakan bentuk kalimat penolakan, artinya tidak mungkin dan mustahil sekali seorang Mukmin dapat membunuh Mukmin lainnya, maksudnya, dengan disengaja.
Hal ini merupakan sebuah berita tentang betapa haramnya pembunuhan tersebut, dan bahwa hal tersebut akan menghilangkan keimanan dengan sebenar-benarnya, dan sesungguhnya tindakan itu hanya akan dilakukan oleh orang kafir atau orang fasik yang imannya berkurang sangat banyak dan yang dikhawatirkan terjadi hal-hal yang lebih besar darinya, karena sesungguhnya keimanan yang benar akan mencegah seorang Mukmin dari membunuh saudaranya yang telah Allah جَلَّ جَلالُهُ ikat antara dia dan saudaranya tersebut sebuah ikatan persaudaraan karena iman yang menuntut agar ia mencintai saudaranya itu, menolongnya dan menghilangkan segala hal yang membahayakannya berupa gangguan; dan gangguan apalagi yang paling besar dari pembunuhan? Hal ini dibenarkan oleh sabda Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ,
لَا تَرْجِعُوْا بَعْدِيْ كُفَّارًا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ.
“Janganlah kalian kembali kepada kekufuran setelah kematianku yaitu sebagian kalian membunuh sebagian lainnya.” (Dikeluarkan oleh al-Bukhari, no. 6868 dan Muslim, no. 66 dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma)
Karena itu diketahui bahwa pembunuhan merupakan kufur amali (kufur) perbuatan, dan dosa yang paling besar setelah syirik kepada Allah جَلَّ جَلالُهُ.
Dan tatkala Firman Allah جَلَّ جَلالُهُ, وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا “Dan tidak layak bagi seorang Mukmin membunuh seorang Mukmin (yang lain)” adalah sebuah lafazh yang umum dalam segala kondisi, dan bahwa seorang Muslim tidak akan membunuh saudara Muslim lainnya dalam bentuk apa pun, lalu Allah جَلَّ جَلالُهُ mengecualikan dari hal tersebut pembunuhan karena ketidaksengajaan, seraya berfirman, إِلَا خَطَأً “Kecuali karena tersalah (tidak disengaja),” karena sesungguhnya seorang yang salah yang tidak bermaksud membunuh, ia tidaklah berdosa dan tidak dikatakan sebagai seorang yang berani melanggar batasan-batasan Allah جَلَّ جَلالُهُ, akan tetapi karena ia telah melakukan suatu tindakan yang keji dan bentuknya pun sangat cukup untuk dikatakan sangat jelek walaupun ia sendiri tidak bermaksud demikian, maka Allah جَلَّ جَلالُهُ memerintahkan membayar kaffarat (denda atas pelanggaran larangan) dan diyat (ganti rugi pembunuhan) dalam FirmanNya, وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً “Dan barangsiapa membunuh seorang Mukmin karena tersalah,” baik pelaku pembunuhannya adalah laki-laki atau wanita, orang merdeka atau budak, kecil atau besar, berakal atau gila, Muslim atau kafir, sebagaimana yang ditunjukkan oleh kata “barangsiapa” yang menunjukkan kepada keumuman, dan hal ini adalah di antara rahasia-rahasia menempatkan kata “barangsiapa” dalam kalimat tersebut, karena sesungguhnya konteks perkataan tersebut mengarahkan kepada ungkapan “dan jika ia membunuhnya,” akan tetapi kalimat ini tidak mencakup apa yang dicakup oleh konteks yang memakai kata “barangsiapa,” dan juga sama saja, baik orang yang terbunuh itu laki-laki atau wanita, kecil atau besar, sebagaimana yang ditunjukkan oleh kata umum dalam konteks kalimat bersyarat, maka hendaklah pelaku pembunuhan itu تَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ “memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman,” sebagai suatu denda akan hal tersebut, yang harus diambil dari hartanya.
Budak tersebut mencakup; kecil maupun besar, laki-laki maupun wanita dan yang sehat maupun yang memiliki cacat menurut sebagian pendapat para ulama, akan tetapi hikmah yang ada menuntut sebuah konsekuensi bahwa denda itu tidaklah terpenuhi dengan budak yang memiliki cacat, karena yang dimaksudkan dengan membebaskan budak itu adalah memanfaatkan budak dan kepemilikan kemaslahatan dirinya, namun bila budak itu akan terabaikan dengan pembebasannya tersebut dan tetapnya ia dalam perbudakan adalah lebih bermanfaat bagi dirinya, maka tidaklah terpenuhi denda tersebut, padahal dalam FirmanNya, تَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ “Memerdekakan seorang hamba sahaya,” suatu isyarat yang menunjukkan akan hal tersebut, karena sesungguhnya pembebasan budak itu adalah pelepasan hak memanfaatkan budak tersebut dari seseorang kepada orang lain. Namun bila kemaslahatan tersebut tidak dijumpai, maka tidaklah tergambarkan adanya pembebasan, karena itu perhatikanlah hal tersebut, karena itu sangat jelas sekali.
Adapun diyat, maka sesungguhnya hal itu diwajibkan kepada keluarga besar pelaku pembunuhan tidak disengaja atau pembunuhan yang mirip dengan sengaja, مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ “yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu),” sebagai suatu hiburan bagi hati mereka yang luka, dan yang dimaksud dengan أَهْلِهِ “keluarganya” di sini, adalah ahli warisnya, karena sesungguhnya ahli waris itu akan mewarisi apa yang ditinggalkan oleh si mayit, dan diyat ini termasuk dalam warisannya, dan diyat ini memiliki perincian-perincian yang luas sekali yang termuat dalam buku-buku fikih.
Dan FirmanNya, إِلَا أَنْ يَصَّدَّقُوْا “Kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah” maksudnya, ahli waris terbunuh bersedekah dengan cara memaafkan keluarga pembunuh dari membayar diyat, maka gugurlah kewajiban membayar diyat tersebut. Ayat ini mengandung anjuran kepada keluarga terbunuh untuk memaafkan, karena Allah جَلَّ جَلالُهُ telah menamakan sikap memaafkan itu dengan sebutan sedekah, dan sedekah itu sangat diharapkan pada setiap waktu, فَإِنْ كَانَ “jika ia” orang yang terbunuh, مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ “dari kaum yang memusuhimu,” yaitu dari orang-orang kafir yang boleh diperangi, وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ “padahal ia Mukmin maka ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman” yaitu kalian tidak wajib membayar diyat kepada keluarga terbunuh, karena tidak adanya penghormatan dalam darah dan harta mereka, وَإِنْ كَانَ “dan jika” orang yang terbunuh, مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيْثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ “dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang Mukmin,” hal tersebut adalah untuk menghormati penduduknya karena adanya perjanjian dan perdamaian di antara mereka.
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ “Barangsiapa yang tidak memperoleh” hamba sahaya dan tidak pula ada harta seharga budak tersebut, karena ia dalam kesulitan, dan ia tidak memiliki kelebihan nafkah dari kebutuhankebutuhan pokok keluarganya yang mampu memenuhi denda tersebut, فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ “maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut,” yaitu janganlah ia berbuka di antara kedua bulan tersebut tanpa ada udzur yang syar’i, dan bila ia berbuka dengan adanya udzur, maka udzur tersebut tidak memutuskan keberlanjutan puasanya tersebut, seperti sakit, haidh dan semacamnya, namun bila tanpa udzur, maka terputuslah keberlanjutan puasanya hingga ia harus mengulangi lagi dari awal, تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ “sebagai cara taubat kepada Allah جَلَّ جَلالُهُ,” maksudnya, denda-denda tersebut yang diwajibkan oleh Allah جَلَّ جَلالُهُ atas pelaku pembunuhan adalah sebagai penerimaan taubat dari Allah جَلَّ جَلالُهُ atas hamba-hambaNya dan sebagai rahmat kepada mereka serta pengguguran akan hal yang terjadi pada mereka berupa kelalaian dan kurang waspada sebagaimana yang sering terjadi pada pelaku pembunuhan yang tidak disengaja.
وَكَانَ اللَّهُ عَلِيْمًا حَكِيْمًا “Dan Allah جَلَّ جَلالُهُ Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana” yaitu ilmu yang sempurna dan hikmah yang sempurna pula, tidaklah akan tersembunyi dariNya walaupun sebesar dzarrah di bumi maupun di langit, dan tidak pula yang lebih kecil dari itu, apalagi yang lebih besar, di masa apa pun dan tempat manapun, dan tidak ada yang keluar dari hikmahNya, baik dari seluruh makhluk maupun syariat-syariat, bahkan semua yang Allah جَلَّ جَلالُهُ ciptakan dan syariatkan adalah mengandung hikmah yang agung.
Dan di antara ilmu dan hikmahNya adalah, Allah جَلَّ جَلالُهُ mewajibkan denda terhadap seorang pembunuh yang sesuai dengan apa yang telah dilakukannya, karena ia telah menjadi penyebab dari hilangnya sebuah jiwa yang terhormat, dan telah mengeluarkannya dari dunia nyata menuju ketiadaan, karena itu patutlah dirinya memerdekakan seorang hamba sahaya dan mengeluarkannya dari penghambaan kepada makhluk kepada kebebasan yang penuh, namun bila ia tidak mendapatkan hamba sahaya tersebut, ia harus berpuasa dua bulan berturut-turut, di mana dengan puasa itu ia mengeluarkan jiwanya dari penghambaan nafsu syahwat dan kelezatan-kelezatan lahiriyah yang menghalangi seorang hamba dari kebahagiaannya yang abadi kepada penghambaan kepada Allah جَلَّ جَلالُهُ dengan meninggalkan nafsu syahwat dan kelezatan lahiriyah tersebut untuk mendekatkan diri kepadaNya, dan Allah جَلَّ جَلالُهُmembuat masanya dengan tempo yang panjang lagi sulit dalam hal jumlah dan kewajiban berturut-turut dalam menunaikannya, Allah جَلَّ جَلالُهُ tidak mewajibkan memberi makan dalam kondisi ini karena tidak sesuai dengan kasusnya, berbeda dengan zhihar, sebagaimana yang akan dibahas pada masa yang akan datang, insya Allah جَلَّ جَلالُهُ.
Dan di antara hikmahNya adalah Allah جَلَّ جَلالُهُ mewajibkan diyat dalam perkara pembunuhan, walaupun tidak disengaja, agar hal itu menjadi penghalang dan perintang dari banyaknya pembunuhan yang terjadi dengan memakai sebab-sebab yang melindungi akan hal tersebut. Dan di antara hikmahNya adalah diwajibkannya diyat atas keluarga pembunuh (al-Aqilah) dalam pembunuhan tidak sengaja menurut kesepakatan para ulama, karena pembunuhnya itu bukanlah seorang yang berdosa, maka sangat berat baginya untuk memikul beban diyat yang sangat berat tersebut, maka sangatlah pantas kalau yang ikut dalam memikulnya adalah orang-orang yang antara mereka dengan pembunuh ada saling tolong-menolong, membela dan membantu dalam memperoleh kemaslahatan dan menghindari kemudharatan, dan meringankan beban mereka, karena diyat tersebut dibagi menurut kondisi dan kemampuan mereka masing-masing, dan juga dibuat ringan untuk mereka dengan masa pembayaran tiga tahun. Dan di antara hikmah dan ilmuNya juga adalah menghibur keluarga terbunuh dari musibah pembunuhan tersebut dengan adanya diyat yang diwajibkan atas keluarga pembunuh.
Dan tidak patut, bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin yang lain, kecuali terjadi karena tersalah dan tidak sengaja, sebab keimanan akan menghalangi mereka untuk berbuat demikian. Barang siapa membunuh seorang mukmin, kecil atau dewasa, laki-laki atau perempuan, karena tersalah, maka wajiblah dia memerdekakan atau membebaskan seorang hamba sahaya yang beriman, yakni membebaskannya dari sistem perbudakan walau dengan jalan menjual harta yang dimilikinya untuk pembebasannya serta membayar tebusan (diat) yang diserahkan dengan baik-baik dan tulus kepada keluarganya, yakni keluarga si terbunuh itu, kecuali jika mereka, keluarga si terbunuh memberikan maaf kepada si pembunuh dengan membebaskannya dari pembayaran itu. Jika dia, yakni si terbunuh, berasal dari kaum kafir yang memusuhimu padahal dia mukmin, maka yang diwajibkan kepada si pembunuh itu hanyalah memerdekakan hamba sahaya yang beriman, tidak disertai tebusan. Dan jika dia, si terbunuh, adalah kafir dari kaum kafir yang ada, yakni memiliki perjanjian damai dan tidak saling menyerang antara mereka dengan kamu, maka wajiblah bagi si pembunuh itu membayar tebusan yang diserahkan dengan baik-baik dan tulus kepada keluarganya si terbunuh akibat adanya perjanjian itu serta diwajibkan pula memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barang siapa tidak mendapatkan hamba sahaya yang disebabkan karena tidak menemukannya, padahal kemampuannya ada atau karena tidak memiliki kemampuan materi untuk membebaskannya, maka hendaklah dia, si pembunuh, berpuasa selama dua bulan berturut-turut sebagai gantinya. Allah mensyariatkan hal demikian kepada kalian sebagai tobat kalian kepada Allah. Dan Allah maha mengetahui segala yang kalian lakukan, mahabijaksana untuk menetapkan hukum dan hukuman bagi kalian. Dan barang siapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja yakni dengan niat dan terencana, maka balasannya yang pantas dan setimpal ialah neraka jahanam yang sangat mengerikan, dia kekal di dalamnya dalam waktu yang lama disertai dengan siksaan yang amat mengerikan. Di samping hukuman itu, Allah murka kepadanya dan melaknatnya yakni menjauhkannya dan tidak memberinya rahmat, serta menyediakan azab yang besar baginya selain dari azab-azab yang disebutkan di atas di akhirat.
An-Nisa Ayat 92 Arab-Latin, Terjemah Arti An-Nisa Ayat 92, Makna An-Nisa Ayat 92, Terjemahan Tafsir An-Nisa Ayat 92, An-Nisa Ayat 92 Bahasa Indonesia, Isi Kandungan An-Nisa Ayat 92
Tafsir Surat An-Nisa Ayat: 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | 21 | 22 | 23 | 24 | 25 | 26 | 27 | 28 | 29 | 30 | 31 | 32 | 33 | 34 | 35 | 36 | 37 | 38 | 39 | 40 | 41 | 42 | 43 | 44 | 45 | 46 | 47 | 48 | 49 | 50 | 51 | 52 | 53 | 54 | 55 | 56 | 57 | 58 | 59 | 60 | 61 | 62 | 63 | 64 | 65 | 66 | 67 | 68 | 69 | 70 | 71 | 72 | 73 | 74 | 75 | 76 | 77 | 78 | 79 | 80 | 81 | 82 | 83 | 84 | 85 | 86 | 87 | 88 | 89 | 90 | 91 | 92 | 93 | 94 | 95 | 96 | 97 | 98 | 99 | 100 | 101 | 102 | 103 | 104 | 105 | 106 | 107 | 108 | 109 | 110 | 111 | 112 | 113 | 114 | 115 | 116 | 117 | 118 | 119 | 120 | 121 | 122 | 123 | 124 | 125 | 126 | 127 | 128 | 129 | 130 | 131 | 132 | 133 | 134 | 135 | 136 | 137 | 138 | 139 | 140 | 141 | 142 | 143 | 144 | 145 | 146 | 147 | 148 | 149 | 150 | 151 | 152 | 153 | 154 | 155 | 156 | 157 | 158 | 159 | 160 | 161 | 162 | 163 | 164 | 165 | 166 | 167 | 168 | 169 | 170 | 171 | 172 | 173 | 174 | 175 | 176
Raih pahala amal jariyah dengan cara membagikan (share) konten ini kepada yang lainnya. Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه
"Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)