{1} Al-Fatihah / الفاتحة | الْقُرْآنُ الْكَرِيْمُ | آل عمران / Ali ‘Imran {3} |
Tafsir Al-Qur’an Surat Al-Baqarah البقرة (Sapi Betina) lengkap dengan tulisan arab latin, arti dan terjemah Bahasa Indonesia. Surah ke 2 Tafsir ayat Ke 180.
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ ﴿١٨٠﴾
kutiba ‘alaikum iżā ḥaḍara aḥadakumul-mautu in taraka khairanil-waṣiyyatu lil-wālidaini wal-aqrabīna bil-ma’rụf, ḥaqqan ‘alal-muttaqīn
QS. Al-Baqarah [2] : 180
Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput seseorang di antara kamu, jika dia meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orang tua dan karib kerabat dengan cara yang baik, (sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.
Allah telah menetapkan bila salah seorang di antara kalian didatangi tanda-tanda kematian dan mukadimahnya, -bila dia meninggalkan harta- hendaknya berwasiat dengan sebagian hartanya untuk bapak ibu dan para kerabatnya dengan tetap mempertimbangkan keadilan, tidak meninggalkan orang miskin dan justru memberikan wasiat untuk orang yang mampu, dan tidak boleh melebihi sepertiga. Hal itu merupakan hak yang tetap yang dilakukan oleh orang-orang bertakwa yang takut kepada Allah. Ketetapan ini sebelum turunnya ayat-ayat warisan di mana di dalamnya Allah telah menetapkan bagian masing-masing ahli waris.
Ayat yang mulia ini mengandung perintah berwasiat buat kedua orang tua dan kaum kerabat. Pada mulanya hal ini hukumnya wajib, menurut pendapat yang paling sahih di antara dua pendapat, yakni sebelum turunnya ayat mawaris (pembagian waris). Setelah ayat faraid (pembagian waris) diturunkan, maka ayat ini di-mansukh olehnya.
Dengan demikian, sejak diturunkan ayat faraid, maka bagian-bagian waris yang telah ditentukan merupakan hukum fardu dari Allah yang harus dilaksanakan oleh orang-orang yang bersangkutan dengan tegas tanpa melalui proses wasiat lagi. Hukum-hukum bagian waris ini tidak mengandung pengertian pemberian dari pihak orang yang berwasiat.
Karena itu, telah disebutkan di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan di dalam kitab-kitab sunnah dan kitab lainnya, melalui Amr ibnu Kharijah yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw, berkhotbah, yang antara lain mengatakan:
Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang berhak atas bagiannya (masing-masing), maka tidak ada lagi wasiat bagi ahli waris.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ibrahim ibnu Ulayyah, dari Yunus ibnu Ubaid, dari Muhammad ibnu Sirin yang menceritakan bahwa sahabat Ibnu Abbas duduk di suatu majelis, lalu ia membaca surat Al-Baqarah sampai pada firman-Nya:
Jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya.
Lalu ia mengatakan bahwa ayat ini telah di-mansukh.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Sa’id ibnu Mansur, dari Hasyim, dari Yunus dengan lafaz yang sama. Imam Hakim meriwayatkannya pula di dalam kitab Mustadrak-nya, dan mengatakan bahwa asar ini sahih dengan syarat keduanya (yakni Bukhari dan Muslim).
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil firman-Nya:
…berwasiatlah untuk ibu bapak dan karib kerabatnya.
Pada mulanya tidak ada yang berhak mewaris selain dari ibu bapak, kecuali melalui proses wasiat bagi kaum kerabat. Maka Allah menurunkan ayat mira’s (pembagian waris) dan menjelaskan padanya bagian waris dari ibu bapak, serta menetapkan wasiat buat kaum kerabat dalam sepertiga dari harta peninggalan si mayat.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabah, telah menceritakan kepada kami Hajjaj ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij dan Usman ibnu Ata, dari Ata, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:
…berwasiat buat ibu bapak dan kaum kerabatnya.
Ayat ini dimansukh oleh firman-Nya:
Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. (An Nisaa:7)
Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, Abu Musa, Sa’id ibnul Musayyab, Al-Hasan, Mujahid, Ata, Sa’id ibnu Jubair, Muhammad ibnu Sirin, Ikrimah, Zaid ibnu Aslam, Ar-Rabi’ ibnu Anas, Qatadah, As-Saddi, Muqatil ibnu Hayyan, Tawus Ibrahim An-Nakha’i, Syuraih, Ad-Dahhak, dan Az-Zuhri, bahwa ayat ini (Al-Baqarah ayat 180) telah dimansukh, yang me-mansukh-nya adalah ayatul miras (ayat yang menerangkan bagian-bagian tertentu dalam pewarisan).
Akan tetapi, yang mengherankan adalah pendapat yang dikatakan oleh Abu Abdullah Muhammad ibnu Umar Ar-Razi. Dia mengatakan di dalam kitab Tafsirul Kabir-nya, meriwayatkan pendapat Abu Muslim Al-Asfahani, bahwa ayat ini tidak di-mansukh, dan sesungguhnya ia hanya ditafsirkan oleh ayatul mawaris. Hal ini berarti makna yang dimaksud ialah diwajibkan atas kalian apa yang telah disyariatkan Allah kepada kalian tentang pembagian pusaka untuk ibu bapak dan kaum kerabat, yakni bagian dari firman-Nya:
Allah mensyariatkan bagi kalian tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anak kalian. (An Nisaa:11)
Selanjutnya Abu Abdullah Muhammad ibnu Umar Ar-Razi mengatakan, hal ini merupakan pendapat kebanyakan ahli tafsir dan ahli fiqih yang dianggap. Ia mengatakan pula bahwa di antara mereka ada yang mengatakan, sesungguhnya surat Al-Baqarah ayat 180 ini di-mansukh berkenaan dengan orang-orang yang mempunyai hak waris, dan tetap hukumnya bagi orang-orang yang tidak mempunyai hak waris. Pendapat ini merupakan mazhab Ibnu Abbas, Al-Hasan, Masruq, Thawus, Ad-Dahhak, Muslim ibnu Yasar, dan Al-Ala ibnu Ziad.
Menurut kami, pendapat ini dikatakan pula oleh Sa’id ibnu Jubair, Ar-Rabi’ ibnu Anas, Qatadah, dan Muqatil ibnu Hayyan, tetapi pendapat mereka ini menurut peristilahan di kalangan kami ulama mutaakhkhirin bukan dinamakan nasakh, karena ayatul mawaris hanyalah menghapus sebagian hukum yang ditunjukkan oleh keumuman makna ayat wasiat. Mengingat istilah kaum kerabat mencakup orang-orang yang mempunyai hak waris dan orang-orang yang tidak mempunyai hak waris, maka dihapuslah hukum yang menyangkut orang-orang yang berhak mewaris karena telah ada bagian tertentu baginya, sedangkan untuk yang lainnya yang tidak mempunyai bagian tertentu masih tetap berdasarkan apa yang ditunjukkan oleh ayat pertama (Al-Baqarah ayat 180). Pengertian ini hanyalah berdasarkan interpretasi pendapat sebagian dari kalangan mereka yang mengatakan bahwa wasiat itu pada permulaan Islam hanyalah sunat, hingga ia di-mansukh.
Menurut orang yang berpendapat bahwa hukum wasiat itu pada mulanya adalah wajib, seperti yang ditunjukkan oleh makna lahiriah konteks ayat, maka sudah dapat ditentukan bahwa ia di-mansukh oleh ayat miras. Seperti yang dikatakan oleh kebanyakan Mufassirin dan para ahli fiqih terkemuka. Mereka mengatakan, sesungguhnya hukum wajib berwasiat buat kedua orang tua dan kaum kerabat yang mewaris dimansukh oleh ayat miras menurut ijma’, dan bahkan dilarang karena dalil hadis yang telah lalu, yaitu sabda Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang berhak (mewaris) bagiannya masing-masing. Maka tidak ada wasiat (lagi) bagi orang yang mewaris.
Ayat mengenai pembagian waris merupakan hukum menyendiri dan kewajiban dari sisi Allah buat orang-orang yang memiliki bagian tertentu dan asabah. Ayat ini menghapuskan hukum yang mewajibkan wasiat secara keseluruhan.
Dengan demikian, yang tertinggal adalah kaum kerabat yang tidak mempunyai bagian tertentu. Untuk mereka disunatkan berwasiat yang diambil dari sepertiga harta peninggalan, demi menghargai ayat wasiat dan keumuman maknanya, juga karena apa yang telah ditetapkan di dalam kitab Sahihain, dari Ibnu Umar r.a., bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda:
Tiadalah kewajiban seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang akan ia wasiatkan, lalu ia lewatkan waktu selama dua malam, melainkan wasiatnya itu harus sudah tertulis di sisinya. Selanjutnya Ibnu Umar r.a. mengatakan, “Tidak sekali-kali lewat bagiku satu malam sejak aku mendengar hadis ini dari Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ kecuali wasiatku telah kupersiapkan di sisiku.”
Ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang menganjurkan berbuat baik kepada kaum kerabat dan menyantuni mereka sangat banyak.
Abdu ibnu Humaid mengatakan di dalam kitab musnadnya, telah menceritakan kepada kami Abdullah, dari Mubarak ibnu Hassan, dari Nafi’ yang menceritakan, Abdullah pernah menceritakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda: Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berfirman, “Hai anak Adam, ada dua perkara yang tiada satu pun di antaranya merupakan milikmu: Aku jadikan buatmu suatu bagian pada harta milikmu di saat Aku menimpakan sakit kepadamu untuk membersihkan dan menyucikan dirimu melaluinya, dan salat hamba-hamba-Ku untukmu sesudah kamu menunaikan ajalmu (mati).”
Firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
…jika ia meninggalkan harta yang banyak.
Yang dimaksud dengan khairan atau kebaikan ialah harta benda. Demikianlah menurut pendapat Ibnu Abbas, Mujahid, Ata, Sa’id ibnu Jubair, Abul Aliyah, Atiyyah Al-Aufi, Ad-Dahhak, As-Saddi, Ar-Rabi’ ibnu Anas, Muqatil ibnu Hayyan, Qatadah, dan lain-lainnya.
Kemudian sebagian di antara mereka mengatakan bahwa wasiat itu disyariatkan tanpa memandang apakah harta peninggalan berjumlah banyak ataupun sedikit, perihalnya sama dengan yang untuk ahli waris.
Di antara mereka mengatakan bahwa sesungguhnya wasiat itu diwajibkan hanya bila orang yang bersangkutan meninggalkan harta yang berjumlah banyak. Kemudian mereka berselisih pendapat mengenai kadar yang termasuk jumlah banyak ini.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Yazid Al-Muqri, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya yang mengatakan bahwa pernah dikatakan kepada Ali r.a. bahwa sesungguhnya seorang lelaki dari kabilah Quraisy telah meninggal dunia dan meninggalkan harta sebanyak tiga ratus atau empat ratus dinar, tetapi ia tidak berwasiat. Maka Ali r.a. menjawab bahwa jumlah tersebut masih belum banyak, karena sesungguhnya Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى telah berfirman: jika ia meninggalkan harta yang banyak. (Al Baqarah:180)
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Harun ibnu Ishaq Al-Hamdani, telah menceritakan kepada kami Abdah (yakni Ibnu Sulaiman), dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, bahwa Ali r.a. masuk ke dalam rumah seorang lelaki dari kalangan kaumnya (Quraisy) untuk menjenguknya. Maka lelaki itu berkata kepadanya, “Apakah aku harus berwasiat?” Ali r.a. menjawab: “Sesungguhnya Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى hanya mengatakan dalam firman-Nya,
Jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat’
Dan sesungguhnya harta yang kamu tinggalkan hanyalah berjumlah sedikit, maka biarkanlah untuk anakmu.”
Imam Hakim bin Iban mengatakan: pernah menceritakan kepadaku sebuah asar dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil firman-Nya:
Jika ia meninggalkan harta yang banyak.
Maka Ibnu Abbas berkata, “Barang siapa yang tidak meninggalkan sejumlah enam puluh dinar, berarti dia tidak meninggalkan kebaikan (harta yang banyak).”
Imam Hakim mengatakan bahwa Tawus pernah mengatakan, “Masih belum dikatakan meninggalkan harta yang banyak seseorang yang tidak meninggalkan harta sejumlah delapan puluh dinar.”
Qatadah mengatakan, yang dimaksud dengan harta yang banyak ialah sejumlah seribu dinar hingga lebih.
Yang dimaksud dengan bil ma’ruf ialah dengan cara yang baik dan lemah lembut.
Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abu Hatim, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Abdullah ibnu Basysyar, telah menceritakan kepadaku Surur ibnul Mugirah, dari Abbad ibnu Mansur, dari Al-Hasan sehubungan dengan takwil firman-Nya:
Diwajibkan atas kalian apabila seorang di antara kalian kedatangan (tanda-tanda) maut.
Maka Al-Hasan Al-Basri mengatakan, “Sebaik-baik wasiat, yang merupakan perkara yang hak atas setiap orang muslim, ialah hendaknya ia berwasiat dengan cara yang makruf (bukan mungkar) apabila kedatangan tanda-tanda maut.” Yang dimaksud dengan cara yang makruf ialah hendaknya dia berwasiat untuk kaum kerabatnya suatu wasiat yang tidak menghabiskan bagian ahli warisnya, yakni tidak berlebih-lebihan dan tidak pula terlalu pelit. Seperti yang disebutkan di dalam hadis Sahihain, yaitu:
Bahwa Sa’d bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai harta yang banyak, sedangkan aku tidak mempunyai ahli waris selain anak perempuanku, maka bolehkah aku berwasiat dengan dua pertiga hartaku?” Rasul صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjawab, “Tidak.” Sa’d bertanya, “Bagaimana dengan separonya?” Rasul صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjawab, “Tidak.” Sa’d bertanya, “Bagaimana dengan sepertiga?” Rasul صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjawab, “Sepertiga, ya sepertiga cukup banyak. Sesungguhnya kamu jika meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan, jauh lebih baik daripada kamu tinggalkan mereka dalam keadaan miskin meminta-minta kepada orang lain.”
Di dalam kitab Sahih Bukhari disebutkan bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan:
Seandainya orang-orang mengurangi sepertiga hingga seperempatnya (niscaya baik bagi mereka), karena sesungguhnya Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda, “Sepertiga. Sepertiga itu cukup banyak.”
Ahmad meriwayatkan dari Abu Sa’id maula Bani Hasyim, dari Ziad ibnu Atabah ibnu Hanzalah bahwa ia pernah mendengar Hanzalah ibnu Juzaim ibnu Hanifah menceritakan bahwa kakeknya yang bernama Hanifah pernah berwasiat seratus ekor unta untuk seorang anak yatim yang berada dalam pemeliharaannya. Hal tersebut dirasakan amat berat bagi anak-anaknya, lalu mereka melaporkan hal tersebut kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Hanifah berkata, “Sesungguhnya aku mewasiatkan buat anak yatimku ini sebanyak seratus ekor unta. Unta-unta itu kami namakan Matiyyah.” Maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjawab: Tidak, tidak, tidak, sedekah (zakat) saja hanya seperlimanya. Jika tidak, maka sepuluh ekor unta saja, dan jika tidak, maka lima belas ekor unta saja, dan jika tidak, maka dua puluh ekor unta saja, dan jika tidak, maka dua puluh lima ekor unta saja, dan jika tidak, maka tiga puluh ekor unta saja, dan jika tidak, maka tiga puluh lima ekor unta saja. Akan tetapi, jika ternak unta berjumlah banyak, boleh empat puluh ekor unta. Lalu hadis ini dikemukakannya hingga selesai.
Tafsir Ayat:
Maksudnya, Allah telah mewajibkan kepada kalian wahai orang-orang yang beriman, إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ “apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut,” yaitu sebab-sebabnya, seperti sakit yang membawa kepada kematian, adanya sebab-sebab kematian, di mana orang bersangkutan تَرَكَ خَيْرًا “meninggalkan harta,” yakni harta yang banyak menurut adat, maka wajiblah atasnya berwasiat untuk kedua orang tuanya dan orang yang paling dekat kepadanya dengan baik sesuai dengan kondisinya, tanpa melampaui batas dan tidak pula hanya memberikan yang terjauh dari keluarga tanpa yang dekat, namun ia harus mengatur sesuai dengan kedekatan dan kebutuhan. Oleh karena itu, ayat ini hadir dengan kata komparatif (perbandingan yang mana lebih utama). Dan FirmanNya, حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ “Kewajiban atas orang-orang yang bertakwa,” ini menunjukkan bahwa berwasiat itu wajib hukumnya, karena “haq” itu artinya adalah yang tetap (tsabit), dan Allah telah menjadikannya sebagai konsekuensi dari ketakwaan.
Ketahuilah, bahwasanya mayoritas ulama tafsir berpendapat bahwa ayat ini telah dinasakh oleh ayat-ayat tentang warisan, dan sebagian lagi berpendapat bahwa ayat ini tentang kedua orang tua dan kerabat yang bukan ahli waris, padahal tidak ada dalil sama sekali yang mengkhususkan seperti itu. Yang paling terbaik dalam hal ini, dikatakan bahwa wasiat untuk orang tua dan kerabat secara umum, Allah kembalikan kepada kebiasaan yang berlaku, lalu Allah جَلَّ جَلالُهُ menentukan bagi kedua orang tua yang ikut mewarisi dan selain keduanya dari para kerabat yang mewarisi, dari kebaikan (harta tersebut), dalam ayat-ayat warisan yang sebelumnya masih umum. Kemudian masih tersisa ketetapan bagi orang-orang yang tidak mewarisi dari kedua orang tua yang terhalang (mahjub) men-dapatkan warisan dan selain mereka berdua di antara orang-orang yang terhalangi oleh seseorang atau oleh suatu hal, maka di sini seseorang diperintahkan untuk berwasiat untuk mereka dan me-reka adalah orang yang paling berhak untuk diperlakukan dengan baik. Pernyataan ini telah disepakati oleh seluruh umat, dan inilah yang menyatukan antara kedua pendapat terdahulu, karena setiap dari kedua kelompok itu memandang suatu sisi tertentu dan dengan sumber yang berbeda, maka dengan penyatuan ini terwujudlah kesepakatan dan penyatuan antara beberapa ayat, karena bagai-manapun penyatuan itu mampu dilakukan, maka hal itu lebih baik daripada hanya menduga adanya nasakh namun tidak ada dalil shahih yang mendasarinya.
Diwajibkan atas kamu, wahai orang-orang yang beriman, apabila tanda-tanda maut atau kematian hendak menjemput seseorang di antara kamu seperti usia tua, rambut memutih, gigi rontok, kulit mengendur, jika dia meninggalkan harta yang banyak, maka hendaknya berwasiat dan memberi pesan yang disampaikan kepada orang lain untuk dilaksanakan setelah kamu meninggal dunia. Wasiat tersebut adalah untuk kedua orang tua yang terhalang menerima waris, karena beda agama atau hamba sahaya/tawanan perang dan untuk karib kerabat yang tidak berhak mendapatkan harta warisan, dengan ketentuan wasiat tersebut dilaksanakan dengan cara yang baik dan tidak merugikan ahli waris. Supaya tidak merugikan ahli waris, maka wasiat tidak boleh lebih dari sepertiga harta yang ditinggalkan oleh pemberi wasiat. Ketentuan hukum wasiat ini sebagai kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa yang menaati perintah Allah barang siapa mengubahnya, yaitu mengubah isinya saat menyampaikannya dengan menambah atau mengurangi wasiat itu, atau menyembunyikan dan tidak menyampaikannya setelah penerima wasiat mendengarnya, boleh jadi karena dia sebagai penerima wasiat, sebagai pencatat, atau sebagai saksi, maka sesungguhnya dosanya hanya bagi orang yang mengubahnya dan tidak menyampaikannya kepada yang berhak. Ia sudah mengkhianati amanat yang diterimanya, dan itu sama hukumnya dengan mengkhianati Allah dan rasul-Nya. Sungguh, Allah maha mendengar seluruh pembicaraan yang disampaikan oleh pemberi wasiat dan juga bisikan hati orang yang mengubah atau menyembunyikan wasiat. Allah maha mengetahui isi wasiat yang dalam bentuk tulisan dan segala perbuatan yang dilakukan oleh pihak yang terlibat.
Al-Baqarah Ayat 180 Arab-Latin, Terjemah Arti Al-Baqarah Ayat 180, Makna Al-Baqarah Ayat 180, Terjemahan Tafsir Al-Baqarah Ayat 180, Al-Baqarah Ayat 180 Bahasa Indonesia, Isi Kandungan Al-Baqarah Ayat 180
Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat: 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | 21 | 22 | 23 | 24 | 25 | 26 | 27 | 28 | 29 | 30 | 31 | 32 | 33 | 34 | 35 | 36 | 37 | 38 | 39 | 40 | 41 | 42 | 43 | 44 | 45 | 46 | 47 | 48 | 49 | 50 | 51 | 52 | 53 | 54 | 55 | 56 | 57 | 58 | 59 | 60 | 61 | 62 | 63 | 64 | 65 | 66 | 67 | 68 | 69 | 70 | 71 | 72 | 73 | 74 | 75 | 76 | 77 | 78 | 79 | 80 | 81 | 82 | 83 | 84 | 85 | 86 | 87 | 88 | 89 | 90 | 91 | 92 | 93 | 94 | 95 | 96 | 97 | 98 | 99 | 100 | 101 | 102 | 103 | 104 | 105 | 106 | 107 | 108 | 109 | 110 | 111 | 112 | 113 | 114 | 115 | 116 | 117 | 118 | 119 | 120 | 121 | 122 | 123 | 124 | 125 | 126 | 127 | 128 | 129 | 130 | 131 | 132 | 133 | 134 | 135 | 136 | 137 | 138 | 139 | 140 | 141 | 142 | 143 | 144 | 145 | 146 | 147 | 148 | 149 | 150 | 151 | 152 | 153 | 154 | 155 | 156 | 157 | 158 | 159 | 160 | 161 | 162 | 163 | 164 | 165 | 166 | 167 | 168 | 169 | 170 | 171 | 172 | 173 | 174 | 175 | 176 | 177 | 178 | 179 | 180 | 181 | 182 | 183 | 184 | 185 | 186 | 187 | 188 | 189 | 190 | 191 | 192 | 193 | 194 | 195 | 196 | 197 | 198 | 199 | 200 | 201 | 202 | 203 | 204 | 205 | 206 | 207 | 208 | 209 | 210 | 211 | 212 | 213 | 214 | 215 | 216 | 217 | 218 | 219 | 220 | 221 | 222 | 223 | 224 | 225 | 226 | 227 | 228 | 229 | 230 | 231 | 232 | 233 | 234 | 235 | 236 | 237 | 238 | 239 | 240 | 241 | 242 | 243 | 244 | 245 | 246 | 247 | 248 | 249 | 250 | 251 | 252 | 253 | 254 | 255 | 256 | 257 | 258 | 259 | 260 | 261 | 262 | 263 | 264 | 265 | 266 | 267 | 268 | 269 | 270 | 271 | 272 | 273 | 274 | 275 | 276 | 277 | 278 | 279 | 280 | 281 | 282 | 283 | 284 | 285 | 286
Raih pahala amal jariyah dengan cara membagikan (share) konten ini kepada yang lainnya. Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه
"Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)