{16} An-Nahl / النحل | الْقُرْآنُ الْكَرِيْمُ | الكهف / Al-Kahfi {18} |
Tafsir Al-Qur’an Surat Al-Isra الإسراء (Memperjalankan Di Waktu Malam) lengkap dengan tulisan arab latin, arti dan terjemah Bahasa Indonesia. Surah ke 17 Tafsir ayat Ke 1.
سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ ﴿١﴾
sub-ḥānallażī asrā bi’abdihī lailam minal-masjidil-ḥarāmi ilal-masjidil-aqṣallażī bāraknā ḥaulahụ linuriyahụ min āyātinā, innahụ huwas-samī’ul-baṣīr
QS. Al-Isra [17] : 1
Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.
Allah memuji diri-Nya dan mengagungkan urusan-Nya, karena kekuasaan-Nya terhadap apa yang tidak mampu dilakukan oleh seorang pun selain-Nya. Tiada Ilah selain-Nya, dan tiada Rabb selain-Nya. Dialah yang telah memperjalankan hamba-Nya, Muhammad sallallahu alaihi wa sallam , pada waktu malam, dengan jasad dan ruhnya, dalam keadaan sadar tidak tidur, dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsa di Baitul Maqdis, yang Allah berkahi sekelilingnya dengan tanaman, buah-buahan, dan selainnya, serta Dia menjadikannya sebagai tempat bagi banyak nabi; agar bisa disaksikan keajaiban kekuasaan Allah dan bukti-bukti keesaan-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar semua suara, lagi Maha Melihat semua yang bisa dilihat, lalu Dia memberi masing-masing apa yang menjadi haknya di dunia dan akhirat.
Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى memulai surat ini dengan mengagungkan diri-Nya dan menggambarkan kebesaran peran-Nya, karena kekuasaan-Nya melampaui segala sesuatu yang tidak mampu dilakukan oleh seorang pun selain Dia sendiri. Maka tidak ada Tuhan selain Dia, dan tidak ada Rabb selain Dia.
…yang telah memperjalankan hamba-Nya.
Yaitu Nabi Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
…pada suatu malam.
Maksudnya, di dalam kegelapan malam hari.
…dari Masjidil Haram.
Yang tempatnya berada di Mekah
…ke Masjidil Aqsa.
Yakni Baitul Muqaddas yang terletak di Elia (Yerussalem), tempat asal para Nabi (terdahulu) sejak Nabi Ibrahim a.s. Karena itulah semua nabi dikumpulkan di Masjidil Aqsa pada malam itu, lalu Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengimami mereka di tempat mereka. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ adalah imam terbesar dan pemimpin yang didahulukan. Semoga salawat dan salam Allah terlimpahkan kepada mereka semuanya.
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
…yang telah Kami berkahi sekelilingnya.
Yakni tanam-tanamannya dan hasil buah-buahannya.
…agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami.
Maksudnya, Kami perlihatkan kepada Muhammad sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang besar-besar.
Dalam ayat lain disebutkan melalui firman-Nya:
Sesungguhnya Dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar. (An Najm:18)
Kami akan mengetengahkan hadis-hadis yang menceritakan peristiwa Isra ini yang bersumber dari Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Allah Maha Mendengar semua ucapan hamba-hamba-Nya, yang mukmin maupun yang kafir yang membenarkan maupun yang mendustakan di antara mereka. Dan Dia Maha Melihat semua perbuatan mereka: Maka kelak Dia akan memberikan kepada masing-masing dari mereka balasan yang berhak mereka terima di dunia dan di akhirat.
Imam Abu Abdullah Al-Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abdul Aziz ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Sulaiman (yakni Ibnu Bilal), dari Syarik ibnu Abdullah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar sahabat Anas ibnu Malik menceritakan malam hari yang ketika itu Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengalami Isra dari Masjid Ka’bah (Masjidil Haram). Disebutkan bahwa ada tiga orang datang kepadanya sebelum ia menerima wahyu, saat itu ia (Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) sedang tidur di Masjidil Haram. Orang pertama dari ketiga orang itu berkata, “Yang manakah dia itu?” Orang yang pertengahan menjawab, “Orang yang paling pertengahan dari mereka. Dialah orang yang paling baik.” Orang yang terakhir berkata, “Ambillah yang paling baik dari mereka.” Hanya itulah yang terjadi malam tersebut. Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak melihat mereka, hingga mereka datang kepadanya di malam lainnya menurut penglihatan hatinya, sedangkan matanya tertidur, tetapi hatinya tidak tidur. Demikianlah halnya para nabi, mata mereka tidur, tetapi hati mereka tidak tidur. Mereka tidak mengajak beliau bicara, melainkan langsung membawanya, lalu membaringkannya di dekat sumur zamzam, yang selanjutnya urusannya ditangani oleh Malaikat Jibril yang ada bersama mereka. Kemudian Jibril membelah bagian antara tenggorokan sampai bagian ulu hatinya, lalu ia mencuci isi dada dan perutnya dengan memakai air zamzam. Ia lakukan hal ini dengan tangannya sendiri sehingga bersihlah bagian dari tubuh Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Kemudian Jibril membawa sebuah piala emas yang di dalamnya terdapat sebuah wadah kecil terbuat dari emas, wadah itu berisikan iman dan hikmah. Lalu Jibril menyisihkannya ke dalam dada dan kerongkongannya serta menutupkan bedahannya. Setelah itu Jibril membawanya naik ke langit pertama. Jibril mengetuk salah satu pintu langit pertama, maka malaikat penghuni langit pertama bertanya, “Siapakah orang ini?” Jibril menjawab, “Saya Jibril.” Mereka bertanya, “Siapakah yang bersamamu?” Jibril menjawab, “Orang yang bersamaku adalah Muhammad.” Mereka bertanya, “Apakah ia telah diutus untuk menghadap kepada-Nya?” Jibril menjawab “Ya.” Mereka berkata, “Selamat datang untuknya.” Semua penduduk langit pertama menyambut gembira kedatangannya. Para penduduk langit tidak mengetahui apa yang diinginkan oleh Allah di bumi hingga Allah sendiri yang memberitahukan kepada mereka. Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersua dengan Adam di langit yang pertama, dan Malaikat Jibril berkata kepadanya, “Ini adalah bapakmu Adam.” Maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengucapkan salam kepada Adam, dan Adam menjawab salamnya seraya berkata, “Selamat datang, wahai anakku, sebaik-baik anak adalah engkau.” Di langit pertama itu Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tiba-tiba melihat ada dua buah sungai yang mengalir. Maka ia bertanya, “Hai Jibril, apakah nama kedua sungai ini?” jibril menjawab, “Kedua sungai ini adalah Nil dan Eufrat, yakni sumber keduanya.” Jibril membawanya pergi ke sekitar langit itu. Tiba-tiba Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melihat sungai lain. Yang di atasnya terdapat sebuah gedung dari mutiara dan zabarjad. Maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyentuhkan tangannya ke sungai itu, ternyata baunya sangat wangi seperti minyak kesturi. Lalu ia bertanya, “Hai Jibril, sungai apakah ini?” Jibril menjawab, “Ini adalah Sungai Kausar yang disimpan oleh Tuhanmu buat kamu.” Jibril membawanya naik ke langit yang kedua, maka para malaikat (penjaga langit kedua) mengatakan kepadanya pertanyaan yang sama seperti pertanyaan yang dilontarkan oleh penjaga langit pertama, “Siapakah orang ini?” Jibril menjawab, “Saya Jibril.” Mereka bertanya, “Siapakah yang bersamamu?” Jibril menjawab, “Muhammad.” Mereka bertanya, “Apakah dia telah diperintahkan untuk menghadap kepada-Nya?” Jibril menjawab, “Ya.” Mereka berkata, “Selamat atas kedatangannya.” Kemudian Jibril membawanya naik ke langit yang ketiga, dan para penjaganya mengatakan kepadanya pertanyaan yang semisal dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh malaikat penjaga langit yang kedua. Jibril membawanya lagi naik ke langit yang keempat. Para penjaganya pun melontarkan pertanyaan yang sama seperti pertanyaan sebelumnya. Jibril membawanya lagi naik ke langit yang kelima, dan para penjaganya melontarkan pertanyaan yang semisal dengan pertanyaan para malaikat penjaga langit yang sebelumnya. Jibril membawanya lagi naik ke langit yang keenam. Para penjaganya mengajukan pertanyaan yang semisal dengan para malaikat sebelumnya. Kemudian Jibril membawanya lagi ke langit yang ketujuh, dan para penjaganya mengajukan pertanyaan yang semisal dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh penjaga langit sebelumnya. Pada tiap-tiap lapis langit terdapat nabi-nabi yang nama masing-masingnya disebutkan oleh Jibril. Perawi hadis berkata bahwa ia ingat nama-nama mereka, antara lain: Nabi Idris di langit yang kedua, Nabi Harun di langit yang keempat, dan nabi lainnya di langit yang kelima, perawi tidak ingat lagi namanya. Nabi Ibrahim di langit yang keenam, dan Nabi Musa di langit yang ketujuh berkat keutamaan yang dimilikinya, yaitu pernah diajak berbicara langsung oleh Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى Musa berkata “Wahai Tuhanku, saya tidak menduga bahwa Engkau akan mengangkat seseorang lebih tinggi di atasku.” Kemudian Jibril membawanya naik di atas itu sampai ke tingkatan yang tiada seorang pun mengetahuinya kecuali hanya Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى, hingga sampailah Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ di Sidratul Muntaha dan berada dekat dengan Tuhan Yang Mahaperkasa lagi Mahaagung. Maka ia makin bertambah dekat, sehingga jadilah ia (Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) dekat dengan-Nya. Sejarak dua ujung busur panah atau lebih dekat lagi. Maka Allah memberikan wahyu kepadanya, antara lain ialah, “Aku wajibkan lima puluh kali salat setiap siang dan malam hari atas umatmu.” Kemudian Jibril membawanya turun sampai ke tempat Musa berada, lalu Musa menahannya dan berkata, “Hai Muhammad, apakah yang telah diperintahkan oleh Tuhanmu untukmu?” Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjawab, “Tuhanku telah memerintahkan kepadaku salat lima puluh kali setiap siang dan malam hari.” Musa berkata, “Sesungguhnya umatku tidak akan mampu mengerjakannya, sekarang kembalilah kamu kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan dari-Nya buatmu dan buat umatmu.” Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menoleh kepada Jibril, seakan-akan beliau meminta saran darinya mengenai hal tersebut. Dan Jibril menjawab, “Baiklah jika kamu menghendakinya.” Maka Jibril membawanya lagi naik kepada Tuhan Yang Mahaperka-sa lagi Mahasuci, lalu Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memohon kepada Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى yang berada di tempat-Nya, “Wahai Tuhanku berikanlah keringanan buat kami, karena sesungguhnya umatku tidak akan mampu memikulnya.” Maka Allah memberikan keringanan sepuluh salat kepadanya. Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ kembali kepada Musa dan Musa menahannya. Maka Musa terus menerus membolak-balikannya dari dia ke Tuhannya, hingga jadilah salat lima waktu. Setelah ditetapkan salat lima waktu, Musa menahannya kembali dan berkata, “Hai Muhammad, demi Allah, sesungguhnya aku telah membujuk Bani Israil:—umatku— untuk mengerjakan yang lebih sedikit dari lima waktu, tetapi mereka kelelahan, akhirnya mereka meninggalkannya. Umatmu lebih lemah, tubuh, hati, badan, penglihatan, dan pendengarannya, maka kembalilah kepada Tuhanmu dan mintakanlah keringanan kepada-Nya buatmu.” Setiap kali mendapat saran dari Nabi Musa, Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ selalu menoleh kepada Jibril untuk meminta pendapatnya, dan Malaikat Jibril dengan senang hati menerimanya, akhirnya pada kali yang kelima Jibril membawanya naik dan ia berkata, “Wahai Tuhanku, sesungguhnya umatku adalah orang-orang yang lemah, tubuh, hati, pendengaran, penglihatan, dan jasad mereka, maka berilah keringanan lagi buat kami.” Maka Tuhan Yang Mahaperkasa, Mahasuci, lagi Mahatinggi berfirman, “Hai Muhammad.”Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjawab, “Labbaikawasa’daika (saya penuhi seruan-Mu dengan penuh kebahagiaan).” Allah berfirman, “Sesungguhnya keputusan yang ada pada-Ku ini tidak dapat diubah lagi, persis seperti apa yang telah Aku tetapkan atas dirimu di dalam Ummul Kitab (Lauh Mahfuz). Maka setiap amal kebaikan berpahala sepuluh kali lipat kebaikan. Dan kewajiban salat itu telah tercatat lima puluh kali di dalam Ummul Kitab, sedangkan bagimu tetap lima kali.” Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ kembali kepada Musa dan Musa berkata “Apakah yang telah engkau lakukan?” Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjawab, “Allah telah memberikan keringanan bagi kami, Dia telah memberikan kepada kami setiap amal kebaikan berpahala sepuluh kali lipat kebaikan yang semisal.” Musa berkata, “Sesungguhnya, demi Allah, saya telah membujuk Bani Israil untuk mengerjakan yang lebih ringan dari itu, tetapi mereka meninggalkannya. Maka kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan buat dirimu juga.” Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda, “Hai Musa, sesungguhnya —demi Allah— saya malu kepada Tuhanku, karena terlalu sering bolak-balik kepada-Nya.” Musa berkata, “Kalau begitu, turunlah engkau dengan menyebut nama Allah.” Perawi melanjutkan kisahnya, “Lalu Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ terbangun, dan dia berada di Masjidil Haram.”
Al-Hafiz Abu Bakar Al-Baihaqi mengatakan di dalam hadis syarik adanya suatu tambahan yang hanya ada pada riwayatnya, sesuai dengan pendapat orang yang menduga bahwa Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melihat Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى dalam peristiwa ini. Yang dimaksudkan ialah apa yang disebutkan oleh Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى dalam firman-Nya,
“Kemudian Dia mendekat,” yakni Tuhan Yang Mahaperkasa mendekat kepadanya (Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ), “lalu bertambah mendekat lagi, maka jadilah Dia dekat kepadanya (Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) sejarak dua ujung busur panah atau lebih dekat lagi.”
Selanjutnya Imam Baihaqi mengatakan bahwa pendapat Aisyah dan Ibnu Mas’ud serta Abu Hurairah yang menakwilkan ayat-ayat ini —bahwa Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melihat Malaikat Jibril dalam bentuk aslinya— merupakan pendapat yang paling sahih.
Pendapat yang dikatakan oleh Imam Baihaqi dalam masalah ini adalah pendapat yang benar, karena sesungguhnya Abu Zar r.a. pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah engkau melihat Tuhanmu?” Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjawab:
Nur, mana mungkin aku dapat melihatnya. Menurut riwayat yang lain disebutkan: Saya hanya melihat nur (cahaya). (Diketengahkan oleh Imam Muslim)
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi. (An Najm:8)
Sesungguhnya yang dimaksudkan hanyalah Malaikat Jibril a.s., seperti yang ditetapkan di dalam kitab Sahihain melalui Siti Aisyah Ummul Muminin dan Ibnu Mas’ud.
Demikian pula yang ditetapkan di dalam kitab Sahih Muslim melalui Abu Hurairah. Tiada seorang pun di antara para sahabat yang menentang penafsiran ayat dengan takwil seperti ini.
Sebuah Pasal:
Pendapat orang yang mengatakan bahwa semua riwayat, sebagian darinya berbeda dengan sebagian yang lain, adakalanya perbedaannya sangat mencolok. Lalu ia menyimpulkan adanya berkali-kali perjalanan Isra, maka sesungguhnya pendapat ini keliru dan jauh dari kebenaran. Sebagian di antara ulama mutaakhkhirin mengatakan bahwa Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjalani Isra dari Mekah ke Baitul Maqdis sekali, lalu dari Mekah ke langit sekali, dan sekali lagi ke Baitul Maqdis lalu ke langit.
Yang mengherankan orang yang berpendapat seperti ini merasa puas dengan kesimpulan yang didapatkannya. Dia merasa bahwa dirinya telah menyelesaikan semua kesulitan sehubungan dengan masalah Isra ini. Padahal kenyataannya pendapatnya ini tiada seorang pun yang menukilnya dari ulama Salaf selain dia sendiri. Seandainya perjalanan Isra yang dilakukan oleh Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berbilang, tentulah Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menceritakannya kepada umatnya, dan tentulah orang-orang menukilnya dan menyatakan bahwa perjalanan Isra Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dilakukan berkali-kali.
Musa ibnu Uqbah telah meriwayatkan dari Az-Zuhri bahwa perjalanan Isra dilakukan setahun sebelum hijrah. Hal yang sama telah dikatakan oleh Urwah. Lain pula dengan As-Saddi, ia mengatakan bahwa perjalanan Isra dilakukan enam belas bulan sebelum hijrah.
Pendapat yang benar mengatakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjalani Isra-nya dalam keadaan terjaga, buka dalam keadaan tidur (mimpi), yaitu dari Mekah ke Baitul Maqdis dengan mengendarai Buraq. Disebutkan bahwa setelah Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ di depan pintu Masjidil Aqsa, ia menambatkan hewan kendaraannya di dekat pintu masjid, lalu memasukinya dan mengerjakan salat menghadap ke arah kiblat sebanyak dua rakaat, yaitu salat tahiyyatul masjid (penghormatan pada masjid).
Kemudian didatangkan Mi’raj, sebuah alat seperti tangga bentuknya, memiliki undagan-undagan untuk naik ke atas. Lalu Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menaikinya menuju ke langit yang terdekat, kemudian ke langit-langit selanjutnya sampai ke langit yang ketujuh.
Di setiap lapisan langit Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ disambut oleh penghuni langit yang selanjutnya. Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengucapkan salam kepada nabi-nabi yang ada di setiap langit sesuai dengan kedudukan dan tingkatan mereka. Sehingga bersualah Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dengan Musa yang pernah diajak bicara langsung oleh Allah di langit yang keenam, dan beliau bersua dengan Nabi Ibrahim di langit yang ketujuh.
Kemudian Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melampaui kedudukan kedua nabi itu dan nabi nabi lain yang sebelumnya, hingga sampailah Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pada suatu tingkatan yang dari tempat itu beliau dapat mendengar geretan kalam, yakni kalam yang mencatat takdir terhadap segala sesuatu yang telah ada.
Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melihat Sidratul Muntaha, lalu Sidratul Muntaha diliputi oleh perintah Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى,, yaitu oleh sejumlah yang sangat besar dari kupu-kupu emas dan berbagai macam warna-warni, para malaikat meliputinya pula. Di tempat itulah Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melihat bentuk dan rupa asli Malaikat Jibril yang memiliki enam ratus sayap. Dan Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melihat rafraf (bantal-bantal) hijau yang menutupi semua cakrawala pandangan.
Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melihat Baitul Ma’mur dan Nabi Ibrahim Al-Khalil pembangun Ka’bah bumi sedang menyandarkan punggungnya ke Baitul Ma’mur, karena Baitul Ma’mur adalah Ka’bah penghuni langit. Setiap hari Baitul Ma’mur dimasuki oleh tujuh puluh ribu malaikat yang melakukan ibadah di dalamnya, kemudian mereka tidak kembali lagi kepadanya sampai hari kiamat.
Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melihat surga dan neraka serta difardukan kepada Nabi Saw, salat lima puluh kali di tempat itu, kemudian diberikan keringanan oleh Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى sampai menjadi lima kali salat (salat lima waktu) sebagai rahmat dari Allah dan kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya. Dalam hal ini terkandung perhatian yang besar terhadap kemuliaan dan kebesaran salat.
Lalu Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ turun ke Baitul Maqdis dengan ditemani oleh semua nabi, kemudian Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ salat bersama mereka di dalam Baitul Maqdis setelah waktu salat tiba. Barangkali salat yang dimaksud salat Subuh hari itu.
Di antara ulama ada yang menduga bahwa Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengimami salat mereka di langit. Tetapi berdasarkan riwayat yang banyak menyebutkan, hal itu terjadi di Baitul Maqdis. Hanya dalam sebagian riwayat tersebut ada yang menyebutkan bahwa salat itu dilakukan ketika pertama kali Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memasukinya.
Menurut lahiriah makna hadis menunjukkan bahwa hal itu terjadi setelah Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pulang menuju ke Baitul Maqdis. Dikatakan demikian karena ketika Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melewati mereka di tempatnya masing-masing, Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bertanya kepada Jibril a.s. tentang masing-masing orang dari mereka, lalu Malaikat Jibril memberitahukan kepada Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Kesimpuan inilah yang layak dipegang, karena pada awalnya Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ diperintahkan untuk menghadap kepada Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى yang Mahatinggi untuk difardukan atasnya dan atas umatnya perintah yang dikehendaki-Nya.
Setelah selesai menerima perintah yang dimaksudkan oleh Allah, maka barulah Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berkumpul bersama saudara-saudaranya dari kalangan para nabi. Kemudian ditampakkan keutamaan dan kemuliaan Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ atas mereka karena Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ diajukan untuk menjadi imam salat mereka, Jibrillah yang mengisyaratkan hal tersebut kepada Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Setelah itu Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ keluar dari Baitul Maqdis, lalu mengendarai Buraqnya dan kembali ke Mekah sebelum pagi hari.
Adapun mengenai penyuguhan beberapa jenis minuman kepadanya, yaitu minuman susu dan minuman madu atau minuman khamr, atau minuman susu dan air atau semuanya, menurut sebagian riwayat, hal itu terjadi di Baitul Maqdis, sedangkan menurut riwayat yang lain terjadi di langit. Barangkali hal ini terjadi di Baitul Maqdis dan juga di langit, mengingat suguhan ini termasuk ke dalam Bab “Menyediakan Sajian buat Tamu yang Baru Datang”.
Kemudian para ulama berbeda pendapat apakah Isra yang dilakukan oleh Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ini dilakukan oleh tubuh dan rohnya, ataukah hanya dengan rohnya saja? Ada dua pendapat mengenai masalah ini. Tetapi menurut kebanyakan ulama, Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjalani Isra-nya dengan tubuh dan rohnya lagi dalam keadaan terjaga, bukan sedang dalam keadaan tidur (mimpi).
Tetapi mereka tidak menyangkal bila Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah melihat hal tersebut dalam mimpinya, kemudian sesudah itu beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melihatnya langsung dalam keadaan jaga. Karena sesungguhnya tidak sekali-kali Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melihat suatu mimpi melainkan mimpi itu datang seperti cahaya pagi hari.
Bukti yang menunjukkan bahwa Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjalani Isra-nya dengan badan dan rohnya adalah firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى yang menyebutkan:
Mahasuci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah kami berkahi sekelilingnya.
Kata tasbih yang mengawali ayat ini tidak sekali-kali disebutkan melainkan bila mengawali perkara-perkara yang besar. Seandainya peristiwa Isra itu dilakukan dalam keadaan tidurnya (mimpinya), tentulah tidak mengandung sesuatu hal pun yang besar dan bukan dianggap sebagai peristiwa yang besar, serta orang-orang kafir Quraisy pun tidak segera mendustakannya, dan tidak akan murtadlah sejumlah orang yang tadinya telah masuk Islam.
Dan lagi pengertian kata ‘hamba’ mencakup pengertian roh dan jasad. Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى telah berfirman: Yang telah memperjalankan hamba-Nya di suatu malam. (Al- Isra: 1), Dan Kami tidak menjadikan penglihatan yang telah Kami tampilkan kepadamu melainkan sebagai ujian bagi manusia. (Al Israa’:60)
Menurut Ibnu Abbas, yang dimaksud dengan ru-ya dalam ayat ini ialah penglihatan mata yang di tampakkan kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pada malam beliau menjalani Isra-nya, (begitu pula) pohon kayu yang terkutuk, yakni pohon zaqqum. Demikianlah menurut riwayat Imam Bukhari. Dan firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى yang mengatakan: Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. (An Najm:17)
Sedangkan penglihatan mata merupakan bagian dari indera tubuh, bukan bagian dari roh. Dan lagi Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengendarai Buraq, yaitu hewan yang berwarna putih mengkilat. Sesungguhnya hal ini hanyalah untuk badan, bukan untuk roh. Karena jika rohnya, maka dalam gerakannya tidak diperlukan adanya kendaraan yang dinaikinya.
Ulama yang lainnya mengatakan bahwa Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melakukan Isra-nya hanya dengan rohnya, tidak dengan jasadnya. Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar di dalam kitab Sirah-nya mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya’qub ibnu Atabah ibnul Mugirah ibnul Akhnas, bahwa Mu’awiyah ibnu Abu Sufyan apabila ditanya tentang Isra Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, maka ia menjawab, “Perjalanan Isra itu adalah mimpi yang benar dari Allah.”
Dan telah menceritakan kepadaku sebagian keluarga Abu Bakar, bahwa Siti Aisyah pernah mengatakan, “Jasad Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidaklah hilang, melainkan beliau menjalankan Isra dengan rohnya.”
Ibnu Ishaq mengatakan bahwa perkataan Siti Aisyah ini tiada yang menyangkalnya, mengingat Al-Hasan pernah mengatakan bahwa ayat berikut, yakni firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى: Dan Kami tidak menjadikan mimpi yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia. (Al Israa’:60) Dan firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى tentang kisah Nabi Ibrahim: Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu. (Ash Shaaffat:102)
Muhammad Ibnu Ishaq melanjutkan perkataanya, bahwa Al-Hasan melanjutkan perkatannya, lalu ia menyimpulkan bahwa kini ia mengetahui bahwa wahyu sampai kepada para nabi dari Allah, baik mereka dalam keadaan terjaga maupun dalam keadaan tidur. Dan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda: Kedua mataku tidur, tetapi hatiku tetap terjaga. Dengan kata lain, hal tersebut datang kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dalam semua keadaannya, baik beliau dalam keadaan tidur ataupun terjaga, semuanya adalah hak dan benar. Demikianlah pendapat Ibnu Ishaq.
Akan tetapi, Abu Ja’far ibnu Jarir di dalam kitab tafsirnya menyanggah dan menyangkal serta mengecam pendapat tersebut, bahwa pendapat seperti itu bertentangan dengan makna lahiriah Al-Qur’an. Lalu Ibnu Jarir mengemukakan dalil-dalil dalam sanggahannya yang antara lain ialah dalil-dalil yang telah di sebutkan di atas.
Sebuah pembahasan penting
Al-Hafiz Abu Na’im Al-Asbahani di dalam kitab Dalailun Nubuwwah telah meriwayatkan melalui jalur Muhammad ibnu Umar Al-Waqidi, bahwa telah menceritakan kepadaku Malik ibnu Abur Rijal, dari Umar ibnu Abdullah, dari Muhammad ibnu Ka’b Al-Qurazi yang mengatakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengutus Dahiyyah ibnu Khalifah kepada Kaisar. Lalu disebutkan tentang kedatangan Dahiyyah kepada Kaisar, yang di dalam teksnya terkandung bukti yang nyata tentang luasnya wawasan berfikir Kaisar Heraklius. Kaisar memanggil para pedagang (Arab) yang ada di negeri Syam, maka dihadapkanlah Abu Sufyan ibnu Sakhr ibnu Harb beserta teman-temannya kepada Kaisar. Kaisar menanyai mereka pertanyaan-pertanyaan yang telah terkenal itu yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, seperti yang akan dijelaskan kemudian.
Kemudian Abu Sufyan berupaya semaksimal mungkin untuk menghina Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan menganggap kecil perkaranya di hadapan Kaisar. Dalam konteks ini disebutkan kata-kata Abu Sufyan yang mengatakan, “Demi Allah, tiada sesuatu pun yang menghalang-halangi diriku untuk mengata-ngatai Muhammad dengan kata-kata yang menjatuhkannya di hadapan Kaisar kecuali karena aku tidak suka melakukan suatu kedustaan di hadapan Kaisar, yang akibatnya justru akan berbalik terhadap diriku dan Kaisar tidak percaya lagi dengan kata-kata yang aku ucapkan padanya.”
Abu Sufyan mengatakan, “Sampai aku teringat ucapannya tentang malam hari dia menjalani Isra,” Abu Sufyan mengatakan pula, “Aku berkata, hai Raja! Maukah aku ceritakan kepadamu suatu berita, agar engkau mengetahui ia seorang pendusta?” Raja menjawab, “Berita apakah itu?” Abu Sufyan mengatakan, “Sesungguhnya dia (Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) mengaku kepada kami bahwa dirinya pergi dari tanah kami — yakni Tanah Suci — dalam suatu malam, lalu datang ke masjid kalian yang di IIiya ini (Yerussalem), lalu ia kembali kepada kami dalam malam yang sama sebelum subuh.”
Saat itu Uskup Iliya berada di belakang Kaisar. Ia berkata, “Sesungguhnya saya mengetahui kejadian malam itu.” Kaisar menoleh ke arah uskup dan bertanya, “Bagaimana engkau mengetahui kejadiannya?” Uskup menjawab, “Sesungguhnya saya tidak pernah tidur dalam suatu malam pun sebelum menutup semua pintu masjid. Dan pada malam itu saya menutup semua pintu masjid selain sebuah pintu yang tidak kuat saya tutup. Maka saya meminta bantuan kepada para pekerja (pembantu) saya dan semua orang yang hadir pada saat itu untuk menutup pintu tersebut, tetapi pintu itu tidak bergeming sedikit pun. Kami tidak mampu menggerakkannya, seakan-akan kami sedang menggeser sebuah bukit. Maka saya memanggil tukang-tukang kayu untuk memeriksa pintu itu. Mereka datang dan mengatakan,’ Sesungguhnya pintu ini terkena oleh tekanan tembok bangunan yang menurun, juga oleh kusennya. Kami tidak mampu menggerakkannya, nanti saja pagi hari kami akan melihat penyebabnya’.”
Uskup melanjutkan kisahnya, bahwa ia masuk ke dalam dan membiarkan dua pintu itu terbuka lebar, “Kemudian pada pagi hari saya kembali memeriksa pintu itu. Tiba-tiba batu yang ada di sudut masjid dalam keadaan telah berlubang, dan ternyata pada lubang itu terdapat bekas tali kendali hewan kendaraan yang ditambatkan. Maka saya berkata kepada teman-teman saya, ‘Tiada lain pintu ini tertahan tadi malam melainkan karena ada seorang nabi, dan dia telah melakukan salat di masjid kita ini’.” Abu Na’im Al-Asbahani melanjutkan hadisnya hingga selesai.
Sebuah Faedah
Al-Hafiz Abul Khattab Umar ibnu Dahiyyah di dalam kitabnya yang berjudul At-Tanwir fi Maulidis Sirajil Munir telah meriwayatkan hadis Isra melalui Anas, dan ia mengetengahkannya dengan baik serta lengkap. Sesudah itu ia mengatakan bahwa banyak riwayat hadis mengenai Isra sampai kepada tingkatan mutawatir, seperti riwayat dari Umar ibnul Khattab, Ibnu Mas’ud, Abu Zar, Malik ibnu Sa’sa’ah, Abu Hurairah, Abu Sa’id, Ibnu Abbas, Syaddad ibnu Aus, Ubay ibnu Ka’b, Abdur Rahman ibnu Qart, Abu Habbah, dan Abu Laila yang kedua-duanya dari kalangan Ansar, Abdullah ibnu Amr, Jabir, Huzaifah, Buraidah, Abu Ayyub, Abu Umamah, Samurah ibnu Jundub, Abul Hamra, Suhaib Ar-Rumi, Ummu Hani’, Aisyah dan Asma yang kedua-duanya putri Abu Bakar.
Sebagian di antara mereka mengetengahkannya secara panjang lebar, dan sebagian lainnya mengetengahkannya secara ringkas seperti yang disebutkan di dalam kitab-kitab musnad. Sekalipun riwayat sebagian dari mereka harus memenuhi standar syarat sahih, tetapi hadis mengenai Isra ini kebenarannya telah disepakati oleh kaum muslim, dan orang-orang kafir zindiq dan orang-orang yang tidak percaya kepada Tuhanlah yang berpaling darinya. Mereka ingin memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci. (Ash Shaff:8)
(1) Allah جَلَّ جَلالُهُ menyucikan dan mengagungkan diriNya, ka-rena Dia memiliki perbuatan-perbuatan dan aneka karunia yang agung. Termasuk dalam kategori itu adalah bahwa Dia اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ “yang telah memperjalankan hambaNya,” yaitu RasulNya, Muhammad مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ “dari Masjidil Haram,” masjid yang paling agung secara mutlak اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا “ke Masjidil Aqsha,” sebuah masjid yang termasuk kategori masjid-masjid yang utama dan tempat (pusat) para nabi. Beliau diperjalankan dalam satu malam melintasi jarak yang sangat jauh, dan kembali pada malam itu juga. Allah menunjukkan tanda-tanda kebesaranNya kepada beliau, yang menyebab-kan beliau mendapatkan tambahan petunjuk, kekuatan bashirah, ketetapan hati serta pembeda (antara yang benar dan batil).
Peristiwa ini menunjukkan perhatian dan kelembutan Allah جَلَّ جَلالُهُ terhadap Nabi, lantaran Dia memberikan kemudahan dalam se-luruh urusan serta melimpahkan karunia-karuniaNya kepada beliau hingga mengungguli orang-orang terdahulu dan generasi yang akan datang dengannya.
Zahirnya ayat menunjukkan bahwa, peristiwa Isra` terjadi pada permulaan malam dan sejak dari tempat Masjidil Haram itu sendiri. Akan tetapi, telah disebutkan dalam kitab ash-Shahih bahwa-sanya Rasulullah memulai perjalanan Isra` dari rumah Ummu Hani’ . Berdasarkan ini maka keutamaan Masjidil Haram berlaku untuk seluruh tanah Haram.
Di setiap tanah Haram, (pahala) beribadah akan berlipatganda sebagaimana pelipatgandaan (pahala) ibadah di dalam Masjidil Haram. (Selain itu), ayat ini menunjukkan bahwasanya peristiwa Isra` (dan Mi’raj) berlangsung dengan ruh dan jasad Nabi sekaligus. Karena jika tidak demikian, maka kejadian ini bukanlah termasuk tanda kebesaran yang besar dan keistimewaan yang agung.
Begitu banyak hadits yang diriwayatkan dari Nabi berkaitan dengan peristiwa Isra` (dan Mi’raj) . Nabi menerangkan secara rinci kejadian-kejadian yang telah beliau lihat, dan bahwasanya beliau diperjalankan di malam hari menuju Baitul Maqdis, kemudian di-naikkan dari sana menuju langit-langit hingga sampai pada permu-kaan atas langit yang tertinggi. Beliau telah menyaksikan surga dan neraka, (bertemu dengan) sejumlah Nabi sesuai dengan kedudukan mereka, lantas ditetapkan atas beliau kewajiban shalat lima puluh waktu (dalam sehari semalam). Atas arahan dari Nabi Musa al-Kalim, beliau berbolak-balik kepada Rabbnya (untuk meminta ke-ringanan) hingga menjadi lima kali waktu secara perbuatan, dan menjadi 50 dalam pahala dan balasannya. Beliau dan umatnya telah meraih sumber-sumber kebanggaan di malam itu, yang tidak ada yang mengetahui kadarnya kecuali Allah جَلَّ جَلالُهُ . Allah menyebut Mu-hammad di sini dan di dalam kesempatan menurunkan al-Qur`an dan di tempat penentangan sifat ‘ubudiyyah. Lantaran Rasulullah telah meraih kedudukan-kedudukan yang tinggi ini melalui penyem-purnaan penghambaan beliau kepada Rabbnya.
Dan Firman Allah جَلَّ جَلالُهُ , الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ “Yang telah Kami berkahi sekelilingnya,” dengan pepohonan yang banyak dan sungai-sungai dan kesuburan yang langgeng. Di antara keberkahan (Masjidil Aq-sha) adalah pengutamaan Masjid ini dibandingkan masjid-masjid lainnya selain Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, dan bahwasanya dituntut untuk memaksakan bepergian ke masjid-masjid ini semata-mata untuk beribadah dan shalat di dalamnya. Dan bahwa Allah telah mengkhususkan tempat ini bagi kebanyakan para nabi dan orang-orang pilihanNya.
Pada akhir surah an-nahl mengandung pesan kepada nabi Muhammad agar bersabar dan tidak bersedih hati disebabkan tipu daya dan penolakan orang-orang yang menentang dakwahnya. Di saat beliau mengalami kesulitan menghadapi orang-orang kafir yang menolak dakwahnya, ayat pertama dari surah ini menyatakan bahwa beliau mempunyai kedudukan yang mulia di sisi Allah, di mana Allah memperjalankannya dari masjidilharam ke masjidil aqsha dan memperlihatkan kepadanya tanda-tanda kekuasaan dan kebesarannya. Ayat pertama ini menyatakan, maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya, yakni nabi Muhammad, pada malam hari dari masjidilharam, yang berada di mekah ke masjidil aqsa, yang berada di palestina, yang telah kami berkahi sekelilingnya, dengan tanahnya yang subur yang menghasilkan aneka tanaman dan buah-buahan serta menjadi tempat turunnya para nabi, agar kami perlihatkan kepadanya dengan mata kepala atau mata hati sebagian dari tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan kami. Sesungguhnya dia, yaitu Allah adalah maha mendengar perkataan hamba-Nya, maha mengetahui tingkah laku dan perbuatannya. Bila Allah memuliakan nabi Muhammad dengan memperjalalankannya dari masjidilharam ke masjidil aqsa, maka dia memuliakan nabi musa dengan menganugerahkan kepadanya kitab taurat agar menjadi petunjuk bagi bani israil. Dan kami berikan kepada nabi musa kitab, yaitu taurat, dan kami menjadikannya sebagai petunjuk yang khusus bagi bani israil, yaitu anak keturunan nabi yakub, agar mereka tidak menyembah kepada selain-ku. Kepada mereka aku berfirman, janganlah kamu mengambil penolong selain aku, yakni janganlah menyembah dan menggantungkan segala urusan kepada selain-ku.
Al-Isra Ayat 1 Arab-Latin, Terjemah Arti Al-Isra Ayat 1, Makna Al-Isra Ayat 1, Terjemahan Tafsir Al-Isra Ayat 1, Al-Isra Ayat 1 Bahasa Indonesia, Isi Kandungan Al-Isra Ayat 1
Tafsir Surat Al-Isra Ayat: 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | 21 | 22 | 23 | 24 | 25 | 26 | 27 | 28 | 29 | 30 | 31 | 32 | 33 | 34 | 35 | 36 | 37 | 38 | 39 | 40 | 41 | 42 | 43 | 44 | 45 | 46 | 47 | 48 | 49 | 50 | 51 | 52 | 53 | 54 | 55 | 56 | 57 | 58 | 59 | 60 | 61 | 62 | 63 | 64 | 65 | 66 | 67 | 68 | 69 | 70 | 71 | 72 | 73 | 74 | 75 | 76 | 77 | 78 | 79 | 80 | 81 | 82 | 83 | 84 | 85 | 86 | 87 | 88 | 89 | 90 | 91 | 92 | 93 | 94 | 95 | 96 | 97 | 98 | 99 | 100 | 101 | 102 | 103 | 104 | 105 | 106 | 107 | 108 | 109 | 110 | 111
Raih pahala amal jariyah dengan cara membagikan (share) konten ini kepada yang lainnya. Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه
"Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)