{1} Al-Fatihah / الفاتحة | الْقُرْآنُ الْكَرِيْمُ | آل عمران / Ali ‘Imran {3} |
Tafsir Al-Qur’an Surat Al-Baqarah البقرة (Sapi Betina) lengkap dengan tulisan arab latin, arti dan terjemah Bahasa Indonesia. Surah ke 2 Tafsir ayat Ke 3.
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ ﴿٣﴾
allażīna yu`minụna bil-gaibi wa yuqīmụnaṣ-ṣalāta wa mimmā razaqnāhum yunfiqụn
QS. Al-Baqarah [2] : 3
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, melaksanakan shalat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka,
Merekalah orang-orang yang membenarkan keberadaan perkara ghaib yang tidak bisa dicapai oleh panca indra dan akal karena hal yang gaib hanya bisa diketahui melalui wahyu yang diberikan Allah kepada para rasul-Nya, seperti iman kepada para malaikat, surga, neraka dan perkara-perkara lainnya yang telah di kabarkan oleh Allah dan di kabarkan pula oleh Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam. Iman adalah kata yang menyeluruh untuk menetapkan bagi keyakinan kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, hari akhir dan takdir yang baik dan buruk.
Abu Ja’far Ar-Razi meriwayatkan dari Al-Ala ibnu Musayyab ibnu Rafi, dari Abu Ishaq, dari Abu Ahwas, dari Abdullah (Ibnu Mas’ud) yang pernah mengatakan bahwa iman ialah percaya.
Ali Ibnu Abu Talhah dan lain-lainnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang percaya (membenarkan).
Ma’mar mengatakan dari Az-Zuhri bahwa iman ialah amal.
Abu Ja’far Ar-Razi mengatakan dari Ar-Rabi’ ibnu Anas, bahwa orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang takut (kepada Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى)
Ibnu Jarir mengatakan, “Yang lebih utama bila mereka menggambarkan keimanan terhadap masalah yang gaib secara ucapan, keyakinan, dan perbuatan, dan adakalanya takut kepada Allah termasuk ke dalam pengertian iman yang intinya ialah membenarkan ucapan dengan perbuatan. Iman adalah suatu istilah yang mencakup pengertian iman kepada Allah, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. Dan pembenaran pengakuan dibuktikan dengan perbuatan”
Menurut pendapat kami, iman secara makna lugawi (bahasa) berarti percaya secara tulus. Akan tetapi, adakalanya di dalam Al-Qur’an digunakan untuk pengertian tersebut, sebagaimana yang terdapat di dalam firman-Nya:
Ia beriman kepada Allah dan mempercayai orang-orang mukmin. (At Taubah:61)
Demikian pula yang dikatakan oleh saudara-saudara Nabi Yusuf kepada ayah mereka, yang hal ini disitir oleh firman-Nya:
Dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar. (Yusuf:17)
Demikian pula maknanya bila dibarengi amal perbuatan, sebagaimana yang terdapat di dalam firman-Nya:
kecuali orang-orang yang percaya dan mengerjakan amal saleh. (At Tiin:6)
Jika digunakan secara mutlak, maka iman yang dikehendaki oleh syara’ ialah yang mencakup tiga unsur, yaitu keyakinan, ucapan, dan perbuatan. Demikian menurut sebagian besar imam. Bahkan menurut riwayat Imam Syafii, Imam Ahmad ibnu Hambal, dan Abu Ubaidah serta ulama lainnya, ijma’ dengan pengertian seperti berikut:
Iman adalah ucapan dan perbuatan serta dapat bertambah dan berkurang. Banyak hadis dan asar yang menerangkan pengertian ini, yang secara tersendiri telah dikemukakan di dalam permulaan Syarah Bukhari.
Di antara mereka ada yang menafsirkannya dengan makna “takut kepada Allah”, sebagaimana makna yang terkandung di dalam firman-Nya:
(yaitu) orang-orang yang takut akan (azab) Tuhan mereka, sedangkan mereka tidak melihat-Nya. (Al Anbiyaa:49)
(Yaitu) orang yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, sedangkan Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertobat. (Qaaf:33)
Al-khasyyah atau takut kepada Allah merupakan kesimpulan dari iman dan ilmu, sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman-Nya:
Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama. (Faathir:28)
Sebagian ulama mengatakan bahwa mereka beriman kepada yang gaib (tidak kelihatan) sebagaimana mereka beriman kepada yang kelihatan, dan keadaan mereka tidaklah seperti yang disebut di dalam firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى mengenai perihal orang-orang munafik, yaitu:
Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang beriman, mereka mengatakan, “Kami telah beriman. Dan bila mereka kembali kepada setan-setan mereka, mereka mengatakan, “Sesungguhnya kami sependirian dengan kalian, kami hanya berolok-olok.” (Al Baqarah:14)
Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata, “Kami mengakui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah” Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya, dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar yang pendusta. (Al Munafiqun:1)
Berdasarkan pengertian ini berarti lafaz bil gaibi berkedudukan sebagai hal (keterangan keadaan), yaitu sekalipun keadaan mereka tidak kelihatan oleh orang banyak (yakni sendirian).
Mengenai yang dimaksud dengan al-gaib dalam ayat ini, ungkapan ulama Salaf mengenainya berbeda-beda, tetapi semuanya benar, mengingat bila disimpulkan dari semuanya, maka yang tersimpul adalah makna yang dimaksud.
Abu Ja’far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi’ ibnu Anas, dari Abu Aliyah sehubungan dengan firman-Nya: Orang-orang yang beriman kepada yang gaib. (Al Baqarah:3) Menurut Abul Aliyah, makna yang dimaksud ialah “mereka beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kemudian, surga dan neraka-Nya, bersua dengan-Nya, juga beriman kepada kehidupan sesudah mati dan hari berbangkit”. Semua itu merupakan hal yang gaib (tidak kelihatan). Hal yang sama dikatakan pula oleh Qatadah ibnu Di’amah.
As-Saddi meriwayatkan dari Abu Malik dan dari Abu Saleh, keduanya menerimanya dari Ibnu Abbas. As-Saddi juga meriwayatkannya dari Murrah Al-Hamadani, dari Ibnu Mas’ud, dan dari sejumlah sahabat Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, bahwa gaib ialah hal-hal yang tidak kelihatan oleh hamba-hamba Allah, seperti masalah surga, neraka, dan semua hal yang disebutkan di dalam Al-Qur’an.
Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa orang-orang yang beriman kepada yang gaib ialah yang beriman kepada takdir.
Semua saling berdekatan dalam hal pengertian, mengingat pada garis besarnya semua itu kembali kepada makna gaib yang harus diimani.
Sa’id ibnu Mansur mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah, dari Al-A’masy, dari Imarah ibnu Umair, dari Abdur Rahman ibnu Yazid yang mengatakan, “Ketika kami berada di hadapan sahabat Abdullah, ibnu Mas’ud duduk bersamanya. Lalu kami menceritakan perihal sahabat-sahabat Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan semua amal perbuatan mereka yang mendahului kami. Maka Abdullah ibnu Mas’ud berkata, ‘Sesungguhnya perkara Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ adalah jelas bagi orang yang melihatnya. Demi Tuhan yang tidak ada Tuhan selain Dia, tidak ada seorang pun yang memiliki iman lebih afdal da-ripada iman tanpa melihat’,” kemudian dia membacakan firman-Nya:
Alif lam mim. Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib —sampai dengan firman-Nya— orang-orang yang beruntung. (Al Baqarah:1-5)
telah menceritakan kepada kami Abul Mugirah, telah menceritakan kepadaku Al-Auza’i, telah menceritakan kepadaku Asad ibnu Abdur Rahman, dari Khalid ibnu Duraik, dari Ibnu Muhairiz yang mengatakan bahwa ia pernah berkata kepada Abu Jum’ah, “Ceritakanlah kepada kami sebuah hadis yang engkau dengar dari Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ” Abu Jum’ah menjawab, “Ya, aku akan menceritakan kepadamu suatu hadis yang baik,” yaitu: Kami makan siang bersama Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Di antara kami terdapat Abu Ubaidah ibnul Jarrah. Ia bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah ada seseorang yang lebih baik daripada kami? Kami masuk Islam di tanganmu dan kami berjihad bersamamu.” Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjawab, “Ya, suatu kaum dari kalangan orang-orang sesudah kalian, mereka beriman kepadaku, padahal mereka tidak melihatku.”
Menurut jalur yang lain, diketengahkan oleh Abu Bakar ibnu Murdawaih di dalam kitab Tafsir-nya, yaitu:
Telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ja’far, telah menceritakan kepada kami Ismail, dari Abdullah ibnu Mas’ud, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Saleh, telah menceritakan kepada kami Mu’awiyah ibnu Saleh, dari Saleh ibnu Jubair yang menceritakan bahwa datang kepada kami Abu Jum’ah Al-Ansari —seorang sahabat Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ— di Baitul Maqdis untuk melakukan salat. Ketika itu bersama kami terdapat Raja ibnu Haywah r.a. Setelah dia selesai salat, kami keluar mengantarkannya. Tetapi ketika dia hendak pergi, dia berkata, “Sesungguhnya kalian berhak mendapat balasan dan hak, aku akan menceritakan sebuah hadis kepada kalian yang aku dengar langsung dari Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ” Kami menjawab, “Ceritakanlah, semoga Allah merahmatimu.” Abu Jum’ah bercerita: Ketika kami bersama Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, di antara kami terdapat Mu’az ibnu Jabal yang merupakan orang kesepuluh dari kami semua yang berjumlah sepuluh orang. Kemudian kami bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah ada suatu kaum yang beroleh pahala lebih besar daripada kami? Kami beriman kepada Allah dan mengikutimu.” Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjawab, “Tiada yang menghalangi kalian dari hal tersebut, karena Rasulullah berada di antara kalian menyampaikan wahyu yang turun dari langit kepada kalian, bahkan kaum sesudah kalian. Datang kepada mereka kitab (Al-Qur’an) yang telah terhimpun di antara kedua sampulnya, lalu mereka beriman kepadanya dan mengamalkan apa yang dikandungnya, mereka lebih besar pahalanya daripada kalian.” Ucapan ini diulanginya sebanyak dua kali.
Hadis ini mengandung dalil yang menunjukkan amal yang berdasarkan rasa cinta, di mana para ahli hadis berselisih pendapat tentangnya, sebagaimana yang telah ditetapkan pada permulaan Syarah Bukhari, karena Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ternyata memuji mereka yang datang sesudahnya, mengingat mereka beriman tanpa melihat. Beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyebutkan bahwa mereka memiliki pahala yang lebih besar bila ditinjau dari segi itu saja tetapi tidak mutlak.
Menurut pendapat kami diriwayatkan pula oleh Abu Ya’la di dalam kitab Musnad-nya dan Ibnu Murdawaih di dalam kitab Tafsir-nya serta Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadis Muhammad ibnu Humaid —hanya di sini ada kedaifan— dari Zaid ibnu Aslam, dari ayahnya, dari Umar r.a., dari Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ hadis yang semisal atau semakna dengannya. Imam Hakim mengatakan bahwa hadis ini sahih sanadnya, tetapi keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak mengetengahkannya. Hadis yang semisal telah diriwayatkan melalui Anas ibnu Malik secara marfu’.
dan mereka mendirikan salat serta menqfkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka. (Al Baqarah:3)
Ibnu Abbas mengatakan, makna “mereka mendirikan salat” ialah “mereka mendirikan fardu-fardu salat (yakni rukun-rukunnya)”.
Dahhak mengatakan dari Ibnu Abbas, yang dimaksud dengan mendirikan salat ialah menyempurnakan rukuk, sujud, bacaan Al-Qur’an, khusyuk, dan menghadap sepenuh jiwa dan raganya dalam salat Qatadah mengatakan bahwa mendirikan salat artinya memelihara waktu-waktunya, wudu, rukuk, dan sujud.
Muqatil ibnu Hayyan mengatakan bahwa mendirikan salat artinya memelihara waktu-waktunya, menyempurnakan wudu, sujud, bacaan Al-Qur’an, bacaan tasyahud, dan salawat buat Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ di dalam salat
Ali ibnu Abu Talhah dan lain-lainnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud dengan “menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka” ialah “mereka tunaikan zakat harta benda dengan benar”.
As-Sadi mengatakan dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbis. juga dari Murrah (Al-Hamadani), dari Ibnu Mas’ud r.a., dari sejumlah sahabat Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, bahwa makna “menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka” ialah “nafkah seorang lelaki kepada keluarganya”. Hal ini dipahami sebelum diturunkannya ayat mengenai zakat.
Juwaibir mengatakan dari Dahhak, “Pada mulanya nafkah merupakan kurban yang mereka jadikan sebagai amal taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى sesuai dengan kemampuan ekonomi masing-masing, yakni kaya dan miskin, hingga turunlah ayat-ayat yang memfardukan zakat. Ayat-ayat tersebut berjumlah tujuh ayat dalam surat Baraah (At-Taubah), di dalamnya disebut masalah zakat. Ayat-ayat tersebut berkedudukan menasikh secara pasti terhadap pengertian lain.”
Qatadah mengatakan bahwa “menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka” artinya nafkahkanlah sebagian dari apa yang telah Allah berikan kepada kalian, karena harta benda itu merupakan titipan dan pinjaman di tanganmu, hai manusia, dalam waktu yang dekat kamu pasti meninggalkannya.
Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa ayat ini bermakna umum, mencakup zakat dan nafkah. Dia mengatakan bahwa takwil yang paling utama dan paling berhak dikemukakan sesuai dengan sifat dari kaum yang dimaksud ialah “hendaklah mereka menunaikan semua kewajiban yang berada pada harta benda mereka, baik berupa zakat ataupun memberi nafkah orang-orang yang harus ia jamin dari kalangan keluarga, anak-anak, dan lain-lainnya dari kalangan orang-orang yang wajib ia nafkahi karena hubungan kekerabatan atau pemilikan atau faktor lainnya”. Karena Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى menyifati dan memuji mereka dengan sebutan tersebut, setiap nafkah dan zakat adalah perbuatan yang terpuji dan para pelakunya mendapat pujian.
Menurut kami, Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى sering kali menggandengkan antara salat dengan memberi nafkah, karena salat adalah hak Allah dan seba-gai penyembahan kepada-Nya. Di dalam salat terkandung makna menauhidkan (mengesakan) Allah, memuji, mengagungkan, menyanjung-Nya, dan berdoa serta bertawakal kepada-Nya. Sedangkan di dalam infak (membelanjakan harta) terkandung pengertian perbuatan kebajikan kepada sesama makhluk, yaitu dengan mengulurkan bantuan kepada mereka. Orang-orang yang harus diprioritaskan dalam masalah nafkah ini adalah kaum kerabat dan keluarga serta budak-budak yang dimiliki, setelah itu barulah orang lain.
Setiap nafkah wajib dan zakat fardu termasuk ke dalam pengertian firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى:
Dan mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.
Karena itu, di dalam kitab Sahihain telah disebutkan sebuah hadis melalui Ibnu Umar r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah bersabda:
Islam dibangun di atas lima perkara, yaitu kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan salat, menunaikan zakat, puasa bulan Ramadan, dan berhaji ke Baitullah.
Hadis-hadis yang menerangkan hal ini cukup banyak.
Makna asal lafaz salat menurut istilah bahasa ialah doa.
Menurut Ibnu Jarir, salat dinamakan dengan sebutan demikian karena pelakunya berupaya memperoleh pahala Allah melalui amalnya bersamaan dengan permintaan hal-hal yang diperlakukannya kepada Tuhannya. Menurut pendapat lain, lafaz “salat” berasal dari nama kedua urat yang digerakkan dalam salat di saat rukuk dan sujud, urat ini memanjang dari punggung sampai kepada tulang punggung yang paling bawah. Termasuk ke dalam pengertian lafaz ini musalli dinamakan pula terhadap juara kedua dalam perlombaan balap kuda, tetapi pendapat ini masih perlu dipertimbangkan kebenarannya.
Menurut pendapat lain, lafaz “salat” berasal dari as-sala yang artinya menetapi sesuatu (memasukinya), seperti makna yang terkandung di dalam firman-Nya:
Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka. (Al Lail:15)
Makna yang dimaksud ialah “tiada yang menetapi dan hingga kekal di dalamnya kecuali orang yang paling celaka.”
Menurut pendapat lain ia berasal dari tasliyah, yakni memanggang kayu di atas api dengan maksud untuk meluruskannya, sebagaimana orang yang salat menegakkan kebengkokannya dengan salat-nya, seperti makna yang terkandung di dalam firman-Nya:
Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya daripada ibadah lainnya). (Al ‘Ankabut:45)
Menganggap isytiqaq (bentuk asal) salat dari doa adalah pendapat yang paling sahih, sedangkan pembahasan mengenai zakat akan dikemukakan nanti pada bagian tersendiri.
Tafsir Ayat:
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ “Yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib.” Hakikat keimanan adalah pembenaran yang total terhadap apa pun yang dikabarkan oleh para Rasul, yang meliputi ketundukan anggota tubuh. Perkara keimanan itu tidak hanya kepada hal-hal yang dapat diperoleh oleh panca indera semata, karena hal ini tidaklah mampu membedakan antara seorang Muslim dengan seorang kafir, namun perkara yang dianggap dalam keimanan kepada yang ghaib adalah yang tidak kita lihat dan tidak kita saksikan, namun kita hanya mengimaninya saja karena ada kabar dari Allah dan kabar dari RasulNya صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Inilah keimanan yang mampu membedakan antara seorang Muslim dengan seorang kafir, karena itulah pembenaran yang utuh terhadap Allah dan Rasul-rasulNya. Maka seorang yang beriman adalah yang mengimani segala sesuatu yang dikabarkan oleh Allah atau yang dikabarkan oleh RasulNya, baik yang dia saksikan ataupun tidak, baik dia mampu memahami dan masuk dalam akalnya, ataupun akal dan pemahamannya tidak mampu mencernanya. Berbeda dengan orang-orang atheis yang mendustakan perkara-perkara ghaib, karena akal-akal mereka yang terbatas lagi lalai tidak sampai kepadanya, akhirnya mereka mendustakan apa yang tidak mampu dipahami oleh ilmu mereka, yang pada akhirnya rusaklah akal-akal mereka, sia-sialah harapan mereka, dan (sebaliknya) bersihlah akal kaum Mukminin yang membenarkan lagi mengambil hidayah dengan petunjuk Allah.
Dan termasuk dalam keimanan kepada yang ghaib adalah keimanan kepada seluruh kabar yang diberitakan oleh Allah dari hal-hal ghaib yang terdahulu maupun yang akan datang, kondisi-kondisi Hari Akhirat, hakikat sifat-sifat Allah dan bentuk-bentuknya, dan kabar yang diberikan oleh RasulNya tentang semua itu; di mana mereka beriman kepada sifat-sifat Allah dan keberadaannya, dan mereka meyakininya walaupun mereka tidak mampu mema-hami cara dan bentuknya.
Kemudian Allah berfirman, وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ “Yang mendirikan shalat.” Dia tidak berfirman, yang mengerjakan shalat, atau menjalankan shalat, karena sesungguhnya tidaklah cukup hanya sekedar menjalankan dengan bentuknya yang lahir saja, karena mendirikan shalat yang dimaksud adalah mendirikan shalat secara lahir dengan menyempurnakan rukun-rukunnya, wajib-wajibnya, dan syarat-syaratnya, dan juga mendirikannya secara batin dengan mendirikan ruhnya yaitu dengan menghadirkan hati padanya, merenungi apa yang dibaca dan mengamalkannya. Maka shalat inilah yang disebutkan dalam Firman Allah جَلَّ جَلالُهُ,
إِنَّ الصَّلاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar.” (Al-Ankabut: 45).
Yaitu shalat yang memperoleh ganjaran. Maka tidak ada ganjaran bagi seorang hamba dari shalatnya kecuali apa yang dia pahami darinya, dan termasuk dalam shalat di sini adalah yang wajib maupun yang sunnah.
Kemudian Allah berfirman, وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ “Dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” Termasuk di dalamnya nafkah-nafkah yang wajib, seperti zakat, nafkah atas istri, keluarga dan para budak dan sebagainya, dan nafkah-nafkah yang dicintai dengan segala jalan kebaikan. Dan tidak disebutkan-nya hal-hal yang diinfakkan karena banyaknya sebab-sebabnya dan bermacam-macam penerimanya, dan karena nafkah itu pada dasarnya adalah sebuah ibadah kepada Allah. Dia juga disebutkan dengan kata “dari” yang menunjukkan makna sebagian, demi untuk mengingatkan mereka bahwasanya Allah tidak menghendaki dari mereka kecuali sebagian kecil saja dari harta-harta mereka yang tidak akan memudaratkan mereka dan tidak akan pula memberatkan mereka, bahkan mereka akan mengambil manfaat dari infak mereka tersebut, dan saudara-saudara mereka juga akan dapat mengambil manfaat darinya. Dan dalam Firman Allah, وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ “Rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka,” terkandung sebuah isyarat bahwa harta yang ada di hadapanmu ini tidaklah diperoleh dari kekuatan dan kepemilikanmu, akan tetapi itu semua adalah rizki Allah yang dianugerahkan kepada kalian dan diberikanNya nikmat itu atas kalian. Maka karena nikmat yang diberikan oleh Allah atas kalian dan kemurahanNya terhadap kalian dibanding banyak hamba-hambaNya yang lain, maka bersyukurlah kepadaNya dengan mengeluarkan sebagian nikmat yang diberikan atas kalian tersebut, dan hiburlah saudara-saudara kalian yang tidak memilikinya.
Dan sangatlah banyak sekali Allah menyatukan (menyandingkan) shalat dengan zakat dalam al-Qur`an, karena shalat itu mengandung keikhlasan hanya kepada Dzat yang disembah, sedangkan zakat dan nafkah mengandung berbuat baik kepada sesama hamba-hambaNya. Maka tanda dari kebahagiaan seorang hamba adalah keikhlasannya kepada Dzat yang disembah dan usahanya dalam memberikan manfaat kepada manusia, sebagaimana tanda keseng-saraan seorang hamba adalah tidak adanya kedua perkara tersebut pada dirinya, tidak ada keikhlasan dan tidak pula perbuatan baik kepada sesama.
Orang-orang yang bertakwa itu adalah mereka yang beriman kepada hal-hal yang gaib, yang tidak tampak dan tidak dapat dijangkau oleh akal dan indra mereka, seperti Allah, malaikat, surga, neraka, dan lainnya yang diberitakan oleh Allah dan rasul-Nya. Pada saat yang sama, sebagai bukti keimanan itu, mereka beribadah kepada Allah dengan melaksanakan salat, secara sempurna berdasarkan tuntunan Allah dan rasul-Nya, khusyuk serta memperhatikan waktu-waktunya, dan mereka juga menginfakkan di jalan kebaikan sebagian rezeki berupa harta, ilmu, kesehatan, kekuasaan, dan hal-hal lainnya yang bermanfaat yang kami berikan kepada mereka, semata-mata sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dan mencari keridaan-Nya. Dan ciri-ciri lainnya dari orang-orang yang bertakwa adalah mereka yang beriman kepada apa-apa yang diturunkan dari Allah kepadamu, wahai nabi Muhammad, berupa Al-Qur’an dan adz-dzikr (hadis), dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelum engkau, seperti taurat, zabur, injil, dan suhuf-suhuf (lembaran-lembaran) yang tidak seperti kitab, dengan tidak membeda-bedakannya, sebab risalah Allah pada mulanya satu, dan mereka yakin akan adanya kehidupan di akhirat setelah kehidupan di dunia ini, dengan penuh keyakinan di dalam hati yang dibuktikan secara lisan dan perbuatan.
Al-Baqarah Ayat 3 Arab-Latin, Terjemah Arti Al-Baqarah Ayat 3, Makna Al-Baqarah Ayat 3, Terjemahan Tafsir Al-Baqarah Ayat 3, Al-Baqarah Ayat 3 Bahasa Indonesia, Isi Kandungan Al-Baqarah Ayat 3
Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat: 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | 21 | 22 | 23 | 24 | 25 | 26 | 27 | 28 | 29 | 30 | 31 | 32 | 33 | 34 | 35 | 36 | 37 | 38 | 39 | 40 | 41 | 42 | 43 | 44 | 45 | 46 | 47 | 48 | 49 | 50 | 51 | 52 | 53 | 54 | 55 | 56 | 57 | 58 | 59 | 60 | 61 | 62 | 63 | 64 | 65 | 66 | 67 | 68 | 69 | 70 | 71 | 72 | 73 | 74 | 75 | 76 | 77 | 78 | 79 | 80 | 81 | 82 | 83 | 84 | 85 | 86 | 87 | 88 | 89 | 90 | 91 | 92 | 93 | 94 | 95 | 96 | 97 | 98 | 99 | 100 | 101 | 102 | 103 | 104 | 105 | 106 | 107 | 108 | 109 | 110 | 111 | 112 | 113 | 114 | 115 | 116 | 117 | 118 | 119 | 120 | 121 | 122 | 123 | 124 | 125 | 126 | 127 | 128 | 129 | 130 | 131 | 132 | 133 | 134 | 135 | 136 | 137 | 138 | 139 | 140 | 141 | 142 | 143 | 144 | 145 | 146 | 147 | 148 | 149 | 150 | 151 | 152 | 153 | 154 | 155 | 156 | 157 | 158 | 159 | 160 | 161 | 162 | 163 | 164 | 165 | 166 | 167 | 168 | 169 | 170 | 171 | 172 | 173 | 174 | 175 | 176 | 177 | 178 | 179 | 180 | 181 | 182 | 183 | 184 | 185 | 186 | 187 | 188 | 189 | 190 | 191 | 192 | 193 | 194 | 195 | 196 | 197 | 198 | 199 | 200 | 201 | 202 | 203 | 204 | 205 | 206 | 207 | 208 | 209 | 210 | 211 | 212 | 213 | 214 | 215 | 216 | 217 | 218 | 219 | 220 | 221 | 222 | 223 | 224 | 225 | 226 | 227 | 228 | 229 | 230 | 231 | 232 | 233 | 234 | 235 | 236 | 237 | 238 | 239 | 240 | 241 | 242 | 243 | 244 | 245 | 246 | 247 | 248 | 249 | 250 | 251 | 252 | 253 | 254 | 255 | 256 | 257 | 258 | 259 | 260 | 261 | 262 | 263 | 264 | 265 | 266 | 267 | 268 | 269 | 270 | 271 | 272 | 273 | 274 | 275 | 276 | 277 | 278 | 279 | 280 | 281 | 282 | 283 | 284 | 285 | 286
Raih pahala amal jariyah dengan cara membagikan (share) konten ini kepada yang lainnya. Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه
"Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)