Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Baqarah Ayat 196 البقرة Lengkap Arti Terjemah Indonesia

{1} Al-Fatihah / الفاتحة الْقُرْآنُ الْكَرِيْمُ آل عمران / Ali ‘Imran {3}

Tafsir Al-Qur’an Surat Al-Baqarah البقرة (Sapi Betina) lengkap dengan tulisan arab latin, arti dan terjemah Bahasa Indonesia. Surah ke 2 Tafsir ayat Ke 196.

Al-Qur’an Surah Al-Baqarah Ayat 196

وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ ۚ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ ۖ وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ ۚ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ ۚ فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ ۚ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ ۗ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ۗ ذَٰلِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ ﴿١٩٦﴾

wa atimmul-ḥajja wal-‘umrata lillāh, fa in uḥṣirtum fa mastaisara minal-hady, wa lā taḥliqụ ru`ụsakum ḥattā yablugal-hadyu maḥillah, fa mang kāna mingkum marīḍan au bihī ażam mir ra`sihī fa fidyatum min ṣiyāmin au ṣadaqatin au nusuk, fa iżā amintum, fa man tamatta’a bil-‘umrati ilal-ḥajji fa mastaisara minal-hady, fa mal lam yajid fa ṣiyāmu ṡalāṡati ayyāmin fil-ḥajji wa sab’atin iżā raja’tum, tilka ‘asyaratung kāmilah, żālika limal lam yakun ahluhụ ḥāḍiril-masjidil-ḥarām, wattaqullāha wa’lamū annallāha syadīdul-‘iqāb

QS. Al-Baqarah [2] : 196

Arti / Terjemah Ayat

Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Tetapi jika kamu terkepung (oleh musuh), maka (sembelihlah) hadyu yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum hadyu sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antara kamu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu dia bercukur), maka dia wajib berfidyah, yaitu berpuasa, bersedekah atau berkurban. Apabila kamu dalam keadaan aman, maka barangsiapa mengerjakan umrah sebelum haji, dia (wajib menyembelih) hadyu yang mudah didapat. Tetapi jika dia tidak mendapatkannya, maka dia (wajib) berpuasa tiga hari dalam (musim) haji dan tujuh (hari) setelah kamu kembali. Itu seluruhnya sepuluh (hari). Demikian itu, bagi orang yang keluarganya tidak ada (tinggal) di sekitar Masjidilharam. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras hukuman-Nya.

Tafsir Al-Muyassar (Kementerian Agama Saudi Arabia)

Laksanakanlah haji dan umrah dengan sempurna, ikhlas karena wajah Allah. Bila kalian terhalangi oleh sesuatu seperti musuh atau sakit sehingga kalian tidak mampu untuk menyempurnakannya padahal kalian telah berihram dengan keduanya, maka wajib atas kalian menyembelih apa yang mudah bagi kalian, berupa unta atau sapi atau domba dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, agar kalian keluar dari ihram kalian dengan mencukur kepala kalian atau memotongnya. Jangan mencukur kepala kalian saat kalian terhalang sehingga orang yang terhalangi menyembelih hadyunya di tempat di mana dia terhalangi, kemudian dia bertahallul dari ihramnya, sebagaimana Nabi menyembelih di Hudaibiyah kemudian mencukur kepalanya. Sedangkan orang yang tidak terhalangi maka dia tidak menyembelih hadyunya kecuali di Haram. Yaitu tempatnya bertahallul di hari Raya, yakni hari kesepuluh dan tiga hari sesudahnya, dan hari-hari tasyriq. Siapa yang sakit di antara kalian atau di kepalanya ada sesuatu yang mengganggunya sehingga dia harus mencukur kepalanya, padahal dia dalam keadaan berihram, maka dia boleh mencukur namun dia harus membayar fidyah; yaitu berpuasa selama tiga hari atau bersedekah kepada enam orang miskin, masing-masing miskin mendapatkan setengah sha makanan atau menyembelih kambing untuk orang-orang fakir di Haram. Bila kalian dalam keadaan aman dan sehat, maka siapa di antara kalian yang melakukan haji tamathu dan hal itu membolehkannya melakukan apa yang sebelumnya dilarang disebabkan ihram setelah menyelesaikan umrahnya, maka dia harus menyembelih hadyu yang mudah baginya. Siapa yang tidak mendapatkan hadyu untuk disembelih maka dia berpuasa selama tiga hari di bulan-bulan haji dan tujuh hari bila kalian telah menyelesaikan manasik haji dan pulang ke negeri kalian. Semuanya berjumlah sepuluh hari sempurna, dan puasa harus dilakukan sebanyak itu. Kewajiban hadyu dan puasa bagi siapa yang tidak mampu menyembelih hadyu berlaku bagi siapa yang keluarganya bukan termasuk penduduk bumi Haram. Takutlah kalian kepada Allah, konsistenlah dalam menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Ketahuilah bahwa Allah memiliki siksa yang keras bagi siapa yang menyelisihi perintah-Nya dan melakukan apa yang Dia larang.

Tafsir Ibnu Katsir (Tafsir al-Qur’an al-Azhim)

Setelah Allah menyebutkan hukum-hukum puasa, lalu meng-‘ataf kannya dengan sebutan masalah jihad, maka mulailah Allah menjelaskan masalah manasik. Untuk itu, Allah memerintahkan agar ibadah haji dan umrah disempurnakan. Menurut pengertian lahiriah konteks menunjukkan harus menyempurnakan semua pekerjaan haji dan umrah bilamana seseorang telah memulainya. Karena itulah sesudahnya disebutkan:

Jika kalian terkepung.

Yakni jika kalian terhalang sampai ke Baitullah dan kalian terhambat hingga tidak dapat menyempurnakan keduanya (karena terhalang oleh musuh atau karena sakit). Karena itulah para ulama sepakat bahwa memasuki ibadah haji dan umrah merupakan suatu keharusan, baik menurut pendapat yang mengatakan bahwa umrah itu wajib ataupun sunat, seperti pendapat-pendapat yang ada di kalangan ulama. Kami telah menyebutkan kedua masalah ini beserta dalil-dalilnya di dalam Kitabul Ahkam secara rinci.

Disebutkan dari Sufyan As-Sauri, ia pernah mengatakan sehubungan dengan takwil ayat ini, bahwa pengertian menyempurnakan haji dan umrah itu ialah bila kamu telah berihram dari rumah keluargamu dengan tujuan hanya untuk haji dan umrah. Kamu ber-ihlal (berihram) dari miqat, sedangkan tujuan kamu bukan untuk berniaga, bukan pula untuk keperluan lainnya. Ketika kamu sudah berada di dekat Mekah, maka kamu berkata, “Sekiranya aku melakukan haji atau umrah,” yang demikian itu sudah dianggap cukup, tetapi yang sempurna ialah bila kamu berangkat ihram dan tiada niat lain kecuali hanya untuk itu.

Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma’mar, dari Az-Zuhri yang menceritakan, telah sampai kepada kami bahwa sahabat Umar pernah mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya:

Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah.

Bahwa termasuk menyempurnakan ibadah haji dan umrah ialah bila kamu meng-ifrad-kan masing-masing dari yang lainnya secara terpisah, dan kamu lakukan ibadah umrah di luar bulan-bulan haji, karena sesungguhnya Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى‎ telah berfirman: (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. (Al Baqarah:197)

Hisyam meriwayatkan dari Ibnu Aun bahwa ia pernah mendengar Al-Qasim ibnu Muhammad berkata, “Sesungguhnya melakukan ibadah umrah di dalam bulan-bulan haji kurang sempurna.” Ketika dikatakan kepadanya, “Bagaimana dengan umrah dalam bulan Muharram?” Ia menjawab, “Menurut mereka, melakukan ibadah umrah dalam bulan tersebut dianggap sempurna.”

Hal yang sama diriwayatkan pula dari Qatadah ibnu Di’amah. Akan tetapi, pendapat ini masih perlu dipertimbangkan karena disebutkan dalam sebuah hadis bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melakukan umrahnya sebanyak empat kali, semuanya beliau lakukan dalam bulan Zul-Qa’dah. Umrah hudaibiyyah dalam bulan Zul-Qa’dah tahun enam Hijriah, umrah qada dalam bulan Zul-Qa’dah tahun ketujuh Hijriah, umrah ji’arah dalam bulan Zul-Qa’dah tahun delapan Hijriah, dan umrah yang beliau lakukan dalam ibadah haji —beliau berihram untuk keduanya secara bersamaan (qiran)— dalam bulan Zul-Qa’dah tahun sepuluh Hijriah. Beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak melakukan umrah lagi selain dari umrah-umrah tersebut setelah beliau hijrah. Akan tetapi, Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda kepada Ummu Hani’:

Umrah dalam bulan Ramadan seimbang dengan melakukan ibadah haji bersamaku.

Dikatakan demikian karena Ummu Hani’ bertekad untuk melakukan ibadah haji bersama Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, tetapi ia terhambat melakukannya karena masa sucinya terlambat, seperti yang dijelaskan dengan panjang lebar di dalam hadis Imam Bukhari. Tetapi dalam nas Sa’id ibnu Jubair disebutkan bahwa hal tersebut hanya merupakan kekhususan bagi Ummu Hani’.

As-Saddi mengatakan sehubungan dengan firman-Nya:

Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah.

Yakni tegakkanlah (kerjakanlah) ibadah haji dan umrah.

Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:

Dan sempurnakan ibadah haji dan umrah karena Allah.

Artinya, barang siapa yang telah berihram untuk ibadah haji atau umrah, maka dia tidak boleh ber-tahallul sebelum menyempurnakan keduanya, yaitu sempurnanya ibadah haji pada hari kurban. Bila ia telah melempar jumrah aqabah, tawaf di Baitullah, dan sa’i antara Safa dan Marwah, setelah semuanya dikerjakan, berarti sudah tiba masa tahallul-nya.

Qatadah meriwayatkan dari Zararah, dari Ibnu Abbas, bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan, “Haji itu adalah Arafah, dan umrah itu adalah tawaf.”

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Al-A’masy, dari Ibrahim, dari Alqamah sehubungan dengan firman-Nya:

Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah.

Disebutkan bahwa menurut qiraat Abdullah ibnu Mas’ud bunyinya demikian, “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah sampai ke Baitullah,” yakni melakukan ibadah umrah hanya di sekitar Baitullah, tidak melebihinya. Selanjutnya Ibrahim mengatakan bahwa lalu ia menceritakan hal tersebut kepada Sa’id ibnu Jubair. Maka Sa’id ibnu Jubair mengatakan bahwa hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Abbas.

Sufyan meriwayatkan dari Al-A’masy, dari Ibrahim, dari Alqamah, bahwa ia pernah mengatakan, “Dan dirikanlah ibadah haji dan umrah sampai ke Baitullah.” Hal yang sama diriwayatkan pula oleh As-Sauri, dari Ibrahim, dari Mansur, dari Ibrahim, bahwa ia membaca ayat ini dengan bacaan berikut yang artinya, “Dan dirikanlah ibadah haji dan umrah sampai ke Baitullah.”

Telah disebutkan di dalam banyak hadis yang diriwayatkan melalui berbagai jalur yang berbeda, dari Anas dan sejumlah sahabat, bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dalam ihramnya menggabungkan ibadah haji dan ibadah umrah. Ditetapkan di dalam hadis sahih yang bersumber dari Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bahwa beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda kepada para sahabat:

Barang siapa yang membawa hadyu (hewan kurban), maka hendaklah ia ber-ihlal (berihram) untuk ibadah haji dan umrahnya.

Di dalam hadis sahih lain disebutkan pula bahwa Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda:

Umrah dimasukkan ke dalam ibadah haji sampai hari kiamat.

Hadis yang disebutkan di dalam kitab Sahihain dari Ya’la ibnu Umayyah dalam kisah seorang lelaki yang bertanya kepada Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ketika di Ji’ranah, disebutkan bahwa lelaki itu bertanya, “Bagaimanakah menurutmu tentang seorang lelaki yang berihram untuk umrah, sedangkan dia memakai kain jubah yang dilumuri dengan minyak za’faran?” Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ diam, lalu turunlah wahyu kepadanya, kemudian beliau mengangkat kepalanya dan bertanya, “Manakah orang yang bertanya tadi?” Lelaki itu menjawab, “Inilah aku.” Maka beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda:

Adapun mengenai baju jubahmu, lepaskanlah ia, dan adapun mengenai wewangian yang ada pada tubuhmu, cucilah. Kemudian apa yang biasa kamu lakukan dalam ibadah hajimu, maka lakukanlah pula dalam ibadah umrahmu.

Di dalam riwayat ini tidak disebutkan masalah istinsyaq (mengisap air dengan hidung untuk mencucinya), juga tidak disebutkan mandi, tidak pula sebutan asbabun nuzul ayat ini. Hadis ini dari Ya’la ibnu Umayyah, bukan Safwan ibnu Umayyah.

Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى‎:

Jika kalian terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) kurban yang mudah didapat.

Mereka mengatakan bahwa ayat ini diturunkan pada tahun enam Hijriah, yakni pada tahun perjanjian Hudaibiyah, yaitu ketika kaum musyrik menghalang-halangi antara Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan Baitullah, hingga beliau tidak dapat sampai kepadanya, dan Allah menurunkan sehubungan dengan peristiwa ini di dalam surat Al-Fath secara lengkap. Allah menurunkan bagi mereka keringanan, yaitu mereka diperbolehkan menyembelih hewan hadyu yang mereka bawa. Jumlah hewan hadyu yang mereka bawa saat itu kurang lebih tujuh puluh ekor unta, lalu mereka mencukur rambut mereka masing-masing dan diperintahkan untuk ber-tahallul dari ihram mereka.

Maka pada saat itu juga Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memerintahkan kepada mereka untuk mencukur rambut dan ber-tahallul dari ihramnya. Akan tetapi, pada mulanya mereka tidak mau melakukannya karena menunggu adanya perintah nasakh. Maka terpaksa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ keluar dan mencukur rambutnya, lalu orang-orang mengikuti jejaknya, dan di antara mereka ada orang-orang yang hanya memotong rambutnya saja, tidak mencukurnya. Karena itulah Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda:

“Semoga Allah merahmati orang-orang yang bercukur.” Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, doakanlah pula buat orang-orang yang memotong rambutnya.” Pada yang ketiga kalinya baru Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berdoa, “Dan juga orang-orang yang mencukur rambutnya.”

Mereka bersekutu dalam penyembelihan hadyu mereka, setiap tujuh orang satu ekor unta, sedangkan jumlah mereka seluruhnya ada seribu empat ratus orang. Tempat mereka di Hudaibiyyah berada di luar Tanah Suci. Menurut pendapat yang lain, bahkan mereka berada di pinggir kawasan Kota Suci.

Para ulama berselisih pendapat, apakah masalah boleh ber-tahallul di luar Kota Suci ini khusus hanya menyangkut keadaan bila dikepung oleh musuh, karenanya tidak boleh ber-tahallul kecuali hanya orang yang dikepung oleh musuh, bukan karena faktor sakit atau faktor lainnya? Ada dua pendapat mengenai masalah ini.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Yazid Al-Muqri, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr ibnu Dinar, dari Ibnu Abbas dan Ibnu Tawus, dari ayahnya, dari Ibnu Abbas, juga dari Ibnu Abu Nujaih, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa tiada kepungan kecuali karena kepungan musuh. Orang yang terkena sakit atau penyakitnya kambuh atau tersesat, maka tiada dispensasi apa pun atas dirinya, karena sesungguhnya Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى‎ telah berfirman: Apabila kalian telah (merasa) aman. (Al Baqarah:196) Maksud keadaan aman itu ialah bila tidak dikepung.

Pendapat yang kedua mengatakan, pengertian hasr (terkepung) lebih umum daripada hanya sekadar dikepung musuh atau karena sakit atau karena tersesat jalannya atau faktor lainnya yang sejenis.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa’id, telah menceritakan kepada kami Hajjaj ibnus Sawwaf, dari Yahya ibnu Abu Kasir, dari Ikrimah, dari Al-Hajjaj ibnu Amr Al-Ansari yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda: Barang siapa yang patah tulang atau sakit atau pincang, maka sesungguhnya dia telah ber-tahallul, dan wajib atas dirinya melakukan haji lagi.

Menurut riwayat Abu Daud dan ibnu Majah disebutkan:

Barang siapa yang pincang (terkilir) atau patah tulang atau sakit.

Di dalam hadis Sahihain disebutkan:

dari hadis Aisyah bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memasuki rumah Duba’ah binti Zubair ibnu Abdul Muttalib, lalu Duba’ah berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku bermaksud menunaikan haji, sedangkan aku dalam keadaan sakit (sedang haid).” Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda: Berhajilah kamu dan syaratkanlah dalam niatmu bahwa tempat tahallul-ku sekiranya penyakit (haid) menahanku.

Imam Muslim meriwayatkannya pula melalui Ibnu Abbas dengan lafaz yang semisal. Maka berpendapatlah sebagian ulama bahwa sah mengadakan persyaratan dalam niat haji karena berdasarkan hadis ini.

Imam Muhammad ibnu Idris Asy-Syafii memberikan komentarnya, bahwa kebenaran pendapat ini bergantung kepada kesahihan hadis yang dijadikan landasannya. Imam Baihaqi dan lain-lainnya dari kalangan huffaz (orang-orang yang hafal hadis) mengatakan bahwa hadis ini sahih.

Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى‎:

…maka (wajiblah baginya menyembelih) kurban yang mudah didapat.

Imam Malik meriwayatkan dari Ja’far ibnu Muhammad, dari ayahnya, dari Ali ibnu Abu Talib, bahwa ia pernah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:

Maka (wajiblah baginya menyembelih) kurban yang mudah didapat.

Yang dimaksud dengan hewan kurban ialah seekor kambing.

Ibnu Abbas mengatakan, yang dimaksud dengan hadyu ialah hewan jantan dan hewan betina dari keempat jenis ternak, yaitu unta, sapi, kambing, dan domba.

As-Sauri meriwayatkan dari Habib, dari Sa’id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:

Maka (wajiblah baginya menyembelih) kurban yang mudah didapat.

Yang dimaksud ialah ternak kambing.

Hal yang sama dikatakan pula oleh Ata, Mujahid, Tawus, Abul Aliyah, Muhammad ibnu Ali ibnul Husain, Abdur Rahman ibnul Qasim, Asy-Sya’bi, An-Nakha’i, Al-Hasan, Qatadah, Ad-Dahhak, Muqatil ibnu Hayyan, dan lain-lainnya. Pendapat inilah yang dipegang oleh mazhab empat.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al-Ahmar, dari Yahya ibnu Sa’id, dari Al-Qasim, dari Siti Aisyah dan Ibnu Umar, keduanya berpendapat sehubungan dengan hewan kurban yang mudah didapat, bahwa yang dimaksud tiada lain adalah dua jenis ternak, yaitu berupa unta dan sapi.

Menurut kami, sandaran yang dijadikan pegangan mereka untuk memperkuat pendapatnya ialah hadis yang mengisahkan peristiwa di Hudaibiyyah. Karena sesungguhnya belum pernah dinukil oleh seorang pun di antara mereka bahwa Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dalam tahallul-nya itu menyembelih kambing, melainkan yang disembelih oleh mereka sebagai kurban ialah ternak unta dan sapi.

Di dalam kitab Sahihain, dari Jabir, disebutkan:

Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memerintahkan kami untuk bersekutu dalam kurban unta dan sapi, tiap-tiap tujuh orang di antara kami satu ekor sapi.

Hal ini terbukti di dalam kitab Sahihain melalui Siti Aisyah Ummul Muminin r.a. yang menceritakan:

Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah sekali berkurban dengan menyembelih seekor domba.

Dan jangan kalian mencukur kepala kalian sebelum kurban sampai di tempat penyembelihannya.

Jumlah ini di-‘ataf-kan kepada firman-Nya:

Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah.

Bukan di-‘ataf-kan (dikaitkan) dengan firman-Nya:

Jika kalian terkepung (terhalang oleh musuh atau sakit), maka (sembelihlah) kurban yang mudah didapat.

Seperti apa yang diduga oleh Ibnu Jarir rahimahullah. Karena Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersama para sahabatnya pada tahun Hudaibiyah —yaitu ketika orang-orang kafir Quraisy melarang mereka memasuki Tanah Suci— beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersama para sahabatnya bercukur dan menyembelih hewan kurban mereka di luar Tanah Suci. Adapun dalam keadaan aman dan telah sampai di Tanah Suci, tidak boleh baginya mencukur rambutnya (yakni tidak boleh ber-tahallul) sebelum hewan kurban sampai di tempat penyembelihannya. Orang yang berhaji telah selesai dari semua pekerjaan haji dan umrahnya jika ia sebagai orang yang ber-qiran, atau setelah ia mengerjakan salah satunya jika dia melakukan haji ifrad atau tamattu. Seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui Siti Hafsah r.a. yang menceritakan:

“Wahai Rasulullah, mengapa orang-orang ber-tahallul dari umrahnya, sedangkan engkau sendiri tidak ber-tahallul dari umrah-mu?” Maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjawab, “Sesungguhnya aku telah meminyaki rambut kepalaku dan telah kukalungi hewan kurbanku, maka aku tidak akan ber-tahallul sebelum menyembelih hewan kurbanku.”

Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى‎:

Jika di antara kalian ada yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban.

Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Adam, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Abdur Rahman ibnul Asbahani, bahwa ia pernah mendengar Abdullah ibnu Ma’qal bercerita, “Aku pernah duduk di dekat Ka’b ibnu Ujrah di dalam masjid ini (yakni Masjid Kufah). Lalu aku bertanya kepadanya tentang fidyah yang berupa melakukan puasa. Maka Ka’b ibnu Ujrah menjawab bahwa ia berangkat untuk bergabung dengan Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, sedangkan ketombe bertebaran di wajahnya. Maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda, ‘Sebelumnya aku tidak menduga bahwa kepayahan yang menimpamu sampai separah ini. Tidakkah kamu mempunyai kambing?’ Ia menjawab, ‘Tidak.’ Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda, ‘Puasalah tiga hari atau berilah makan enam orang miskin, masing-masing orang sebanyak setengah sa’ makanan, dan cukurlah rambutmu itu.’ (Selanjutnya ia berkata), Maka turunlah ayat ini, berkenaan denganku secara khusus, tetapi maknanya umum mencakup kalian semua’.”

Nusuk artinya menyembelih kambing, dan puasa adalah selama tiga hari, sedangkan memberi makan ialah dibagikan di antara enam orang (miskin).

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A’la, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Wahb, bahwa Malik ibnu Anas pernah menceritakan hadis kepa-danya, dari Abdul Karim ibnu Malik Al-Jazari, dari Mujahid, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Ka’b ibnu Ujrah yang menceritakan bahwa ia pernah bersama Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, lalu terganggu oleh banyaknya ketombe di kepalanya. Maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memerintahkan agar ia mencukur rambutnya dan bersabda: Berpuasalah tiga hari, atau berilah makan enam orang miskin dua mud-dua mud perorangnya, atau sembelihlah seekor kambing. Mana saja di antaranya yang kamu kerjakan, maka hal itu sudah cukup sebagai fidyahmu.

Menurut kami, pendapat mazhab Imam yang empat serta mayoritas ulama merupakan pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran. Mereka mengatakan bahwa dalam hal ini orang yang bersangkutan diperbolehkan memilih salah satu di antara puasa, atau menyedekahkan satu farq makanan, yaitu tiga sa’ untuk setiap orang miskin —setengah sa’ yakni dua mud— atau menyembelih seekor kurban, lalu menyedekahkan dagingnya kepada fakir miskin. Mana saja yang ia pilih sudah cukup baginya, mengingat ungkapan Al-Qur’an dalam menjelaskan suatu keringanan, yang didahulukannya adalah yang paling mudah, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya: Maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban. (Al Baqarah:196)

Akan tetapi, ketika Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memerintahkan hal tersebut kepada Ka’b ibnu Ujrah, beliau memberinya petunjuk kepada yang paling utama lebih dahulu, kemudian baru yang utama. Untuk itu beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda: Sembelihlah seekor kambing, atau berilah makan enam orang miskin, atau berpuasalah tiga hari. Maka masing-masing dinilai baik bila disesuaikan dengan kondisi orang yang bersangkutan.

Qatadah meriwayatkan dari Al-Hasan dan Ikrimah sehubungan dengan firman-Nya: Maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban. (Al Baqarah:196) Yang dimaksud dengan sedekah ialah memberi makan sepuluh orang miskin.

Kedua pendapat ini —yaitu yang bersumber dari Sa’id ibnu Jubair dan Alqamah serta Al-Hasan dan Ikrimah— merupakan dua pendapat yang aneh, keduanya masih perlu dipertimbangkan. Karena telah disebutkan oleh sunnah melalui hadis Ka’b ibnu Ujrah bahwa puasa itu adalah tiga hari, bukan enam hari, dan memberi makan adalah kepada enam orang miskin, nusuk artinya menyembelih seekor kambing. Hal tersebut atas dasar takhyir (boleh memilih salah satu di antaranya), seperti yang ditunjukkan oleh konteks ayat Al-Qur’an. Adapun mengenai tartib (urutan), hal ini hanyalah dikenal dalam masalah membunuh binatang buruan, seperti yang disebutkan di dalam nas Al-Qur’an dan telah disepakati oleh semua ahli fiqih, lain halnya dengan masalah ini.

Hisyam mengatakan, telah menceritakan kepada kami Lais, dari Tawus, bahwa ia selalu mengatakan sehubungan dengan masalah dam atau memberi makan, hal itu dilaksanakan di Mekah. Sedangkan yang menyangkut puasa boleh dilakukan di mana saja menurut apa yang disukai oleh orang yang bersangkutan. Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid, Ata, dan Al-Hasan.

Hasyim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa’id, dari Ya’qub ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Abu Asma maula Ibnu Ja’far yang menceritakan bahwa Usman ibnu Affan pernah berhaji ditemani oleh Ali dan Al-Husain ibnu Ali. Usman berangkat lebih dulu. Abu Asma’ melanjutkan kisahnya, bahwa ia bersama Ibnu Ja’far, “Tiba-tiba kami bersua dengan seorang lelaki yang sedang tidur, sedangkan unta kendaraannya berada di dekat kepalanya, lalu aku (Abu Asma) berkata, ‘Hai orang yang sedang tidur.’ Lelaki itu bangun, dan ternyata dia adalah Al-Husain ibnu Ali. Lalu Ibnu Ja’far membawanya sampai datang ke tempat air. Kemudian dikirimkan seorang utusan untuk menemui Ali yang saat itu sedang bersama Asma binti Umais. Maka kami merawat Al-Husain ibnu Ali selama kurang lebih dua puluh malam. Lalu Ali bertanya kepada Al-Husain, ‘Apakah sakit yang kamu rasakan?’ Al-Husain mengisyaratkan dengan tangannya ke kepalanya. Maka Ali memerintahkan agar rambut Al-Husain dicukur, kemudian Ali meminta didatangkan seekor unta, lalu ia menyembelihnya.”

Jika unta kurban ini sebagai fidyah dari bercukur, berarti Ali menyembelihnya di luar kota Mekah. Tetapi jika sebagai fidyah dari tahallul, maka masalahnya sudah jelas.

Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى‎:

Apabila kalian telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) kurban yang mudah didapat.

Dengan kata lain, apabila kalian mampu untuk menunaikan manasik, tanpa hambatan apa pun, sedangkan di antara kalian ada yang ingin melakukan tamattu’ dengan mengerjakan umrah dahulu sebelum ibadah haji tiba waktunya.

Pengertian tamattu’ di sini mencakup orang yang berihram untuk keduanya atau berihram untuk umrah lebih dahulu, setelah selesai dari umrah baru berihram lagi untuk haji. Demikianlah pengertian tamattu’ secara khusus yang telah terkenal di kalangan para ahli fiqih. Sedangkan pengertian tamattu secara umum mencakup keduanya, seperti yang ditunjukkan oleh hadis-hadis sahih. Karena sesungguhnya di antara perawi ada yang mengatakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ber-tamattu’, sedangkan yang lainnya mengatakan ber-qiran, tetapi di antara keduanya tidak ada perbedaan dalam masalah bahwa Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ membawa hewan hadyunya.

Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى‎:

Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) kurban yang mudah didapat.

Dengan kata lain, hendaklah ia menyembelih kurban yang mudah didapat baginya, minimal seekor kambing. Tetapi diperbolehkan baginya menyembelih seekor sapi, karena Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sendiri menyembelih sapi untuk dam istri-istrinya.

Al-Auza’i meriwayatkan dari Yahya ibnu Abu Kasir, dari Abu Salamah, dari sahabat Abu Hurairah r.a.:

Bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyembelih seekor sapi untuk (dam) istri-istrinya, karena mereka semuanya melakukan tamattu’.

Hadis riwayat Abu Bakar ibnu Murdawaih.

Di dalam hadis ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa tamattu’ itu disyariatkan, seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahihain, dari Imran ibnu Husain yang mengatakan, “Ayat tamattu’ telah diturunkan di dalam Kitabullah dan kami mengerjakannya bersama-sama Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Kemudian tidak ada wahyu lagi yang turun mengharamkannya serta Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak melarangnya pula hingga beliau wafat.”

Akan tetapi, ada seorang lelaki yang berpendapat menurut kehendaknya sendiri. Imam Bukhari mengatakan bahwa lelaki itu adalah sahabat Umar. Apa yang dikatakan oleh Imam Bukhari ini telah disebutkan dengan jelas, bahwa Umar pernah melarang orang-orang melakukan tamattu’. Ia mengatakan bahwa kita harus memegang Kitabullah, karena sesungguhnya Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى‎ telah memerintahkan kita untuk melakukannya dengan sempurna. Yang dimaksud adalah firman-Nya: Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. (Al Baqarah:196) Tetapi pada kenyataannya Umar r.a. tidak melarang orang yang berihram dengan tamattu’. Sesungguhnya dia melarangnya hanya untuk tujuan agar orang-orang yang ziarah ke Baitullah bertambah banyak, ada yang melakukan haji dan ada yang berumrah, seperti yang telah dijelaskannya sendiri.

Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى‎:

Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kalian telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna.

Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى‎ berfirman, “Barang siapa yang tidak dapat menemukan binatang kurban, hendaklah ia puasa tiga hari dalam hari-hari haji, yakni di hari-hari manasik.”

Menurut ulama, hal yang paling utama hendaknya puasa dilakukan sebelum hari Arafah, yaitu pada tanggal sepuluh. Demikianlah menurut Ata. Atau sejak dia melakukan ihram (untuk hajinya), menurut Ibnu Abbas dan lain-lainnya, karena berdasarkan sabda Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dalam ibadah hajinya. Di antara mereka ada yang memperbolehkan melakukan puasa sejak dari permulaan bulan Syawwal. Demikianlah menurut Tawus, Mujahid, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang.

Asy-Sya’bi memperbolehkan berpuasa pada hari Arafah dan dua hari sebelumnya. Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid, Sa’id ibnu Jubair, As-Saddi, Ata, Tawus, Al-Hakam, Al-Hasan, Hammad, Ibrahim, Abu Ja’far Al-Baqir, Ar-Rabi’, dan Muqatil ibnu Hayyan.

Al-Aufi mengatakan dari Ibnu Abbas, “Apabila seseorang tidak dapat menemukan hadyu, hendaklah ia puasa tiga hari dalam hari-hari haji sebelum hari Arafah. Untuk itu apabila jatuh hari yang ketiga dari Arafah, maka puasanya harus sudah selesai. Ia juga harus puasa tujuh hari setelah pulang ke tanah airnya.”

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abu Ishaq, dari Wabrah, dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa orang yang bersangkutan hendaknya memulai puasanya sehari sebelum hari Tarwih, kemudian hari Tarwih, dan yang terakhir pada hari Arafahnya.

Sekiranya orang yang bersangkutan tidak melakukan puasanya pada hari-hari haji atau tidak melakukan sebagiannya sebelum hari Raya Adha, bolehkah ia melakukan puasanya itu pada hari-hari Tasyriq?

Sehubungan dengan masalah ini ada dua pendapat di kalangan para ulama, kedua-duanya diketengahkan pula oleh Imam Syafii. Menurut qaul qadim-nya, orang yang bersangkutan boleh melakukan puasanya pada hari-hari Tasyriq. Karena berdasarkan kepada ucapan Siti Aisyah dan Ibnu Umar yang terdapat di dalam kitab Sahih Bukhari, yaitu bahwa Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak memperbolehkan melakukan puasa di hari-hari Tasyriq kecuali bagi orang yang tidak menemukan hadyu (hewan kurban).

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Malik, dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah, juga dari Salim, dari Ibnu Umar. Memang telah diriwayatkan dari keduanya (Siti Aisyah dan Ibnu Umar) melalui banyak jalur.

Sufyan meriwayatkannya dari Ja’far ibnu Muhammad, dari ayahnya, dari Ali r.a. yang mengatakan, “Barang siapa yang kelewat waktunya hingga tidak melakukan puasa tiga hari pada hari-hari haji, maka ia harus melakukannya pada hari-hari Tasyriq.”

Sesungguhnya mereka mengatakan demikian karena keumuman makna yang terkandung di dalam firman-Nya: maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji.

Sedangkan menurut qaul jadid, ia tidak boleh melakukan puasa pada hari-hari Tasyriq, karena berdasarkan kepada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui Qutaibah Al-Huzali r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda:

Hari-hari Tasyriq adalah hari-hari untuk makan, minum, dan berzikir kepada Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى‎

Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى‎:

dan tujuh hari (lagi) apabila kalian telah pulang kembali.

Pendapat kedua mengatakan, yang dimaksud dengan iza raja’tum ialah apabila kalian kembali ke tanah air kalian, yakni kalian telah berada di negeri tempat tinggal kalian sendiri.

Hal yang sama telah diriwayatkan pula dari Sa’id ibnu Jubair, Abul Aliyah, Mujahid, Ata, Ikrimah, Al-Hasan, Qatadah, Az-Zuhri, dan Ar-Rabi’ ibnu Anas. Abu Ja’far ibnu Jarir meriwayatkan bahwa pendapat ini merupakan pendapat yang telah disepakati.

Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Al-Lais, dari Uqail, dari Ibnu Syihab, dari Salim ibnu Abdullah, bahwa Ibnu Umar pernah menceritakan: Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melakukan tamattu’ dalam haji wada’-nya dengan melakukan umrah sebelum ibadah haji, lalu beliau menyembelih hewan kurbannya. Untuk itu beliau membawa hewan hadyu (kurban) dari Zul Hulaifah, kemudian beliau berihram untuk ibadah umrahnya. Sesudah ilu baru beliau berihram untuk ibadah hajinya. Maka orang-orang pun ikut ber-tamattu’ bersama-sama Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memulai pekerjaannya dengan ibadah umrah sebelum haji. Sedangkan di kalangan orang-orang ada yang berkurban, ia membawa hewan kurbannya, dan di antara mereka ada yang tidak berkurban. Ketika Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tiba di Mekah, maka beliau bersabda kepada orang-orang, “Barang siapa di antara kalian mempunyai hewan kurban, maka tidak halal baginya melakukan sesuatu pun yang diharamkan atas dirinya sebelum menyelesaikan hajinya. Barang siapa di antara kalian tidak membawa hadyunya (hewan kurban-nya), hendaklah ia melakukan tawaf di Baitullah, dan sa’i di antara Safa dan Marwah serta memotong rambut dan ber-tahallul. Setelah itu hendaklah ia berihram lagi untuk ibadah hajinya. Barang siapa yang tidak menemukan hewan kurban, hendaklah ia berpuasa selama tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari lagi apabila ia telah kembali kepada keluarganya. Hingga akhir hadis.

Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى‎:

Itulah sepuluh (hari) yang sempurna.

Menurut suatu pendapat, kalimat ayat ini merupakan taukid (yang menguatkan makna kalimat sebelumnya). Perihalnya sama dengan kata-kata orang Arab, “Aku melihat dengan kedua mataku sendiri, dan aku mendengar dengan kedua telingaku sendiri, aku tulis dengan tanganku ini.” Dan sama dengan makna yang terkandung di dalam firman-Nya:

dan tiada burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya. (Al An’am:38)

dan kamu tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu. (Al-‘Ankabut: 48)

Adapun firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى‎:

Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnakanlah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh (malam lagi). (Al A’raf:142)

Menurut pendapat yang lain, makna ‘Kamilah’ yang terkandung di dalam ayat ini ialah perintah untuk menyelesaikannya dengan sempurna. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir.

Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud ialah cukup sebagai ganti menyembelih hewan kurban. Hisyam meriwayatkan dari Abbad ibnu Rasyid, dari Al-Hasan Al-Basri sehubungan dengan makna firman-Nya: Itulah sepuluh hari yang sempurna. (Al Baqarah:196) Yakni sudah cukup sebagai ganti menyembelih hewan kurban.

Tafsir as-Sa’di (Taisirul Karimirrahman fi Tafsiri Kalamil Mannan)

Tafsir Ayat:

Firman Allah, وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah” dapat menjadi dalil atas beberapa perkara:

Pertama: Wajibnya Haji dan Umrah,

Kedua: Kewajiban menyempurnakan keduanya dengan menunaikan rukun dan kewajiban keduanya yang telah dicontohkan oleh Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, dan sabda beliau,

خُذُوْا عَنِّيْ مَنَاسِكَكُمْ.

“Ambillah (tata cara) manasik haji kalian dariku.”

Ketiga: Ini adalah dalil bagi orang yang berpendapat bahwa umrah itu adalah wajib hukumnya.

Keempat: Bahwasanya Haji dan Umrah itu wajib disempurnakan ketika seseorang memulai keduanya walaupun hanya sunnah.

Kelima: Perintah untuk mengukuhkan dan membaguskan keduanya, dan hal ini hanyalah tambahan semata atas perkara yang wajib dilakukan pada keduanya.

Keenam: Merupakan perintah untuk mengikhlaskan kedua-nya hanya لِلَّهِ “kepada Allah جَلَّ جَلالُهُ”.

Ketujuh: Bahwasanya orang yang telah berihram untuk melakukan keduanya, ia tidak boleh keluar dari keduanya dengan melakukan hal lain hingga ia menyempurnakan keduanya terlebih dahulu, kecuali apa yang telah dikecualikan oleh Allah yaitu terhalang, oleh karena itu Allah berfirman, فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ “Jika kamu terkepung,” maksudnya, kalian dihalangi untuk sampai kepada Baitullah untuk menyempurnakan keduanya oleh penyakit atau tersesat atau musuh dan yang semacamnya dari hal-hal yang dapat menghalangi, فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ “maka (sembelihlah) kurban yang mudah didapat,” maksudnya, sembelihlah apa yang mudah kalian dapat dari kurban, yaitu tujuh orang dengan satu ekor unta atau satu ekor sapi atau kambing yang disembelih oleh orang yang terhalang tersebut, lalu ia bercukur kemudian bertahallul dari ihramnya karena adanya penghalang tersebut, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan para sahabat beliau ketika orang-orang musyrik menghalangi mereka pada tahun Hudaibiyah. Apabila ia tidak mendapatkan hewan kurban, maka ia harus berpuasa sebagai gantinya sepuluh hari lamanya sebagaimana yang dilakukan oleh yang mengambil Haji Tamattu,’ kemudian ia bertahallul.

Kemudian Allah جَلَّ جَلالُهُ berfirman, وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ “Dan janganlah kamu mencukur kepalamu, sebelum kurban sampai di tempat penyembelihannya.” Ini adalah di antara perkara yang dilarang dalam berihram, yaitu menghilangkan rambut dengan mencukur maupun lainnya, karena maknanya adalah salah satu dari kepala atau dari badan, karena maksud dari hal itu adalah terjadinya kekusutan dan larangan dari bersenang-senang dengan menghilang-kannya, padahal ia ada pada bagian lain dari rambut. Kebanyakan para ulama mengkiaskan tindakan menghilangkan rambut ini de-ngan memotong kuku dengan kesamaan adanya urusan bersenang-senang. Larangan dari hal tersebut akan terus berlanjut hingga hewan kurbannya sampai ke tempat penyembelihannya yaitu pada hari penyembelihan, dan yang paling utama adalah bercukur sete-lah penyembelihan, sebagaimana yang dijelaskan oleh ayat tersebut.

Ayat ini dapat menjadi sebuah dalil bahwasanya seorang yang melakukan Haji Tamattu’ apabila menggiring hewan kurban, ia tidak bertahallul dari umrahnya sebelum hari penyembelihan. Maka apabila ia telah thawaf dan sa’i untuk umrah, maka ia berihram dengan haji, dan ia tidak dikatakan bertahallul dengan disebabkan menggiring hewan kurban. Allah melarang hal tersebut hanyalah untuk menunjukkan kehinaan dan ketundukan kepada Allah, pasrah terhadapNya dan tawadhu,’ yang merupakan inti dari kemaslahatan seorang hamba, dan sama sekali tidak ada kemu-daratan baginya dalam hal itu, lalu apabila terjadi bahaya dengan adanya gangguan seperti sakit yang dapat dihilangkan dengan mencukur rambut kepalanya, atau ada luka, atau kutu dan sema-camnya, maka dalam hal itu boleh baginya mencukur rambutnya, akan tetapi ia wajib membayar fidyah dengan berpuasa tiga hari atau memberi makan enam fakir miskin, atau menyembelih bina-tang yang sepadan dengan binatang kurban. Maka dalam hal itu ia bebas memilih, namun berkurban adalah lebih utama, lalu ber-sedekah, kemudian puasa, karena melakukan yang seperti ini, dan segala sesuatu yang semakna dengan hal-hal tersebut seperti memotong kuku atau menutupi kepala atau memakai pakaian berjahit atau memakai parfum, maka semua itu boleh dilakukan ketika terjadi kondisi darurat, namun orang bersangkutan harus memba-yar fidyah sebagaimana yang telah disebutkan, karena maksud dari semua itu adalah menghilangkan segala hal yang ditujukan untuk bersenang-senang.

Kemudian Allah جَلَّ جَلالُهُ berfirman, فَإِذَا أَمِنْتُمْ “Apabila kamu telah (merasa) aman,” maksudnya, kalian mampu sampai ke Baitullah tanpa ada hambatan dari musuh atau semacamnya, فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ “maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji)” dengan menyambungkan Umrah kepada Haji, dan ia menikmati tamattu’nya setelah selesai dari umrah, فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ “maka wajiblah ia menyembelih kurban yang mudah didapat.” Maksud-nya, wajib atasnya apa yang mudah dari hewan kurban, dengan suatu yang mampu memenuhi kewajiban dengan hewan kurban itu. Ini adalah dam nusuk (denda) sebagai ganjaran imbalan memperoleh dua nusuk dalam satu perjalanan, dan adanya kenikmatan dari Allah atasnya di mana ia mampu mendapatkan manfaat dengan istirahat setelah selesai dari umrah sebelum memulai berhaji, dan begitu juga haji qiran (wajib menyembelih kurban), karena memperoleh dua nusuk.

Pemahaman ayat ini menunjukkan bahwa orang yang haji Ifrad tidak wajib menyembelih kurban. Dan ayat ini juga menunjukkan bolehnya bahkan keutamaan bertamattu’ (bersenang-senang) dan bolehnya melakukan hal itu pada bulan-bulan haji. فَمَنْ لَمْ يَجِدْ “Tetapi jika dia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu),” maksudnya, hewan kurban atau harganya, فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ “maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji,” awal masa bolehnya adalah saat berihram untuk umrah, dan akhirnya adalah tiga hari setelah hari penyembelihan, yaitu hari-hari melempar jumrah dan ber-malam di Mina. Akan tetapi yang paling utama adalah ia berpuasa pada hari ketujuh, kedelapan, dan kesembilan, وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ “dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali ,” maksudnya, kalian telah selesai dari amalan-amalan haji, boleh menjalankannya di Makkah, di jalan, atau setelah sampai di keluarganya kembali. Hal yang disebutkan dari wajibnya berkurban atas orang yang berhaji tamattu,’ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ “bagi orang-orang yang keluar-ganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Makkah),” di mana jarak darinya sejauh jarak bolehnya shalat qashar atau lebih jauh darinya menurut kebiasaan yang berlaku. Orang yang seperti inilah yang wajib berkurban karena memperoleh dua nusuk dalam satu perjalanan, adapun bagi orang yang memiliki keluarga di area Masjidil Haram, maka mereka tidak diwajibkan berkurban karena tidak adanya perkara yang meng-haruskan hal tersebut.

وَاتَّقُوا اللَّهَ “Dan bertakwalah kepada Allah” dalam segala urusan kalian dengan menunaikan segala perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-laranganNya, dan termasuk di antaranya adalah pelaksanaan perintah-perintah dalam urusan Haji dan menjauhi larangan-larangan Haji yaitu yang disebutkan dalam ayat ini.

وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ “Dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaanNya,” yakni bagi orang yang bermaksiat kepadaNya, dan inilah yang mengharuskan ketakwaan, karena barangsiapa yang takut akan siksaan Allah, pastilah ia akan menghindari hal-hal yang mendatangkan siksaan tersebut, sebagaimana orang yang mengharapkan pahala dari Allah, pastilah ia akan mengamalkan perkara yang menyampaikannya kepada pahala tersebut. Adapun orang yang tidak takut akan siksaan dan tidak mengharapkan pahala, pastilah ia akan menceburkan diri dalam hal-hal yang diharamkan, dan berani meninggalkan yang wajib.

Tafsir Ringkas Kemenag (Kementrian Agama Republik Indonesia)

Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah dengan memenuhi syarat, wajib, rukun, maupun sunah-sunahnya dengan niat yang ikhlas semata-mata mengharapkan rida Allah, dalam keadaan aman dan damai, baik di perjalanan maupun di tempat-tempat pelaksanaan manasik haji. Tetapi jika kamu terkepung oleh musuh, dalam keadaan perang atau situasi genting sehingga tidak dapat melaksanakan manasik haji pada tempat dan waktu yang tepat, maka ada ketentuan rukhshah (dispensasi) dengan diberlakukannya dam (pengganti) sebagai berikut. Pertama, sembelihlah hadyu, yaitu hewan yang disembelih sebagai pengganti pekerjaan wajib haji yang ditinggalkan atau sebagai denda karena melanggar hal-hal yang terlarang mengerjakannya di dalam ibadah haji, yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu sebagai tanda selesainya salah satu rangkaian ibadah haji sebelum hadyu sampai di tempat penyembelihannya dengan tepat. Kedua, jika ada di antara kamu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya lalu dia bercukur sebelum selesai melaksanakan salah satu dari rangkaian manasik haji, maka dia wajib membayar fidyah atau tebusan yaitu dengan memilih salah satu dari berpuasa, bersedekah atau berkurban supaya kamu bisa memilih fidyah yang sesuai dengan kemampuan kamu. Ketiga, apabila kamu dalam keadaan aman, tidak terkurung musuh, dan tidak terkena luka, tetapi kamu memilih tamattu, yakni mendahulukan umrah daripada haji pada musim haji yang sama, maka ketentuannya adalah bahwa barang siapa mengerjakan umrah sebelum haji, dia wajib menyembelih hadyu yang mudah didapat di sekitar masjidilharam. Tetapi jika dia tidak mendapatkannya yakni tidak mampu dan tidak memiliki harta senilai binatang ternak yang harus disembelih, maka dia wajib berpuasa tiga hari dalam musim haji dan tujuh hari setelah kamu kembali ke tanah air. Itu seluruhnya sepuluh hari secara keseluruhan. Demikian itu, bagi orang yang keluarganya tidak ada, yakni tinggal atau menetap, di sekitar masjidilharam melainkan berdomisili jauh di luar mekah seperti kaum muslim indonesia. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras hukuman-Nya bagi orang-orang yang tidak menaati perintah dan aturan-Nya. Musim haji itu pada bulan-bulan yang telah dimaklumi, yakni syawal, zulkaidah, dan zulhijjah. Barang siapa mengerjakan ibadah haji dalam bulan-bulan itu, maka janganlah dia berkata jorok (rafaš), yaitu perkataan yang menimbulkan birahi, perbuatan yang tidak senonoh, atau hubungan seksual; jangan pula berbuat maksiat dan bertengkar dalam melakukan ibadah haji meskipun bukan pertengkaran dahsyat. Segala yang baik yang kamu kerjakan, Allah mengetahuinya, karena Allah mengetahui yang tersembunyi. Allah tidak mengantuk dan tidak pula tidur, semua yang terjadi di langit dan di bumi berada dalam pantauan-Nya. Bawalah bekal untuk memenuhi kebutuhan fisik, yakni kebutuhan konsumsi, akomodasi, dan transportasi selama di tanah suci; termasuk juga bekal iman dan takwa untuk kebutuhan ruhani, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa, yakni mengerjakan yang diperintahkan dan meninggalkan yang dilarang oleh Allah. Dan bertakwalah kepada-ku, wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat, supaya kamu menjadi manusia utuh lahir batin.


Al-Baqarah Ayat 196 Arab-Latin, Terjemah Arti Al-Baqarah Ayat 196, Makna Al-Baqarah Ayat 196, Terjemahan Tafsir Al-Baqarah Ayat 196, Al-Baqarah Ayat 196 Bahasa Indonesia, Isi Kandungan Al-Baqarah Ayat 196


Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat: 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | 21 | 22 | 23 | 24 | 25 | 26 | 27 | 28 | 29 | 30 | 31 | 32 | 33 | 34 | 35 | 36 | 37 | 38 | 39 | 40 | 41 | 42 | 43 | 44 | 45 | 46 | 47 | 48 | 49 | 50 | 51 | 52 | 53 | 54 | 55 | 56 | 57 | 58 | 59 | 60 | 61 | 62 | 63 | 64 | 65 | 66 | 67 | 68 | 69 | 70 | 71 | 72 | 73 | 74 | 75 | 76 | 77 | 78 | 79 | 80 | 81 | 82 | 83 | 84 | 85 | 86 | 87 | 88 | 89 | 90 | 91 | 92 | 93 | 94 | 95 | 96 | 97 | 98 | 99 | 100 | 101 | 102 | 103 | 104 | 105 | 106 | 107 | 108 | 109 | 110 | 111 | 112 | 113 | 114 | 115 | 116 | 117 | 118 | 119 | 120 | 121 | 122 | 123 | 124 | 125 | 126 | 127 | 128 | 129 | 130 | 131 | 132 | 133 | 134 | 135 | 136 | 137 | 138 | 139 | 140 | 141 | 142 | 143 | 144 | 145 | 146 | 147 | 148 | 149 | 150 | 151 | 152 | 153 | 154 | 155 | 156 | 157 | 158 | 159 | 160 | 161 | 162 | 163 | 164 | 165 | 166 | 167 | 168 | 169 | 170 | 171 | 172 | 173 | 174 | 175 | 176 | 177 | 178 | 179 | 180 | 181 | 182 | 183 | 184 | 185 | 186 | 187 | 188 | 189 | 190 | 191 | 192 | 193 | 194 | 195 | 196 | 197 | 198 | 199 | 200 | 201 | 202 | 203 | 204 | 205 | 206 | 207 | 208 | 209 | 210 | 211 | 212 | 213 | 214 | 215 | 216 | 217 | 218 | 219 | 220 | 221 | 222 | 223 | 224 | 225 | 226 | 227 | 228 | 229 | 230 | 231 | 232 | 233 | 234 | 235 | 236 | 237 | 238 | 239 | 240 | 241 | 242 | 243 | 244 | 245 | 246 | 247 | 248 | 249 | 250 | 251 | 252 | 253 | 254 | 255 | 256 | 257 | 258 | 259 | 260 | 261 | 262 | 263 | 264 | 265 | 266 | 267 | 268 | 269 | 270 | 271 | 272 | 273 | 274 | 275 | 276 | 277 | 278 | 279 | 280 | 281 | 282 | 283 | 284 | 285 | 286